Museum
Pos Indonesia
Didirikan pada tahun 1931, museum ini semula bernama Museum PTT (Pos Telepon Telegrap) dan koleksinya baru sebatas perangko. Setelah direnovasi, museum ini diresmikan dengan nama Museum Pos dan Giro oleh Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi pada tanggal 27 September 1983, bertepatan dengan Hari Bhakti Postel. Koleksinya pun bertambah hingga tidak sebatas benda pos, melainkan hingga sejarah, diorama kegiatan pos, dan lain-lain. Ketika status Perusahaan Umum (Perum) Pos dan Giro berubah menjadi PT Pos Indonesia pada tanggal 20 Juni 1995, museum ini ganti nama lagi menjadi Museum Pos Indonesia. Koleksinya meliputi koleksi sejarah, koleksi filateli, dan koleksi peralatan.
Museum ini kiranya museum yang paling
sering saya kunjungi sepanjang hidup saya. Letaknya strategis; dekat SD
Istiqamah (SD saya) dan Taman Lansia (tempat saya sesekali menghabiskan waktu)
serta satu komplek dengan Gedung Sate yang merupakan ikon Kota Bandung.
Cara memasukinya pun mudah. Tidak ada
petugas menyambut, meski kantornya—dengan pintu terbuka—tepat menghadap titik
di mana pengunjung mengisi identitas dan mengambil tiga macam panduan cetak
yang tersedia. Saat saya masih SD, teman-teman saya yang berkunjung ke sana
malah diberikan notes. Dan pengunjung tidak dipungut biaya sama sekali.
Setelah membaca panduan cetak, barulah saya menyadari kalau selama ini saya hanya ngeh sama bagian basement saja dari museum ini. Rupanya museum ini meliputi lantai di atasnya yang berupa ruang galeri dan ruang social center. Ruang yang pertama dimaksudkan agar pengunjung dapat memperoleh gambaran tentang perusahaan secara sekilas. Sedang pada ruang yang kedua, selain mendapat informasi pengunjung juga dapat melakukan praktik langsung yang berkaitan dengan kegiatan pos. Ruang ini dipadukan dengan kantor pos dan loket filateli.
Setelah membaca panduan cetak, barulah saya menyadari kalau selama ini saya hanya ngeh sama bagian basement saja dari museum ini. Rupanya museum ini meliputi lantai di atasnya yang berupa ruang galeri dan ruang social center. Ruang yang pertama dimaksudkan agar pengunjung dapat memperoleh gambaran tentang perusahaan secara sekilas. Sedang pada ruang yang kedua, selain mendapat informasi pengunjung juga dapat melakukan praktik langsung yang berkaitan dengan kegiatan pos. Ruang ini dipadukan dengan kantor pos dan loket filateli.
Kemurah-hatian Museum Pos Indonesia :D |
Museum ini tampak sangat terbuka
sekaligus kurang begitu terurus. Namun sepertinya peminatnya akan selalu ada.
Betapa pos telah menjadi demikian klasik di era teknologi komunikasi yang kian
canggih ini.
Saya sudah pernah mengulas sedikit
tentang museum ini sebelumnya di sini.
Museum
Batik Pekalongan
:D |
Saya mengunjungi museum ini bersama
keluarga saya awal tahun ini. Museum yang menyenangkan menurut saya. Meski kita
harus bayar untuk menjelajah di dalamnya, namun itu sebanding dengan pelayanan
yang kita dapatkan. Setiap pengunjung (/rombongan) akan dipandu seorang petugas
dari ruang satu ke ruang lain. Tidak sekadar menemani, pemandu juga menerangkan
setiap koleksi yang ada di setiap ruangan. Tentu saja kita bisa balik bertanya
apabila ada hal lain yang ingin diketahui.
Hayo... Ini dipakai buat apanya batik? |
Koleksi batik yang dipajang umumnya
berasal dari orang-orang tertentu. Sebut saja bapak-ibu presiden dan wakil
presiden, bahkan ada ruang sendiri untuk memamerkan koleksi mereka. Dan tentu
saja yang harus ada adalah proses pembuatan batik itu sendiri, mulai dari
berbagai bahan baku yang digunakan hingga varian batik nusantara.
Kalau yang ini bisa digunakan untuk pewarna, atau dibikin wedang, atau bikin baret-baret sekujur badan (#sensasihutansecangdipetak7wanagamarockforest) |
Di akhir perjalanan, kita diberikan
kesempatan untuk membatik, baik batik tulis maupun batik cap. Petugas akan
memberi kita sehelai kain putih lalu membimbing kita mengenai cara membubuhkan
batik di sana. Untuk batik cap, ada banyak pola yang bisa dipilih mulai dari
kecil, besar, simpel, maupun rumit.
Pengunjung sedang dijelaskan proses pembuatan batik |
Sama seperti museum-museum lainnya yang
sudah saya ulas, di museum ini hanya ada satu pintu untuk masuk-keluar. Di
samping pintu tersebut, ada ruangan di mana berbagai benda berbatik dijual.
Jadi tidak hanya pakaian, tapi juga tas, payung, helm, bahkan pembersih khusus
batik. Di seberang museum terdapat taman yang luas dengan pemandangan yang enak
dilihat.
Sejarah
itu bagai es krim Canary
Museum tidak harus menyajikan sejarah,
bisa pula kebudayaan. Museum bahkan tidak harus berupa bangunan, seperti yang
digiatkan komunitas Aleut bahwa mempelajari hal-hal tersebut dapat pula
dilakukan sambil jalan-jalan di luar ruangan.
Setelah mengumpulkan uang seridlonya,
lalu menyelipkannya di buku tamu (YA, tidak ada kenclengan atau apa), kami pun
janjian untuk bertemu lagi di Canary. Lagi-lagi Fida yang mengusulkan ini. Pras
bermotor dengan Nuhe sedang Fida yang juga bermotor tidak bawa helm selain untuk
dirinya saja. Biarpun pos polisi di Kota Bandung tampak tak sebanyak pos polisi
di Kota Jogja, namun saya tidak mau lagi bermotor tanpa helm sejak ditilang
karena hal tersebut di perempatan Jalan Kaliurang. Maka saya pun jalan kaki.
“Sedih pisan,” kata Nuhe. “Saya enggak sedih, saya kuat,” kilah saya. Ternyata
malah saya yang paling cepat sampai di tujuan. Mana ada “macet” dalam kamus
pedestrian, kecuali dalam antrian di loket ha-ha-ha!
Canary bukan museum, melainkan toko roti
dan kue di ujung Jalan Braga yang berlapisan batu andesit. Wangi roti biasa
menguar dari toko itu sampai ke jalan. Di sana, grup payah sejarah ini memesan
menu es krim yang berbeda: Vanila-lupa (16 K, Fida), Banana Split (17,5 K,
saya); Coconut Royale (17,5K, Pras); dan Sleeping Beauty (17,5 K, Nuhe). Di
wadah kami masing-masing (saya bak mandi mini, Pras ¾ kelapa, sedang Fida dan
Nuhe sebagaimana wadah es krim lazimnya), setidaknya kami mendapat tiga tangkup
es krim—oh, Nuhe dapat empat! Dengan harga sedikit lebih, milik saya, Pras, dan
Nuhe sedikit lebih sehat juga dari milik Fida. Saya dapat pisang, Pras kelapa,
sedang Nuhe anggur. Potongan wafer milik Fida dengan potongan wafer milik Nuhe
ternyata pas bila disatukan! Pras dapat potongan wafer juga sedang saya tidak.
Saya harus minta potongan wafer satu lagi ke dapur toko ini kalau begitu,
supaya saya dan Pras bisa menyusul Fida dan Nuhe ke dunia lain. (#hah?)
Baru kali saya kenyang makan es krim,
karena menghabiskan punya Nuhe juga sih. Fida merasa es krimnya rada pahit. Dia
juga sudah kenyang sementara es krimnya masih sisa lumayan. Saya enggan menghabiskan
punyanya karena sama dia sudah ditiup-tiup begitu es krimnya supaya cepat
mencair sehingga dia bisa lebih menikmatinya. Fida mensinyalir es krim di sini
mengandung banyak pengawet. Saya pun menceritakan pada mereka tentang toko
bernama Tip Top di Kota Jogja, sudah berdiri sejak Bude saya SMP, yang mana
produk es krimnya konon tidak mengandung pengawet—hanya bahan alami—sehingga
lekas mencair. Tapi mana kenyang dengan satu tangkup yang mencapai 15K?
Saya juga cerita tentang Taman Tegallega
di mana pengunjung harus bayar 1K untuk masuk tapi kondisi sangkar burungnya
bagai pusat penelitian dinosaurus di Pulau Isla Sorna yang sudah lama
ditinggalkan para pekerjanya. Tidak heran juga museum yang baru kami kunjungi
hari itu kerap dianggap menyeramkan. Bagaimana tidak menyeramkan kalau
tahu-tahu kita tertimpa atap saat sedang mengamati foto-foto para korban
pembantaian? Di ITC Kebon Kelapa juga, kita harus membayar untuk menggunakan toilet
yang tidak beres kerannya. Seandainya saja tiap museum, taman, dan toilet juga
punya sahabat seperti Museum KAA punya. Kamu yang mengaku suka bersahabat, mau?
Maka melahap sejarah itu sebagaimana
mengudap es krim Canary. Ketika es krim dihidangkan, seketika itu kita tertarik
untuk mencicipinya. Begitupun ketika kita terlanjur masuk museum, kaki kita
terus melangkah untuk mengetahui koleksi apa saja yang disajikan. Selanjutnya
kita bisa memutuskan untuk menghabiskan es krim tersebut atau tidak ketika kita
mulai kenyang. Begitupun dengan sejarah. Ketika kita sudah keluar dari museum
tersebut, kita bisa memutuskan apakah kita hendak lebih jauh mendalami sejarah
atau meninggalkannya begitu saja setelah tahu sekilas. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar