Makam
Freemason
Kami menemukan dua makam dengan simbol Freemason
yaitu seperti dua segitiga (tanpa garis horizontal) yang saling menumpuk secara
terbalik—rada mirip bentuk ketupat.
Salah satu makam dengan simbol Freemason |
Makam pertama yang kami temukan berupa
balok di balik semak, tampak berlumut, yang secara jelas hanya menampilkan
simbol Freemason dan nama jasadnya. Makam berikutnya terletak cukup jauh dari
makam pertama. Yang tertera pada makam tersebut terlihat lebih jelas. Bentuk
makamnya juga lebih lebar dan relatif tampak sebagaimana makam lainnya, namun
informasi yang dicantumkan lebih sedikit. Makam tersebut pernah tertutup
alang-alang, namun saat kami jumpai kemarin keadaannya cukup bersih.
Makam Freemason lainnya |
Menurut Bang Ridwan, selain makam
Freemason ada pula makam yang nisannya hanya berbentuk bintang atau segitiga
kecil. Tidak pasti di mana letaknya, mungkin tanpa sadar kita
menginjak-nginjaknya karena itu tertutup tumbuhan. Dinas Pemakaman dan
Pertamanan yang tahu secara rinci di mana posisi setiap makam karena mereka
memiliki petanya.
Makam
Schumaker
Di bawah makam ini terdapat seorang tokoh besar |
Schumaker bukan saja pembuat sepatu atau
pembalap dari Jerman, dia juga seorang arsitek yang karya-karyanya bertebaran
di Kota Bandung seperti Landmark, Hotel Preanger, Gedung Merdeka, Majestic, beberapa
gereja, masjid di Cipaganti, dan lain-lain. Schumaker yang ini lahir pada 25
Juli 1882 di Ambarawa lalu mengajar di Techni… pokoknya ITB zaman dulu.
Soekarno adalah murid kesayangannya. Soekarno menjadi juru gambar Schumaker
saat dia membuat desain untuk Hotel Preanger. Kakaknya, Richard, juga menjadi
arsitek untuk bangunan SMAN 3 & 5 Bandung serta Villa Merah.
Sebenarnya dia berasal dari militer.
Dari beberapa catatan, dia meninggal dalam keadaan muslim dengan nama Kemal Schumaker.
Sebelum menjadi muslim, dia dikenal rasis. Namun setelah dia memeluk Islam, dia
ikut memperjuangkan persamaan hak. Dia bahkan sempat menunaikan ibadah di tanah
suci dalam suatu lawatan ke Timur Tengah. Dia juga terlibat dalam pembentukan
paguyuban cendekiawan muslim.
Banyak yang tidak ngeh bahwa dia muslim
karena dia juga dikenal misterius. Hewan liar macam ular dan anjing dilepas
begitu saja di halaman rumahnya. Rumahnya kini menjadi sebuah restoran di Jalan
Sawunggaling.
Sekitar tiga tahun lalu, tidak ada
seorang pun yang mengetahui di mana makam Schumaker. Cucu Schumaker datang dari
Belanda karena pernah mendengar bahwa kakeknya terkenal di Indonesia. Ia mencari
makam kakeknya tersebut namun tidak ketemu. Perjumpaannya dengan seseorang yang
ayahnya bekerja untuk Schumaker mengantarkannya ke makam Schumaker yang tidak
terawat itu. Kebetulan ada wartawan yang ikut dan tereksposlah bagaimana
pemerintah kita “menelantarkan” pusara orang yang bisa dibilang ikonnya Kota
Bandung itu. Kisah ini pun sampai pada Guruh Soekarno Putra yang kemudian
membayarkan pajak makam tersebut untuk 20 tahun (setahun 20.000 rupiah). Cek
lebih lanjut di buku “Jendela Bandung” karya Her Suganda (Penerbit KOMPAS).
Sebuah sumber menyebutkan bahwa Schumaker
meninggal di interniran pada masa pendudukan Jepang. Namun ini tidak sesuai
dengan tahun meninggalnya, yaitu masa agresi militer Belanda . Interniran
sendiri berarti tempat semacam kamp konsentrasi di mana para tawanan
dikumpulkan, dalam hal ini orang Belanda. Interniran militer Jepang di Bandung pada
masa itu antara lain berada di Cikudapateuh dan Cihapit.
Begitulah keterangan dari para
narasumber kami. Kali ini bukan lagi Bang Ridwan, tapi ada beberapa yang di
antaranya saya kenali sebagai Mang Asep dan Reza—sang koordinator. Tradisi di
Aleut, pengetahuan tidak harus dari narasumber yang memang tahu materi. Peserta
yang punya pengetahuan terkait juga bisa menambahi.
Ereveld
Gerbang menuju teritorial negara lain |
Di tengah padatnya makam-makam, terdapat
sebuah kompleks eksklusif di kompleks Makam Pandu ini. Kompleks tersebut
bernama Ereveld. Untuk bisa memasukinya, kita harus mengajukan izin pada pengurusnya
di Jakarta—sepertinya berhubungan dengan Kedutaan Belanda atau AS—sejak tiga
bulan sebelum kunjungan. Petugas menyimpan daftar nama keluarga orang-orang
yang dimakamkan di situ untuk mengecek kebenaran identitas pengunjung. Kita
juga tidak diizinkan memotret kendati tidak ada tulisan dilarang memotret
terpajang di sekitar gerbang. Entah apa alasannya, mungkin sekadar privasi.
Aturan ketat ini bisa mengancam karyawan kehilangan pekerjaannya bila dilanggar.
Lain dengan makam-makam di luarnya yang
tidak beraturan serta belum tentu dirawat, pemakaman di dalam Ereveld tampak
tertata dan terpelihara dari kejauhan. Deretan pepohonan di kanan kiri mengantarkan
pengunjung sejak gerbang nan tinggi hingga ke bagian dalam. Tentu saja ada
pihak yang mendanai sehingga kompleks tersebut tampak apik. Ini adalah bentuk
perhatian pemerintah luar terhadap warganya kendati warga tersebut sudah
meninggal dan dimakamkan di tanah negara lain. Kendati lokasinya di
Bandung—Indonesia—tanah tersebut milik pemerintah Belanda karena yang
bersangkutan sudah membelinya. Kata Bang Ridwan, “Jadi (kalau masuk sana—pen)
aslinya harus pakai paspor.”
Ada sekitar 4000 makam di kompleks
seluas 3,5 ha tersebut. Menurut keterangan petugas, yang dimakamkan di sana tidak
hanya orang Eropa yang merupakan bagian dari KNIL. Kita juga bisa mendapati
makam pribumi maupun makam muslim, yaitu mereka yang juga berjasa bagi pemerintah
saat itu.
Ereveld di Pandu merupakan satu dari dua
kompleks sejenis di Bandung (satu lagi di Cimahi) atau dari tujuh yang ada di
Indonesia (antara lain di Semarang dan Surabaya). Tadinya makam-makam di dalam
kompleks ini tersebar di banyak tempat namun kemudian dikumpulkan di
tempat-tempat tertentu agar pengaturannya mudah.
Menurut Bang Ridwan, bentuk makam di Ereveld
hanya ditandai patok salib. Bentuk salib menandakan latar belakang agama dan
jenis kelamin (cek di blog Aleut di wordpress atau multiply).
Makam pejuang tak bernama |
Kontras dengan Ereveld, makam pejuang
Indonesia di Makam Pandu sendiri bercampur dengan makam-makam lainnya yang
umum. Jumlahnya sekitar 34 makam. Apabila identitas yang dimakamkan tak
dikenali—demikian yang banyak kami temui—hanya nomor yang dibubuhkan pada
penanda berupa marmer. Semacam replika bendera Indonesia yang berkibar, terbuat
dari besi, dengan tulisan “PEJUANG” menancap di dekat bagian kepala. Tanggal
mereka meninggal juga tidak diketahui, diperkirakan sekitar tahun 1945 – 1949.
Makam
laci
Laci bukan nama agama, suku, aliran
kepercayaan, maupun orang. Laci adalah tempat menyimpan sesuatu di bawah suatu
permukaan yang bisa ditarik keluar. Di Makam Pandu, laci berarti kerangka di
dalamnya.
Ini laci lo.... |
Sekilas kita melihat permukaan sebuah
dinding dengan kotak-kotak marmer menempel di sepanjangnya hingga membentuk dua
barisan—padahal di atasnya ada makam-makam lagi tapi makam yang “wajar”. Ada 26
“laci” pada masing-masing baris dan ada dua blok makam semacam ini di Makam
Pandu. Pada marmer-marmer tersebut tertera tulisan yang lazim pada nisan. Di
balik marmer itulah, seseorang berbaring untuk selamanya. Ada beberapa laci yang
tidak ditutupi marmer. Mungkin marmer tersebut sudah diambili untuk bikin
martabak.
Benar saja. Kami menemukan kerangka pada
salah satu laci yang terbuka. Saya hanya bisa melihat tengkoraknya saja dan
sesuatu yang seperti kain putih menyelubungi bagian bawahnya. Kerangka tersebut
tidak tampak utuh karena tertimpa pecahan material.
“Sistemnya baut. Baut ini juga
memungkinkan untuk dikerek ulang kalau misalkan mau ditumpuk. Jadi nanti ada
besi empat yang buat menarik. Jadi bisa dibuka tutup ini. Sebagian masih ada
kerangkanya. Dan ada rel. Jadi memasukkannya peti itu di atas rel,” terang Bang
Ridwan. Namun tidak semua marmer ditancapi baut pada ujung-ujungnya. Tahulah
baut itu ke mana.
Aleut pernah mendokumentasikan semua makam
ini lalu mempublikasikannya di multiply. Uwak salah seorang yang dimakamkan di
sini ternyata bekerja di Utrecht Conservation Society. Dia melihat foto
tersebut lalu tertarik dan berkunjung ke Bandung. Maka Aleut pun punya mitra di
Utrecht—sesama pemerhati heritage.
Menurut Bang Ridwan, alasan pemilihan
gaya pemakaman semacam ini hanya supaya simpel saja—penghematan ruang. Di Eropa
pun makam seperti ini sudah biasa. Di blok selanjutnya, laci-laci yang kosong terlihat
lebih rapi. Sebagian ditutupi oleh balok kayu—mungkin sudah disewakan. Bahkan ada
yang tertutup marmer bertulisan nama orang Indonesia.
Makam
Ursone
Berasa dalam videoklip yak |
Ursone adalah seorang peternak sapi
perah, penghasil susu segar, dan pemilik industri susu di Lembang. Saking
banyaknya sapi yang dimiliki, dia bisa mendistribusikan susu hingga 1000-1500
botol ke Belanda. Bandung Milk Center (BMC) yang distributornya bisa dijumpai
di Jalan Aceh merupakan peninggalannya.
Dia memiliki banyak tanah di Lembang.
Lahan yang oleh Bosscha dijadikan observatorium merupakan hibah dari Ursone. Keluarga
Ursone juga dikenal memiliki grup ansambel musik klasik yang suka tampil di
berbagai konser hiburan di Bandung.
Dari gaya makamnya, Ursone merupakan keturunan
Italia. Beberapa nama tercantum pada bagian luar makam tersebut yang
menunjukkan bahwa makam tersebut menampung banyak jasad sekaligus. Selain nama
Ursone, ada nama Van Dijk terselip—mungkin ada hubungan tertentu. Makam Ursone yang
khas ini dipindahkan secara manual pada tahun 1970-an dari pemakaman yang kini
jadi GOR Pajajaran.
Makam
pilot dan kopilot
Sang pilot dan asistennya (salib) |
Tidak hanya makam Ursone yang dilengkapi
dengan patung, ada makam lain dengan patung menyerupai sesosok pilot. Ada dua
makam berdampingan di situ yang mana masing-masing berisi pilot dan kopilotnya.
Sang pilot diperkirakan meninggal pada umur 33 tahun. Sekitar tahun 1925,
sebuah pesawat kecil dengan kapasitas dua awak jatuh di antara Padalarang
dengan Cililin. Kecelakaan ini termuat dalam sejarah dirgantara yang ditulis
oleh seorang menteri.
...selanjutnya: Makam Raymond Kennedy, Makam keluarga Tan, dan Penutup yang tak kalah informatif ;)
Informatip banget
BalasHapusbos, makam laci itu adanya di dalam ereceld atau yang diluar (di lingkungan pemakaman kristen)?
BalasHapusMakasih infonya
BalasHapushttps://bit.ly/2QsS78N