Senin, 13 Februari 2012

Bukan Sekadar Makam – Menilik Makam Pandu bersama Aleut (Bag. 2)

...sebelumnya ada Makam Kristen, Makam Batak, dan Makam China...

Makam Freemason

Kami menemukan dua makam dengan simbol Freemason yaitu seperti dua segitiga (tanpa garis horizontal) yang saling menumpuk secara terbalik—rada mirip bentuk ketupat. 

Salah satu makam dengan simbol Freemason
Makam pertama yang kami temukan berupa balok di balik semak, tampak berlumut, yang secara jelas hanya menampilkan simbol Freemason dan nama jasadnya. Makam berikutnya terletak cukup jauh dari makam pertama. Yang tertera pada makam tersebut terlihat lebih jelas. Bentuk makamnya juga lebih lebar dan relatif tampak sebagaimana makam lainnya, namun informasi yang dicantumkan lebih sedikit. Makam tersebut pernah tertutup alang-alang, namun saat kami jumpai kemarin keadaannya cukup bersih.

Makam Freemason lainnya
Menurut Bang Ridwan, selain makam Freemason ada pula makam yang nisannya hanya berbentuk bintang atau segitiga kecil. Tidak pasti di mana letaknya, mungkin tanpa sadar kita menginjak-nginjaknya karena itu tertutup tumbuhan. Dinas Pemakaman dan Pertamanan yang tahu secara rinci di mana posisi setiap makam karena mereka memiliki petanya.

Makam Schumaker

Di bawah makam ini terdapat seorang tokoh besar
Schumaker bukan saja pembuat sepatu atau pembalap dari Jerman, dia juga seorang arsitek yang karya-karyanya bertebaran di Kota Bandung seperti Landmark, Hotel Preanger, Gedung Merdeka, Majestic, beberapa gereja, masjid di Cipaganti, dan lain-lain. Schumaker yang ini lahir pada 25 Juli 1882 di Ambarawa lalu mengajar di Techni… pokoknya ITB zaman dulu. Soekarno adalah murid kesayangannya. Soekarno menjadi juru gambar Schumaker saat dia membuat desain untuk Hotel Preanger. Kakaknya, Richard, juga menjadi arsitek untuk bangunan SMAN 3 & 5 Bandung serta Villa Merah.

Sebenarnya dia berasal dari militer. Dari beberapa catatan, dia meninggal dalam keadaan muslim dengan nama Kemal Schumaker. Sebelum menjadi muslim, dia dikenal rasis. Namun setelah dia memeluk Islam, dia ikut memperjuangkan persamaan hak. Dia bahkan sempat menunaikan ibadah di tanah suci dalam suatu lawatan ke Timur Tengah. Dia juga terlibat dalam pembentukan paguyuban cendekiawan muslim.

Banyak yang tidak ngeh bahwa dia muslim karena dia juga dikenal misterius. Hewan liar macam ular dan anjing dilepas begitu saja di halaman rumahnya. Rumahnya kini menjadi sebuah restoran di Jalan Sawunggaling.

Sekitar tiga tahun lalu, tidak ada seorang pun yang mengetahui di mana makam Schumaker. Cucu Schumaker datang dari Belanda karena pernah mendengar bahwa kakeknya terkenal di Indonesia. Ia mencari makam kakeknya tersebut namun tidak ketemu. Perjumpaannya dengan seseorang yang ayahnya bekerja untuk Schumaker mengantarkannya ke makam Schumaker yang tidak terawat itu. Kebetulan ada wartawan yang ikut dan tereksposlah bagaimana pemerintah kita “menelantarkan” pusara orang yang bisa dibilang ikonnya Kota Bandung itu. Kisah ini pun sampai pada Guruh Soekarno Putra yang kemudian membayarkan pajak makam tersebut untuk 20 tahun (setahun 20.000 rupiah). Cek lebih lanjut di buku “Jendela Bandung” karya Her Suganda (Penerbit KOMPAS).

Sebuah sumber menyebutkan bahwa Schumaker meninggal di interniran pada masa pendudukan Jepang. Namun ini tidak sesuai dengan tahun meninggalnya, yaitu masa agresi militer Belanda . Interniran sendiri berarti tempat semacam kamp konsentrasi di mana para tawanan dikumpulkan, dalam hal ini orang Belanda. Interniran militer Jepang di Bandung pada masa itu antara lain berada di Cikudapateuh dan Cihapit.

Begitulah keterangan dari para narasumber kami. Kali ini bukan lagi Bang Ridwan, tapi ada beberapa yang di antaranya saya kenali sebagai Mang Asep dan Reza—sang koordinator. Tradisi di Aleut, pengetahuan tidak harus dari narasumber yang memang tahu materi. Peserta yang punya pengetahuan terkait juga bisa menambahi.

Ereveld

Gerbang menuju teritorial negara lain
Di tengah padatnya makam-makam, terdapat sebuah kompleks eksklusif di kompleks Makam Pandu ini. Kompleks tersebut bernama Ereveld. Untuk bisa memasukinya, kita harus mengajukan izin pada pengurusnya di Jakarta—sepertinya berhubungan dengan Kedutaan Belanda atau AS—sejak tiga bulan sebelum kunjungan. Petugas menyimpan daftar nama keluarga orang-orang yang dimakamkan di situ untuk mengecek kebenaran identitas pengunjung. Kita juga tidak diizinkan memotret kendati tidak ada tulisan dilarang memotret terpajang di sekitar gerbang. Entah apa alasannya, mungkin sekadar privasi. Aturan ketat ini bisa mengancam karyawan kehilangan pekerjaannya bila dilanggar.

Lain dengan makam-makam di luarnya yang tidak beraturan serta belum tentu dirawat, pemakaman di dalam Ereveld tampak tertata dan terpelihara dari kejauhan. Deretan pepohonan di kanan kiri mengantarkan pengunjung sejak gerbang nan tinggi hingga ke bagian dalam. Tentu saja ada pihak yang mendanai sehingga kompleks tersebut tampak apik. Ini adalah bentuk perhatian pemerintah luar terhadap warganya kendati warga tersebut sudah meninggal dan dimakamkan di tanah negara lain. Kendati lokasinya di Bandung—Indonesia—tanah tersebut milik pemerintah Belanda karena yang bersangkutan sudah membelinya. Kata Bang Ridwan, “Jadi (kalau masuk sana—pen) aslinya harus pakai paspor.”

Ada sekitar 4000 makam di kompleks seluas 3,5 ha tersebut. Menurut keterangan petugas, yang dimakamkan di sana tidak hanya orang Eropa yang merupakan bagian dari KNIL. Kita juga bisa mendapati makam pribumi maupun makam muslim, yaitu mereka yang juga berjasa bagi pemerintah saat itu.

Ereveld di Pandu merupakan satu dari dua kompleks sejenis di Bandung (satu lagi di Cimahi) atau dari tujuh yang ada di Indonesia (antara lain di Semarang dan Surabaya). Tadinya makam-makam di dalam kompleks ini tersebar di banyak tempat namun kemudian dikumpulkan di tempat-tempat tertentu agar pengaturannya mudah.

Menurut Bang Ridwan, bentuk makam di Ereveld hanya ditandai patok salib. Bentuk salib menandakan latar belakang agama dan jenis kelamin (cek di blog Aleut di wordpress atau multiply).

Makam pejuang tak bernama
Kontras dengan Ereveld, makam pejuang Indonesia di Makam Pandu sendiri bercampur dengan makam-makam lainnya yang umum. Jumlahnya sekitar 34 makam. Apabila identitas yang dimakamkan tak dikenali—demikian yang banyak kami temui—hanya nomor yang dibubuhkan pada penanda berupa marmer. Semacam replika bendera Indonesia yang berkibar, terbuat dari besi, dengan tulisan “PEJUANG” menancap di dekat bagian kepala. Tanggal mereka meninggal juga tidak diketahui, diperkirakan sekitar tahun 1945 – 1949.

Makam laci

Laci bukan nama agama, suku, aliran kepercayaan, maupun orang. Laci adalah tempat menyimpan sesuatu di bawah suatu permukaan yang bisa ditarik keluar. Di Makam Pandu, laci berarti kerangka di dalamnya.

Ini laci lo....
Sekilas kita melihat permukaan sebuah dinding dengan kotak-kotak marmer menempel di sepanjangnya hingga membentuk dua barisan—padahal di atasnya ada makam-makam lagi tapi makam yang “wajar”. Ada 26 “laci” pada masing-masing baris dan ada dua blok makam semacam ini di Makam Pandu. Pada marmer-marmer tersebut tertera tulisan yang lazim pada nisan. Di balik marmer itulah, seseorang berbaring untuk selamanya. Ada beberapa laci yang tidak ditutupi marmer. Mungkin marmer tersebut sudah diambili untuk bikin martabak.

Benar saja. Kami menemukan kerangka pada salah satu laci yang terbuka. Saya hanya bisa melihat tengkoraknya saja dan sesuatu yang seperti kain putih menyelubungi bagian bawahnya. Kerangka tersebut tidak tampak utuh karena tertimpa pecahan material.

“Sistemnya baut. Baut ini juga memungkinkan untuk dikerek ulang kalau misalkan mau ditumpuk. Jadi nanti ada besi empat yang buat menarik. Jadi bisa dibuka tutup ini. Sebagian masih ada kerangkanya. Dan ada rel. Jadi memasukkannya peti itu di atas rel,” terang Bang Ridwan. Namun tidak semua marmer ditancapi baut pada ujung-ujungnya. Tahulah baut itu ke mana.

Aleut pernah mendokumentasikan semua makam ini lalu mempublikasikannya di multiply. Uwak salah seorang yang dimakamkan di sini ternyata bekerja di Utrecht Conservation Society. Dia melihat foto tersebut lalu tertarik dan berkunjung ke Bandung. Maka Aleut pun punya mitra di Utrecht—sesama pemerhati heritage.

Menurut Bang Ridwan, alasan pemilihan gaya pemakaman semacam ini hanya supaya simpel saja—penghematan ruang. Di Eropa pun makam seperti ini sudah biasa. Di blok selanjutnya, laci-laci yang kosong terlihat lebih rapi. Sebagian ditutupi oleh balok kayu—mungkin sudah disewakan. Bahkan ada yang tertutup marmer bertulisan nama orang Indonesia.

Makam Ursone

Berasa dalam videoklip yak
Ursone adalah seorang peternak sapi perah, penghasil susu segar, dan pemilik industri susu di Lembang. Saking banyaknya sapi yang dimiliki, dia bisa mendistribusikan susu hingga 1000-1500 botol ke Belanda. Bandung Milk Center (BMC) yang distributornya bisa dijumpai di Jalan Aceh merupakan peninggalannya.

Dia memiliki banyak tanah di Lembang. Lahan yang oleh Bosscha dijadikan observatorium merupakan hibah dari Ursone. Keluarga Ursone juga dikenal memiliki grup ansambel musik klasik yang suka tampil di berbagai konser hiburan di Bandung.

Dari gaya makamnya, Ursone merupakan keturunan Italia. Beberapa nama tercantum pada bagian luar makam tersebut yang menunjukkan bahwa makam tersebut menampung banyak jasad sekaligus. Selain nama Ursone, ada nama Van Dijk terselip—mungkin ada hubungan tertentu. Makam Ursone yang khas ini dipindahkan secara manual pada tahun 1970-an dari pemakaman yang kini jadi GOR Pajajaran.  

Makam pilot dan kopilot

Sang pilot dan asistennya (salib)
Tidak hanya makam Ursone yang dilengkapi dengan patung, ada makam lain dengan patung menyerupai sesosok pilot. Ada dua makam berdampingan di situ yang mana masing-masing berisi pilot dan kopilotnya. Sang pilot diperkirakan meninggal pada umur 33 tahun. Sekitar tahun 1925, sebuah pesawat kecil dengan kapasitas dua awak jatuh di antara Padalarang dengan Cililin. Kecelakaan ini termuat dalam sejarah dirgantara yang ditulis oleh seorang menteri.

...selanjutnya: Makam Raymond Kennedy, Makam keluarga Tan, dan Penutup yang tak kalah informatif ;)

3 komentar:

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain