Minggu, 13 Mei 2012

Kronik ABS

Jenajenajenajenajenajenajenajenajenaje

Kalikilikiliki kalikilikiliki

Yak hoya yak hoya yak hoya yak hoyaya

 

Mana rotihe sambel oncom dicampur jahe

Dipake roda rodahe

Meregehese cap jahe

 

“Itu kamu ngerapal mantra apa, Yan?”

“Hah?” Dean mencabut earphone dari lubang telinganya. Baik denting instrumen maupun gelegar vokal, ala Katy Perry, Taylor Swift, apa Jessie J., menyerbu. Kepala tak lagi geleng-geleng, pundak henti goyang-goyang, si bocah menatap Deden serius. “…mantra pelet.”

“Mau.”

“Ya bukanlah… Itu teh lagu Mamah Bungsu…”

Deden mengernyit.

“…’Oncom Garing’, tahu? …bala-bala… ampyang-ampyaaaang…?”

Mulut Deden terbuka sedikit. Di seberang sekre KOMBAS aka Komunitas Band SMANSON, dirinya berhadapan dengan seorang anak muda yang memiliki segalanya: rambut dipangkas menurut tren terkini, jumper bermotif semarak dari clothing negeri Merlion, sepatu kets dengan model yang bikin liur mengalir, detak-detik dari arloji mengkilat, iPod yang menyimpan lagu-lagu Mamah Bungsu. Who the hell is Mamah Bungsu? Is she the sister of Mamah Sulung?

“Kamu bener-bener hipster ya, Yan? Selera kamu tuh enggak mainstream…”

Dean tersenyum.

“…tapi juga bukan indie.”

Dean mengangkat bahu.

“Emang lagunya kayak gimana sih?” Deden masih penasaran apakah sungguh itu bukan mantra pelet. Dean memberikan sebelah earphone-nya pada cowok dengan rambut mengembang dan kumis tipis itu. Tak hanya dikasih dengar, Deden sekaligus diberi lihat bagaimana Mamah Bungsu dan para penarinya beraksi di antara saung-saung pada hamparan rumput. Bak habis minum larutan penyegar, wajah Deden semringah.

“Kapan-kapan gua minta yah ini…” Deden menunjuk-nunjuk layar iPod Dean.

“Boleh, boleh…” kata Dean senang.

“iPod-nya.”

“Eh, jangan…”

“…lagunya…”

Tapi pertunjukan belum tamat, saat riuh diganti ramai langkah yang menapak atau terseret. Seseorang di ambang pintu sekre KOMBAS yang meriah menepuk tangannya berkali-kali, memberi isyarat pada mereka yang berada di luar agar segera masuk. Dinding sekre tersebut berwarna-warni berkat dihias oleh para muralis SMANSON yang punya jargon: muralis moralis lagi demokratis, yang cuman bisa miris lihat kreativitas siswa dikikis, kita tangkis dengan menggarap dinding sekolah sampai habis!

Tapi tidak termasuk dinding sekre di sebelahnya, seolah para muralis anarkis itu tidak punya bayangan sama sekali bagaimana memberi sentuhan pada budaya nonpop.

Ketua Apresiasi Budaya Sunda alias ABS, Asep Sujalma, telah mengatakan bahwa ekskul mereka terbuka atas segala gempuran budaya. Tapi gembong muralis SMANSON masih dalam dalihnya: ia belum menemukan konsep sempurna mengenai bagaimana mural yang nyunda. “Gambar angklung saja apa susahnya!” keluh Asep. Semangat nyunda kudu disebarkan, tapi bagaimana caranya, kawanan ABS lebih suka mengumpulkan bobodoran (:lawakan).

Sayup-sayup terdengar suara dari sekre yang terletak di ujung gang itu.

 

Leupeut isi daging bahasa Cinana naon?

Bacang!

Bagian anu paling teuas dina kalapa?

Batok!

Lamun anu teu ngagaduhan buuk?

Botak!

Lamun maneh bahasa Cinana naon?

Bo-lo-ho![1]

 

Deden bangkit dengan mengangkat gitarnya. Ia sangka Dean juga hendak mengarah ke sekre KOMBAS.

“Emang ada apa gitu?” tanya Dean.

Briefing… Pembagian jatah nge-gig di kantin.”

Nyegik?”

“NGE-GIG. Ah maneh mah sunda pisan (:kamu sunda banget).”

“Oh. Da saya mah mau ke sana,” tunjuk Dean pada sekre ABS yang dindingnya berhiaskan jejak kaki, terutama di sekitar jendela. Kadang kala awak ABS tidak menyimpan kunci pintu di tempat yang ditentukan, sehingga mereka terbiasa untuk memasuki sekre lewat jendela alih-alih pintu.

Gebyar tawa tertelan oleh lautan siswa yang memasuki sekre KOMBAS.

“Eh Dean, hirhir…”

Yes, Sir.”

Dean menyalami semua orang yang ada dalam sekre ABS. Subhanallah, lebih banyak dari biasa—lebih dari jumlah normal jemari di sebelah tangan itu termasuk banyak kan?

Helti? Helti?”

PainPain…” Dean masih kagok berbicara dalam bahasa Sunlis alias Sunda-Englis, yang entah mengapa malah bikin ia jadi ingin menangis. Padahal bahasa Sunda tak kalah unik dan mengagumkan, di mana lagi kita bisa menemukan kata selucu “cileuh” (:belek), “dahdir” (:liur), “jigong” (:liur), dan “acay” (“liur) yang ternyata memiliki makna? Belum “tisoledad” (:terjungkal), dan itu bahkan bukan judul lagu Westlife.

Kini tidak hanya dengan bahasa Inggris, ABS juga coba berakulturasi dengan bahasa Mandarin rupanya.

Ketika awal nimbrung bareng ABS, Dean mengaku pada Asep.

 

“Kang, sebetulnya saya cuman ⅜ Sunda, yang ¼-nya Betawi, ¼ lagi Minang, terus sisanya antah berantah. Kebetulan aja saya tinggal di Bandung dari SD.”

“Iya enggak apa-apa Yan, sesuai namanya, Apresiasi Budaya Sunda, seharusnya ini bisa jadi wadah buat siapapun yang ngerasa berbudaya Sunda, enggak mesti orang Sunda. Coba liat si Depid.”

Mereka sama-sama menoleh pada Depid, Dadang, dan Ipul yang tengah seru berdialog.

 

Gaplok bahasa Cinana naon?

Cabok siah!

Lamun dibuka jadi bau, naon siah?

Calangap!

Lamun budak leutik karek bisa ngomong?

Capetang!

Biwir anu gemesin?

Cameuh![2]

 

Depid, anggota baru ABS yang agaknya Tionghoa murni itu, tidak mengabsahkan bobodoran tersebut, tapi tidak juga menyembunyikan tawa. Depid oh Depid, yang bikin Dean bersyukur namanya tidak mengandung huruf f satupun—kalau nama ayahnya tak masuk hitungan—atau ia akan bernasib sama seperti Depid, yang di kartu pelajarnya tertulis nama “David Suniaraja”. Tanpa belas kasihan oknum ABS mengubah nama trendi itu tanpa upacara bubur merah putih segala.

 

Tapi saat ini anak itu belum datang.

Asep berkata pada Dean, “Dean, ini anak-anak ABS. Emang jarang pada keliatan, tapi sekarang semuanya sekarang pada kumpul di sini.” Dean mengangguk-angguk. Satu per satu pengisi lingkaran memperkenalkan diri, yang tidak makan waktu banyak. “Teman-teman di sini juga pingin denger cerita kamu, Yan, tentang Darso, Nining Meida, Bungsu Bandung, Kustian, dan kawan-kawan…”

Dean memperbaiki posisi duduknya dengan rikuh. Padahal ia kemarin iseng saja berbagi wawasan akan koleksi lagu-lagu Sunda milik ayahnya pada Asep, kok sekarang ia merasa didaulat jadi narasumber forum begini? Memang siapa ia?

Tak ia sangka omongan Asep kemarin itu serius.

 

“Iya Dean, sebenernya saya khawatir juga lama-lama ABS yang Apresiasi Budaya Sunda ini malah jadi ABS yang Anak Buah Sule, karena tiap kali ketemu kita malah ngabodor wae.”

“Tapi Akang, apan ngabodor ge budaya Sunda?” Dean mengingat betapa humoris Ayah beserta para saudaranya yang bertebaran di Tanah Pasundan. Toh ia bergaul dengan anak-anak ABS juga supaya ia bisa banyak ketawa.

“Iya, tapi pengetahuan kamu tentang tembang-tembang Sunda membuktikan kalau budaya kita enggak sekadar ngabodor!”

“Ah, piraku Akang, anak-anak ABS enggak kenal sama lagu-lagu Sunda, seenggaknya tahulah kalau cuman lagu kayak ‘Wayahna’ atau ‘Jalir Janji mah, atau seenggaknya kalau penyanyinya mah sama Doel Sumbanglah.

“Ya udah makanya entar kita ngobrolin juga sama teman-teman yang lain, tapi kamu ikut yah, kayaknya kamu tahu banyak.”

 

Sebenarnya Dean tidak mengerti amat tentang para penyanyi Sunda itu. Ia hanya suka mendengarkan lagu-lagu mereka. Toh setelah Asep memancing, ada juga satu-dua yang tahu kalau Darso telah almarhum, dan Nining Meida pernah berkolaborasi dengan Linkin Park[3]. Tapi sepertinya bukan hal lagu-lagu Sunda yang tengah dibicarakan forum ini, Dean jadi tak enak karena sudah datang telat. Sepertinya ini merupakan forum yang rada serius.

“Katakanlah SMANSON ini mewakili Kota Bandung yah, Provinsi Jawa Barat, di mana mayoritas penduduknya teh orang Sunda. Jadi coba, ada berapa populasi orang Sunda di SMANSON ini? Apa jangan-jangan emang ngan saukur (:cuman sedikit)?

“Seperti kata Doel Sumbang, ka marana ari urang Sunda, disebut euweuh, aya, disebut aya, euleuh, ka mana atuh? Urang Sunda ka marana, urang Sunda di marana? Urang Sunda, urang mana, urang Sunda, anjeun saha? Naha ngan saukur nu ngeusian kulon Jawa?[4] (: …ke mana orang Sunda, disebut enggak ada, ada, disebut ada, pada ke mana? Orang Sunda pada ke mana, di mana? Orang Sunda, orang mana, kamu siapa? Kenapa hanya sedikit yang ada di Jawa Barat?) Nu ngeusian SMANSON, SMA negeri panggeolna se-Bandung Raya?

“Pinginnya mah ABS teh bisa kayak PS3—Paguyuban Siswa Sosial SMANSON. Semua anak sosial dianggap sebagai anggota PS3. Begitupun ABS dengan orang Sunda. Jadi semua orang Sunda bisa ngumpul di sini kayak keluarga, terus sama-sama belajar tentang budayanya, gitu…”

Mata Dean menyapu berbagai alat musik di sudut ruangan. Ada tumpukan angklung di samping karinding, calung, kacapi, dan tamborin, sementara suling tergantung, dan gitar bersandar di bawahnya. Kendang dan galon bak memandang lesu pada hadirin yang tengah menyimak celotehan Asep. Dean bertanya-tanya dalam hati apakah benda-benda itu pernah digunakan ABS pada momen selain demo ekskul di MOS. Mereka tampak jarang disapa kemoceng.

Serta-merta dua orang cowok berdiri di ambang pintu. Dean mengenali mereka sebagai orang KOMBAS. “Sep, punten ih mau ngambil alat…”

ManggaMangga… (:Silakan)”

Mereka mengambili gitar, galon, dan beberapa alat musik lain.

“Eh Kang, kirain teh itu punya ABS,” ucap Dean spontan.

“Oh bukan, itu KOMBAS nitip alat.”

Ternyata bukan hanya dua orang itu yang hendak mengambil alat. Yang tersisa hanya alat musik yang khas seperti angklung, karinding, calung, dan kacapi. Tapi tidak lama kemudian datang lagi beberapa orang dari KOMBAS.

“Sep, kita mau pinjem tempatlah.”

“Oh… Ya udah atuh. Barudaks (:Anak-anak), pindah wae yuk ke kantin. Bade ditraktiran ku si Atin,” ajak Asep sembari bangkit. Yang bernama Atin kontan protes. Tapi tidak ada satupun yang komplain mengapa mereka harus pindah, atau mungkin mereka hanya mengungkapkan dalam hati saja, sebagaimana Dean.

Apa-apaan ini, tersingkir dari sekre sendiri!

Sementara mereka beranjak, anak-anak KOMBAS melepas sekat yang membatasi sekre KOMBAS dengan sekre ABS. Padahal sekre KOMBAS sendiri sudah makan dua kavling, tapi hari itu pendatang briefing KOMBAS memang sedang banyak sekali. Di antara orang-orang KOMBAS, Dean melihat sosok Depid, si bocah bermata sipit dan berkulit pualam yang diragukan ke-Sunda-annya. Namun Depid merasa lebih Sunda ketimbang Tionghoa, mentang-mentang ia lahir dan dibesarkan di kawasan yang bukan Pecinan di Kota Bandung. Sesaat Dean merasa kecewa, ah Depid, padahal kemarin anak itu kelihatan bersemangat dengan ABS.

Kantin lengang, sekitar sejam telah lewat dari bel pulang sekolah. Anak-anak ABS yang tak seberapa mengisi salah satu bangku panjang di bagian tengah kantin. Sebagian malah berpencar untuk mencuil sisa dagangan dari beberapa penjaja kuliner yang masih berjaga. Tapi Asep tetap melanjutkan wacananya, yang bikin Dean mendadak gatal untuk menimpali.

Mangga, Yan, in Sundanis plis.”

“Waduh Kang, mengingat pembaca cerita ini belum tentu orang Sunda, meskipun udah banyak kata-kata dalam bahasa Sunda yang muncul dari tadi, saya ngomongnya pakai bahasa Indonesia puitis aja ya Kang.”

Asep mengangguk dengan penuh wibawa. Sebelah tangannya terangkat rendah. “Silahkan, Anak Muda.”

“Jadi pada suatu ketika, ketika baik aku dan saudara kembarku yang tidak mirip aku itu belum lahir ke dunia, ibuku melanjutkan sekolah ke Boston. Lalu ayahku menyusul ibuku tinggal di sana, lalu mereka memiliki anak.” Hening sebentar. “Ayahku separuh Sunda dan separuh Betawi, tapi ayahku merasa lebih Sunda ketimbang Betawi. Dan ketika ayahku bersinggungan dengan budaya Barat, ayahku menyadari bahwa dirinya memiliki budaya yang berbeda, yaitu budaya Indonesia, khususnya budaya Sunda.” Dean berhenti sejenak, sebelum kembali melanjutkan dalam takzim. “Jadi ayahku bilang, barangkali kita baru bisa mengenali diri sendiri setelah kita mengenal orang lain. Tapi jangan sampai juga kita terlalu terkesima dengan orang lain, sampai-sampai kita lupa sama diri kita sendiri.”

Ketika itulah Depid datang dengan ngos-ngosan.

O Depid, kukira kau telah berkhianat! Dean jadi merasa bersalah karena semula telah berprasangka. Asep menyalami Depid. “How ar yu, Depid?” sapa Asep.

NaisNais…” balas Depid. “En how eubot yu, Broh?”

Gut poreperlah, hahahaha…! Kenapa gerangan kamu baru kemari sekarang, Depid?”

“Iya Kang, tadi pas saya baru datang ternyata sekre kita lagi dipake sama KOMBAS. Kirain ABS lagi gabung sama KOMBAS, enggak tahunya cuman KOMBAS aja. Yah saya udah terlanjur duduk.

“Tapi Kang!” seru Depid tiba-tiba dengan bersemangat. “Ternyata KOMBAS lagi bagi-bagi jatah gig, terus saya bilang aja kalau ABS juga mau tampil.”

“APA?!” Asep terperanjat. Icih dan Atin yang berada di belakangnya ikut histeris.

“Kenapa?” Depid terheran-heran.

Icih berkata dengan berat, “Sejak Pak Tatang dimutasi, kita kan udah enggak punya pelatih musik lagi, Dep.”

“Loh, tapi kan ada akang-akang dan teteh-teteh yang udah pernah diajarin sebelumnya?”

“Iya, pasti masih ingetlah Kang, cara mainin gending,” Dean sudah tersulut.

Kebingungan malah mendera para senior ABS.

Tiba-tiba Asep berdiri dan menunjuk-nunjuk para anak kelas X. “Ya udah kalo gitu itu tugas kalian, anak-anak baru, bikin pertunjukan buat gig-nya KOMBAS!”

“APA?!” ganti anak-anak kelas X yang menjerit.

“Tapi kita bahkan belum belajar apa-apa di ABS, Kang,” protes Pratiwi, salah satu anak kelas X.

“Ya di sinilah kita belajar. Kita lerning bai duing! Kalian yang mikirin konsepnya, entar kita bimbing dan bantuin di bagian instrumen,” kata Icih seolah sekonyong-konyong mendapat kekuatan.

“Betul sekali Cih, kata Doel Sumbang juga, gancang geura hudang, buka ceuli buka mata. Geura tembongkan urang Sunda oge bisa. (:…segeralah bangkit, buka telinga buka mata. Segera tunjukkan orang Sunda juga bisa.) Bisa![5] Kapan kita dapat giliran tampil, Depid?”

“Seminggu sekali, Kang. Tiap Senin.”

“Senin…” gumam Asep.

“Itu enggak sampai seminggu!” seru Atin.

“Enggak apa-apa, kita akan terima tantangan KOMBAS itu. Hatur nuhun (:Terima kasih) Depid, apresiasi kamu terhadap budaya Sunda sangat kami hargai. Kita bakal memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya! Nah,” Asep berbalik pada Dean, “Dean, ada usul kita mainin apa?”

Dean merogoh saku celana abunya. File terakhir yang dimainkan iPod-nya adalah videoklip lagu Mamah Bungsu. “Kalau ada nari-narinya gitu, gimana Kang?”

“Enggak apa-apa. Kita kan ada Arini, kemarin masuk SMANSON-nya pakai jalur prestasi. Juara nari jaipongan dia,” ujar Dadang.

“Oh, Arini anak X-6 bukan?” kenal Dean.

“Emang dia anak ABS gitu?” tanya Icih.

“Ya enggak penting siapa orangnya, yang penting kan Apresiasi Budaya Sunda! Kayak kata si Asep aja tadi…” sergah Dadang.

“Dean, kamu kenal Arini kan?”

“Siap, Kang!”

Dengan semangat Siliwangi, Dean melangkah ke X-6 esok pagi. Arini si mojang priangan berkulit kuning langsat menyambut Dean dengan senyum merekah. O Dean senang sekali apabila menemui cewek yang tengah bersuasana hati bagus. Dengan antusias Dean memprovokasi Arini. “Kamu enggak boleh menyembunyikan bakat kamu, Arini! Kamu harus tampil, biar dunia bisa melihat siapa kamu sebenarnya. Dan ABS dengan tangan terbuka bersedia membonceng di belakang kamu!”

“Maksud kamu apa sih, Yan?” Arini memuntir rambut lurusnya yang hitam kemilau. Maka Dean terus melancarkan kalimat-kalimat provokasinya, yang tadi itu hanya preambule.

“Pokoknya kamu donlot semua videonya Bungsu Bandung, Rini!”

“Hmm… Oke deh.” Kepala Arini terangkat sedikit.

Dua hari tanpa kepastian dari Arini tak menggundahkan satupun anak ABS, tampaknya mereka sudah lupa kalau mereka telah mengikat kontrak dengan KOMBAS via Depid. Hanya Depid yang di balik tawanya atas bobodoran para akang ABS, memendam gelisah.

“Dean, gimana, Arini mau enggak?” tanya Depid sebelum ketidakpastian berlipat jadi tiga hari.

“Ah iya…” Dean juga sepertinya baru ingat.

Yang bikin Depid tambah cemas ialah karena besok sudah memasuki akhir minggu, akan susah mengumpulkan anak-anak untuk latihan—yang masih abstrak juga apa yang mau dilatih.

“Kalau si Arini enggak bisa, kamu siap-siap jadi Jet Li nyanyi lagu Sunda yah?”

“Hah!”

Tapi di penghujung siang yang sunyi itu Arini mengetok pintu sekre ABS. Para cowok yang pada main gapleh kompak menoleh. Jarang cewek ABS yang betah mendekam lama di sekre, apalagi kalau tidak perlu amat.

“Arini! Akhirnya kamu datang juga!” sambut Dean ceria. “Gimana, udah liat video-video tea?”

“Arini…” ucap Arini pada satu per satu jejaka ABS yang lantas cengar-cengir sehabis disalami cewek bening. “Udah, Yan…” jawab Arini akhirnya. Dan rupanya kedatangan Arini ialah untuk memperlihatkan hasil latihannya. Sementara para cowok membentuk formasi setengah lingkaran yang cukup lebar sehingga Arini leluasa di tengah mereka, gerak-gerik Arini terlihat agak resah. “Mmm… Gimana yah… Ada musiknya enggak, Yan?”

“Eh, tunggu, tunggu dulu…” seru Ipul tiba-tiba. Ia bergegas ke sekre sebelah lalu kembali dengan membawa speaker dan laptop milik seorang anak KOMBAS. Dean menransfer tembang-tembang Bungsu Bandung dari iPod-nya ke sana. Tak lama kemudian, beberapa anak KOMBAS menghampiri ambang pintu sekre ABS karena penasaran. Tapi mereka hanya berdiri di sana sementara intro salah satu lagu Bungsu Bandung yang dipilih Arini mengalir. Mereka mendekat ketika pinggul Arini bergoyang. Mereka telah duduk ketika Arini memamerkan gerakan lengannya yang gemulai. Jumlah mereka bertambah begitu vokal jernih Arini mengalun dengan genitnya.

 

Kiceup Akang, abdi ge ngartos

Kiceup Akang, aya hartosna

Moal hilap Kang, moal lepat

Da abdi kumaha Akang, da abdi kumaha Akang[6]

 

(:Kedipan Akang, saya mengerti,

Ada maksudnya

Tak akan lupa, Kang

Saya bagaimana Akang saja)

 

Dalam perjalanan ke rumah, bagian atas dan bawah tubuh Arini masih bermain-main di dalam kepala Dean. Dean mengibas-ngibaskan kepala. Bagaimanapun begitu melihat demo pertunjukan Arini, Asoi, selaku manajer gig KOMBAS, langsung memutuskan ABS dapat jatah dua lagu di gig KOMBAS Senin besok. Alat-alat musik dibersihkan, KOMBAS bahkan menyumbangkan sebagian miliknya, juga anak-anak yang menonton menawarkan jasa untuk meramaikan dengan instrumen yang mereka kuasai. Kibor diterima, saksofon ditolak. Yang biasa meniup flute dari platina diharapkan mengganti instrumennya dengan suling bambu. Yang piawai menggebuk drum dengan senang hati coba menabuh kendang. Asep juga mengerahkan anak-anak ABS lama agar kembali berbakti, selama ini mereka pada mendekam di balik kulit berbagai ekskul lain. Latihan intensif akan dimulai sejak esok sampai Minggu. Sayang sekali Dean tidak kebagian jatah, biarpun hanya untuk memukul calung di lagu favoritnya: “Oncom Garing”.

Ooooo… oncooooom… dendang Arini dengan merdunya, diiringi liukan nada dari suling bambu.

Ujung kantin SMANSON disemuti para siswa Senin itu, saat jam istirahat. Tiga baris pertama, yang tidak bisa dikatakan membentuk barisan sebetulnya, didominasi oleh kaum adam. Beberapa cowok lain tampak menaiki bangku di belakang kerumunan, atau menyelinap ke tepi panggung rendah, untuk merekam pertunjukan dengan gadget masing-masing.

 

Oncom, oncom…

Bala-bala…

Ampyang-ampyang jiga goreng dage…

Duh tingali si tukang dagang

Dupi lama Kang Dadang

Nyandak-nyandang karanjang

Teu tebih tina sangkaan

Tos teu lepat eta teh si tukang ampyang

 

Jenajenajenajenajenajenajenajenajenaje

Kalikilikiliki kalikilikiliki

Yak hoya yak hoya yak hoya yak hoyaya

 

Mana rotihe sambel oncom dicampur jahe

Dipake roda rodahe

Meregehese cap jahe

 

Lala… lala… lalalalalala…

 

Arini meniru vokal Mamah Bungsu dengan amat apik. Cemprengnya menyayat pendengaran, sekaligus serak di beberapa bagian. Para pemain berbagai instrumen di belakangnya—kebanyakan dimainkan dengan dipukul—menggoyang-goyangkan bagian atas tubuh mereka saking semangat. Kepala, pundak, lengan, dung dung plak tak tung tung tung tung…

Dean termasuk pengamat di barisan terdepan. Walaupun separuh mata terpicing karena terik mentari, Dean tetap bisa menikmati. Perhatiannya yang intens terpecah karena rangkulan Icang, kawan sekelasnya. Anak berambut keriting megar itu berdecak. “Coba pakai kemben,” ucapnya. Dean kembali menatap Arini, betul juga kata Icang. Arini dalam balutan putih kelabu tak lebih menarik dari Arini dalam kemben mewah di khayalan Dean.

Icang mengeluarkan selembar uang lima ribuan dari saku baju, lalu melipat-lipatnya. Dilemparnya lipatan uang itu ke arah Arini, jatuh tepat satu meter di depan kakinya sendiri. Dean mengambil lipatan uang tersebut, lalu ganti melempar. Tepat mengenai dahi Arini. Sekilas Arini mengernyit, namun dengan lekas larut kembali dalam penghayatan lagunya. Para cowok semakin riang mengelu-elukannya.

Kelar “Oncom Garing”, Arini berseru pada para pemirsanya. “Ari ‘Surabi Haneut’ bade?”

Badeeeeeee!”

“Awawawawaw….” Teriakan-teriakan ala siamang bersahutan, belum lagi suitan. Beberapa cowok menaiki panggung rendah. Mereka mengiringi tarian Arini yang memang interaktif.

Gig ABS sukses! Jarang-jarang panggung diriuhi sampai sebegitunya. Belum aplaus dan suitan yang menyemarakkan saat instrumen terakhir berhenti dimainkan. “Sakali deui! Sakali deui! (:Sekali lagi!)” Koar itu terdengar di beberapa tempat, tapi giliran pemain berikutnya tak mungkin dibatalkan. Nantikan lagi ABS minggu depan, sadulur sarerea (:saudara sekalian)!

Para pemain turun dari panggung rendah dengan peluh membanjiri wajah, namun semringah di sana baru pudar setelah lama.

“Akhirnya kita enggak cuman tampil di demo ekskul aja, Sep!” seru Ekal pada Asep. Ekal ialah salah satu anak ABS lama yang sejatinya piawai memainkan karinding, tapi lebih banyak memantulkan bola basket.

Cowok-cowok yang hanya jadi pemirsa melirik-lirik mereka—Arini—dengan hasrat terpendam. Sesaat Dean merangkul Arini erat sampai gadis itu memekik, saking gemas. “Arini, lu hebat!” Aset yang sungguh berharga bagi ABS, pelestari sinden dan jaipongan.

Bahkan cewek-cewek yang secara resmi anggota ABS malah baru ngeh kalau ekskul mereka jadi tampil di gig KOMBAS. Tapi mereka telah terbiasa untuk mengabaikan ABS, sehingga kalau tak dikirimi sms oleh Asep mereka tak akan datang di pertemuan ABS.

Jadilah pertemuan sesudah pertunjukan itu hanya diisi cowok-cowok, yang memang lebih nyaman begitu bagi para cowok itu. Mereka mencari-cari siapa lagi cewek yang punya potensi seperti Arini, semestinya dari ABS.

“Tapi cewek-cewek di ekskul kita pada jilbaban, gimana nih Bal…” sahut Dadang.

“Arini!” tuding Ipul.

“Iya, Arini,” sahut yang lain.

“Arini! Arini!”

“Pokoknya Arini!”

Mereka ingin minggu depan Arini dipastikan tampil lagi, dengan membawa lagu-lagu Mamah Bungsu yang lain. Para anak KOMBAS sudah pada mengantri, barangkali ABS butuh pemain tambahan. Motivasi mereka lebih didasari atas keinginan untuk menyaksikan Arini dari belakang, mesti tak kalah sensasional ketimbang dari depan. Sebagai orang yang telah berjasa dalam mengorbitkan Arini, Dean sungguh bangga. 

***

Dari muka gang, nyanyian Mamah Bungsu sudah terdengar. Sekre-sekre lain tampak senyap karena ditinggal para pegiat yang beraktivitas di lain tempat. Langkah Dean tertahan di depan sekre KOMBAS. Agak susah percaya bahwa alunan musik etnik itu mengalun dari sana. Lenggokan Arini dikelilingi alat musik khas Sunda yang dimainkan beberapa awak KOMBAS. Kali ini betulan ABS yang meminjamkan alat, bukannya jadi penyedia jasa penyimpanan alat.

Yang lebih bikin Dean terpana adalah keluarnya beberapa cewek berjilbab dari sekre ABS, tapi Dean tidak mengenali mereka sebagai anak ABS, melainkan kakak kelas. Anak ABS lamakah? Tapi mereka lebih pas disebut sebagai anak-anak DKM alias rohis. Ah mungkin benar begitu.

Lantunan tembang Mamah Bungsu yang jadi latar tak kuasa menepis suasana redup yang mengitari sekre ABS.

“Yan, ada lagu lain enggak yah selain Bungsu Bandung?”

Mata Dean membesar. Pas benar dengan apa yang mau ia sampaikan. Mereka duduk melingkar di ubin sekre. Adem dan lembap berkat hawa yang dibawa mendung.

Dean menceritakan pertemuannya dengan Zia beberapa waktu lalu. Cewek yang termasuk teman dekat sekaligus kakak kelasnya itu menanyakan keterlibatan Dean di ABS. Menurut Zia, penampilan ABS kemarin menyiratkan ketidakadilan gender. Hanya cowok yang mendapatkan kesenangan dari tontonan itu, sedangkan cewek-cewek sendiri pada risi. Dibilangi begitu, Dean malah curhat soal visi ABS dalam mempopulerkan budaya Sunda, setidaknya dalam lingkup sekolah. Balas Zia, “Ya… tapi enggak mesti gitu juga kali, jangan sampai budaya Sunda disukai cuman gara-gara suka nampilin cewek bahenol!”

“Ah cewek itu mah emang banyak omongnya,” sergah Asep yang pernah sekelas dengan Zia saat kelas X. “Kayaknya kita kemarin cukup diapresiasi juga sama penonton cewek.”

Dean termenung. Omongan Zia itu justru melintaskan sesuatu dalam kepalanya. Orang Sunda jangan hanya dikenal karena pintar ngabodor, pun molek secara fisik, tapi juga religius. “Saya pikir anak-anak DKM tadi pada ke sini mau ngajak kolaborasi, Kang.”

“Kolaborasi gimana, Yan?” Muka Dadang mengerut.

“Ya kali aja kasidahan pakai bahasa Sunda gitu… Anak DKM emang suka silaturahmi gitu ya Kang?”

 “Enggak gitu juga sih.” Asep menaikkan sebelah kakinya. “Ya sebenernya masalah itu juga. Mereka enggak nyaman aja sama kita kemarin. Kayaknya minggu depan enggak mungkin kita tampilin Arini lagi deh.”

 

…nu paling ngeunah jadi pagawe kantoran…[7]

 

Musik Bungsu Bandung masih mengalun kencang dari sekre sebelah.

“Enggak tahu tah gimana anak-anak KOMBAS,” sambung Asep.

Dean mengeluarkan iPod. Ia memindai koleksi lagu Sunda yang dimilikinya dalam benda tipis itu. “Tapi kalau Arininya gimana, Kang?”

“Ya kalau bisa jangan Arini sih…”

“Terus siapa dong Kang?” Dean melirik kedua akang di hadapannya bergantian.

Dadang mengerutkan mulut. “Ah, nya enggeus we lah, kita tarik aja sekalian anak DKM yang nyanyi buat kita!”

“Oh…” Dean harus mencari koleksi kasidah berbahasa Sunda kalau begitu.

Asep berdecak. “Ah mereka mah, paling cowok-cowoknya aja yang bisa diajakin nyanyi.”

“Yang dari ABS we atuh Kang. Akang gitu, yang nyanyi?”

Asep dan Dadang menggeleng dengan ngeri.

Ketika Mamah Bungsu dan Arini tak lagi dianjurkan, sedangkan cowok-cowok dari DKM jadi pilihan, maka tampaknya Dean harus berpaling pada deretan lagu favorit Ayah. Petang itu juga mereka menghampiri cowok-cowok DKM yang baru kelar rapat. Cewek-cewek DKM yang tadi menyambangi sekre ABS memandang dari kejauhan dengan penuh rasa ingin tahu.

“Bacain Yan, lagu apa aja yang kita tawarkan,” titah Asep begitu negosiasi dengan tim nasyid dari DKM dimulai.

“Kali ini mah lagu-lagunya dijamin aman, Kang,” sambut Dean. “Ada ‘Cilaka’ dari Iwan Ernawan, ‘Jang’ dari Oon, atau ‘Dina Amparan Sajadah’-nya Darso.”

Muka-muka itu terlihat asing dengan daftar lagu yang disebutkan Dean.

“Emang kenapa gitu sama si Arini?” tanya salah satu personil tim nasyid.

Biarlah itu menjadi rahasia perusahaan.

Arini datar saja ketika pihak ABS, siapa lagi kalau bukan Dean, menyampaikan bahwa ABS memutuskan untuk tidak minta bantuannya lagi. Hanya anak-anak KOMBAS yang sekuat tenaga menahan kecewa agar tidak sampai terpancar dari ekspresi mereka.

“Kalau begitu ABS tampilnya sekali aja ya,” pungkas Asoi dengan dingin.

Kendati mendapat tendangan mental dari KOMBAS begitu, Asep memantapkan rencana penampilan selanjutnya yang menggaet personil tim nasyid DKM. Apa sebab, melontar pula komplain dari guru yang kala itu terheran-heran mendengar ada dendang tak umum melantun dari kantin SMANSON. Jika biasanya jam istirahat diisi hingar-bingar irama pop, rock, atau kadang jazz, mengapa kali ini selera siswa SMANSON mendadak jegleg? Guru itupun, beserta guru-guru lain yang diajaknya, mendekati kantin. Dari kejauhan, dalam pandangan guru itu, gig SMANSON tampak bagai panggung remang-remang.

“Warung kali, remang-remang,” komentar Dadang.

Dean sebetulnya agak tidak rela kesan yang ditimbulkan oleh tembang-tembang Mamah Bungsu kok seperti itu. Memang kenes, tapi Mamah Bungsulah yang belakangan ini setia mengeloni pendengaran Dean menjelang tidur.

Penampilan “Dina Amparan Sajadah” secara drastis menyurutkan animo siswa SMANSON untuk menonton. Hanya sebagian pedagang kantin saja, mang-mang dan bibi-bibi, yang berdiri di tepi panggung. Muda-mudi lebih memilih untuk menghabiskan kudapan mereka di bangku yang sejauh mungkin letaknya dari panggung rendah.

“Berasa di kawinan enggak sih,” komentar salah seorang siswa.

“Enggak ah. Kawinannya enggak di gedung kali ya…” tanggap yang lain.

“Anak-anak KOMBAS pada ke mana sih? Hiburan istirahat gini kok malah nyewa organ tunggal?”

Mendengar komentar-komentar semacam itu, gondok menjejali leher Dean. “Dina Amparan Sajadah” adalah salah satu lagu favorit Ayah, yang secara otomatis jadi kesukaan Dean juga. Lagu tersebut sekiranya termasuk lagu Sunda paling populer, dengan lirik yang menggugah kalbu pula. Tiap kali mendengar lagu itu Dean seakan diingatkan untuk salat. Tapi mengapa anak-anak pada pasang tampang menghina begitu, seolah tak rela kata-kata pengajak tobat itu membelai pendengaran mereka.

Usai sekolah hari itu, sekre ABS tampak rada penuh. Baik oleh pegiat aktif ABS yang tak seberapa, anak-anak ABS lama yang masih terkena sihir Arini kendati sudah minggu lalu, sampai para cewek ABS yang tumben datang tanpa diundang. Para cewek protes karena mereka tidak dilibatkan, anak-anak lama bertanya-tanya ke mana Arini, sedang para pegiat aktif bingung memikirkan kesempatan nge-gig berikut yang terancam hilang.

“Arini! Arini! Arini!” seru anak-anak lama yang semuanya cowok.

“Arini tapi jangan nyanyiin Bungsu Bandung?” usul Depid.

“Arini tapi dijilbabin terus nyanyiin lagu ‘Sujud’?” tambah Dean.

“Kapan nih kita-kita ikutan main?” sahut cewek-cewek.

Ricuh itu kemudian disela oleh tawaran Dean yang disampaikan Asep. Kali ini Dean mengajukan tembang “Kaseureud” dari Darso. Menurut Dean tembang ini sangat nyunda karena mengandalkan calung sebagai instrumen utama. Para cewek bisa unjuk kabisa melalui instrumen, sedangkan yang cowok kebagian unjuk suara tapi tidak perlu punya vokal menggelora. Selain itu kandungan lirik lagu tersebut agaknya tidak bakal menyentil siapapun yang barangkali belum siap tobat. Tema bobogohan selalu bisa menyentuh siapa saja.

Sebagian cowok ABS tampak tidak puas karena wacana Arini terputus begitu saja, sementara para cewek ABS bersemangat untuk memulai latihan besok. Para anak lama ABS yang cewek pun ditarik untuk menransfer ilmu bermusik mereka pada anak-anak baru, mengingat ABS belum memiliki guru pembina baru yang dapat mengayomi. Sayangnya tidak ada cowok ABS yang cukup percaya diri untuk menyanyi. Mereka malah menyarankan untuk menggaet lagi personil tim nasyid DKM.

“Yang tadi juga bagus kok sebenarnya, nyanyinya,” kata Ipul yang diiyakan oleh beberapa orang. “Cuman ya emang kita aja kurang ngandelin instrumen, sama kurang dukungan dari anak ABS sendiri. Makanya besok pas ABS tampil, yang enggak ikut main juga ikutan kumpul di depan panggung.”

Semangat terpompa lagi. Para cewek ABS berlatih dengan giat. Meskipun ini hanya gig kecil-kecilan bagi KOMBAS, tidak se-“wah” kesempatan untuk tampil di Bazaar atau gig yang lebih besar, namun bagi ABS ini merupakan kesempatan penting untuk menunjukkan eksistensi ekskul tersebut yang selama ini termarginalkan.

Hari yang dinanti pun tiba. Suasana yang semula meriah akibat lagu ngetop yang dibawakan band sebelumnya mendadak jadi hening ketika satu per satu pemain ABS menaiki panggung. Surutnya nuansa riang memundurkan banyak penonton, mereka lebih tertarik untuk beli nyamikan lagi ketimbang bertahan dan mengawasi anak-anak ABS yang dari segi penampilan saja memang bersahaja—tak seperti anak-anak KOMBAS yang rata-rata mengikuti mode. Namun anak-anak ABS yang tidak ikut main siaga dengan tugas mereka sehingga sekitar panggung tetap terkesan ramai.

Di muka kantin, Dean menegur setiap orang yang ia kenal agar lekas menuju ujung kantin dan menonton pertunjukkan paling beda dalam sejarah gig SMANSON. Beberapa bilang “oke”, tapi Dean tak bisa memastikan apakah mereka benar-benar sampai tujuan, sebab perhatian Dean segera teralih pada orang lain yang juga tak boleh luput dipersuasi. Biarpun instrumen calung sudah bertanding dengan was wes wos pendatang yang menjejali kantin, upaya Dean belum putus. Semangat timbul tenggelam, sesuai reaksi yang ia terima. Lama-lama Dean sebal dengan semakin banyaknya ekspresi tak minat.

“Soalnya kan kita enggak ngerti bahasa Sunda,” ujar Unan, kawan sekelas Dean, ketika Dean menanyakan alasan untuk tidak mendengarkan lagu Sunda. Dean mencegat cewek yang baru saja membeli awug itu, dan makin gemas saja ia akan jawaban Unan.

“Emang kalau nyanyi kokoreaan atawa jejepangan gitu ngerti artinya?"

“Iya kan sambil belajar…”

“Emang udah berapa lama sih tinggal di Bandung?”

“Ya udah dari lahir sih…”

“Emang kalau dengerin lagu Barat gitu lebih ngerti ya? Aw…” Dean mengelus lengannya yang dipukul Unan, meski pelan.

“Ya iyalah!”

“Biasanya kan lagu-lagu gituan diputernya di kampung-kampung,” ucap Tria yang sedari tadi menemani Unan.

“Enggak ah. Ayah gue juga suka muter kok di rumah, tapi rumah gue di komplek tuh, jalannya lebar, cukup dua mobil!” Dean agak tak bisa menyembunyikan kekesalannya.

Ketika alunan instrumen calung itu berakhir, Dean mendekati kawanan ABS-nya. Tapi pembahasan ada saatnya nanti sepulang sekolah. Ah Dean tak sabar menantikan itu.

Yang berkumpul di sekre ABS usai sekolah kali itu tak lebih banyak dari minggu lalu, hampir semua adalah anak ABS yang hadir saat pertunjukan tadi.

“Gimana pertunjukannya tadi, Barudaks?” tanya Asep.

“Lumayanlah, tapi masih banyakan anak ABS-nya yang nonton,” terdengar sebuah laporan.

“Terus dari KOMBAS-nya sendiri gimana?” sahut seseorang.

“Yah enggak ada komplain apa-apa sih,” lapor Depid selaku penghubung ABS dengan KOMBAS.

“Tapi seenggaknya musik kita lumayan bedalah dari musik-musik kantin biasanya. Kayaknya tadi ada beberapa anak bukan ABS yang ngeliatin kita terus, ya anggap aja itu juga apresiasi,” kata seseorang yang lain.

“Nah, kalau gitu buat minggu depan kita mau nampilin apa lagi nih?” tanya Asep pada forum.

“Ya udah calung lagi aja atuh,” ucap Amel, cewek ABS lama  yang selama ini lebih sibuk mengurus studinya.

“Kayaknya mending kita ada pariasi deh. Pas pertama kan rame tuh, ada Arini. Yang kedua, yah rada-rada jegleg tapi enggak apa-apalah. Menurut saya yang ketiga ini lumayan. Grafiknya naik lagi dikit.”

“Kalau gitu kita Arini lagi!” sahut seorang cowok ABS lama.

Ramailah.

“Kalau ada Arini kita bisa tampil dua kali!” seru Ekal.

“Ya terserah deh, asal yang cewek-cewek tetep bisa ikutan main!” ucap Amel, yang buru-buru disambung, “Tapi instrumen aja, enggak ikutan geol.

“Menurut kamu gimana, Yan?” tanya Asep di sela-sela kericuhan. Perbendaharaan Dean yang tampaknya paling Asep percaya.

Dean tak langsung menjawab. Sesungguhnya ia masih menyimpan kecewa atas jawaban beberapa kawan sekelasnya tadi, dan mengingat ekspresi tak minat yang berhamburan sepanjang jam istirahat tadi sungguh menyakitkan. “Sebetulnya saya enggak puas, Kang. Masih ada orang yang mendiskreditkan musik Sunda. Padahal buat saya mah musik Sunda itu sejajar sama musik manapun, ya Beethovenlah, ya The Beatleslah, ya siapalah…” Perbendaraahan musik Dean secara umum sebetulnya tak terlalu kaya, ia tidak suka menghapal nama-nama apalagi judul-judul yang mengikutinya. “Saya pingiiin pisan ngeliat anak-anak KOMBAS juga ikut nikmatin lagu Sunda, bukannya langsung menyingkir pas kita naik panggung.” Bagi Dean, sesungguhnya yang lebih penting adalah lagu Sundanya, bukan ABS. Menyinggung lagu Sunda berarti menyinggung martabat Ayah yang amat dikaguminya, ayahnya yang orang Sunda. Dan Dean tidak tahu lagi lagu Sunda apa yang cukup memikat bagi telinga orang-orang itu. Apa yang dirasa nikmat bagi telinganya yang dapat menerima segala jenis musik, belum tentu cocok bagi orang-orang tertentu. O Dean menyesali adanya kalangan yang begitu picik dalam mendengarkan musik. Padahal tak sedikit juga lagu Sunda yang menyampaikan pesan agar bermoral baik, tak semata yang seronok dan hanya memanjakan kaum lelaki.

Tahu-tahu saja teriakan Dadang terdengar, “Eh! Kenapa sih kita harus diperbudak terus sama KOMBAS? Harus selalu nyesuain diri sama keinginan mereka? Si KOMBAS itu dari awal emang udah enggak niat nampilin kita!” Yang lain terdiam. “Kalau perlu kita bikin gig kita sendiri, dan namanya juga bukan gig, tapi bahasa Sundanya gig!”

“Emang apa bahasa Sundanya gig?”

“Dang… Dang… Tenang, Dang… Inget yang di sebelah…” Kedua tangan Asep menepuk-nepuk bahu teman di sampingnya itu.

“Ah peduli amat!” sergah Dadang. “Kalau perlu juga, kita keluarin semua barang KOMBAS dari sini!”

“Ya! Ya! Ya!” Anak-anak lama terkompori. Kendati mereka lebih aktif di ekskul lain, ternyata tak satupun yang menyambi di KOMBAS.

Ulah! Ulah! Entar sekre kita jadi keliatan enggak ada isinya,” masih Asep coba menenangkan Dadang dan pengikutnya yang bertambah banyak.

“Enggak bisa, Sep. Kita udah terlalu sering toleran sama mereka, selalu kita yang banyak berkorban. Tapi apa yang mereka kasih sama kita?”

Dendam laten yang telah turun temurun itu akhirnya meledak, meski dalam wadah sendiri hingga rasanya bak Kawah Candradimuka.

Dalam situasi itu, Dean merasa sama genting. Saudara kembarnya kan anak KOMBAS. Kalau KOMBAS sampai tawuran dengan ABS, bisa jadi perang saudara! Kalau anak-anak ABS nantinya sampai kepikiran untuk menghunus kujang, anak-anak KOMBAS bisa balas dengan apa? Stik drum? Dean cemas memikirkan keselamatan saudara kembarnya.

 Depid sama bungkamnya dengan Dean, anak berambut lurus lebat itu meringkuk saja di pojok sekre. Selama hampir sejam Dean bertahan dalam panasnya luapan aspirasi ABS. Dan ketua ABS, Asep Sujalma, pun memutuskan bahwa mulai minggu depan mereka tidak akan berkontribusi lagi dalam gig KOMBAS.

“Sebelum kita didepak mereka, kita depak mereka duluan!”

“Iya! Kita tunjukkan kalau orang Sunda juga punya kuasa! Bisa punya kehendak atas diri mereka sendiri!”

Dan bara itu lalu mereka padamkan dengan mendengarkan Cangehgar bersama-sama. Dean keluar dari sekre ABS dengan was-was, mengikuti Depid. Selaku penggagas  unjuk gigi ABS via gig KOMBAS, cemberut di wajah Depid itu amat kentara. Dean merangkul anak itu.

“Menurut kamu mereka bakal beneran bikin gig sendiri, Yan?”

Dean menggumam tak jelas karena belum kepikiran jawaban yang enak untuk dilontarkan. Ia giring Depid ke seberang, lalu mereka duduk menghadap kedua sekre yang diam-diam dalam sengketa itu.

“Siapa yang mau nonton ya?” Depid malah menjawab sendiri pertanyaannya.

Dean sendiri ragu, tidak enak diingatkan akan itu. Namun melihat sekilas sosok saudara kembarnya yang baru memasuki gang sekre, perasaan Dean jadi lebih tenang. Mereka saling melambaikan tangan. Deraz hanya menengok sebentar sekre ekskul debatnya yang terletak di muka gang, lalu kembali menghilang. “Tenang Pid. Gua bakal bikin pertunjukan kita banyak yang nonton,” tandas Dean yakin.

***

Secara biologis mereka adalah saudara kembar, tapi secara rupa diragukan. Tidak seperti Dean yang letoy lagi kerempeng, tubuh Deraz tegap berisi. Ia gemar mandi matahari, sehingga kulitnya tak sepucat Dean. Sejak SMP ia sudah terkenal sebagai siswa yang bergelimangan prestasi, baik secara akademis maupun ekstrakulikuler, dan di SMA ini ia lanjut aktif di OSIS, ekskul debat dan sepak bola, serta KOMBAS. Gig SMANSON biasanya tambah ramai ketika Deraz berada di panggung untuk memamerkan kemampuannya memetik gitar, namun yang diburu para mojang SMANSON sesungguhnya adalah fisik Deraz yang menawan.

Tapi meski sama ⅜ Sunda sebagaimana Dean, Deraz lebih menghargai ⅛-nya yang antah berantah. Ia sama sekali tidak fasih berbahasa Sunda, igauannya saja dalam bahasa Jerman  dan hanya Dean yang tahu.

Memang Deraz tak bisa diandalkan dalam urusan susundaan, tapi posisinya yang acap dianggap lebih dewasa dari Dean membuatnya sukar menolak pinta Dean. Dan Dean tahu benar vokalis band Deraz adalah jajaka Priangan tulen, yang sama terjerat akan pesona Deraz sebagaimana para mojang SMANSON. Kalau Deraz sedia, Ipong bisa apa?

“Pong, nyadar Pong, maneh teh urang Sunda. Tong hilap sareng jati diri maneh!” seru Dean dalam kesempatan itu. Ia mengguncang-guncangkan tubuh Ipong yang memang jauh lebih kecil darinya.

“Jadi maunya elo apa sih?” Biarpun dialek Ipong ala anak gaul ibu kota, tapi paras molek dan kulit kuning langsatnya lantang bicara bahwa ia keturunan Sangkuriang.

“Deraz udah mau. Bram, Yoga, sama Adib,” Dean menyebut nama-nama personil lain dalam band Deraz, yang mengangkat bahu saja kala Dean menyebut nama mereka, “iya-iya aja. Nah sekarang tergantung elo,” tunjuk Dean, “sebagai nyawa dari band ini!” Jika Deraz diibaratkan ujung tombak yang menyebabkan atraksi band dapat mengena di hati pemirsa, Ipong adalah pelempar tombak tersebut. Kepiawaian Deraz dalam menggeber gitar sesungguhnya hanya pelengkap bagi vokal Ipong yang menggelora bak androgini.

“Nyanyi lagu ‘Mobil Butut’-nya Bungsu Bandung!”

“Ogah!”

“Kalau gitu, ‘Wayahna’!”

“Itu apa?”

“Argh, Pong, gue tahu orangtua elo dua-duanya raden, apa elo bisanya nembang pupuh doang?”

“Pupuh juga gue udah enggak inget!”

“Elo orang Sunda apa bukan? Masak enggak tahu lagu-lagu Sunda? Gue aja yang cuman ⅜ ngerti, apalagi elo yang 100%!”

Sementara Bram, Yoga, dan Adib menyeruput jus masing-masing, Deraz yang sudah familier dengan interaksi Dean-Ipong tiap kali bersua menyela, “Lagunya kayak apa ya, Yan?” Dean menoleh pada saudara kembarnya. Betul juga! Lagu yang dimainkan band ini kan biasanya tergantung pada apa yang lagi asyik Deraz ulik—kalau bukan pada eksperimen vokal Ipong. Serahkan pada Deraz!

Tangan Deraz tak kunjung menyentuh senar, padahal Dean sudah memperdengarkan lagu ‘Wayahna’ berkali-kali. Kencang-kencang pula!

“Bingung tuh si Deraz,” tuding Adib. “Ada yang iramanya enggak disko enggak?”

“Enggak…” sahut Dean. “Ayo Yaz, elo kan pasti pernah denger juga kan Ayah muter lagu ini di rumah?”

“Iya Yan…” tukas Deraz sabar. Tapi ia tinggalkan juga sang gitar demi rapat OSIS, begitupun dengan para personil lain. Sudah satu band, satu kelas, satu organisasi pula, mereka terlalu kompak, termasuk dalam bikin Dean lieur. Ketika tidak ada seorangpun di rumah, ia coba mengaransemen sendiri lagu itu dengan piano. Setelah menemukan nada-nada yang tepat, ia malah tidak percaya diri. Bagaimana kalau orang-orang tetap tak menyukai permainannya?

Dan ia hanya bisa melewati sekre ABS dengan lesu, memandangi orang-orang yang sudah gembira hanya dengan main kartu sembari mendengarkan Cangehgar. Namun di sebelah gelak tawa itu, samar-samar ia mendengar denting gitar dan dentum bass. Flute yang ditiup Yoga menghasilkan melodi lirih. Gumaman Ipong berubah jadi kata-kata yang tertangkap, “…tempe deui, tempe deui… Wayahna tumis deui tumis deui…” Kepala berjambul itu bergoyang-goyang, sementara mata hitam besarnya menancap pada secarik kertas lecek di tangan. Mereka duduk di lantai sekre KOMBAS yang berlapiskan karpet biru, hanya Deraz dan Yoga yang duduk di kursi. Kepala Deraz juga ikut bergoyang pelan seiring tabuhan galon yang Adib mainkan. Dentuman bass Bram menambah riak yang membangkitkan gejolak tubuh untuk bereaksi. Tapi semuanya terjadi dalam ritme yang tenang. Tidak sangka ‘Wayahna’ versi akustikan akan begini indahnya. Geletar haru menyelubungi Dean yang hanya berdiri di ambang pintu.

Di hari H, sekitar panggung dijejali orang-orang yang terkesima: para penggemar Deraz, pengurus KOMBAS, siswa dari berbagai kalangan lainnya, dan tak terkecuali anak-anak ABS. Suara sok sengau Ipong menimbulkan kekocakan tersendiri yang menggelitik telinga, Dean tersenyum-senyum mendengarnya. Di beberapa bagian suara rendah Deraz, Adib, dan Bram melatari dendang Ipong yang kadang dibikin sok genit. Alunan flute yang dimainkan Yoga menjadi hiasan tersendiri.

Tiba-tiba Ipong yang semula menyanyi dengan lagak takzim bangkit lalu menepuk-nepuk tangan di atas kepala sesuai irama. Membaca isyarat itu, Dean mengeraskan suaranya yang sedari tadi sebetulnya membersamai. Ia mendekati Asep yang terpana di sisi kantin. “Ikut nyanyi, Kang,” ucapnya di sela-sela nyanyiannya. Dean menoleh pada anak ABS lain yang memerhatikan, mengajak untuk melakukan hal yang sama. Tak lama, bagian depan panggung telah dibahanai suara-suara tak kompak tapi bermaksud sama, yang lama-lama jadi serempak jua.

“Yuk ayeuna mah ti awal we lah… Kemon, Son!”

Ipong mengedarkan pandang pada para personilnya. Paduan instrumen yang semula hampir reff dialihkan dengan lembut ke intro tanpa kesan terputus.  

 

Wayahna, jengkol deui jengkol deui

Wayahna, asin deui asin deui

Wayahna, tumis deui tumis deui

Wayahna, deungeun sangu sapopoe

Isuk-isuk jengkol, beurang asin, ari peuting tumis[8]

 

Begitu seterusnya untuk tempe, tahu, endog, urap, kangkung, dan waluh. Meloncati bagian reff, paduan instrumen melambat yang disusul Ipong dengan, “Hayu ah kabeh miluan, heu euh! Jengkol…”

“Jengkol!”

“Asin…”

“Asin!” Ipong mengarahkan mikrofon ke arah audiens.

Lalu menaruhnya lagi di depan mulut. “Tumis…”

“Tumis!”

Begitu seterusnya.

“Tempe…”

“Tempe!”

“Tahu…”

“Tahu!”

Angeun kacang…”

Angeun kacang!”

“Urap…”

“Urap!”

“Ulukutek…”

“ULUKUTEK!”

Gelegar tawa.

Dean puas sekali melihat Tria dan Unan di sela kerumunan coba mengikuti dendang dengan kagok. Wajah Ipong di atas sana juga tampak puas, meski bercucuran keringat. Biar resek, Dean mengagumi kemampuan Ipong sebagai vokalis yang interaktif. “Kepada barudaks ABS, kita tunggu yah kolaborasinya!” Ipong menunjuk entah pada siapa ke arah penontonnya, tapi tentunya setiap anak ABS akan merasa. “Ieu gig maneh oge, Son!”

***

Lega benar Dean. Beberapa minggu terakhir ini terasa cukup melelahkan baginya yang tak terbiasa aktif dalam kegiatan ekskul, kalau sekadar main sih ayo saja! Ia mungkin tidak akan nimbrung ke ekskul manapun dulu untuk sementara, tapi ia sudah mulai menimbang-nimbang sasaran selanjutnya. Biar demikian, dengan atau tanpa ia menjadi anggota ABS, budaya Sunda sebagai bagian dari dirinya akan selalu ia apresiasi. Dean berjanji!

Sekali Dean main ke sekre ABS, ia masih ditanya Asep lagu apa yang ia sarankan untuk gig berikut. Gembira benar Dean, ternyata ABS tidak jadi mundur sebagai pengisi gig KOMBAS!

“Kalau perlu kita bikin supaya mereka bisa nampilin kita dua kali seminggu!” malah Dadang yang bertekad begitu, yang segera disambut tabokan dari teman-temannya.

“Eee… Ngomong tiasa, ari getol latihan tara!”

Belum juga Dean angkat suara, sudah melayang saran-saran dari para anggota ABS. Yang cewek ingin lagu-lagu Adele dimainkan dalam nuansa calung. Yang cowok tetap Arini, tapi mereka juga setuju untuk mengalihbahasakan lagu-lagu Adele ke dalam bahasa Sunda, lalu menantang para vokalis KOMBAS untuk menyanyikannya dengan sempurna. Dean tak sabar untuk menyaksikan segala konsep yang lucu-lucu itu.

Depid sendiri memimpikan jumlah anak ABS bertambah dari waktu ke waktu, jumlah yang cukup untuk memainkan tumpukan angklung di pojok sekre. Jangan jadikan mereka sekadar rongsokan bambu!

“Kalau gitu tahun ajaran besok kita mesti gaet banyak banget orang, Dep,” ucap Asep.

“Sip Kang!” Depid mengacungkan jempol. Anak itu tertawa renyah. Ah Dean jadi semakin ingin melihat Depid berdiri di panggung rendah itu, sebagai Jet Li yang menyanyikan lagu Sunda dengan kocaknya.

 

Owe tumpak becak kaliling-liling

Calana butut tuluy ka alun-alun

Di alun alun aya kantol polisi[9]

 

Apapunlah, apapun agar ungkapan ekspresi ini dapat tersampaikan. Omong-omong, Arini masih mau tidak ya, membawakan aksi Mamah Bungsu lagi, untuk Dean saja tapi hihihi. Dean tersenyum mesum. Tidak juga tidak apa-apa, toh masih bisa Dean nikmati sendiri keelokan suara Mamah Bungsu beserta ragam instrumen yang mengiringinya via iPod.

 

Oncom-oncom… bala-bala… ampyang-ampyang…

 

“Emang enaknya apa sih lagu-lagu kayak gituan?” tanya Zia. Ia dan cewek itu tengah jalan bareng menuju rumah sepupu Zia, yang adalah teman sekelas Dean, yang mana Dean ingin menanyakan cara mengerjakan PR Kimia, yah begitulah. Cewek itu terus memerhatikan tubuh Dean yang bergerak-gerak pelan mengikuti irama degung.

“Enaknya yang ini nih…” Dean memberikan sebelah earphone-nya pada Zia. Sekarang belaian merdu itu sama mengalir di rongga pendengaran mereka. “Dengerin baik-baik… Habis ini…”

 

Jenajenajenajenajenajenajenajenajenaje

Kalikilikiliki kalikilikiliki

Yak hoya yak hoya yak hoya yak hoyaya

 

Zia terperangah. “Emang itu bahasa Sunda?”

Teuing. Sigana mah lain nya?”

Mereka terbahak.

“Enak juga ya?” Zia tampak mulai menikmati. Kepalanya bergoyang pelan. Dean memberikan earphone-nya satu lagi sehingga Zia bisa menikmati lagu itu sepenuhnya. Toh ia sudah hapal setiap nada yang memeriahkan lagu itu, termasuk berapa kali jena, kaliki, dan yak hoya dalam satu bait.

 

 

::sapoe pinuh dina 13/05/12::



[1] Dicatut dari Cangehgar, Carita Ngeunah dan Segar, semacam lawakan program radio Rama FM Bandung

[2] Dicatut dari Cangehgar, Carita Ngeunah dan Segar, program radio Rama FM Bandung

[3] Kalau ada yang ingin tahu bagaimana lagu “Es Lilin” dan “In the End” di-remix, silakan kontak saya :D

[4] Doel Sumbang – Urang Sunda

[5] Doel Sumbang – Urang Sunda

[6] Bungsu Bandung – Kiceup Akang

[7] Bungsu Bandung – Oncom Garing

[8] Ikko - Wayahna

[9] Dari mp3 berjudul “jet li nyanyi lagu sunda”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain