Raka (1)
Namaku
Raka. Raka Pamungkas. Raka tapi pamungkas, yang menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia berarti yang terakhir, yang menimbulkan kematian.
Waktu aku kecil, aku gemetaran hebat ketika Bibi datang dalam
wujud kematiannya.
Matanya seperti mau mencolot. Lengannya menggantung, nyaris
putus. Tungkai kakinya tertekuk—bukan pada dengkul—sedang kakinya menghadap ke
belakang. Sementara ia menyeret setengah badannya mendekatiku, satu per satu
organnya jatuh.
Orang-orang mendapati wajahku pucat, suhu tubuhku naik—padahal
aku merasa dikeram dalam kulkas, dan nafasku tidak teratur. Ludah menggumpal di
pangkal kerongkonganku, tapi aku sulit meneguknya.
Sosok Bibi baru hilang setelah aku menjerit histeris, atau
diam saja tapi ada yang memberiku kontak fisik.
Bahkan meski itu Ratu yang mencubit lenganku dengan keras,
setelahnya aku bakal sangat lega.
Kadang aku sudah sangat lemas, tidak kunjung ada orang yang
menepuk bahuku, tapi aku belum pernah pingsan.
Tapi Bibi juga muncul dalam sosok yang bersih. Kepalanya
utuh, bagian tubuhnya yang lain juga. Ia pakai kebaya dan kain terbaiknya. Ia
tersenyum padaku. Setiap kali melihat sosoknya yang seperti itu, aku ingin
menangis, atau betul-betul menangis. Aku rindu.
Waktu aku kecil, kemunculannya adalah sesuatu yang tidak
terduga.
Satu kejadian bikin orang-orang sibuk menenangkanku. Setelah
itu aku pikir Bibi tidak akan muncul lagi. Aku melupakannya.
Lalu ia datang dalam wujudnya yang tidak berbentuk. Begitu
seterusnya.
Sekali Bibi datang dalam wujudnya yang aku rindukan, aku
terkecoh. Aku kira Bibi sudah memaafkan aku.
Tapi ketika ia datang lagi dengan darah menetes-netes dari
tubuhnya, aku pikir Ratu dan Rara benar.
Aku mulai paham kalau Bibi bakal selalu datang,
sewaktu-waktu. Aku tidak bisa menebak ia bakal muncul dalam wujud seperti apa.
Ia bahkan menghampiri aku dalam mimpi.
Waktu aku lebih besar, aku mulai sadar. Kemunculan Bibi
mungkin ada penyebabnya.
Meski pertemuan dengannya sering jadi pengalaman mengagetkan
sekaligus mengerikan, pelan-pelan aku mengingat waktu kemunculannya, bagaimana
wujudnya, sedang apa aku waktu itu, dan sebagainya.
Aku ingin bisa menemukan suatu pola. Aku ingin dalam keadaan
siap sewaktu-waktu ia terlihat, sehingga aku bisa lebih mengendalikan diri.
Toh aku bukan orang yang dikaruniai kemampuan melihat makhluk
gaib. Aku hanya melihat Bibi.
Ibu gagal bikin aku ketemu psikolog secara kontinyu, Ratu dan
Rara makin jarang mengkaitkan aku dengan kematian Bibi, sampai tidak pernah
sama sekali.
Kami pindah ke kota satu, lalu ke kota berikut, lalu kota di
mana kami tinggal lagi sama Bapak. Bapak mengajar di universitas negeri
setempat.
Tapi Bibi masih suka mengamati aku dari pojok ruangan.
Aku suka ketika aku bangun lalu mendapatinya tersenyum
padaku. Seperti saat ini, saat di mana matahari jadi pecundang di hadapan
mendung, rautnya yang penuh kerut bersinar karena indah.
Entah mengapa aku malu. Aku makin membenamkan sebagian mukaku
ke bantal, tapi sebelah mataku tetap padanya.
Aku tidak pernah benar-benar memerhatikan wajah Bibi.
Ketika aku mendapati segurat kuyu di sana, mungkin ia sedih
karena bocah ciliknya tidak lagi gembil. Ia tidak bisa lagi mencubit kenyal di
bagian bawah wajahku, tidak saja karena fisiknya yang tidak ada, tapi karena
aku sudah punya dagu.
Sejenak mataku teralih ke lain arah. Kesadaranku sudah
benar-benar pulih. Tapi pikiranku belum terisi dengan apa yang harus aku
lakukan habis ini.
Mataku terarah ke pojok lagi. Bibi sudah tidak ada.
Bertahun-tahun lalu aku masih bisa merasa kehilangan. Kini entah mengapa
perasaanku sedatar papan. Mungkin karena aku tahu. Nanti ia akan muncul lagi,
entah kapan.
Mungkin barusan ia datang untuk mengingatkan kalau aku belum
makan siang. Sebetulnya aku ingat, berkat Rara menggedor pintu kamarku, lalu
Ibu meneriakkan namaku, tapi aku sengaja tidak bangkit.
Hiruk pikuk penawaran dan kesepakatan transaksi campur baur
dengan kesegaran sayur gunung, anyir darah, tengik keringat. Sebaiknya tubuhmu
lentur, atau kamu akan memecahkan rekor tubrukan terbanyak. Otot pada lengan
dan kakimu juga perlu dilatih, ada beban seberat 7,3 kg yang kamu harus angkat,
dan total 5.255 langkah yang kamu harus tempuh. Keseimbangan juga tidak kalah
penting, kamu harus menjaga motor yang digantungi plastik-plastik
belanjaan—belum penumpang di belakangmu dengan plastik belanjaan paling
besar—agar tidak goyah sepanjang 1,2 km perjalanan. Lima jam setelahnya, pengorbanan
untuk Minggu pagi tanpa Doraemon terbayar dengan sajian khas Tio Ciu di meja
makan.
Ibu selalu ingin membawa aku setiap kali ia belanja. Aku
kalkulatornya. Tugasku lainnya, yang bermula dari iseng saja, adalah mencermati
setiap angka yang dilontarkan pedagang. Ayam, 28.000, daun seledri, 2000, daun
bawang, 2000, cabai, 10.000, jamur, 20.000, penyedap masakan 3.500… dan sebelum
pedagang angkat kalkulator, aku sudah harus mengucapkan, “65.500,” pada Ibu. Ibu
bilang ini adalah kemampuan paling dasar yang dimiliki setiap lelaki dari
keluarga Bapak, yang menurutku setiap anak SD juga punya.
Aku lebih suka makan sendiri, tanpa tatapan pedas dari para
kakak, atau pinta Bapak untuk memoles koleksi barang-barang kuningannya, atau
Ibu yang ingin aku bicara lebih banyak. Aku lebih suka makan sendiri, dengan
Ibu melintas di belakang, Bapak yang tidak mengacuhkan dunia sementara TV
bersamanya, tapi si kakak tetap paling resek sejagat raya.
“Deeek… Mana bajuku?”
Aku merasakan kehadiran Ratu di sampingku. Berkacak pinggang,
pasti. Aku tidak menoleh dan tetap asyik menggigiti tulang ayam. “Di beranda…”
Ia menjewerku. “Kan aku udah bilang, jangan dijemur di
beranda!”
Panas dan perih di telinga, aku memandang marah pada Ratu
sampai ia menaiki tangga. Aku ingin melemparkan tulang di tanganku ini padanya.
Si kuda binal itu kembali. Ekornya yang panjang terlihat
bergoyang-goyang melalui celah antara lekuk pinggang dengan lengannya. Alisnya
bertaut sedang bibirnya mengerut.
“Tank top-ku enggak ada!” serunya gusar.
“Baguslah…”
Ia menyabetku dengan blus wol di tangannya. Seperti dilecut
dengan ijuk. Aku balas ia dengan tulang. Aku tidak peduli nanti malam Bibi akan
mendatangiku dalam wujud apa. Ratu mencengkeram kepalaku dengan kedua tangannya
yang berjari panjang-panjang. Ia mengacak-acak rambutku. Aku harap Bibi
mendatangi Ratu juga.
“Makanya, cuci baju sendiri!” sentakku.
“Ini kan gara-gara kamu ngegores mobilku!” Ratu semakin
gemas. Seketika ia mengangkat tangannya dari kepalaku, mungkin karena Bapak
menoleh.
“Cepet cari! Jam empat nanti aku pergi, bajunya mau aku
pake!”
Aku tahu aku kalah. Tapi aku tetap mengerahkan pandangan yang
mengecam kepadanya.
Tidak lama setelah ia berlalu, aku menghabiskan makananku.
Aku menuju ke beranda dan memang tidak mendapati singlet Ratu
di sana. Angin menghampiri aku dengan kasar. Mungkin ia biangnya. Pandanganku
melayang dari awan gelap yang bergolak lalu menyisir genteng dan halaman
rumah-rumah di bawah.
Ratu sudah berkali-kali memintaku membersihkan noda di
bajunya. Ia mahasiswa S2 sekaligus asisten dosen di almamaternya, tapi kebiasaannya
seperti anak kecil. Entah kapan ia akan berhenti menorehkan pulpen ke blus wol
atau singletnya.
Aku sudah kasih tahu dia di mana aku menyimpan gliserin dan
garam sitrun untuk menghilangkan noda-noda semacam itu, tapi ia sering sok
sibuk.
Ia mencari-cari kesalahanku padanya atau kebaikannya padaku, ia
pikir ia bisa bikin aku tidak berkutik dengan itu.
Aku lebih suka membencinya sebagaimana ia membenciku,
ketimbang berbuat baik padanya sebagaimana ia pernah berbuat baik padaku.
Jadi aku jemur baju-bajunya itu di beranda, biar orang yang
lewat depan rumah tahu kalau Ratu suka pamer baju.
Dan Ratu itu tidak bisa melihat, meski matanya gede, tapi ia
kuda. Apa tadi ia tidak lihat singletnya terkapar di halaman rumah depan?
Aku pilih langsung ke sana saja ketimbang koar-koar di depan
kamarnya.
Tapi aku tidak mangkel, apalagi menyerapah, ketika aku
menuruni tangga, terus sampai ke pintu depan.
Aku seret kaki. Sandal jepit yang aku pakai bergesek dengan
lantai semen, lalu aspal.
Aku baru menyadari model rumah itu serupa dengan model rumah
yang muncul di film-filmnya Rano Karno waktu masih seumuran aku, plus lumut,
tapi sudah dikikis. Hamparan rumput tempat singlet Ratu jatuh juga sepertinya
belum lama dipangkas. Ada tumpukan daun kering di sisi halaman, lengkap dengan
sapu lidi milik Gaban, tapi ada daun kering yang juga berceceran. Sepertinya
rumah ini dibersihkan setiap kurun waktu tertentu.
Dulu Ratu dan Rara sempat berteman sama mbak-mbak yang
tinggal di rumah ini, tapi tahu-tahu saja mbak-mbak itu beserta keluarganya
pergi, rumah itu tidak dihuni lagi, tapi aku tidak ingat itu sejak kapan,
karena aku tidak peduli.
Papan dengan tulisan cetak “DISEWAKAN” bersambung nomor
ponsel Bapak Anthony digantung pada pagar besi dengan karat di sana-sini. Papan
itu bergoyang-goyang ketika aku menaiki pagar yang setinggi mataku. Digembok
sih. Kedua tanganku menggapai bagian atas pagar tersebut yang datar. Dengan itu aku mendapat topangan untuk
menghela badanku naik. Aku pijak kedua kakiku pada sela-sela pagar, pada besi
yang melintang di sana. Lalu satu demi satu kakiku pindah ke sisi pagar sebelah
dalam, menginjak besi melintang lagi, baru melompat ke lantai semen.
Serta-merta hidungku bergerak-gerak. Aku mencium bau menusuk
yang menimbulkan perasaan tidak nyaman.
Aku ambil singlet Ratu sebelum langkahku makin menjauhi pagar,
makin menerobos hawa lembap di bawah carport yang beratap.
Pintu masuknya terletak di samping, dan di ujung carport,
sementara bagian depan berupa dinding cokelat pudar, dinding berlapis batu hias
dengan cokelat yang lebih tua, disambung dinding kaca yang besar dengan tirai
cokelat menutupinya.
Aku mendapati debu pada permukaan jendela, dengan besi-besi
melingkar dan tirai putih berlubang-lubang di baliknya, tidak dibersihkan
dengan cukup niat. Tapi aku hanya lihat sekilas. Tidak ada satupun yang
terbuka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar