Minggu, 20 Mei 2012

Datang sebagai Apa di Prom?

Jauh sebelum kartu undangan prom datang, Rieka dan Dean sudah survei ke mana-mana. Mu­lai dari Bandung Super Mall, Heritage, 5aséc, sampai Rabbani, Pasar Baru, dan Cimol Ge­de­ba­ge. Menebak-nebak dresscode prom jadi keasyikan tersendiri.

“Kalau aku pakai cocktail dress ini, Yayan mau pakai apa?” tanya Rieka kenes.

“Yayan mau pakai tuksedo deh. Lengkap sama topengnya. Jadi tuksedo bertopeng deh, ha-ha-ha…” Dean terbahak.

Itu kalau dresscode-nya formal.

“Kalau Yayan milih vest yang ini, Neng gimana?”

“Samaan aja… Tapi aku mau pakai baby shirt yang ini…”

“Kalau gitu kita cari adult shirt yang kompakan sama baby shirt kamu itu ya, Neng.”

Itu kalau dresscode-nya kasual.

“Neng, aku jadi pingin pakai tuksedo beneran.”

“Kalau gitu, kita cari baju Sailormoonnya di mana ya, Yan?”

Itu kalau dresscode-nya superhero.

“Yan, tuniknya lucu ya Yan…”

“Kayaknya aku punya baju koko yang cocok sama itu deh Neng, di rumah.”

Itu kalau dresscode-nya pesantren kilat.

Kendati dresscode prom belum pasti, tapi mereka sudah menenteng kantong belanjaan da­ri tiap clothing yang mereka sambangi. Memang dasarnya mereka gandrung akan fashion. Ba­gi Rieka, Dean adalah cowok yang paling mengerti akan kesukaannya yang satu ini. Dean tidak se­gagah cowok-cowok Rieka sebelumnya, tapi Dean tidak bersungut-sungut tiap kali Rieka ber­hen­ti lama di satu stan. Dean malah ikut memilih yang menurutnya cocok buat Rieka, juga buat di­rinya sendiri. Cowok itu pandai memadu-madankan pakaian agar mereka berdua dapat tampil se­rasi. Sesuatu yang tak terkatakan, Dean menyampaikannya lewat pakaian yang ia pilihkan un­tuk dirinya dan yang terkasih, begitupun Rieka. Apapun yang mereka kenakan untuk jalan ba­reng di luar jam pelajaran sekolah, itu harus mampu menunjukkan bahwa mereka saling memiliki satu sa­ma lain.

Jarang ada cowok yang paham benar selera wanita muda. Dean tak hanya mengamati ba­gai­mana bunda dan adik ceweknya berpakaian, segala majalah kaum hawa yang dibeli bunda dan adiknya itupun jadi santapan favorit. Biarpun begitu, tak ada kesan kemayu sama sekali pa­da cowok itu. Dean adalah tipe cowok yang dengan macho-nya tak sungkan bilang, “Males ah pa­nas-panasan, entar keringetan.”

Rieka membuka kartu undangan prom yang bentuknya tanda tanya itu. Setelah memindai wak­tu dan lokasi prom, matanya sampai pada dresscode yang harus dikenakan.

***

Rieka sudah mantap dengan jalur IPC, meskipun ia dari kelas IPA. Toh ia biasa me­ne­mani cowoknya yang dari kelas IPS itu belajar. Belum lagi kalau ada PR yang harus Dean ker­ja­kan sendiri, malah Rieka yang biasanya memikirkan jawaban untuk PR Dean. Sudah tak kuat be­rurusan dengan berbagai mata pelajaran IPA, cowoknya itu tak kalah puyeng juga dengan ber­ju­bel hapalan ilmu-ilmu sosial. Tapi Rieka maklum saja. Biarpun Dean demikian, bagi Rieka tak ada cowok yang bisa memainkan piano sebaik Dean. Justru karena Rieka awam dengan musik, De­anlah yang membuat Rieka memahami betapa musik begitu indah. Permainan piano Dean meng­iringi tiap kali Rieka bertandang ke rumah cowok itu. Juga ketika Rieka hendak tidur, Dean mem­bu­ainya dengan denting-denting yang mengalun lewat speaker ponsel. Rieka tak akan mem­biarkan Dean berhenti—toh Dean juga harus giat berlatih supaya tidak menuai gerundel sang guru piano—kecuali jika Rieka benar-benar sudah lelap. “Semenit aja…” gumam Rieka ka­lau ia tidak dengar lagi Dean menekan-nekan tuts.

Tapi Dean lanjut belajar piano dengan sang maestro, Albert Wijaya, hanya karena Bunda menginginkannya begitu. Hati Dean pun senang tiap memainkan piano—kalau Pak Al tidak me­nung­guinya—tapi alat musik itu tidak ada dalam rencana masa depan Dean. Bagi Dean main piano itu cuman hobi. Cowok itu menggeleng ke­tika Rieka menyarankannya datang ke prom sebagai pianis.

“Kalau Neng jadinya mau pakai apa ke prom?”

 “Palingan blazer yang ungu itu aja Yan, sama blus, rok span, terus sepatunya yang kita lihat di Edward Forrer itu loh, yang haknya tiga senti…” …sesuai pilihan kedua Rieka ya­itu Hukum. Pilihan pertama Rieka sebetulnya Kedokteran Gigi, tapi Rieka malas mencari jas dokter. Lagipula ia pikir kedua pilihan itu sama baik, cuman soal passing grade saja.

“Oh. Gampanglah, nyocokkinnya…”

“Jangan cuman sekadar nyocokkin sama aku dong Yan. Yang penting kamu mau datang se­bagai apa pas prom. Itu kan dresscode-nya,” kata Rieka lembut.

Dean menggeleng, tersenyum, yang malah bikin Rieka jadi gemas. Melihat tatapan ko­song Dean, Rieka menyadari kalau kosong jugalah yang mengisi benak Dean akan masa depan. De­an adalah orang yang hidup hanya untuk hari ini. Ia selalu mengerahkan perhatian pada ba­gai­mana menyenangkan orang-orang yang sedang ada di sekitarnya, apalagi untuk Rieka yang ke­rap berada di dekatnya. Dean tak pernah kelihatan sendirian, sekaligus tak pernah coba untuk me­nyingkirkan orang-orang dalam pikirannya demi memberi ruang bagi masa depan.

Bukannya Dean tak pernah membicarakan tentang masa depan sama sekali. Ia me­nying­gung­nya sesekali. Tapi itu terlalu jauh.

Saat mereka jalan-jalan ke kawasan utara kota dengan Hattori, motor Kawasaki Ninja De­an, “Neng, kayaknya bagus kalau rumah kita besok modelnya kayak vila-vila di sini ya.”

Saat mereka melihat-lihat pakaian di Bandung Indah Plaza, dan sampai di area per­leng­kap­an bayi. “Neng, besok kalau kita punya anak, jumlah anak cewek sama anak cowoknya harus sa­ma ya Neng. Jadi entar kalau kita punya anak cowok dua, anak ceweknya juga harus dua.”

Rieka sendiri belum ingin memikirkan masa depannya bakal dihabiskan bersama siapa. Ia bakal menikah tentu saja, dan punya anak dengan jumlah sesuai yang dianjurkan BKKBN. Ta­pi sebelum itu terwujud, ia harus memiliki karier yang mapan. Itulah masa depan yang ia sam­paikan pada Dean. Dean mengerti itu. Ia mendukung apapun rencana Rieka, yang selalu ber­ha­sil meningkatkan semangat belajar gadis itu. “Pokoknya Neng pingin jadi apapun, Yayan du­kung­lah,” begitulah yang sering Dean ucapkan.

Rieka pun balas mendukung Dean, agar tidak bolos les piano, les bahasa Inggris, dan bimbingan belajar. Ta­pi masa-masa itu sudah hampir sampai ke penghujung. Dean tak boleh dibiarkan menjalani se­mua tanpa tahu itu akan membawanya ke mana.

“Ke mana ajalah, asal universitasnya sama kayak Neng,” begitu kata Dean lagi saat Rieka mendesak.

“Ya mau universitasnya sama kan tetep harus pilih jurusan juga Yan,” sambut Rieka. Ga­dis itu tahu Dean tidak minat dengan Kedokteran Gigi, pun Hukum. Kebanyakan anak di kelas De­an memilih Komunikasi dan Akuntansi, tapi Dean juga tak menunjukkan ketertarikan akan dua jurusan itu.

“Aku tuh enggak mau ke mana-mana,” ucap Dean akhirnya, setelah suntuk dikejar tanya yang sama oleh Rieka dari hari ke hari. “Aku cuman pingin di sini, sama kamu, sama Ayah, sa­ma Bunda, sama…” Dean terus menyebut nama saudara-saudaranya, teman-temannya… setiap o­rang yang mereka kenal dan memiliki kesan masing-masing bagi Dean.

“Iya… Tapi prom tuh tinggal berapa lama lagi Yan, kamu belum tahu mau pakai apa ke sa­na, kamu enggak tahu kamu mau datang sebagai apa.” Lama-lama kesabaran Rieka surut.

“Apa aja boleh deh, cocokkin sama kamu aja. Enggak usah macem-macemlah…”

Rieka merengut. Ia tak bisa membiarkan Dean dalam kegalauannya terus. Ah, bukan, bu­kan Dean yang galau, justru Rieka yang galau memikirkan masa depan cowok yang amat ia sa­yangi itu!  

Rieka bisa saja mendapatkan apa yang ia inginkan kelak: karier yang mapan, lalu me­ni­kah… dengan siapa? Ia tidak berharap calon suaminya kelak hanya mengandalkan nafkah dari sang istri. Rieka menginginkan suami yang sama-sama mapan!

Dan itu akhirnya membuat ia berpikir, akankah ia bersama cowok macam Dean hingga se­terusnya? Apakah ia mau menikahi cowok yang menentukan masa depannya sendiri saja tidak bi­sa? Barangkali Dean bisa menentukan rumah yang akan mereka tinggali kelak, juga jenis ke­la­min calon anak mereka lengkap dengan nama masing-masing, tapi entah saat itu Dean telah men­jadi orang yang seperti apa. Asal bukan orang yang tak punya masa depan saja, sama seperti di­ri­nya sekarang. Tapi Rieka tak bisa memastikannya. Semua tergantung pada Dean sendiri.

 “Duh! Aku tuh enggak mau kamu bergantung terus sama aku!” pungkas Rieka.

***

“Neng, kalau misalnya, misalnya loh, aku nerusin keluar negeri gimana?”

“Keluar negeri ke mana? Mau masuk UNPAD aja enggak ngerti jurusannya apa.” Rieka ti­dak bisa menyembunyikan nada ketus.

“Iya sih.”

“Emang mau ke mana sih?”

“Ah enggak. Cuman nanya aja, gimana gitu kalau Neng ditinggal. Entar kalau sampai ka­ngen melulu, terus nangis tiap malam kan kasihan.”

“Idih!” Rieka sok malas. Meski ia bertanya-tanya juga dalam hati. Kalau Dean pergi, apa­kah cowok itu masih bisa memainkan piano untuknya tiap malam? “Ah paling juga kamunya yang enggak tahan lama-lama di sana. Akunya kan enggak ada.”

Pernah terjadi percakapan itu. Dean terkekeh saja menanggapi jawaban Rieka.

Rieka memutuskan untuk tidak terlalu serius memikirkan Dean. Toh banyak pula teman me­reka yang masih gamang, formulir SNMPTN pun belum terisi, lantas asal saja memilih pa­kai­an untuk prom. Asal ada kemeja, dasi, jas, dan celana bahan, yang cowok sudah bisa berlagak ja­di eksekutif di perusahaan ternama. Yang cewek sama saja, asal ada blazer dan blus pokoknya, su­dah berasa dosen. Bahkan ada yang berencana pakai jaket, jeans, dan kaos saja, lalu menga­lungi SLR dan mengaku wartawan. Beruntung yang orangtuanya punya profesi dengan pakaian khu­sus, macam PNS, dokter, atau montir, sehingga penampilan mereka rada beda.

Sebetulnya Dean bisa saja pinjam jas bundanya yang bergelar dokter itu, atau sekadar pa­kai training dan mengalungi stopwatch bak ayahnya yang pelatih atlet. Tapi Dean kukuh ingin tampil serasi dengan Rieka, yang diam-diam bikin Rieka kesal. Apa orang yang selalu ber­gan­tung pada pasangannya macam Dean ini bisa jadi orang yang mapan kelak?

Rieka bahkan tak minat ketika Dean menawarkan gadis itu ke rumahnya, untuk ganti me­lihat setelan yang akan cowok itu kenakan. Beberapa hari sebelumnya, Deanlah yang ke ru­mah Rieka untuk itu. “Ya udah, tapi kamu tetep wajib ke rumah aku, Neng,” kata Dean. “Ini un­dangan.”

“Undangan apa?”

Saat itu Jumat, sehari sebelum prom. Meskipun Rieka sudah cukup sering bertandang ke ru­mah Dean, ia masih merasa malu apabila Dean sampai melibatkan seluruh anggota keluarganya untuk me­nyambut Rieka. Setidaknya harus tersaji hidangan lezat bagi cewek itu.

“Takut enggak ketemu lagi sama Rieka, katanya,” tukas Ayah Dean begitu Rieka keluar da­ri dapur. Sedari tadi Rieka membantu Bunda dan saudara kembar Dean menyiapkan makanan. Rieka menatap pria ramah itu dengan heran.

Dean, yang masih sok sibuk di dapur, rupanya mendengar itu lalu berkilah, “Ah Ayah, De­an kan entar masih mau balik lagi!”

“Sekalian aja sih Yan…” Bunda keluar dengan membawa pinggan yang mengepulkan asap. Wanita itu tersenyum begitu melihat Rieka. “Enggak apa-apa kan ya, Rieka?”

Rieka menggeleng dengan sopan. Ia belum sejam di rumah itu, tapi dari percakapan an­ta­r para penghuni rumah itu ia tahu kalau masa depan Dean sudah ditentukan. Cowok itu akan be­rangkat ke Boston sehari setelah prom. Lusa.

“Aku cuman mau registrasi sama audisi aja, Neng, paling enggak nyampe dua minggu juga udah balik,” ucap Dean. Mereka menyepi di taman belakang rumah, begitu makan malam ber­sama usai. Diulanginya lagi, “Aku pasti balik dulu. Kan enggak tahu juga bakal keterima apa eng­gak.” Cowok itu telah didaftarkan sang bunda untuk mengikuti summer program di Berklee College of Music.

“Ayah kamu bilang kamu takut enggak ketemu lagi sama aku,” kata Rieka. “Jangan-ja­ngan emang kamu bakal enggak balik-balik lagi…”

“…ya kan belum tentu…! Bunda sih… Kalaupun enggak keterima summer program-nya, Bun­da pinginnya aku tetep di Boston aja, belajar piano sama temennya Pak Al di sana, sampai aku keterima di Berklee…” Suara Dean melemah. “Maaf ya, aku baru ngasih tahu kamu se­ka­rang. Bukannya sok mau ngasih kejutan sih. Tapi aku takutnya kalau aku ngasih tahu kamu dari la­ma, bisa-bisa aku enggak jadi berangkat. Kamu pasti bakal nyegah-nyegah aku…”

“Ih apa sih!” Rieka memukul lengan Dean pelan, sedang cowok itu mesem saja. “Aku ma­lah seneng kali Yaan… Akhirnya kamu fokus sama bakat kamu! Aku bakal doain kamu terus da­ri sini…” cetus Rieka berseri-seri. Akhirnya ada masa depan yang pasti untuk cowok yang amat ia sayangi itu! Ia bah­kan tak memerhatikan perubahan air muka Dean. “…aku yakin kamu bisa jadi pianis he­bat…”

“…tapi entar susah kalau kita pingin ketemuan…” ucap Dean, agak muram.

Rieka tak mengindahkan itu. Ia tak ingin bersikap egois. “Kita kan masih bisa ketemu, Sa­yang, di Skype, Twitter, apa kek… Yang penting kamu udah tahu kamu pingin jadi apa… Toh bakat kamu emang di situ kan?” Rieka menggenggam tangan Dean untuk menguatkan co­wok itu. “Semangat ya Yan, yang yakin cita-cita kamu bakal kesampaian. Kata Pak Al juga, ba­kat kamu itu harus terus diasah, otherwise it’s nothing.”

Dean tersenyum. Ia tidak bilang pada Rieka, ia hanya mengikuti kehendak sang bunda. Mes­ki ia memiliki keinginan sendiri, tapi ia tanam saja di hati. Ia optimis saja piano dan ke­inginan sejatinya itu tetap dapat berjalan beriringan suatu saat. Jadi inilah yang ia bilang pada Rieka, “Jadi mau liat enggak, aku pakai apa besok?”

Rieka menggeleng. Malam terus berjalan. Ia lebih ingin lekas pulang, dan menyimpan hal yang tak akan mengejutkan lagi baginya besok malam, tapi tetap menggembirakannya.

***

Malam itu mereka datang bersama. Sepanjang perjalanan menuju lokasi prom, beberapa ka­li Rieka memerhatikan setelan Dean dengan saksama. Memang serasi jika disandingkan de­ngan pakaian Rieka, tapi sebagai pianis sekiranya Dean berpakaian lebih formal kan? Tapi ke­mu­dian Rieka menyadari bahwa seorang musisi bisa saja berpakaian sesuka hati. Ah terserah De­anlah.

Sebelum memasuki stadion sekolah, tempat di mana prom diselenggarakan, mereka ha­rus mengambil name tag. Di situ mereka mengisi nama berikut gelar yang didambakan serta pro­fesi mereka di masa depan. Rieka menulis “ADVOKAT” di name tag, meski ia tahu jurusan Hu­kum bisa saja mengarahkannya pada profesi lain yang sebidang. Dean baru selesai menulis ke­tika Rieka sudah menyematkan name tag di dada.

“Sini aku bantu pasang.” Rieka mengambil name tag cowoknya yang sudah selesai di­tu­lisi. Sekilas ia membaca kata di bawah nama lengkap Dean. Bukan pianis. Atau pemain piano. Atau apapun yang semacam. Rieka tertegun. Ketika tengadah, cowok itu tersenyum dengan  hangat padanya. Kini Rieka mengerti kenapa Dean kukuh kalau pakaian mereka harus se­rasi.

“Aku pingin datang sebagai suami kamu, Rieka.”

Lengan kanan cowok itu menekuk, menanti lengan Rieka mengait di sana.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain