Pertanian lekat dengan isu ketahanan pangan. Masyarakat yang kelaparan akan menimbulkan kekacauan. Ketahanan pangan berarti ketahanan nasional. Namun sebagian masyarakat masih mendiskreditkan citra petani. Meski demikian, gerakan Indonesia Berkebun yang dicetuskan Ridwan Kamil ternyata mampu menghimpun animo besar besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia.
Semangat inilah yang hendak disusupkan ke dalam jiwa
puluhan hingga seratusan pemuda-pemudi yang hadir di Bale Santika Tanginas
Waras Binekas UNPAD pada Sabtu (18/02/12) sejak sekitar pukul 08.00 WIB hingga
siang. Dengan tajuk “Dengan semangat pemudamu, kembangkan pertanian di daerahmu
dan ciptakan inovasi ramah lingkungan”, seminar nasional ini mengawali
rangkaian kongres nasional International Association of Students in
Agricultural and Related Sciences (IAAS) Indonesia ke-17 yang akan dihelat pada 17-23 Februari 2012
IAAS merupakan organisasi mahasiswa pertanian dari seluruh
dunia yang dibentuk di Tunisia pada tahun 1957. Indonesia merupakan satu dari
40 negara yang menjadi anggota organisasi ini. Sejak tahun 1992, IAAS memiliki
perwakilan dari Indonesia melalui komite lokal di berbagai perguruan tinggi
seperti Universitas Padjajaran, Universitas Diponegoro, Universitas Negeri
Sebelas Maret, Universitas Halualeo, Universitas Brawijaya, dan Institut
Pertanian Bogor. Mulai tahun ini, Universitas Gadjah Mada dan Universitas
Mataram turut menjadi bagian dari IAAS.
Edwin Mokodompit dari UNESCO Desk Youth mengungkapkan bahwa
pertanian bukanlah ranah yang populer di kalangan muda. Sejumlah faktor
penyebab adalah keengganan untuk berkotor-kotor, anggapan bahwa bidang ini
tidak bergengsi dan kurang menjanjikan secara finansial, identik dengan
kemiskinan, serta kurangnya dukungan dari orangtua dan lingkungan. Padahal
pertanian tanpa pemuda bagaikan mesin tanpa bahan bakar, begitu menurut
pembicara yang pernah tampil dalam kontes menyanyi di TV beberapa tahun silam
ini.
Pergerakan pemuda di kota-kota besar di Indonesia yang
bergerak di lingkungan hidup ada banyak, namun yang menyorot pertanian sedikit
sekali. Pemuda perlu mengubah pola pikir agar bisa menerima pertanian sebagai
sesuatu yang signifikan. Moderator Rahyang Nusantara pun menceritakan temannya
sesama mahasiswa pertanian UNPAD yang setelah lulus lebih memilih untuk bekerja
di bank ketimbang di dunia pertanian.
Pencitraan dibutuhkan agar masyarakat tergugah pada
pertanian. Berangkat dari ide mengenai urban
farming yang sudah marak dilakukan di luar negeri, Ridwan Kamil selaku
salah satu pelopor Indonesia Berkebun memanfaatkan jejaring sosial untuk mewujudkan
ide tersebut. Aksi dimulai dengan menyebarkan ide ini di media sosial,
berkolaborasi dengan berbagai pihak yang mendukung, mencari tahu apa saja yang
perlu disiapkan, hingga mengundang masyarakat untuk berpartisipasi. Buah dari
upaya ini adalah Jakarta Berkebun yang berhasil mendatangkan masyarakat ke
kawasan Springhill, Kemayoran. Di sana mereka bisa menyebar benih, menyiram, maupun
berpose di lahan yang sudah dibuat berlarik-larik dan ditanami sebagian. Tiap
larik ditandai dengan nama-nama kota agar lebih menarik.
Pengaruh acara ini ternyata meluas hingga gerakan serupa
diselenggarakan di kota-kota lainnya di Indonesia seperti Medan, Surabaya,
Tasik, Banten, Bandung, Pontianak, Semarang, Padang, Bogor, dan Solo. Pada
tahun 2011, Indonesia Berkebun dianugrahi Google Chrome Web Hero dan Indonesia
Green Award. Tidak hanya itu, berbagai instansi pendidikan seperti perguruan
tinggi dan SD juga ingin berkecimpung dalam kegiatan ini. Pada pagi yang sama
dengan hari berlangsungnya seminar ini, SD Pardomuan Bandung melakukan panen
raya sebagai hasil dari kegiatan Bandung Berkebun.
Menurut arsitek yang akrab dipanggil Kang Emil ini, suatu
gerakan lahir dari adanya permasalahan, isu, atau visi. Ketiganya kemudian
membentuk ide sehingga lahirlah inisiatif. Kita tidak akan bisa mewujudkannya
jika tidak berkolaborasi. Kita mungkin hanya punya ide, waktu, atau jaringan,
namun tiada modal. Padahal keempatnya adalah dasar untuk membuat perubahan. Maka
libatkanlah orang lain, komunitas, bahkan masyarakat lantas kemas kegiatan
dalam bentuk yang mudah dan menyenangkan. Pada mulanya ini sekadar menjadi
tren, lalu gerakan, namun ini diharapkan pula dapat menjadi budaya. Oleh karena
itu partisipasi anak-anak sebagai investasi bagi masa depan sebaiknya tidak
dilewatkan.
Gerakan Indonesia Berkebun yang umumnya diselenggarakan di
kota-kota besar justru melibatkan orang-orang yang awam dalam pertanian. Namun
efek media sosial berhasil menerbitkan semangat mereka untuk berpartisipasi
kendati mereka tidak memahami benar apa yang mereka lakukan. Justru di sinilah
peran kaum muda—mahasiswa pertanian khususnya—untuk menerangi masyarakat dengan
pengetahuan yang mereka timba dari kampus. Dengan demikian, lambat laun tidak
ada lagi P pada singkatan dengan “Pertanian” di dalamnya dipelesetkan kepanjangannya
jadi “Perbankan”.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar