Judul : 60000 Mil di Bawah Laut
Pengarang : Jules Verne
Penerjemah : Noviatri
Penerbit : PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2010
Sesuatu yang diduga cetacean menghebohkan dunia pelayaran.
Banyak kapal menjadi korban. Monsieur Aronnax beserta pendampingnya yang setia,
Conseil, mengikuti misi Kapten Farragut untuk menguak misteri tersebut. Mereka
menumpang kapal Abraham Lincoln dan bertemu sobat baru dari Kanada, Ned Land.
Pertemuan dengan
makhluk asing itu malah menghempaskan Aronnax, Conseil, dan Ned dari kapal.
Mereka terombang-ambing di lautan sebelum akhirnya terdampar di punggung benda
misterius yang diburu-buru, ternyata itu adalah sebuah kapal selam!
Saat itu tahun 1866,
kapal selam Nautilus yang dikomandani Kapten Nemo merupakan penemuan yang luar
biasa. Panjangnya mencapai puluhan meter sedangkan lebarnya sekitar delapan
meter. Di dalamnya terdapat perpustakaan dan museum dengan koleksi dari sumber
daya laut yang menakjubkan. Selain itu sumber daya laut juga dapat diolah
menjadi bahan untuk menggerakkan kapal, berbagai hidangan yang lezat, dan
sebagainya. Aronnax beserta kedua sahabatnya dijamu dengan sangat baik oleh
Kapten Nemo.
Edisi bahasa Indonesia
novel ini terdiri dari 404 halaman, dan saya hampir tidak bosan membaca
dikarenakan deskripsi akan kehidupan bawah laut yang begitu semarak. Secara
tidak langsung saya telah dibawa keliling dunia oleh pengarang, lewat jalur
bawah! Tak hanya keindahan biotanya yang kerap mencengangkan, melainkan juga
bentukan alam yang bervariasi. Dari yang “biasa” saja, hingga area super panas
di bawah Gunung Santorin, lalu ciptaan Tuhan yang saking indahnya hingga dapat
membutakan mata di bawah gunung es. Belum lagi gelimpangan harta, bahkan jasad
manusia, dari kapal-kapal yang karam.
Sesekali Kapten Nemo
mengajak para tamunya bertualang, mulai dari menyambangi daratan Papua, berburu
berang-berang laut di Pulau Crespo, menyusuri lorong bawah laut yang
menghubungkan Laut Merah dengan Laut Tengah, bertarung melawan cumi-cumi
raksasa, mencicipi susu paus, hingga membalas serangan dari kapal lain.
Kendati begitu
beragam yang bisa disaksikan di dunia bawah laut, kebosanan tetap dapat
melanda. Satu setengah jam dalam pesawat saja sudah bikin saya merasa rada
mengidap klaustrofobia, apalagi berbulan-bulan di kapal selam! Begitupun yang
dialami dengan Aronnax dan para sobatnya. Beberapa kali Ned mengajak Aronnax
dan Conseil untuk melarikan diri, akankah mereka berhasil?
Meskipun Kapten Nemo
memberi para tamunya kebebasan untuk berkelana di penjuru Nautilus, misteri
tetap terpendam. Sepuluh bulan mengembara dunia bawah laut bersama, identitas
Kapten Nemo tidak terkuak, pun sekian puluh awaknya. Kematian salah satu awak
di bagian tengah novel juga tidak diketahui sebabnya hingga akhir. Hanya
penjelasan bagaimana kapal selam itu dibangun saja yang diungkapkan, agaknya
ini sebab mengapa novel ini dikategorikan sebagai fiksi ilmiah. Jika novel ini
adalah novel psikologis, agaknya sebab Kapten Nemo mengasingkan diri dari dunia
luar dengan kapal selamnya itu akan dibeberkan. Alih-alih mengusut latar
belakang para manusia dalam cerita ini, pengarang lebih suka mengeksplorasi
kekayaan dunia bawah laut. Sentuhan kepribadian diberikan secukupnya: Kapten
Nemo yang moody, Conseil yang setia,
Ned yang temperamen, serta Aronnax yang berkepala dingin.
Namun dengan taburan
deskripsi bawah laut di berbagai lokasi yang membumbungkan imajinasi, plus
pengetahuan akan situasi bawah laut yang menakjubkan, saya kira novel ini
merupakan bacaan yang baik bagi anak-anak, tentunya dari spesies kutu buku yang
sudah kuat melahap novel tebal dengan ukuran font relatif kecil.
Bahasa terjemahan
dalam novel ini sebetulnya mudah dicerna, tetapi beberapa kali saya menemukan
adanya cetakan yang kurang enak dilihat, seperti “dsb” dan bukannya “dan
sebagainya”, atau “asked” mendampingi “tanya”, “with” setelah “dengan”, juga
“and” yang membarengi “dan”.
Bagaimanapun melalui
novel ini pembaca dapat menyadari bahwa sumber daya laut begitu kaya, dengan
potensi pemanfaatan yang amat besar, sekaligus rentan akan kepunahan. Ketika
Ned meminta izin dari Kapten Nemo untuk membunuh paus, beginilah jawab sang
kapten,
“…Tapi kali ini kita akan membunuh hanya untuk memenuhi kepuasan membunuh saja. Saya sadar itu hak istimewa yang diberikan kepada manusia, tapi saya tidak bisa menyetujui hobi membunuh sepeti itu. …. Populasi mereka sekarang sudah jarang ditemui di seluruh Teluk Baffin, dan nantinya kelompok binatang berguna ini lama-lama juga akan punah sendiri. Jangan ganggu paus-paus malang itu. Mereka sudah punya banyak musuh. Sebut saja cachalot, ikan pedang, dan ikan gergaji, tanpa anda sekarang mengusik mereka.” (halaman 299)
Saya jarang membaca
fiksi ilmiah. Setelah membaca sekilas beberapa publikasi ilmiah mengenai genre
satu ini, saya menyadari kontribusi fiksi ilmiah dalam perkembangan teknologi.
Berlandaskan
pengetahuan mengenai teknologi yang telah ada, manusia memimpikan bagaimana
teknologi tersebut jika dikembangkan lebih jauh lagi… Bagaimana jika teknologi
kloning yang ada dapat menghadirkan lagi dinosaurus di muka bumi? Maka jadilah
“Jurassic Park” oleh Michael Crichton. Dalam “60000 Mil di Bawah Laut” pun,
setelah Nautilus dapat membuktikan kecanggihannya, terselip impian untuk
membuat kota kapal selam.
Dan fiksi ilmiah
tidak hanya menyajikan mimpi, melainkan konsekuensi yang mungkin terjadi dari
teknologi tersebut. Dalam “Jurassic Park”: spesies dinosaurus terganas akhirnya
memporak-porandakan eksistensi manusia di Isla Sorna. Dalam “60000 Mil di Bawah
Laut”: Nautilus terjebak di gunung es sehingga seluruh penumpang kapal harus
bahu-membahu menjebol es, sekaligus berbagi oksigen.
Jika selama ini
fiksi ilmiah acap berlandaskan science
yang bersifat eksak, apakah social
science juga bisa menjadi bahan untuk membuat fiksi ilmiah?***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar