Raka (2)
Aku bersimpuh di depan pintu. Aku turunkan kepalaku hingga
nyaris menempel ke ubin merah hati. Aku dekatkan penciumanku ke celah di bawah
pintu lalu mengendus-endus. Bau itu semakin kuat di sini. Aku bangkit. Aku
segera menarik-narik gagang pintu. Sepertinya dikunci juga. Aku berdecak. Aku
tendangi pintu itu, barangkali bakal terbuka dengan sendirinya, tapi ternyata
tidak. Kacanya saja yang bergetar.
Apa aku harus menunggu sampai pacar Ratu datang, memarkir
mobilnya di depan rumah ini sebagaimana biasa, lalu menyulut rokok sembari
menunggu Ratu keluar rumah, dan meledakkan rumah ini beserta dirinya sekalian
mobilnya?
Aku harap itu terjadi.
Kalaupun tidak, kebocoran gas tetap bahaya.
Aku diam sebentar.
Aku susuri jendela-jendela terdekat.
Semuanya tertutup rapat. Barangkali saja ada yang bisa aku tarik keluar. Aku
perhatikan lagi jendela-jendela itu dengan saksama. Semuanya diselot. Aku
dekatkan muka pada jendela. Aku mendapati perabotan dan kesunyian.
Aku edarkan pandanganku ke sisi lain
pintu. Ada jendela-jendela yang lebih kecil, jendela berupa kisi-kisi maupun
jendela persegi yang letaknya jauh melebihi tinggi badanku yang hanya 170 cm.
Ada dinding tinggi juga di ujung carport, dilapisi dengan
batu hias hitam keemasan, yang melatari taman kecil. Di sampingnya ada pintu
merah yang sepertinya terbuat dari besi.
Aku mendesah. Aku tidak sudi jalan ke sana.
Jadi aku balut tangan kananku dengan singlet Ratu. Aku
mengambil jarak sekitar 1 meter dari pintu itu. Aku tarik sikut kananku
jauh-jauh sebelum menghunjamkan tinju sekuat mungkin ke kaca pintu itu. Bunyinya
tidak mengenakkan. Sontak aku berjongkok seraya memeluk buntalan kain di ujung
lengan kananku. Kaca sialan itu tebal juga.
Aku buka buntalan kain itu. Aku tatap tanganku dengan
nelangsa. Aku goyang-goyangkan sebelum membalutnya lagi. Aku atur nafas seraya
memusatkan kekuatan pada tinju kananku. Kali aku menggunakan waktu yang lebih
lama dari sebelumnya. Barulah aku menghasilkan bunyi itu lagi, BUK, BUK, dan
BUK, aku meringis, sekali lagi, CRAK.
Retak sedikit. Aku buka balutan itu lagi. Tangan kananku
sangat merah.
Kini giliran tangan kiriku bekerja, meski aku agak sulit
mengarahkannya. Aku hantam lagi retakan itu. Aku arahkan juga pada bagian lain
yang belum retak. Retakan membesar. Sebagian runtuh.
Aku menunduk. Nafasku yang tersengal-sengal terdengar sangat
jelas. Aku puas. Puas sekali. Sekilas terpikir untuk menghancurkan seluruh kaca
di rumah ini. Lalu seperti ada yang menjalar di bagian dalam tubuhku. Di tengah
sengal, ujung bibirku tertarik ke atas. Aku sempat gamang sesaat. Tapi karena
aku tidak ingat apa sebabnya, aku kembali menikmati kesenangan yang tiba-tiba
ini. Ini cara yang jauh lebih menyenangkan ketimbang menelepon Bapak Anthony
dan mengatakan kalau rumahnya bisa meledak sewaktu-waktu.
Pukulan selanjutnya aku hentakkan dengan semangat yang lebih
besar. Lebih besar lagi pada pukulan-pukulan seterusnya. Minta maaf dan ganti
rugi adalah perkara gampang, biar orangtuaku yang melakukannya, aku tinggal
mengunci diri dalam kamar.
Tahu-tahu saja aku sudah berhenti. Aku cabuti potongan kaca
yang tersisa di bagian bawah kosen. Setelah itu aku memastikan sisa potongan kaca
di bagian samping kiri, kanan, dan atas tidak akan melukaiku begitu aku
melewatinya untuk masuk ke dalam rumah.
Begitu turun dari kosen, aku berada di sebuah ruangan yang
besar. Bau gas semakin menyengat. Aku sampirkan singlet Ratu ke bahu. Aku tutup
hidungku dengan kerah kaos. Nafasku jadi pendek-pendek. Mataku nyalang mencari
di mana letak elpiji bangsat itu. Intuisiku mengarahkan aku ke kanan.
Aku melalui sebuah lorong pendek dengan pintu di kanan-kiri
dan bertemu dapur yang sedikit lebih luas dari dapur rumahku.
Ada berbagai kemasan makanan dan minuman pada meja besar di
tengah ruangan itu. Sebagian berada dalam plastik. Tidak ada yang terbuka. Aku
meraih salah satu bungkus snack, menilik tanggal kedaluwarsa, menyobeknya, lalu
mencicipi beberapa batang. Enak.
Ada galon dan dispenser juga, air dalam galon itu tampak
penuh, indikator heater pada dispenser menyala. Aku curiga jangan-jangan kulkas
di ujung pantri itu hidup, bisa jalan-jalan, bisa makan, ah bukan, colokannya
tersambung dengan arus listrik, maksudku.
Aku bingung. Jadi rumah ini sebetulnya masih dihuni ya?
Aku tutupi lagi hidung dengan kerah kaos. Aku dekati tabung
elpiji di bawah kompor gas. Tidak terdengar desis. Kuputar kenop pada kompor.
Rupanya dari tadi kompor ini menyala tanpa api.
Siapapun yang menghuni rumah ini, dia tolol.
Aku sibak tirai yang menutupi jendela dapur. Kuangkat selot,
kubuka jendela lebar-lebar. Aku coba buka pintu-pintu, tapi sepertinya semua
dikunci.
Aku kembali ke ruangan besar itu. Ketika melewati kosen yang
bolong, aku ingat untuk tidak coba memecahkan kaca lagi. Aku bakal cari jendela
sebanyak mungkin saja di rumah yang sumpek ini.
Tirai-tirai aku seret ke tepi, selot-selot aku tarik ke atas.
Di balik dinding kaca aku berhenti. Aku menggeser tirai yang menghalangi
pandanganku menuju rumah bertingkat dua di seberang rumah ini.
Halaman sebelah kiri rumah itu diteduhi pohon cengkeh dan
pohon mangga.
Di bawahnya, ada bangku di mana Ratu dan Rara biasa mencurahkan
kotoran di hati mereka pada satu sama lain, sembari merumuskan tindakan semena-mena
berikutnya untuknya.
Sementara itu, aku di halaman tengah mengurusi tanaman hias
sekaligus tanaman bumbu dapur, berlagak tidak mendengar apapun yang mereka
pergunjingkan.
Halaman sebelah kanan adalah garasi untuk dua mobil, dengan
satu motor menyempil, sedangkan mobil baru Ratu kebagian di carport.
Di atas garasi, ada bagian dari bangunan lantai dua yang
menjorok agak jauh ke dalam, itu area babu.
Selebihnya sejajar dengan bangunan di bawahnya. Berturut-turut
adalah kamarku, beranda, dan kamar Ratu.
Kuamati agak lama jendela kamarku yang tidak terlampau lebar.
Aku malas membuka jendelaku, tapi aku selalu buka tirai sebelah dalam selama
jam kerja matahari. Masih ada tirai satunya, yang putih berenda dan memuakkan, yang
menyelubungi jendelaku. Tidak ada seorangpun yang bisa mengintip aktivitasku di
dalam kamar, aku tersenyum.
Kamar Ratu dan kamar Rara ada di seberang kamarku, dipisahkan
oleh ruangan cukup luas yang bersambung dengan beranda serta tangga. Jadi kalau
aku mau ke lantai bawah dari kamarku, atau ke kamarku dari lantai bawah, aku
pasti melewati area mereka, dan itu adalah momen-tidak-menenteramkan yang aku
alami setiap hari sejak tinggal di rumah itu.
Tidak ada yang menarik.
Aku teruskan menggeser tirai itu hingga tepi. Cahaya matahari
yang loyo akhirnya menggapai ruangan suram ini. Aku ikat bagian tengah tirai
dengan tali yang aku temukan pada kosen.
Aku hendak mencari jendela di ruangan lain. Bau menyebalkan
ini tidak gampang surut. Maka aku berbalik, dan serta-merta tersentak.
Bukan Bibi, tapi aku tetap sulit meneguk ludah. Dan jantungku
sudah kadung berdebar kencang, sialan! Bolor benar aku, sedari tadi keliaran
tapi tidak lihat orang itu duduk di situ.
Dan ia cuman duduk. Kedua sikutnya bertumpu pada tangan sofa
besar itu. Kepalanya teleng ke kanan, ditopang oleh jemarinya yang besar.
Laki-laki itu berbadan besar, tapi tidak gendut. Mungkin ia
juga tinggi, kalau berdiri.
Sebagian badannya disiram cahaya matahari, rambutnya yang lurus menjuntai sampai bahu
terlihat agak kecokelatan.
Sepertinya ia berumur jauh lebih tua dariku, tapi ia tidak
seperti om-om, atau bapak-bapak, mungkin 30-an, aku tidak bisa memastikan, aku
bahkan tidak bisa berpikir, mendadak ada udara dingin yang membelai-belai.
Tiga puluh dua detik kami saling tatap, ekspresinya tidak
berubah. Salah satu ujung bibirnya tertarik ke atas. Matanya terang sebelah,
aku tahu itu karena cahaya matahari, tapi sorot keduanya sangat lembut.
Sangat lembut.
Akhirnya aku bisa meneguk ludah. Nafasku agak megap-megap,
tapi aku masih cukup sadar untuk mengambil tindakan.
Aku berjalan menyamping, aku hendak menuju kosen yang bolong,
tapi aku tidak bakal melepaskan mataku darinya, aku tidak bakal membiarkanku ia
mendekatiku, me…
…matanya terus mengikutiku… bergerak perlahan.
Waktu aku makin mendekati kosen… semestinya aku sudah tidak
berada dalam jangkauan pandangnya lagi jika posisinya tetap seperti itu… pantas
tadi aku tidak bisa melihat keberadaannya yang terhalang sandaran sofa…
sandaran sofa yang tinggi… tapi tiba-tiba badannya tegak… aku bisa melihat puncak
kepalanya… dari balik sandaran sofa ia mengintip… mengintip dengan matanya yang
terang… aku bisa melihat hasrat menyala di sana… sebelah tangannya mencengkeram
tepi sandaran sofa… waktu tangannya menggapai… aku sudah melompati kosen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar