Jumat, 24 Februari 2012

Dari Museum ke Museum (Bagian 2 - Tamat)

...sebelumnya ada Museum Mandala Wangsit Siliwangi, sekilas Museum Dharma Wiratama, dan Museum Konperensi Asia Afrika...

Museum Pos Indonesia

Didirikan pada tahun 1931, museum ini semula bernama Museum PTT (Pos Telepon Telegrap) dan koleksinya baru sebatas perangko. Setelah direnovasi, museum ini diresmikan dengan nama Museum Pos dan Giro oleh Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi pada tanggal 27 September 1983, bertepatan dengan Hari Bhakti Postel. Koleksinya pun bertambah hingga tidak sebatas benda pos, melainkan hingga sejarah, diorama kegiatan pos, dan lain-lain. Ketika status Perusahaan Umum (Perum) Pos dan Giro berubah menjadi PT Pos Indonesia pada tanggal 20 Juni 1995, museum ini ganti nama lagi menjadi Museum Pos Indonesia.  Koleksinya meliputi koleksi sejarah, koleksi filateli, dan koleksi peralatan.

Museum ini kiranya museum yang paling sering saya kunjungi sepanjang hidup saya. Letaknya strategis; dekat SD Istiqamah (SD saya) dan Taman Lansia (tempat saya sesekali menghabiskan waktu) serta satu komplek dengan Gedung Sate yang merupakan ikon Kota Bandung. 

Cara memasukinya pun mudah. Tidak ada petugas menyambut, meski kantornya—dengan pintu terbuka—tepat menghadap titik di mana pengunjung mengisi identitas dan mengambil tiga macam panduan cetak yang tersedia. Saat saya masih SD, teman-teman saya yang berkunjung ke sana malah diberikan notes. Dan pengunjung tidak dipungut biaya sama sekali.

Setelah membaca panduan cetak, barulah saya menyadari kalau selama ini saya hanya ngeh sama bagian basement saja dari museum ini. Rupanya museum ini meliputi lantai di atasnya yang berupa ruang galeri dan ruang social center. Ruang yang pertama dimaksudkan agar pengunjung dapat memperoleh gambaran tentang perusahaan secara sekilas. Sedang pada ruang yang kedua, selain mendapat informasi pengunjung juga dapat melakukan praktik langsung yang berkaitan dengan kegiatan pos. Ruang ini dipadukan dengan kantor pos dan loket filateli.

Kemurah-hatian Museum Pos Indonesia :D

Museum ini tampak sangat terbuka sekaligus kurang begitu terurus. Namun sepertinya peminatnya akan selalu ada. Betapa pos telah menjadi demikian klasik di era teknologi komunikasi yang kian canggih ini.

Saya sudah pernah mengulas sedikit tentang museum ini sebelumnya di sini.

Museum Batik Pekalongan

:D

Saya mengunjungi museum ini bersama keluarga saya awal tahun ini. Museum yang menyenangkan menurut saya. Meski kita harus bayar untuk menjelajah di dalamnya, namun itu sebanding dengan pelayanan yang kita dapatkan. Setiap pengunjung (/rombongan) akan dipandu seorang petugas dari ruang satu ke ruang lain. Tidak sekadar menemani, pemandu juga menerangkan setiap koleksi yang ada di setiap ruangan. Tentu saja kita bisa balik bertanya apabila ada hal lain yang ingin diketahui.

Hayo... Ini dipakai buat apanya batik?

Koleksi batik yang dipajang umumnya berasal dari orang-orang tertentu. Sebut saja bapak-ibu presiden dan wakil presiden, bahkan ada ruang sendiri untuk memamerkan koleksi mereka. Dan tentu saja yang harus ada adalah proses pembuatan batik itu sendiri, mulai dari berbagai bahan baku yang digunakan hingga varian batik nusantara.

Kalau yang ini bisa digunakan untuk pewarna, atau dibikin wedang, atau bikin baret-baret sekujur badan (#sensasihutansecangdipetak7wanagamarockforest)

Di akhir perjalanan, kita diberikan kesempatan untuk membatik, baik batik tulis maupun batik cap. Petugas akan memberi kita sehelai kain putih lalu membimbing kita mengenai cara membubuhkan batik di sana. Untuk batik cap, ada banyak pola yang bisa dipilih mulai dari kecil, besar, simpel, maupun rumit.

Pengunjung sedang dijelaskan proses pembuatan batik

Sama seperti museum-museum lainnya yang sudah saya ulas, di museum ini hanya ada satu pintu untuk masuk-keluar. Di samping pintu tersebut, ada ruangan di mana berbagai benda berbatik dijual. Jadi tidak hanya pakaian, tapi juga tas, payung, helm, bahkan pembersih khusus batik. Di seberang museum terdapat taman yang luas dengan pemandangan yang enak dilihat.

Sejarah itu bagai es krim Canary

Museum tidak harus menyajikan sejarah, bisa pula kebudayaan. Museum bahkan tidak harus berupa bangunan, seperti yang digiatkan komunitas Aleut bahwa mempelajari hal-hal tersebut dapat pula dilakukan sambil jalan-jalan di luar ruangan.

Setelah mengumpulkan uang seridlonya, lalu menyelipkannya di buku tamu (YA, tidak ada kenclengan atau apa), kami pun janjian untuk bertemu lagi di Canary. Lagi-lagi Fida yang mengusulkan ini. Pras bermotor dengan Nuhe sedang Fida yang juga bermotor tidak bawa helm selain untuk dirinya saja. Biarpun pos polisi di Kota Bandung tampak tak sebanyak pos polisi di Kota Jogja, namun saya tidak mau lagi bermotor tanpa helm sejak ditilang karena hal tersebut di perempatan Jalan Kaliurang. Maka saya pun jalan kaki. “Sedih pisan,” kata Nuhe. “Saya enggak sedih, saya kuat,” kilah saya. Ternyata malah saya yang paling cepat sampai di tujuan. Mana ada “macet” dalam kamus pedestrian, kecuali dalam antrian di loket ha-ha-ha!  

Canary bukan museum, melainkan toko roti dan kue di ujung Jalan Braga yang berlapisan batu andesit. Wangi roti biasa menguar dari toko itu sampai ke jalan. Di sana, grup payah sejarah ini memesan menu es krim yang berbeda: Vanila-lupa (16 K, Fida), Banana Split (17,5 K, saya); Coconut Royale (17,5K, Pras); dan Sleeping Beauty (17,5 K, Nuhe). Di wadah kami masing-masing (saya bak mandi mini, Pras ¾ kelapa, sedang Fida dan Nuhe sebagaimana wadah es krim lazimnya), setidaknya kami mendapat tiga tangkup es krim—oh, Nuhe dapat empat! Dengan harga sedikit lebih, milik saya, Pras, dan Nuhe sedikit lebih sehat juga dari milik Fida. Saya dapat pisang, Pras kelapa, sedang Nuhe anggur. Potongan wafer milik Fida dengan potongan wafer milik Nuhe ternyata pas bila disatukan! Pras dapat potongan wafer juga sedang saya tidak. Saya harus minta potongan wafer satu lagi ke dapur toko ini kalau begitu, supaya saya dan Pras bisa menyusul Fida dan Nuhe ke dunia lain. (#hah?)

Baru kali saya kenyang makan es krim, karena menghabiskan punya Nuhe juga sih. Fida merasa es krimnya rada pahit. Dia juga sudah kenyang sementara es krimnya masih sisa lumayan. Saya enggan menghabiskan punyanya karena sama dia sudah ditiup-tiup begitu es krimnya supaya cepat mencair sehingga dia bisa lebih menikmatinya. Fida mensinyalir es krim di sini mengandung banyak pengawet. Saya pun menceritakan pada mereka tentang toko bernama Tip Top di Kota Jogja, sudah berdiri sejak Bude saya SMP, yang mana produk es krimnya konon tidak mengandung pengawet—hanya bahan alami—sehingga lekas mencair. Tapi mana kenyang dengan satu tangkup yang mencapai 15K?

Saya juga cerita tentang Taman Tegallega di mana pengunjung harus bayar 1K untuk masuk tapi kondisi sangkar burungnya bagai pusat penelitian dinosaurus di Pulau Isla Sorna yang sudah lama ditinggalkan para pekerjanya. Tidak heran juga museum yang baru kami kunjungi hari itu kerap dianggap menyeramkan. Bagaimana tidak menyeramkan kalau tahu-tahu kita tertimpa atap saat sedang mengamati foto-foto para korban pembantaian? Di ITC Kebon Kelapa juga, kita harus membayar untuk menggunakan toilet yang tidak beres kerannya. Seandainya saja tiap museum, taman, dan toilet juga punya sahabat seperti Museum KAA punya. Kamu yang mengaku suka bersahabat, mau?

Maka melahap sejarah itu sebagaimana mengudap es krim Canary. Ketika es krim dihidangkan, seketika itu kita tertarik untuk mencicipinya. Begitupun ketika kita terlanjur masuk museum, kaki kita terus melangkah untuk mengetahui koleksi apa saja yang disajikan. Selanjutnya kita bisa memutuskan untuk menghabiskan es krim tersebut atau tidak ketika kita mulai kenyang. Begitupun dengan sejarah. Ketika kita sudah keluar dari museum tersebut, kita bisa memutuskan apakah kita hendak lebih jauh mendalami sejarah atau meninggalkannya begitu saja setelah tahu sekilas. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain