Jauh sebelum kartu
undangan prom datang, Rieka dan Dean
sudah survei ke mana-mana. Mulai dari Bandung Super Mall, Heritage, 5aséc,
sampai Rabbani, Pasar Baru, dan Cimol Gedebage. Menebak-nebak dresscode prom jadi keasyikan tersendiri.
“Kalau aku pakai cocktail dress ini, Yayan mau pakai
apa?” tanya Rieka kenes.
“Yayan mau pakai
tuksedo deh. Lengkap sama topengnya. Jadi tuksedo bertopeng deh, ha-ha-ha…”
Dean terbahak.
Itu kalau dresscode-nya formal.
“Kalau Yayan milih vest yang ini, Neng gimana?”
“Samaan aja… Tapi aku
mau pakai baby shirt yang ini…”
“Kalau gitu kita cari adult shirt yang kompakan sama baby shirt kamu itu ya, Neng.”
Itu kalau dresscode-nya kasual.
“Neng, aku jadi pingin
pakai tuksedo beneran.”
“Kalau gitu, kita cari
baju Sailormoonnya di mana ya, Yan?”
Itu kalau dresscode-nya superhero.
“Yan, tuniknya lucu ya
Yan…”
“Kayaknya aku punya
baju koko yang cocok sama itu deh Neng, di rumah.”
Itu kalau dresscode-nya pesantren kilat.
Kendati dresscode prom belum pasti, tapi mereka sudah menenteng kantong belanjaan dari
tiap clothing yang mereka sambangi.
Memang dasarnya mereka gandrung akan fashion.
Bagi Rieka, Dean adalah cowok yang paling mengerti akan kesukaannya yang satu
ini. Dean tidak segagah cowok-cowok Rieka sebelumnya, tapi Dean tidak
bersungut-sungut tiap kali Rieka berhenti lama di satu stan. Dean malah ikut
memilih yang menurutnya cocok buat Rieka, juga buat dirinya sendiri. Cowok itu
pandai memadu-madankan pakaian agar mereka berdua dapat tampil serasi. Sesuatu
yang tak terkatakan, Dean menyampaikannya lewat pakaian yang ia pilihkan untuk
dirinya dan yang terkasih, begitupun Rieka. Apapun yang mereka kenakan untuk
jalan bareng di luar jam pelajaran sekolah, itu harus mampu menunjukkan bahwa
mereka saling memiliki satu sama lain.
Jarang ada cowok yang
paham benar selera wanita muda. Dean tak hanya mengamati bagaimana bunda dan
adik ceweknya berpakaian, segala majalah kaum hawa yang dibeli bunda dan
adiknya itupun jadi santapan favorit. Biarpun begitu, tak ada kesan kemayu sama
sekali pada cowok itu. Dean adalah tipe cowok yang dengan macho-nya tak sungkan bilang, “Males ah panas-panasan, entar
keringetan.”
Rieka membuka kartu
undangan prom yang bentuknya tanda
tanya itu. Setelah memindai waktu dan lokasi prom, matanya sampai pada dresscode
yang harus dikenakan.
***
Rieka sudah mantap
dengan jalur IPC, meskipun ia dari kelas IPA. Toh ia biasa menemani cowoknya
yang dari kelas IPS itu belajar. Belum lagi kalau ada PR yang harus Dean kerjakan
sendiri, malah Rieka yang biasanya memikirkan jawaban untuk PR Dean. Sudah tak
kuat berurusan dengan berbagai mata pelajaran IPA, cowoknya itu tak kalah
puyeng juga dengan berjubel hapalan ilmu-ilmu sosial. Tapi Rieka maklum saja.
Biarpun Dean demikian, bagi Rieka tak ada cowok yang bisa memainkan piano
sebaik Dean. Justru karena Rieka awam dengan musik, Deanlah yang membuat Rieka
memahami betapa musik begitu indah. Permainan piano Dean mengiringi tiap kali
Rieka bertandang ke rumah cowok itu. Juga ketika Rieka hendak tidur, Dean membuainya
dengan denting-denting yang mengalun lewat speaker
ponsel. Rieka tak akan membiarkan Dean berhenti—toh Dean juga harus giat
berlatih supaya tidak menuai gerundel sang guru piano—kecuali jika Rieka
benar-benar sudah lelap. “Semenit aja…” gumam Rieka kalau ia tidak dengar lagi
Dean menekan-nekan tuts.
Tapi Dean lanjut
belajar piano dengan sang maestro, Albert Wijaya, hanya karena Bunda
menginginkannya begitu. Hati Dean pun senang tiap memainkan piano—kalau Pak Al
tidak menungguinya—tapi alat musik itu tidak ada dalam rencana masa depan
Dean. Bagi Dean main piano itu cuman hobi. Cowok itu menggeleng ketika Rieka
menyarankannya datang ke prom sebagai
pianis.
“Kalau Neng jadinya mau
pakai apa ke prom?”
“Palingan blazer yang ungu itu aja Yan, sama
blus, rok span, terus sepatunya yang kita lihat di Edward Forrer itu loh, yang
haknya tiga senti…” …sesuai pilihan kedua Rieka yaitu Hukum. Pilihan pertama
Rieka sebetulnya Kedokteran Gigi, tapi Rieka malas mencari jas dokter. Lagipula
ia pikir kedua pilihan itu sama baik, cuman soal passing grade saja.
“Oh. Gampanglah,
nyocokkinnya…”
“Jangan cuman sekadar
nyocokkin sama aku dong Yan. Yang penting kamu mau datang sebagai apa pas prom. Itu kan dresscode-nya,” kata Rieka lembut.
Dean menggeleng,
tersenyum, yang malah bikin Rieka jadi gemas. Melihat tatapan kosong Dean,
Rieka menyadari kalau kosong jugalah yang mengisi benak Dean akan masa depan.
Dean adalah orang yang hidup hanya untuk hari ini. Ia selalu mengerahkan
perhatian pada bagaimana menyenangkan orang-orang yang sedang ada di
sekitarnya, apalagi untuk Rieka yang kerap berada di dekatnya. Dean tak pernah
kelihatan sendirian, sekaligus tak pernah coba untuk menyingkirkan orang-orang
dalam pikirannya demi memberi ruang bagi masa depan.
Bukannya Dean tak
pernah membicarakan tentang masa depan sama sekali. Ia menyinggungnya
sesekali. Tapi itu terlalu jauh.
Saat mereka jalan-jalan
ke kawasan utara kota dengan Hattori, motor Kawasaki Ninja Dean, “Neng,
kayaknya bagus kalau rumah kita besok modelnya kayak vila-vila di sini ya.”
Saat mereka
melihat-lihat pakaian di Bandung Indah Plaza, dan sampai di area perlengkapan
bayi. “Neng, besok kalau kita punya anak, jumlah anak cewek sama anak cowoknya
harus sama ya Neng. Jadi entar kalau kita punya anak cowok dua, anak ceweknya
juga harus dua.”
Rieka sendiri belum
ingin memikirkan masa depannya bakal dihabiskan bersama siapa. Ia bakal menikah
tentu saja, dan punya anak dengan jumlah sesuai yang dianjurkan BKKBN. Tapi
sebelum itu terwujud, ia harus memiliki karier yang mapan. Itulah masa depan
yang ia sampaikan pada Dean. Dean mengerti itu. Ia mendukung apapun rencana
Rieka, yang selalu berhasil meningkatkan semangat belajar gadis itu.
“Pokoknya Neng pingin jadi apapun, Yayan dukunglah,” begitulah yang sering
Dean ucapkan.
Rieka pun balas
mendukung Dean, agar tidak bolos les piano, les bahasa Inggris, dan bimbingan
belajar. Tapi masa-masa itu sudah hampir sampai ke penghujung. Dean tak boleh
dibiarkan menjalani semua tanpa tahu itu akan membawanya ke mana.
“Ke mana ajalah, asal
universitasnya sama kayak Neng,” begitu kata Dean lagi saat Rieka mendesak.
“Ya mau universitasnya
sama kan tetep harus pilih jurusan juga Yan,” sambut Rieka. Gadis itu tahu
Dean tidak minat dengan Kedokteran Gigi, pun Hukum. Kebanyakan anak di kelas Dean
memilih Komunikasi dan Akuntansi, tapi Dean juga tak menunjukkan ketertarikan
akan dua jurusan itu.
“Aku tuh enggak mau ke
mana-mana,” ucap Dean akhirnya, setelah suntuk dikejar tanya yang sama oleh
Rieka dari hari ke hari. “Aku cuman pingin di sini, sama kamu, sama Ayah, sama
Bunda, sama…” Dean terus menyebut nama saudara-saudaranya, teman-temannya…
setiap orang yang mereka kenal dan memiliki kesan masing-masing bagi Dean.
“Iya… Tapi prom tuh tinggal berapa lama lagi Yan,
kamu belum tahu mau pakai apa ke sana, kamu enggak tahu kamu mau datang
sebagai apa.” Lama-lama kesabaran Rieka surut.
“Apa aja boleh deh,
cocokkin sama kamu aja. Enggak usah macem-macemlah…”
Rieka merengut. Ia tak
bisa membiarkan Dean dalam kegalauannya terus. Ah, bukan, bukan Dean yang
galau, justru Rieka yang galau memikirkan masa depan cowok yang amat ia sayangi
itu!
Rieka bisa saja
mendapatkan apa yang ia inginkan kelak: karier yang mapan, lalu menikah…
dengan siapa? Ia tidak berharap calon suaminya kelak hanya mengandalkan nafkah
dari sang istri. Rieka menginginkan suami yang sama-sama mapan!
Dan itu akhirnya
membuat ia berpikir, akankah ia bersama cowok macam Dean hingga seterusnya?
Apakah ia mau menikahi cowok yang menentukan masa depannya sendiri saja tidak
bisa? Barangkali Dean bisa menentukan rumah yang akan mereka tinggali kelak,
juga jenis kelamin calon anak mereka lengkap dengan nama masing-masing, tapi
entah saat itu Dean telah menjadi orang yang seperti apa. Asal bukan orang
yang tak punya masa depan saja, sama seperti dirinya sekarang. Tapi Rieka tak
bisa memastikannya. Semua tergantung pada Dean sendiri.
“Duh! Aku tuh enggak mau kamu bergantung terus
sama aku!” pungkas Rieka.
***
“Neng, kalau misalnya,
misalnya loh, aku nerusin keluar negeri gimana?”
“Keluar negeri ke mana?
Mau masuk UNPAD aja enggak ngerti jurusannya apa.” Rieka tidak bisa
menyembunyikan nada ketus.
“Iya sih.”
“Emang mau ke mana
sih?”
“Ah enggak. Cuman nanya
aja, gimana gitu kalau Neng ditinggal. Entar kalau sampai kangen melulu, terus
nangis tiap malam kan kasihan.”
“Idih!” Rieka sok
malas. Meski ia bertanya-tanya juga dalam hati. Kalau Dean pergi, apakah cowok
itu masih bisa memainkan piano untuknya tiap malam? “Ah paling juga kamunya
yang enggak tahan lama-lama di sana. Akunya kan enggak ada.”
Pernah terjadi
percakapan itu. Dean terkekeh saja menanggapi jawaban Rieka.
Rieka memutuskan untuk
tidak terlalu serius memikirkan Dean. Toh banyak pula teman mereka yang masih
gamang, formulir SNMPTN pun belum terisi, lantas asal saja memilih pakaian
untuk prom. Asal ada kemeja, dasi,
jas, dan celana bahan, yang cowok sudah bisa berlagak jadi eksekutif di
perusahaan ternama. Yang cewek sama saja, asal ada blazer dan blus pokoknya, sudah
berasa dosen. Bahkan ada yang berencana pakai jaket, jeans, dan kaos saja, lalu mengalungi SLR dan mengaku wartawan.
Beruntung yang orangtuanya punya profesi dengan pakaian khusus, macam PNS,
dokter, atau montir, sehingga penampilan mereka rada beda.
Sebetulnya Dean bisa
saja pinjam jas bundanya yang bergelar dokter itu, atau sekadar pakai training dan mengalungi stopwatch bak ayahnya yang pelatih
atlet. Tapi Dean kukuh ingin tampil serasi dengan Rieka, yang diam-diam bikin
Rieka kesal. Apa orang yang selalu bergantung pada pasangannya macam Dean ini
bisa jadi orang yang mapan kelak?
Rieka bahkan tak minat
ketika Dean menawarkan gadis itu ke rumahnya, untuk ganti melihat setelan yang
akan cowok itu kenakan. Beberapa hari sebelumnya, Deanlah yang ke rumah Rieka
untuk itu. “Ya udah, tapi kamu tetep wajib ke rumah aku, Neng,” kata Dean. “Ini
undangan.”
“Undangan apa?”
Saat itu Jumat, sehari
sebelum prom. Meskipun Rieka sudah
cukup sering bertandang ke rumah Dean, ia masih merasa malu apabila Dean
sampai melibatkan seluruh anggota keluarganya untuk menyambut Rieka.
Setidaknya harus tersaji hidangan lezat bagi cewek itu.
“Takut enggak ketemu
lagi sama Rieka, katanya,” tukas Ayah Dean begitu Rieka keluar dari dapur.
Sedari tadi Rieka membantu Bunda dan saudara kembar Dean menyiapkan makanan.
Rieka menatap pria ramah itu dengan heran.
Dean, yang masih sok
sibuk di dapur, rupanya mendengar itu lalu berkilah, “Ah Ayah, Dean kan entar
masih mau balik lagi!”
“Sekalian aja sih Yan…”
Bunda keluar dengan membawa pinggan yang mengepulkan asap. Wanita itu tersenyum
begitu melihat Rieka. “Enggak apa-apa kan ya, Rieka?”
Rieka menggeleng dengan
sopan. Ia belum sejam di rumah itu, tapi dari percakapan antar para penghuni
rumah itu ia tahu kalau masa depan Dean sudah ditentukan. Cowok itu akan berangkat
ke Boston sehari setelah prom. Lusa.
“Aku cuman mau
registrasi sama audisi aja, Neng, paling enggak nyampe dua minggu juga udah
balik,” ucap Dean. Mereka menyepi di taman belakang rumah, begitu makan malam
bersama usai. Diulanginya lagi, “Aku pasti balik dulu. Kan enggak tahu juga
bakal keterima apa enggak.” Cowok itu telah didaftarkan sang bunda untuk
mengikuti summer program di Berklee
College of Music.
“Ayah kamu bilang kamu
takut enggak ketemu lagi sama aku,” kata Rieka. “Jangan-jangan emang kamu
bakal enggak balik-balik lagi…”
“…ya kan belum tentu…!
Bunda sih… Kalaupun enggak keterima summer
program-nya, Bunda pinginnya aku tetep di Boston aja, belajar piano sama
temennya Pak Al di sana, sampai aku keterima di Berklee…” Suara Dean melemah.
“Maaf ya, aku baru ngasih tahu kamu sekarang. Bukannya sok mau ngasih kejutan
sih. Tapi aku takutnya kalau aku ngasih tahu kamu dari lama, bisa-bisa aku
enggak jadi berangkat. Kamu pasti bakal nyegah-nyegah aku…”
“Ih apa sih!” Rieka
memukul lengan Dean pelan, sedang cowok itu mesem saja. “Aku malah seneng kali
Yaan… Akhirnya kamu fokus sama bakat kamu! Aku bakal doain kamu terus dari
sini…” cetus Rieka berseri-seri. Akhirnya ada masa depan yang pasti untuk cowok
yang amat ia sayangi itu! Ia bahkan tak memerhatikan perubahan air muka Dean.
“…aku yakin kamu bisa jadi pianis hebat…”
“…tapi entar susah
kalau kita pingin ketemuan…” ucap Dean, agak muram.
Rieka tak mengindahkan
itu. Ia tak ingin bersikap egois. “Kita kan masih bisa ketemu, Sayang, di
Skype, Twitter, apa kek… Yang penting kamu udah tahu kamu pingin jadi apa… Toh
bakat kamu emang di situ kan?” Rieka menggenggam tangan Dean untuk menguatkan
cowok itu. “Semangat ya Yan, yang yakin cita-cita kamu bakal kesampaian. Kata
Pak Al juga, bakat kamu itu harus terus diasah, otherwise it’s nothing.”
Dean tersenyum. Ia
tidak bilang pada Rieka, ia hanya mengikuti kehendak sang bunda. Meski ia
memiliki keinginan sendiri, tapi ia tanam saja di hati. Ia optimis saja piano
dan keinginan sejatinya itu tetap dapat berjalan beriringan suatu saat. Jadi
inilah yang ia bilang pada Rieka, “Jadi mau liat enggak, aku pakai apa besok?”
Rieka menggeleng. Malam
terus berjalan. Ia lebih ingin lekas pulang, dan menyimpan hal yang tak akan
mengejutkan lagi baginya besok malam, tapi tetap menggembirakannya.
***
Malam itu mereka datang
bersama. Sepanjang perjalanan menuju lokasi prom,
beberapa kali Rieka memerhatikan setelan Dean dengan saksama. Memang serasi
jika disandingkan dengan pakaian Rieka, tapi sebagai pianis sekiranya Dean
berpakaian lebih formal kan? Tapi kemudian Rieka menyadari bahwa seorang musisi
bisa saja berpakaian sesuka hati. Ah terserah Deanlah.
Sebelum memasuki
stadion sekolah, tempat di mana prom
diselenggarakan, mereka harus mengambil name
tag. Di situ mereka mengisi nama berikut gelar yang didambakan serta profesi
mereka di masa depan. Rieka menulis “ADVOKAT” di name tag, meski ia tahu jurusan Hukum bisa saja mengarahkannya
pada profesi lain yang sebidang. Dean baru selesai menulis ketika Rieka sudah
menyematkan name tag di dada.
“Sini aku bantu
pasang.” Rieka mengambil name tag
cowoknya yang sudah selesai ditulisi. Sekilas ia membaca kata di bawah nama
lengkap Dean. Bukan pianis. Atau pemain piano. Atau apapun yang semacam. Rieka
tertegun. Ketika tengadah, cowok itu tersenyum dengan hangat padanya. Kini Rieka mengerti kenapa
Dean kukuh kalau pakaian mereka harus serasi.
“Aku pingin datang
sebagai suami kamu, Rieka.”
Lengan kanan cowok itu
menekuk, menanti lengan Rieka mengait di sana.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar