Cerita
dan Nyata
Klara mati.
Aku
menemukannya terbujur kaku di halaman rumah. Di bawah rahangnya yang sedikit
menganga, rumput tampak lengket oleh cairan yang kuduga berasal dari mulutnya.
Matanya yang terbuka menyorotkan kekosongan.
Pasti ia
mati gara-gara makan tumbuhan liar di halaman ini, mungkin juga halaman
tetangga.
Halaman
rumah ini beracun.
Aku mengetahuinya dari majalah langgananku kalau makan
tumbuhan bisa menyebabkan keracunan.[1] Aku
menyesal karena terlambat membacanya. Edisi yang memuat artikel itu harusnya
terbit lebih cepat.
Seharusnya aku tidak membiarkan kucingku jadi vegetarian.
Klara tidak pernah makan daging. Di samping rumput halaman, ia selalu makan
Whiskas.
Ini juga salah kakakku yang baru sekarang mengingatkanku. Ia juga
tidak pernah menaruh perhatian pada Klara. Ia bahkan tidak ngeh betapa
kehadiran Klara sangat berguna di rumah ini. Ia hanya bisa mengeluh ketika
tikus-tikus kembali menguasai dapur, menyelinap dari kamar ke kamar, lalu
mengagetkannya saat tahu-tahu ada yang nongol dari lubang WC.
Ayah telah membeli beberapa perangkap. Ia menaruhnya di
ruangan-ruangan yang berbeda. Setelah berhari-hari, tidak ada satu tikus pun
yang terjerat.
“Mungkin harus pakai lem,” celoteh Ayah suatu hari. Maka ia
membeli lem tikus. Setelah berhari-hari, nihil hasilnya.
“Ya sudah kita biarkan saja. Barangkali suatu hari nanti
bakal ada yang kena,” ucap Ayah lagi suatu ketika. Ia tidak putus asa
menyiapkan perangkap-perangkap dan beberapa potongan kardus berlumuran lem
setiap malam.
Sebenarnya aku memiliki satu cara lagi. Aku memperolehnya
bukan dari bisikan aneh seperti dalam suatu cerita di majalah langgananku.
Tepatnya, aku mengetahui adanya cara tersebut dari cerita itu. Dalam cerita
itu, tikus-tikus yang merajalela di kota dapat diatasi dengan memajang lukisan
kucing di mana-mana.[2]
Aku mengumpulkan berlembar-lembar kertas polos besar. Setiap
kertas aku gambari dengan sosok kucing. Ada yang mukanya saja, ada yang beserta
seluruh tubuhnya, ada yang tampak samping, ada yang di atas rumah, ada yang
bersama anaknya atau pacarnya, ada yang mengenakan topeng, ada yang berkelompok.
Aku buat tampang mereka sesangar mungkin. Tikus-tikus itu akan ketakutan
melihatnya dan tidak lagi berani menginjak tegel rumah ini. Aku gunakan spidol,
krayon, pensil warna, cat air, dan berbagai pewarna lain yang bisa aku temukan.
Aku menempelkan gambar-gambar yang sudah jadi di dinding
setiap ruangan. Mulanya keluargaku heran dengan ulahku. Ketika mengetahui
alasanku sebenarnya, mereka terpingkal-pingkal. Tapi aku terus membuat
gambar-gambar. Sebagaimana kata Ayah dan kata bisikan aneh dalam cerita itu,
suatu hari aku akan kaya raya karena tidak melukis apapun selain kucing.
Aku menyadari bahwa Ayah dan cerita itu tidak bisa diharapkan,
ketika aku mendapati beberapa butir kotoran tikus di atas gambar kucingku yang
belum jadi.
Aku menumpahkan kekecewaanku dalam surat. Sudah beberapa
bulan ini aku berkorespondensi dengan pengarang cerita favoritku. Ia seorang
wanita dewasa yang tinggal di Yogyakarta. Aku ingin bisa menulis cerita yang
bagus seperti dirinya. Ia yang memberiku semangat supaya aku terus mengarang
cerita. Namanya Kak Windi. Meski surat-menyurat dianggap ketinggalan zaman,
namun kata Kak Windi ini latihan yang bagus bagi calon penulis.
Melalui surat balasannya, Kak Windi bilang bahwa cerita itu
tidak bermaksud mengelabuiku. Ia bilang, seperti pelukis kucing dalam cerita
itu, aku harus mengikuti kata hatiku. Lalu aku harus meyakini apa yang aku
lakukan akan bermanfaat bagiku suatu hari nanti. Semangatku pun bangkit lagi.
Aku kembali mendekati gambar-gambar buatanku. Kuamat-amati
dan kusadari bahwa gambarku ternyata bagus juga. Mungkin aku bisa menggambar
tidak hanya kucing, tapi juga komik. Mungkin aku bisa menghadiahi komik
buatanku sendiri pada temanku yang akan mengadakan pesta ulang tahun dua hari
lagi. Ini akan lebih baik ketimbang meminta uang orangtuaku. Biaya kuliah
kakakku semester lalu membuat mereka uring-uringan.
Maka aku mengumpulkan lebih banyak kertas polos. Dari
berbagai gambar kucing yang telah aku buat, aku bisa membayangkan bagaimana
jadinya jika kucing-kucing tersebut hidup. Dengan segera aku larut pada
keasyikan menggambarkan cerita yang berjalan dalam kepalaku dengan pensil,
penghapus, dan penggaris. Lalu aku menebalkan gambarku tersebut dengan spidol.
Tebal komikku sekitar dua puluh halaman. Aku membuat sendiri
sampulnya dari karton. Ilustrasinya kubuat berwarna. Kujuduli komik itu:
“Klara, aksi kucing genit dan kawan-kawan menumpas laskar tikus”.
Meski kadoku paling tipis sendiri ketimbang kado dari
teman-teman lain yang mungkin berisi mobil Crush Gear, robot, pistol-pistolan,
atau pasukan tentara, namun aku bangga. Kadoku tidak ada duanya. Aku mungkin
bisa setenar J. K. Rowling suatu hari nanti.
Begitu Bomantara membuka kadonya, ia akan sangat
terkagum-kagum. Ia akan membawa komikku ke sekolah esok harinya lalu
memamerkannya pada teman-teman yang lain. Mereka akan menghujaniku dengan
pujian dan minta dibuatkan komik juga. Seperti itulah cerita yang kubaca di
majalah langgananku mengenai seorang anak yang memberi komik buatannya sendiri pada
temannya yang berulang tahun.[3]
Bayangan ini membuat semangatku menyala-nyala sepulangnya aku
dari pesta ulang tahun. Kelanjutan cerita tentang almarhumah Klara dan
kawan-kawannya mengisi benakku semalaman itu. Aku menggambar sampai aku sangat
mengantuk pada larut malam.
Aku sangat sulit dibangunkan paginya. Itu membuatku
terburu-buru supaya bisa sampai sekolah tepat waktu. Apalagi hari ini adalah
hari Senin, ada upacara bendera. Kalau aku sampai telat, bisa-bisa aku harus
berdiri di depan lapangan sampai upacara usai.
Namun meskipun aku bisa sampai sekolah sebelum upacara
dimulai, aku tetap tidak bisa mengikutinya. Akibat terburu-buru tadi, aku lupa
pakai sepatu. Aku masih memakai selop rumah dengan kepala kelinci di ujung
kaki.
Sementara teman-temanku bergegas ke lapangan dengan memakai
topi, aku duduk saja di bangkuku untuk menyembunyikan kaki. Sebenarnya aku agak
bersyukur karena aku tidak ikut upacara. Capek sekali harus berdiri, aku tidak
pernah menghitung lamanya tapi rasanya seperti berjam-jam. Mendengarkan pidato
yang tidak menarik sangat membosankan. Mengobrol dengan teman malah mendatangkan
hukuman. Belum kalau cuaca sedang terik sehingga aku kepanasan. Suaraku juga
jelek saat menyanyikan lagu-lagu wajib sehingga bisa bikin telinga
teman-temanku kesakitan.
Namun sayangnya, absenku diketahui Bu Guru. Ia menghampiriku
dan bertanya, “Tusitala, kenapa enggak ikut upacara?”
Malu-malu kujelaskan keadaanku. Kuperlihatkan padanya selop
kelinci kesayanganku.
Untunglah Bu Guru orang yang baik hati. Ia bisa mengerti
keadaanku dan ingin menghiburku, “Tusitala, setiap orang pasti pernah berbuat kesalahan…”
…aku tidak merasa bersalah karena telah berusaha menghasilkan
karya…
“…tapi lebih baik kalau kamu belajar disiplin dan mengatur
diri.”
Ia menawarkanku sepatu yang ada di ruang UKS. Tidak ada
seorang pun yang tahu itu sepatu siapa, tapi barangkali saja muat di kakiku.
Tunggu, ini mulai seperti cerita lainnya di majalah langgananku. Kalau sepatu
itu muat di kakiku, itu berarti aku akan ikut upacara. Aku tidak mau. Aku lebih
suka keadaanku yang sekarang, bahkan meskipun aku harus malu nantinya jika
ketahuan teman-teman... Aku bukan bocah yang kelamaan main PS sehingga bangun
kesiangan seperti dalam cerita itu. [4] Aku
berhak mendapatkan istirahat setelah semalaman bekerja keras mengerahkan
potensiku.
Aku menolak. Bu Guru memarahiku karena aku tidak nasionalis.
Kejadian itu membuatku jadi kurang bersemangat setelahnya.
Kakiku masih sakit karena sepatu di ruang UKS ternyata tidak muat namun aku
tetap harus ikut berdiri di lapangan. Aku tidak konsentrasi saat pelajaran. Aku
lebih memikirkan bagaimana komikku di tangan Bomantara. Ketika pergantian
pelajaran, barulah apa yang aku harap-harapkan tampak akan terjadi.
Beberapa orang mengerumuni Bomantara yang sedang memegang
komikku. Aku terus mengamati mereka sampai mereka mendekatiku.
“Wah, kamu hebat ya, Uta, bisa bikin komik,” puji Dema.
Kesenangan langsung menyergapku. Setelah ini teman-teman akan memintaku
membuatkan komik untuk mereka.
“Hebat sih hebat. Tapi cerita apaan nih?!” Bomantara
meletakkan komikku di hadapanku—aku tidak mau menggunakan kata “membanting”. Teman-teman
yang tadinya memandangiku dengan sorot memuji sontak terdiam. Bomantara adalah
penguasa di kelas ini. “Aku enggak suka cerita kucing-kucingan kayak gini. Kucingnya
cewek lagi. Aku tuh sukanya robot! Bagus lagi kalau robot kucing yang punya
kantong ajaib! ”
Kepergian Bomantara menyeret teman-teman lainnya untuk
menjauhiku juga. Kelinci yang tersenyum di kolong bangkuku sama sekali tidak
menghiburku.
Aku pulang dari sekolah dengan lesu. Begitu sampai di rumah,
aku mengeluarkan semua koleksi majalah anak dari kamarku. Aku tidak mau melihat
mereka lagi. Aku ingin berhenti langganan.
Ibu yang mendapatiku sedang memindah-mindahkan tumpukan
majalah pun mendekatiku. “Kenapa Sayang, kok cemberut?”
“Habis kenyataan itu menyakitkan.”
Ibu tampak kaget dengan ucapanku. “Kenapa?”
“Aku enggak mau baca cerita-cerita di majalah itu lagi. Habis
enggak sesuai kenyataan.” Membaca novel dewasa mungkin akan membuatku lebih
kuat dalam menghadapi kenyataan. Setelah ini aku akan meminta Ibu mengantarku
ke toko buku untuk memborong.
Ibu makin mengernyit. “Jangan gitu Uta...” katanya. Ia
jelaskan betapa cerita-cerita di majalah anak langgananku itu sangat dekat
dengan kehidupan sehari-hari. Beberapa bahkan menceritakan keadaan yang tidak
lebih baik dari keadaanku. “Ada anak yang cuman punya papa atau mama aja.
Orangtuanya juga enggak begitu mampu. Supaya anaknya bisa beli kado buat
temennya aja, mamanya harus kerja keras.” Sementara aku masih punya kedua
orangtua kandung yang sanggup menjadikan hidupku dan kakakku berkecukupan.
Ibuku juga bilang kalau cerita dewasa, bahkan cerita remaja,
belum tentu lebih baik dari cerita anak. Hidup menjadi lebih susah karena kita
mulai menyukai seseorang dan mengejarnya tapi tidak kesampaian. Orangtua
memecundangi anak-anak dengan tidak menerapkan apa yang mereka sendiri katakan.
Persinggungan tidak bisa diselesaikan hanya dengan minta maaf melainkan
bunuh-bunuhan.
Para penulis yang laris justru yang mampu menyajikan kembali
kemurnian dunia anak-anak yang penuh harapan. Hidup memang susah bagi siapapun,
tapi biar orang dewasa yang memikirkan, anak-anak tak perlu menganggap itu urusan.
Dengan demikian, dunia anak-anak akan selalu tampak lebih arif bagi orang
dewasa yang dunianya sudah dikotori berbagai manipulasi dan konspirasi. “Bersyukurlah
menjadi anak-anak, Tusitala,” kata Ibu.
Aku terperangah. Aku tidak benar-benar memahami apa yang Ibu
terangkan. Tapi itu cukup berhasil membuatku memindahkan kembali koleksi
majalah yang pernah amat kusayangi.
Setelahnya, aku merenungkan bahwa cerita-cerita yang kubaca
di majalah tersebut memang dekat dengan apa yang aku alami. Inilah cerita yang
tepat untukku. Kendati kenyataan kerap tidak sesuai, namun aku tetap wajib
membacanya untuk menyemai mimpi-mimpiku yang mulai bertumbuhan. Aku ingin bisa
menjadi penyebar inspirasi sebagaimana para penulis cerita-cerita yang kubaca.
Memang aku masih anak-anak. Dengan mudah aku melupakan kesedihanku
itu, apalagi setelah aku menumpahkannya dalam surat untuk Kak Windi. Aku tuangkan
kata-kata ibuku di sana supaya aku terkesan pintar.
Aku mendapatkan balasan dari Kak Windi seminggu kemudian. Ia
tersanjung akan pujianku atas jasanya dalam membentuk sikap anak—meskipun para
pembacanya mungkin akan melupakan itu ketika mereka besar.
Ketika kukatakan padanya bahwa aku ingin sepertinya, ia
menceritakan hal yang mendorongnya untuk menjadi penulis cerita anak. Ia
sengaja tidak berumah tangga. Ada kelainan di rahimnya sehingga ia tidak bisa
punya anak. Maka ia menyalurkan kerinduannya untuk memiliki anak dengan menulis
cerita di majalah anak-anak.
Aku heran kenapa ia tidak mengambil anak dari panti asuhan saja.
Atau mungkin ia tidak melakukan itu supaya proses kreatifnya jalan terus?
Ia mengajakku untuk berkunjung ke rumahnya di kaki Gunung
Merapi pada liburan besok. Keluargaku juga boleh kubawa.
O o. Lagi aku menyadari bahwa cerita anak yang pernah kubaca
begitu nyata terjadi pada kehidupanku. Penulis cerita yang ditemui anak dalam
cerita tersebut sangat modis dan keibuan hingga ayahnya yang sudah duda
kemudian menikahi wanita tersebut.[5] Masalahnya,
bagaimana kalau ayahku yang bukan duda tertarik juga pada wanita itu—sebagaimana
dalam cerita?
Ah tapi jangan begitu saja percaya pada cerita. Kalau ternyata
ia memang sebegitu modis dan keibuan, cerita yang kubaca telah membuatku
waspada. Jangan sampai hidupku sebagaimana yang terjadi dalam cerita tersebut.
Aku tulis balasanku. Aku bilang padanya kalau aku akan
pikir-pikir dulu.
14 Februari 2012
[1] “Makan apa kucingmu?” dalam “Tips Oke Buat Peliharaanmu” (Bobo 05 Tahun XXXV 10 Mei 2007 Rp 13.500,00)
[2] Cerpen “Lukisan Kucing”
oleh Veronica Widyastuti (Bobo 01 Tahun XXXIII 14 April 2005 Rp 6.000,00)
[3] Cerpen “Hadiah dari
Andi” oleh Nina Agustina (Bobo 01 Tahun XXXIII 14 April 2005 Rp 6.000,00)
[4] Cerpen “Karena Bangun
Kesiangan” oleh Devi T. Royan (Bobo 05 Tahun XXXV 10 Mei 2007 Rp 13.500,00)
[5] Cerpen “Oh, Windi” oleh
Windi (Bobo 01 Tahun XXXIII 14 April 2005 Rp 6.000,00)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar