Pagi.
Alina menyambutku
dengan matanya yang sayu. Kubelai rambutnya yang tinggal titik-titik di kepala.
Bagian-bagian yang pernah tersayat pisau bedah kuhindari, tentu saja. Jemariku
lanjut ke pelipisnya, wajahnya. Kujawil pipinya pelan, takut mengusik selang
oksigen yang melintang di sana.
“…Ma…ma…” senyumnya.
Senyumku untuknya.
“Mama enggak…” suaranya mengecil, “…kerja?” nyaris tak
terdengar.
Aku menggeleng.
Ini hari kelimaku di rumah sakit. Beranjak darinya hanya
ketika aku perlu ke kamar mandi, membeli makanan dan minuman, menyambut
pembesuk, atau memanggil petugas. Sudah sewajarnya ia heran. Tidak apa-apa.
Siang.
Biasanya sepi. Tapi sejak beberapa hari lalu Alina
mendapatkan teman sekamar, seorang anak SMP yang mengalami kecelakaan hingga
sebelah kakinya harus diamputasi. Anak-anak SMP pun meriuhkan ruangan saat jam
besuk, sementara aku dan Alina tersingkir dan tergugu. Alina terbaring ke
arahku, sementara aku duduk di kursi menghadapnya. Bibirnya bergerak-gerak.
Kudekatkan telinga.
“Ma… ma…” ucapnya dengan payah. “Temen-temen.. Ali…na…
enggak… nengok.”
Mulutku bungkam. Sudah berminggu-minggu Alina opname. Yang
membesuknya bisa dihitung dengan sebelah tangan—keluarga dan kolega dariku atau
suami. Kutunggu Alina melanjutkan.
“Ali… na… enggak punya… temen…”
Gadisku merajuk. Kuhadapkan wajahku pada wajahnya.
“Temen-temen Alina juga nanti dateng…” kuharap begitu, “kan
kemarin juga udah ditengok sama bu guru?”
Sejenak ia meresponsku dengan kosong.
Begitu ia menarik napas, kudekatkan lagi telinga.
“Ali…na… enggak ada… temen…”
Sore.
Alina di ruang operasi. Aku terkulai di bangku tak jauh dari
ruangan tersebut. Tak sendiri, Bik Surti segera ke mari begitu menyelesaikan
tugas-tugas di rumah.
Berkali-kali Bik Surti menawarkan diri untuk ganti menjaga
Alina. Berkali-kali suami menyuruhku untuk membiarkan Bik Surti ganti menjaga
Alina. Tidak apa-apa.
Bik Surti melulu yang menjaga Alina.
Kini bukan hanya Bik Surti yang tahu bagaimana Alina. Kini
akupun tahu apa saja kesukaan Alina, mulai dari makanan, acara TV, pelajaran di
sekolah, sampai buku bacaan. Wanita paruh baya itu menceritakannya selama
menemaniku.
Begitu banyak yang Bik Surti tahu tentang Alina.
Malam.
Alina pernah mengatakannya padaku. Saat pipinya masih tembam,
dan rambutnya lurus panjang. Deretan gigi mungilnya yang seputih susu membuat
senyumnya makin berseri. “Mama… Alina mau terbang.”
“Terbang? Terbang ke mana?”
Kutemukan jawabannya pada panorama yang sedang ia gambar.
Sebuah roket menembus malam. Betapa senang hati, cita-cita anakku begitu
tinggi.
Kini Alina mengatakannya padaku lagi. Saat pipinya telah
cekung, dan sorot matanya redup. Napasnya terseret-seret, mulutnya terbuka
untuk bantu menimba udara. “Ma…ma… Alina mau… terbang.”
“Terbang? Terbang ke mana?”
“…i…kut… malam…”
Pandangannya menerawang ke jendela. Akupun turut menatap
gelap yang membentang di atas lelampu perkotaan. Kegundahan sekonyong-konyong
menguasaiku. Alina sudah begitu lelah. Tangannya lemas dalam genggamanku.
“Alina…” ucapku, “jangan terbang dulu… ya? Ikut Mama pulang
ke rumah aja ya?”
Karena kini Mama akan selalu di rumah untuk Alina, sampai
Alina kembali menjadi gadis Mama yang ceria. Mama tidak akan ke kantor lagi
meninggalkan Alina. Mama sudah berhenti demi Alina. Alina…
“Ma… ma…” ucapnya, “Mama… sayang… Alina…”
“Iya… Mama sayang Alina.”
Hening ditimpa desahnya yang berat, matanya terpejam
lamat-lamat.
Lama aku tidak beranjak dari duduk di tepinya. Akhirnya aku
melepas genggaman dari nadinya yang tidak lagi berdenyut.
Kebersamaan yang singkat, Alina, dan telah berakhir. Kenapa
kamu tidak memberikan Mama lebih banyak kesempatan, Alina, untuk membuktikan
kalau Mama sungguh sayang kamu…
Aku kecup kedua belah pipinya. Aku rebah di sisinya. Aku
lekatkan pipiku dengan sebelah pipinya, sebelah tanganku mengusap sebelah
pipinya yang lain.
#cobainterpretasi
Randy Crawford – One Day I’ll Fly Away
Tidak ada komentar:
Posting Komentar