Toni Cade Bambara |
“The Lesson” adalah
sebuah cerpen yang ditulis Toni Cade Bambara pada tahun 1972. Dia adalah
penulis wanita kulit hitam dari Amerika Serikat. Cerpen “The Lesson” ditulis
dalam bahasa khas kaum kulit hitam di sana, baik dalam narasi maupun
percakapan. Contohnya,
So we heading down the street and she’s boring us silly about what things cost and what our parents make and how much goes for rent and how money ain’t divided up right in this country.
dan
“Whatcha bring us here for, Miss Moore?”
Cerpen ini baik bagi
mereka yang ingin mempelajari tata bahasa dan EYD dalam bahasa Inggris—semacam
pembelajaran dengan mengoreksi kesalahan begitu.
Saya akan coba
menceritakan ulang cerpen ini dari sudut pandang Miss Moore.
Sebuah Pelajaran
Orang-orang memanggilku Miss Moore. Aku satu-satunya wanita yang tidak punya nama depan di blok ini. Penampilanku bak orang hendak ke gereja, meski aku tidak pernah. Aku berpendidikan—aku pergi ke kampus—dan aku merasa bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anak di lingkungan miskin dan kumuh ini, meski aku tidak punya ikatan darah atau pernikahan apapun dengan mereka. Dengan berbagai cara, aku berhasil membuat para orangtua itu menyerahkan anak-anak mereka padaku.
Suatu hari di musim panas, aku membawa anak-anak didikku berjalan-jalan. Mereka tidak banyak, sekitar delapan orang. Salah satu dari mereka, Sylvia, tampaknya hendak membawa anak didikku lainnya meneror anak-anak Indian. Jadi ketika aku berhasil menyetop dua taksi, aku menggiring sebagian anak ke salah satu taksi bersamaku, sedang sisanya aku titipkan pada Sylvia dengan memberikan 5$ sebagai ongkos taksi satu lagi padanya. Aku harap dia, yang berniat untuk menyabotase perjalanan ini demi kepentingan suka-sukanya, tidak benar-benar mewujudkan niatnya tersebut.
Tujuan kami adalah Fifth Avenue. Dalam cuaca panas begini, orang-orang di sini memakai kaos kaki—seorang wanita dalam mantel bulu— dan aku bisa memaklumi kalau Sylvia memaki, “White folks crazy,” dalam hati.
Aku membawa mereka ke depan jendela sebuah toko mainan. Sebelumnya aku sempat ketar-ketir ketika Sugar bertanya, “Can we steal?” Mereka melihat benda-benda pajangan di balik jendela dan heboh seolah benda-benda itu tercipta untuk mereka, atau suatu saat mereka akan bisa memilikinya.
Salah seorang dari mereka mengenali benda bernama mikroskop. Teman-temannya mengejeknya, meragukan apakah dia benar-benar mengenal benda tersebut.
“Watcha gonna do with a microscope, fool?”
“Look at things.”
“Like what, Ronald?” tanyaku penuh minat. Tapi dia tidak bisa menjelaskan lebih lanjut. Jadi kuberitahu mereka mengenai hal-hal yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Aku meminta mereka untuk melihat berapa harga benda tersebut. 300$. Itu adalah benda yang layak kamu beli dengan tabunganmu.
Segera anak-anak menemukan benda lain dengan harga lebih fantastis. 480$ untuk sebuah pemberat kertas yang terbuat dari semacam “batu” hasil penambangan. “It’s to weigh paper down so it won’t scatter and make your desk untidy,” jelasku. Tapi mereka tidak menaruh kertas-kertas di meja, bahkan ada di antara mereka yang mengaku tidak punya meja, bahkan rumah. Setidaknya ada yang masih punya seperangkat alat tulis dan gambar kucing di atas mejanya—semua pemberian ibu baptisnya.
Ada juga sebuah perahu layar rakitan tangan seharga 1.195$. Sylvia berkata itu harga yang tidak masuk akal. Anak-anak pun berdebat apakah harga itu layak. Sylvia bertanya padaku, padahal ia tidak pernah bicara padaku, “What I want to know is how much a real boat cost? I figure a thousand’d get you a yacht any day.”
Jadi aku memintanya untuk mengeceknya sendiri lalu melaporkan hasilnya pada teman-temannya. Sepertinya anak itu merasa tertantang. Dia mengajak Sugar. Aku mengamati mereka dari kejauhan. Mereka tampak ragu-ragu memasuki bagian dalam toko. Tidak lama, teman-teman mereka menyusul dengan gaya yang sama. Seperti ada lem yang merekatkan mereka satu sama lain, maksudku, sikap mereka seakan toko mainan itu sebuah tempat suci. Mereka berjalan jinjit sembari mata jelalatan melahap benda-benda—terutama pada label harga.
Sylvia kembali dengan lagak hendak meninju mulutku. Ada sesuatu yang membuatnya terdengar marah.
A clown that somersaults on a bar then does chin-ups just cause you yank lightly at his leg. Cost $35. … Thirty-five dollars could buy new bunk beds for Junior and Gretchen’s boy. Thirty-five dollars and the whole household could go visit Granddaddy Nelson in the country. Thirty-five dollars would pay for the rent and the piano bill too. Who are these people that spend that much for performing clowns and $1000 for toy sailboat? What kinda work they do and how they live and how come we ain’t in on it?
…begitu kira-kira isi pikirannya.
Ketika kami sudah kembali ke tempat semula, sebelum kendaraan membawa kami ke F.A.O. Schawrz tadi, seperti biasa aku berusaha menggali apa yang mereka dapat dari kebersamaan kami. Macam-macam komentar mereka. Ada yang ingin ke sana lagi saat hari ulang tahunnya. Ada yang capek. Ada yang bergumam, “White folks crazy.”
Sedang Sugar berkata, “You know, Miss Moore, I don’t think all of us here put together eat in a year what that sailboat costs.”
“And?” tanyaku lagi. Dia tidak melanjutkan. Tampaknya itu karena Sylvia bersiap menginjak kakinya.
“Imagine for a minute what kind of society it is in which some people can spend on a toy what it would cost to feed a family of six or seven. What do you think?”
Ancaman Sylvia tidak menggentarkan Sugar ternyata. “I think that this is not much of a democracy if you ask me. Equal chance to pursue happiness means an equal crack at the dough, don’t it?”
Aku bertanya apakah yang lain ingin menyampaikan sesuatu lagi, sembari menatap Sylvia tajam. Dia menjauh. Sugar mengejarnya.
Kusadari kemudian kalau Sylvia masih membawa sisa dari 5$ yang aku berikan padanya tadi… mungkin masih 4$. Itu cukup untuk membeli setengah batang cokelat, keripik kentang, es krim soda, dan pergi ke sebuah tempat bernama Sunset…
Dia—penutur asli cerita ini—begitu sinis padaku, membuatku dan upaya pendidikan yang kuusung tampak tak menyenangkan. Keluarganya tinggal bersama keluarga bibinya dalam satu apartemen. Dia tampak membenci segala hal sebetulnya, kecuali teman baiknya yang bernama Sugar itu. Kebenciannya menyisipkan niat buruk dalam benaknya. Untung saja Sugar selalu berada di dekatnya. Sugar bagai pikiran jernih yang memberitahu Sylvia apa yang sebaiknya si bocah pemarah, sensitif, pendengki, dan licik itu lakukan. Sugar begitu bijak untuk anak seumurannya—meski aku tidak tahu umur berapa dia sebenarnya, bahkan umur mereka semua…
***
Pernahkah kamu
mengalami situasi seperti yang ada dalam cerpen ini, menginginkan “kesenangan”
seharga kebutuhan dasar untuk lebih banyak jiwa? Pernahkah kamu membayangkan
adanya pihak yang sakit hati andai saja kamu melunasi keinginanmu itu? Nah,
cerpen inilah yang akan membantumu membayangkannya.
Bisa dipahami
mengapa Sylvia benci orang terpelajar seperti Miss Moore—satu dari sekian hal
yang ia benci. Ada saja di antara kita, siapapun yang merasa terpelajar, biar
sudah pergi ke kampus lantas bergaya bicara begitu intelek serta berpenampilan
necis, tapi tidak banyak yang bisa kita lakukan selain bikin orang lain sakit
hati—kendati itu berawal dari niat mulia kita.
Sylvia memang masih
bocah. Sikapnya kekanak-kanakkan. Namun saya kira pengarang menggunakan sudut
pandangnya untuk memaparkan cerpen ini, alih-alih melalui Miss Moore seperti
yang saya coba-coba lakukan, adalah supaya kita bisa lebih merasakan
ketidakadilan yang dialami kalangan seperti Sylvia.
Sikap
kekanak-kanakkan Sylvia juga mengingatkan kita akan sikap kita sendiri, yang
mungkin masih lebih menuruti nafsu ketimbang akal sehat, lebih memilih untuk
beli sepatu baru—kendali yang lama masih layak pakai—ketimbang menyalurkannya
untuk biaya sekolah anak-anak di pulau lapisan luar Indonesia.
Jadi ingat salah
satu edisi komik strip Dilbert. Dogbert, si anjing filantropis, berkata pada
Dilbert, “If I give a man a fish, he will
eat for one day. But if I inspire him by my opulent lifestyle and my squiring
of supermodels, he might try harder.”
Nah. Mending
bagaimana?
(psst… i’m just a writer, i tell what i might not do)
(dari “The Harper Anthology of Fiction” oleh Sylvan Barnet, 1990)
lebih jauh tentang...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar