Saya masih berada di bagian awal, sempat baca-baca sekilas
sih tengahnya, tapi saya sudah merasakan kalau novel ini adalah cerita yang memang ingin saya baca. Novel ini adalah cerita remaja, cerita komedi, cerita
fantasi dengan unsur lokal, sekaligus cerita religi…
Sejak dulu obsesi
saya memang mencari cerita remaja yang beda. Bagaimana kalau teenlit dikemas secara serius, dengan
diksi yang melimpah ruah, EYD dan tata bahasa yang baik tapi enak dibaca, taburan
humor yang cerdas, atau bercampur dengan unsur fantasi, bahkan merupakan
satire… dan yang pasti adalah sarat makna…?
Dan kendati saya
jarang membaca cerita fantasi, tapi melalui forum di dunia maya saya ngeh kalau
jumlah orang Indonesia yang menulis cerita fantasi begitu banyak. Dan saya
gemas saja ketika mitologi yang umum dijadikan landasan dalam membuat cerita
tidak berasal dari negeri sendiri (*sok nasionalis tea), padahal barangkali mistisisme kita pun bisa dikemas dengan
keren dan jauh dari kesan kampungan.
Terlepas dari apakah
“Garuda 5 Utusan Iblis” (selanjutnya G5UI) memenuhi berbagai obsesi tersebut,
secara keseluruhan saya menganggap novel ini luar biasa.
Cerita dibuka dengan
latar sekitar enam abad silam. Sentika bersama empat sahabatnya: Pramesti,
Anggraini, Widura, dan Rangga, yang sesama pendekar sakti mengemban tugas untuk
mencegah utusan Iblis turun ke bumi. Iblis ingin hidup lebih lama, sehingga ia
bermaksud memundurkan Hari Pembalasan alias kiamat. Caranya adalah dengan
memusnahkan manusia sebelum hari itu terjadi. Secara kiamat berarti berakhirnya
kehidupan manusia di dunia, maka kiamat tidak akan terjadi kalau manusia sudah
keburu tidak ada—harus diciptakan dulu kehidupan yang baru. Ki Sangeti, seorang
dukun tua, hendak menawarkan diri pada Iblis untuk menunaikan maksud keji
tersebut. Namun Sentika dan para pendekarnya yang mandraguna tak akan
membiarkan hal itu terjadi. Akhirnya mereka dapat membunuh Ki Sangeti, namun
rupanya kakek jahat tersebut berjanji akan bangkit lagi setelah 666 tahun. Tidak
mungkin Sentika cs masih hidup saat itu, sehingga mereka harus menitiskan
kekuatan mereka pada keturunan mereka yang hidup pada zaman itu. Kira-kira begitulah.
Bagian selanjutnya
berlatar kehidupan anak-anak SMA ibukota masa kini. Sejak awal kita akan
dipertemukan dengan Jaka yang titisan Sentika, Bun yang keturunan Widura, serta
Rani yang mewarisi Anggraini, dan berbagai karakter serta nama lain. Mereka
adalah warga SMA Raya, Jakarta, yang tadinya hendak mengadakan jambore, tapi
malah terjebak dalam situasi menegangkan bersama sekian lelembut.
Ada beberapa alasan yang
menyebabkan saya menyukai novel ini, tapi ada pula beberapa alasan yang
menjadikan novel ini tidak begitu bagus. Saya coba jelaskan satu per satu apa
yang saya dapatkan dari novel ini yak.
Bahasa
Gaya bahasa yang
lincah dan spontan barangkali menjadikan semua karakter, termasuk narator,
pandai melucu, dan ini sangat menghibur. Bahkan dalam situasi tegang pun masih
bisa terselip celetukan yang bikin mendengus. Inilah yang bikin saya merasa
“aman” dalam membaca novel ini, dalam arti: semenyeramkan apapun musuhnya,
semencekam apapun situasinya, cerita ini tidak betul-betul serius. Tak ada
satupun karakter dari pihak protagonis yang mati. Kalaupun ada yang cedera
parah, ia tetap bakal selamat akhirnya.
Perbedaan gaya
bahasa antar para karakter pun relatif bisa dirasakan, misalnya Rani yang
meledak-ledak, Ratih yang tegas sekaligus lembut, Bun yang sopan, Jo yang
kasar, Bu Dadang yang orang Sunda, Prasti yang manja dan genit, Jaka yang
kadang polos, dan seterusnya, dan ini semakin menguatkan karakter-karakter
tersebut yang dari kelakuan saja barangkali sudah beda.
“Angkara”, “prana”,
“mudra”, marcaprada”, adalah segelintir kata yang digunakan untuk menggambarkan
kekhasan dunia persilatan, yang belum tentu dijumpai dalam cerita remaja biasa.
Kekayaan diksi inilah yang membangun situasi hingga sedemikian rupa, yang saya
kira selain baik untuk menambah perbendaharaan pembaca, juga menjadi estetika
cerita.
Dengan demikian
cerita dalam novel ini dibawakan dalam bahasa yang ngepop, sesuai dengan gaya bahasa para karakternya yang anak muda
zaman sekarang, sekaligus kaya diksi khas dunia persilatan. Keduanya sama
memikat, sekaligus mengurangi nilai novel ini ketika penggunaannya
dicampuradukkan—dan itu dilakukan baik oleh narator maupun para karakter.
Saya tidak
melewatkan satu kata pun dalam novel ini, semua terbaca, namun demikian
penuturan cerita masih terasa cair dan barangkali butuh Diapet.
Karakter
Yang ditimbulkan
dari kekuatan karakter barangkali adalah simpati pembaca, yang bikin pembaca
ingin terus mengetahui nasib karakter tersebut. Karakter-karakter dalam G5UI
berhasil menempel dalam benak saya. Saya suka Jaka yang harusnya jadi hero, tapi malah mudah dipengaruhi.
Kendati pembaca lain mungkin mencerca-merca kegoblokan Jaka, tapi entah mengapa
saya kira wajar saya kalau pemuda tanggung semacam Jaka begitu mudah terjerat
pesona wanita (*hahai bahasanye!). Saya juga suka Bun yang doyan bercanda, Rani
yang begitu ekspresif, dan seterusnya. Para karakter tampil begitu manusiawi
dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tapi yang lebih mengundang saya
untuk terus membaca novel ini agaknya malah kekuatan alur.
Alur
Titisan tiga dari lima
Pendekar Garuda telah terkuak sejak awal, tapi dua yang lain baru tersibak di
bagian akhir. Maka sepanjang itu pulalah saya rasa ingin tahu saya berkobar.
Ketika karakter-karakter lain bermunculan, kejadian-kejadian aneh berdatangan,
saya menebak-nebak apakah karakter ini ternyata itu atau karakter ini ternyata
itu. Kepastiannya tidak akan saya dapatkan kecuali saya terus mengikuti jalan
cerita! Saya sempat tergoda untuk mengintip bagian terakhir, kiranya dugaan
saya betul. Tapi saya tetap ingin membaca.
Sebetulnya bukan
saya tidak pernah terpikir kalau alur dalam novel ini klise. Hampir segalanya
telah dirancang oleh karakter antagonis. Permainkan karakter protagonis: kecoh
tokoh utama, pecah-belah para pendukungnya, dan seterusnya, lalu hantam
habis-habisan di akhir! Tapi entah mengapa agaknya malah itu yang bikin
semangat saya menggebu-gebu, mungkin karena saya tak sabar menanti tebakan saya
benar apa tidak. Saya malah jadi menyadari pentingnya menata alur. Meski saya
pikir sayang juga jika alur sudah dibikin sedemikian berpilin, ternyata di
akhir diungkapkan begitu saja secara gamblang oleh karakter antagonis.
SMA Raya
Saya suka dengan
gambaran SMA Raya sebagai SMA swasta di Jakarta yang tidak terlalu ngetop. Biarpun terkesan underdog, tapi SMA Raya menjadi istimewa
karena keterlibatannya dalam peristiwa yang menentukan nasib dunia.
Para siswa SMA Raya
gemar tawuran pula, dan ternyata itu malah ada gunanya dalam pertarungan
melawan musuh. Namun saya kira bagian tawuran ini kurang dieksplorasi. Kendati
dikatakan gemar tawuran, hanya bagian di mana Jaka dan Rani jadi hero saja yang ditampilkan, padahal
agaknya bukan dua anak itu yang biasa tawuran, melainkan para siswa Geng
Brimobs—yang malah baru dimunculkan belakangan. Kalau aksi para berandalan itu
dalam tawuran sudah disuguhkan sejak awal, maka aksi berikutnya dalam melawan
musuh yang berbeda wujud akan terasa lebih wajar.
Islam
Inilah hal yang
paling saya soroti sepanjang membaca novel ini. Sejak dibikin takjub di prolog
karena konsep Islam yang melandasi cerita ini, saya menggarisbawahi (dalam
benak doang sih) setiap hal terkait
Islam yang saya temukan. Mulai dari kalimat-kalimat toyyibah yang dilontarkan para karakternya, si Jaka yang salat
Subuhnya tepat waktu, bapaknya Jaka yang mewanti-wanti sang anak agar tidak terjerumus
dalam kesyirikan, salat Subuh berjamaah di tenda peleton, Ratih dan Rani yang habis
salat Subuh, sajadah yang digunakan Pak Tris untuk mengusir monster-monster,
sampai kekuatan ayat Quran yang dapat melemahkan sihir musuh. Subhanallah.
Tapi bertaburannya
hal-hal Islami itu tak lantas menjadi fanatisme. Pengarang tetap memberi ruang
bagi kepercayaan lain, sebagai contoh, kelima Pendekar Garuda adalah muslim
namun salah satu titisannya ternyata bukan. Saya juga tidak mendapati adanya
kesan yang “memihak”, melainkan ya memang begitu adanya yang terjadi di dunia
G5UI. Selain itu, adegan-adegan romantika remaja disajikan sebagaimana lazimnya,
kata “org*sm*” dilontarkan salah satu karakter, penamaan jurus-jurus juga
agaknya masih didasarkan pada kepercayaan akan dewa-dewi. Tapi kalau dipikir lebih
jauh, semuanya bisa diterima. Bagaimanapun unsur Islam lebih dominan.
Fantasi lokal
agaknya tak bisa dilepaskan dari metafisika, yang acap dipersepsi mengarah pada
kesyirikan. Saya awam sih dalam hal ini, tapi waktu SMA saya sempat ikut ekskul
bela diri dengan tenaga dalam. Sejak itu saya memahami kalau metafisika itu tak
mesti berarti syirik. Ini adalah bagaimana kita memahami sunatullah yang berlaku di alam lain, juga bagaimana kita mengenali
dan mengendalikan energi dengan kekuatan dari dalam tubuh kita sendiri. Dan
novel ini justru menunjukkan kalau pemahaman akan metafisika memperkuat
keimanan.
Sebagaimana Jaka cs
dalam novel ini, adalah tugas dari setiap manusia untuk menolak serangan iblis.
Jika umumnya kita memaknai serangan iblis sebagai godaan untuk melakukan
perbuatan maksiat, maka serangan iblis dalam novel ini diterjemahkan menjadi
serangan yang sesungguhnya: makhluk-makhluk yang dapat memporak-porandakan dan
melukai secara fisik; yang harus ditangkis dengan jurus-jurus silat. Kita di
dunia nyata tak harus menguasai jurus-jurus silat agar bisa menahan godaan maksiat,
tapi baik di dunia nyata maupun dunia fiktif G5UI, ada kepercayaan bahwa segala
daya dan upaya akan berhasil jika ditunjang dengan doa.
Sebagai muslim, apa
yang dikandung G5U1 barangkali cocok dengan kepercayaan saya. Mungkin karena
itu, mungkin juga karena pengemasan yang populer dan toleran, maka saya merasa bahwa
kendati menyiarkan ajaran Islam, G5UI tidak terasa sebagai novel dakwah. Entah
juga kalau pembaca lain ada yang berpendapat sebaliknya hehehe…
Kok saya sepertinya sangat terpikat
Saya tidak mengerti
ajian apa yang telah ditanamkan pengarang dalam novelnya ini hehehe… bahkan
adegan yang barangkali bakal dianggap norak oleh sebagian orang saya lahap
saja. Entah bagaimana cara pengarang menyusun kata-kata, saya begitu hanyut
dalam cerita sampai saya merasa tersiksa. Saya tidak ingin berhenti membaca, tapi
mata saya sudah tidak kuat!
Mungkin ini karena pengalaman
baca saya yang masih kurang, sehingga saya menganggap novel ini luar biasa.
Mungkin juga karena saya sendiri ingin menggarap cerita remaja, cerita remaja
yang unik—baik ceritanya maupun remajanya. Dan sejak awal saya sudah menganggap
novel ini unik, lalu kelucuan tersebar di mana-mana sehingga menyenangkan yang
baca, narasinya enak dilahap, suspense-nya
pun kena, karakter-karakternya berkesan, dan seterusnya sebagaimana saya sudah
jabarkan, meski saya tidak memungkiri kalau ada juga hal-hal yang menurunkan
nilai novel ini, serta apa-apa yang saya sukai belum tentu orang lain juga suka.
Saya ber”adeuh…
adeuh…” sendiri pas baca bagian yang judulnya saja sudah “Rahasia Hati” atau
“Romansa Tenda”. Saya menyengir pas Jaka dan Prasti berlagak sedang syuting
film Bollywood. Saya tergelitik ketika Neo Pendekar Garuda mencanangkan nama
baru untuk kelompok mereka: G-Five (kalau saya jadi salah satu dari mereka,
saya tidak akan memusingkan nama, langsung serbu saja!). Belum lagi
adegan-adegan yang menimbulkan visualisasi bak sinetron dalam benak saya, entah
itu adegan silat atau adegan adu mulut antar karakter. Adegan-adegan
pertarungan di antara pepohonan pada bagian awal juga terasa bak sedang membaca
komik Naruto, belum saat Ki Sangeti memperbanyak diri (kalau tak salah jurus
Naruto yang serupa ini adalah kagebunshin
kamehameha *ngaco), tapi saya larut saja. Semuanya sensasional.
Sementara para
pendekar tengah bertarung dengan para dedemit, pikiran yang bertanya-tanya:
bagaimana keadaan empat ratusan orang ‘awam’ yang menyaksikan itu; bagaimana
kalau dalam situasi mencekam itu mereka ingin buang air tapi takut ke
mana-mana, bisi dihadang setan;
bagaimana kalau ada yang mendadak histeris lalu lari-lari keluar tempat
perlindungan; dan seterusnya. Tapi saya abaikan kemungkinan-kemungkinan itu,
pun barangkali ada bagian yang mengingkari logika, ikutin ajalah!
Dan begitu halaman
699 saya tuntaskan, saya terkulai di kasur. Capek, sekaligus puas. Saya tidak
mengindahkan lagi kriteria “karya sastra yang baik” dan "karya sastra yang
buruk” ala Eyang Budi Darma (lihat “Ceramah Eyang”), melainkan karya yang rame atau tidak.***
Pertamax!!
BalasHapusWow, ini review yg sejauh ini terlengkap menangkap pesan islami yg saya sembunyikan dalam teks. Untung saja ternyata takarannya dirasakan pas untuk kang Dayeuh, dan moga-moga oleh pembaca lainnya.
Terima kasih telah mengapresiasi G-5 dengan baik :) mohon ijin dan perkenan melink blog ini dan mengkopi review di Group Facebook G-Fivers. Dan dimohon kesediqqnnya bergabung juga, bila berkenan :)
Mangga, Kang :) Maaf kalau review-nya kurang menyeluruh, saya suka kurang konsentrasi kalau baca hehe :p
HapusSaya juga sudah bergabung dg grup G-Fivers di FB kok :D
*menanti G5 jilid 2
--sorry entah kenapa typonya ga bisa diedit.
BalasHapusPS: soal kenapa empat ratus anak-anak itu ngga bereaksi histeris etc. ada penjelasannya koq... Botol kecil sang ratu :). Ntar keluar lagi si G-5.2. Tunggu aja!
Salam,
FA Purawan