Minggu, 19 Februari 2012

Alina

 

Pagi.

Alina menyambutku dengan matanya yang sayu. Kubelai rambutnya yang tinggal titik-titik di kepala. Bagian-bagian yang pernah tersayat pisau bedah kuhindari, tentu saja. Jemariku lanjut ke pelipisnya, wajahnya. Kujawil pipinya pelan, takut mengusik selang oksigen yang melintang di sana.

“…Ma…ma…” senyumnya.

Senyumku untuknya.

“Mama enggak…” suaranya mengecil, “…kerja?” nyaris tak terdengar.

Aku menggeleng.

Ini hari kelimaku di rumah sakit. Beranjak darinya hanya ketika aku perlu ke kamar mandi, membeli makanan dan minuman, menyambut pembesuk, atau memanggil petugas. Sudah sewajarnya ia heran. Tidak apa-apa.

 

Siang.

Biasanya sepi. Tapi sejak beberapa hari lalu Alina mendapatkan teman sekamar, seorang anak SMP yang mengalami kecelakaan hingga sebelah kakinya harus diamputasi. Anak-anak SMP pun meriuhkan ruangan saat jam besuk, sementara aku dan Alina tersingkir dan tergugu. Alina terbaring ke arahku, sementara aku duduk di kursi menghadapnya. Bibirnya bergerak-gerak. Kudekatkan telinga.

“Ma… ma…” ucapnya dengan payah. “Temen-temen.. Ali…na… enggak… nengok.”

Mulutku bungkam. Sudah berminggu-minggu Alina opname. Yang membesuknya bisa dihitung dengan sebelah tangan—keluarga dan kolega dariku atau suami. Kutunggu Alina melanjutkan.

“Ali… na… enggak punya… temen…”

Gadisku merajuk. Kuhadapkan wajahku pada wajahnya.

“Temen-temen Alina juga nanti dateng…” kuharap begitu, “kan kemarin juga udah ditengok sama bu guru?”

Sejenak ia meresponsku dengan kosong.

Begitu ia menarik napas, kudekatkan lagi telinga.

“Ali…na… enggak ada… temen…”

 

Sore.

Alina di ruang operasi. Aku terkulai di bangku tak jauh dari ruangan tersebut. Tak sendiri, Bik Surti segera ke mari begitu menyelesaikan tugas-tugas di rumah.

Berkali-kali Bik Surti menawarkan diri untuk ganti menjaga Alina. Berkali-kali suami menyuruhku untuk membiarkan Bik Surti ganti menjaga Alina. Tidak apa-apa.

Bik Surti melulu yang menjaga Alina.

Kini bukan hanya Bik Surti yang tahu bagaimana Alina. Kini akupun tahu apa saja kesukaan Alina, mulai dari makanan, acara TV, pelajaran di sekolah, sampai buku bacaan. Wanita paruh baya itu menceritakannya selama menemaniku.

Begitu banyak yang Bik Surti tahu tentang Alina.

 

Malam.

Alina pernah mengatakannya padaku. Saat pipinya masih tembam, dan rambutnya lurus panjang. Deretan gigi mungilnya yang seputih susu membuat senyumnya makin berseri. “Mama… Alina mau terbang.”

“Terbang? Terbang ke mana?”

Kutemukan jawabannya pada panorama yang sedang ia gambar. Sebuah roket menembus malam. Betapa senang hati, cita-cita anakku begitu tinggi.

Kini Alina mengatakannya padaku lagi. Saat pipinya telah cekung, dan sorot matanya redup. Napasnya terseret-seret, mulutnya terbuka untuk bantu menimba udara. “Ma…ma… Alina mau… terbang.”

“Terbang? Terbang ke mana?”

“…i…kut… malam…”

Pandangannya menerawang ke jendela. Akupun turut menatap gelap yang membentang di atas lelampu perkotaan. Kegundahan sekonyong-konyong menguasaiku. Alina sudah begitu lelah. Tangannya lemas dalam genggamanku.

“Alina…” ucapku, “jangan terbang dulu… ya? Ikut Mama pulang ke rumah aja ya?”

Karena kini Mama akan selalu di rumah untuk Alina, sampai Alina kembali menjadi gadis Mama yang ceria. Mama tidak akan ke kantor lagi meninggalkan Alina. Mama sudah berhenti demi Alina. Alina…

“Ma… ma…” ucapnya, “Mama… sayang… Alina…”

“Iya… Mama sayang Alina.”

Hening ditimpa desahnya yang berat, matanya terpejam lamat-lamat.

Lama aku tidak beranjak dari duduk di tepinya. Akhirnya aku melepas genggaman dari nadinya yang tidak lagi berdenyut.

Kebersamaan yang singkat, Alina, dan telah berakhir. Kenapa kamu tidak memberikan Mama lebih banyak kesempatan, Alina, untuk membuktikan kalau Mama sungguh sayang kamu…

Aku kecup kedua belah pipinya. Aku rebah di sisinya. Aku lekatkan pipiku dengan sebelah pipinya, sebelah tanganku mengusap sebelah pipinya yang lain.

 

#cobainterpretasi

Randy Crawford – One Day I’ll Fly Away

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain