Rabu, 15 Februari 2012

Cerita Anak

Cerita dan Nyata

 

 

            Klara mati.

            Aku menemukannya terbujur kaku di halaman rumah. Di bawah rahangnya yang sedikit menganga, rumput tampak lengket oleh cairan yang kuduga berasal dari mulutnya. Matanya yang terbuka menyorotkan kekosongan.

            Pasti ia mati gara-gara makan tumbuhan liar di halaman ini, mungkin juga halaman tetangga.

            Halaman rumah ini beracun.

Aku mengetahuinya dari majalah langgananku kalau makan tumbuhan bisa menyebabkan keracunan.[1] Aku menyesal karena terlambat membacanya. Edisi yang memuat artikel itu harusnya terbit lebih cepat.

Seharusnya aku tidak membiarkan kucingku jadi vegetarian. Klara tidak pernah makan daging. Di samping rumput halaman, ia selalu makan Whiskas.

Ini juga salah kakakku yang baru sekarang mengingatkanku. Ia juga tidak pernah menaruh perhatian pada Klara. Ia bahkan tidak ngeh betapa kehadiran Klara sangat berguna di rumah ini. Ia hanya bisa mengeluh ketika tikus-tikus kembali menguasai dapur, menyelinap dari kamar ke kamar, lalu mengagetkannya saat tahu-tahu ada yang nongol dari lubang WC.

Ayah telah membeli beberapa perangkap. Ia menaruhnya di ruangan-ruangan yang berbeda. Setelah berhari-hari, tidak ada satu tikus pun yang terjerat.

“Mungkin harus pakai lem,” celoteh Ayah suatu hari. Maka ia membeli lem tikus. Setelah berhari-hari, nihil hasilnya.

“Ya sudah kita biarkan saja. Barangkali suatu hari nanti bakal ada yang kena,” ucap Ayah lagi suatu ketika. Ia tidak putus asa menyiapkan perangkap-perangkap dan beberapa potongan kardus berlumuran lem setiap malam.

Sebenarnya aku memiliki satu cara lagi. Aku memperolehnya bukan dari bisikan aneh seperti dalam suatu cerita di majalah langgananku. Tepatnya, aku mengetahui adanya cara tersebut dari cerita itu. Dalam cerita itu, tikus-tikus yang merajalela di kota dapat diatasi dengan memajang lukisan kucing di mana-mana.[2]

Aku mengumpulkan berlembar-lembar kertas polos besar. Setiap kertas aku gambari dengan sosok kucing. Ada yang mukanya saja, ada yang beserta seluruh tubuhnya, ada yang tampak samping, ada yang di atas rumah, ada yang bersama anaknya atau pacarnya, ada yang mengenakan topeng, ada yang berkelompok. Aku buat tampang mereka sesangar mungkin. Tikus-tikus itu akan ketakutan melihatnya dan tidak lagi berani menginjak tegel rumah ini. Aku gunakan spidol, krayon, pensil warna, cat air, dan berbagai pewarna lain yang bisa aku temukan.

Aku menempelkan gambar-gambar yang sudah jadi di dinding setiap ruangan. Mulanya keluargaku heran dengan ulahku. Ketika mengetahui alasanku sebenarnya, mereka terpingkal-pingkal. Tapi aku terus membuat gambar-gambar. Sebagaimana kata Ayah dan kata bisikan aneh dalam cerita itu, suatu hari aku akan kaya raya karena tidak melukis apapun selain kucing.

Aku menyadari bahwa Ayah dan cerita itu tidak bisa diharapkan, ketika aku mendapati beberapa butir kotoran tikus di atas gambar kucingku yang belum jadi.

Aku menumpahkan kekecewaanku dalam surat. Sudah beberapa bulan ini aku berkorespondensi dengan pengarang cerita favoritku. Ia seorang wanita dewasa yang tinggal di Yogyakarta. Aku ingin bisa menulis cerita yang bagus seperti dirinya. Ia yang memberiku semangat supaya aku terus mengarang cerita. Namanya Kak Windi. Meski surat-menyurat dianggap ketinggalan zaman, namun kata Kak Windi ini latihan yang bagus bagi calon penulis.

Melalui surat balasannya, Kak Windi bilang bahwa cerita itu tidak bermaksud mengelabuiku. Ia bilang, seperti pelukis kucing dalam cerita itu, aku harus mengikuti kata hatiku. Lalu aku harus meyakini apa yang aku lakukan akan bermanfaat bagiku suatu hari nanti. Semangatku pun bangkit lagi.

Aku kembali mendekati gambar-gambar buatanku. Kuamat-amati dan kusadari bahwa gambarku ternyata bagus juga. Mungkin aku bisa menggambar tidak hanya kucing, tapi juga komik. Mungkin aku bisa menghadiahi komik buatanku sendiri pada temanku yang akan mengadakan pesta ulang tahun dua hari lagi. Ini akan lebih baik ketimbang meminta uang orangtuaku. Biaya kuliah kakakku semester lalu membuat mereka uring-uringan.

Maka aku mengumpulkan lebih banyak kertas polos. Dari berbagai gambar kucing yang telah aku buat, aku bisa membayangkan bagaimana jadinya jika kucing-kucing tersebut hidup. Dengan segera aku larut pada keasyikan menggambarkan cerita yang berjalan dalam kepalaku dengan pensil, penghapus, dan penggaris. Lalu aku menebalkan gambarku tersebut dengan spidol.

Tebal komikku sekitar dua puluh halaman. Aku membuat sendiri sampulnya dari karton. Ilustrasinya kubuat berwarna. Kujuduli komik itu: “Klara, aksi kucing genit dan kawan-kawan menumpas laskar tikus”.

Meski kadoku paling tipis sendiri ketimbang kado dari teman-teman lain yang mungkin berisi mobil Crush Gear, robot, pistol-pistolan, atau pasukan tentara, namun aku bangga. Kadoku tidak ada duanya. Aku mungkin bisa setenar J. K. Rowling suatu hari nanti.

Begitu Bomantara membuka kadonya, ia akan sangat terkagum-kagum. Ia akan membawa komikku ke sekolah esok harinya lalu memamerkannya pada teman-teman yang lain. Mereka akan menghujaniku dengan pujian dan minta dibuatkan komik juga. Seperti itulah cerita yang kubaca di majalah langgananku mengenai seorang anak yang memberi komik buatannya sendiri pada temannya yang berulang tahun.[3]

Bayangan ini membuat semangatku menyala-nyala sepulangnya aku dari pesta ulang tahun. Kelanjutan cerita tentang almarhumah Klara dan kawan-kawannya mengisi benakku semalaman itu. Aku menggambar sampai aku sangat mengantuk pada larut malam.

Aku sangat sulit dibangunkan paginya. Itu membuatku terburu-buru supaya bisa sampai sekolah tepat waktu. Apalagi hari ini adalah hari Senin, ada upacara bendera. Kalau aku sampai telat, bisa-bisa aku harus berdiri di depan lapangan sampai upacara usai.

Namun meskipun aku bisa sampai sekolah sebelum upacara dimulai, aku tetap tidak bisa mengikutinya. Akibat terburu-buru tadi, aku lupa pakai sepatu. Aku masih memakai selop rumah dengan kepala kelinci di ujung kaki.

Sementara teman-temanku bergegas ke lapangan dengan memakai topi, aku duduk saja di bangkuku untuk menyembunyikan kaki. Sebenarnya aku agak bersyukur karena aku tidak ikut upacara. Capek sekali harus berdiri, aku tidak pernah menghitung lamanya tapi rasanya seperti berjam-jam. Mendengarkan pidato yang tidak menarik sangat membosankan. Mengobrol dengan teman malah mendatangkan hukuman. Belum kalau cuaca sedang terik sehingga aku kepanasan. Suaraku juga jelek saat menyanyikan lagu-lagu wajib sehingga bisa bikin telinga teman-temanku kesakitan.

Namun sayangnya, absenku diketahui Bu Guru. Ia menghampiriku dan bertanya, “Tusitala, kenapa enggak ikut upacara?”

Malu-malu kujelaskan keadaanku. Kuperlihatkan padanya selop kelinci kesayanganku.

Untunglah Bu Guru orang yang baik hati. Ia bisa mengerti keadaanku dan ingin menghiburku, “Tusitala, setiap orang pasti pernah berbuat kesalahan…”

…aku tidak merasa bersalah karena telah berusaha menghasilkan karya…

“…tapi lebih baik kalau kamu belajar disiplin dan mengatur diri.”

Ia menawarkanku sepatu yang ada di ruang UKS. Tidak ada seorang pun yang tahu itu sepatu siapa, tapi barangkali saja muat di kakiku. Tunggu, ini mulai seperti cerita lainnya di majalah langgananku. Kalau sepatu itu muat di kakiku, itu berarti aku akan ikut upacara. Aku tidak mau. Aku lebih suka keadaanku yang sekarang, bahkan meskipun aku harus malu nantinya jika ketahuan teman-teman... Aku bukan bocah yang kelamaan main PS sehingga bangun kesiangan seperti dalam cerita itu. [4] Aku berhak mendapatkan istirahat setelah semalaman bekerja keras mengerahkan potensiku.

Aku menolak. Bu Guru memarahiku karena aku tidak nasionalis.

Kejadian itu membuatku jadi kurang bersemangat setelahnya. Kakiku masih sakit karena sepatu di ruang UKS ternyata tidak muat namun aku tetap harus ikut berdiri di lapangan. Aku tidak konsentrasi saat pelajaran. Aku lebih memikirkan bagaimana komikku di tangan Bomantara. Ketika pergantian pelajaran, barulah apa yang aku harap-harapkan tampak akan terjadi.

Beberapa orang mengerumuni Bomantara yang sedang memegang komikku. Aku terus mengamati mereka sampai mereka mendekatiku.

“Wah, kamu hebat ya, Uta, bisa bikin komik,” puji Dema. Kesenangan langsung menyergapku. Setelah ini teman-teman akan memintaku membuatkan komik untuk mereka.

“Hebat sih hebat. Tapi cerita apaan nih?!” Bomantara meletakkan komikku di hadapanku—aku tidak mau menggunakan kata “membanting”. Teman-teman yang tadinya memandangiku dengan sorot memuji sontak terdiam. Bomantara adalah penguasa di kelas ini. “Aku enggak suka cerita kucing-kucingan kayak gini. Kucingnya cewek lagi. Aku tuh sukanya robot! Bagus lagi kalau robot kucing yang punya kantong ajaib! ”

Kepergian Bomantara menyeret teman-teman lainnya untuk menjauhiku juga. Kelinci yang tersenyum di kolong bangkuku sama sekali tidak menghiburku.

Aku pulang dari sekolah dengan lesu. Begitu sampai di rumah, aku mengeluarkan semua koleksi majalah anak dari kamarku. Aku tidak mau melihat mereka lagi. Aku ingin berhenti langganan.

Ibu yang mendapatiku sedang memindah-mindahkan tumpukan majalah pun mendekatiku. “Kenapa Sayang, kok cemberut?”

“Habis kenyataan itu menyakitkan.”

Ibu tampak kaget dengan ucapanku. “Kenapa?”

“Aku enggak mau baca cerita-cerita di majalah itu lagi. Habis enggak sesuai kenyataan.” Membaca novel dewasa mungkin akan membuatku lebih kuat dalam menghadapi kenyataan. Setelah ini aku akan meminta Ibu mengantarku ke toko buku untuk memborong.

Ibu makin mengernyit. “Jangan gitu Uta...” katanya. Ia jelaskan betapa cerita-cerita di majalah anak langgananku itu sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Beberapa bahkan menceritakan keadaan yang tidak lebih baik dari keadaanku. “Ada anak yang cuman punya papa atau mama aja. Orangtuanya juga enggak begitu mampu. Supaya anaknya bisa beli kado buat temennya aja, mamanya harus kerja keras.” Sementara aku masih punya kedua orangtua kandung yang sanggup menjadikan hidupku dan kakakku berkecukupan.

Ibuku juga bilang kalau cerita dewasa, bahkan cerita remaja, belum tentu lebih baik dari cerita anak. Hidup menjadi lebih susah karena kita mulai menyukai seseorang dan mengejarnya tapi tidak kesampaian. Orangtua memecundangi anak-anak dengan tidak menerapkan apa yang mereka sendiri katakan. Persinggungan tidak bisa diselesaikan hanya dengan minta maaf melainkan bunuh-bunuhan.

Para penulis yang laris justru yang mampu menyajikan kembali kemurnian dunia anak-anak yang penuh harapan. Hidup memang susah bagi siapapun, tapi biar orang dewasa yang memikirkan, anak-anak tak perlu menganggap itu urusan. Dengan demikian, dunia anak-anak akan selalu tampak lebih arif bagi orang dewasa yang dunianya sudah dikotori berbagai manipulasi dan konspirasi. “Bersyukurlah menjadi anak-anak, Tusitala,” kata Ibu.

Aku terperangah. Aku tidak benar-benar memahami apa yang Ibu terangkan. Tapi itu cukup berhasil membuatku memindahkan kembali koleksi majalah yang pernah amat kusayangi.

Setelahnya, aku merenungkan bahwa cerita-cerita yang kubaca di majalah tersebut memang dekat dengan apa yang aku alami. Inilah cerita yang tepat untukku. Kendati kenyataan kerap tidak sesuai, namun aku tetap wajib membacanya untuk menyemai mimpi-mimpiku yang mulai bertumbuhan. Aku ingin bisa menjadi penyebar inspirasi sebagaimana para penulis cerita-cerita yang kubaca.

Memang aku masih anak-anak. Dengan mudah aku melupakan kesedihanku itu, apalagi setelah aku menumpahkannya dalam surat untuk Kak Windi. Aku tuangkan kata-kata ibuku di sana supaya aku terkesan pintar.

Aku mendapatkan balasan dari Kak Windi seminggu kemudian. Ia tersanjung akan pujianku atas jasanya dalam membentuk sikap anak—meskipun para pembacanya mungkin akan melupakan itu ketika mereka besar.

Ketika kukatakan padanya bahwa aku ingin sepertinya, ia menceritakan hal yang mendorongnya untuk menjadi penulis cerita anak. Ia sengaja tidak berumah tangga. Ada kelainan di rahimnya sehingga ia tidak bisa punya anak. Maka ia menyalurkan kerinduannya untuk memiliki anak dengan menulis cerita di majalah anak-anak.

Aku heran kenapa ia tidak mengambil anak dari panti asuhan saja. Atau mungkin ia tidak melakukan itu supaya proses kreatifnya jalan terus?

Ia mengajakku untuk berkunjung ke rumahnya di kaki Gunung Merapi pada liburan besok. Keluargaku juga boleh kubawa.

O o. Lagi aku menyadari bahwa cerita anak yang pernah kubaca begitu nyata terjadi pada kehidupanku. Penulis cerita yang ditemui anak dalam cerita tersebut sangat modis dan keibuan hingga ayahnya yang sudah duda kemudian menikahi wanita tersebut.[5] Masalahnya, bagaimana kalau ayahku yang bukan duda tertarik juga pada wanita itu—sebagaimana dalam cerita?

Ah tapi jangan begitu saja percaya pada cerita. Kalau ternyata ia memang sebegitu modis dan keibuan, cerita yang kubaca telah membuatku waspada. Jangan sampai hidupku sebagaimana yang terjadi dalam cerita tersebut.

Aku tulis balasanku. Aku bilang padanya kalau aku akan pikir-pikir dulu.

 

14 Februari 2012



[1] “Makan apa kucingmu?” dalam “Tips Oke Buat Peliharaanmu” (Bobo 05 Tahun XXXV 10 Mei 2007 Rp 13.500,00)

[2] Cerpen “Lukisan Kucing” oleh Veronica Widyastuti (Bobo 01 Tahun XXXIII 14 April 2005 Rp 6.000,00)

[3] Cerpen “Hadiah dari Andi” oleh Nina Agustina (Bobo 01 Tahun XXXIII 14 April 2005 Rp 6.000,00)

[4] Cerpen “Karena Bangun Kesiangan” oleh Devi T. Royan (Bobo 05 Tahun XXXV 10 Mei 2007 Rp 13.500,00)

[5] Cerpen “Oh, Windi” oleh Windi (Bobo 01 Tahun XXXIII 14 April 2005 Rp 6.000,00)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain