Bibi (2)
Seorang tetangga mendatangi rumah pada suatu sore. Salah satu
lubang hidung anaknya disumbat tisu. Memar mewarnai pelipis dan sekitar mata
kiri sang bocah. Ibunya mencak-mencak di depan Bibi. Kali ini Sari tak mau
ikut. Ia diam saja di dapur dan menyibukkan diri sementara Bibi dimaki-maki.
“Kurang ajar! Masak anak saya dilempar pakai truk? Memangnya
anak saya ini apaan?! Ya Gusti…”
Pandangan Bibi yang nanar menyapu lantai. Mulutnya
melantunkan permohonan maaf dengan amat lirih. “Ya… Ya… Bu… Nanti saya kasih
tahu anaknya…”
“Jangan cuman kasih tahu anaknya, kasih tahu juga ibunya!
Punya anak kok ya enggak bisa ngedidik…”
Jantung Bibi serasa diperas. Adalah tanggung jawabnya untuk
membesarkan anak-anak sementara ibu mereka berkutat nyaris sehari penuh di
kantor. Sekuat mungkin ia menahan agar tubuhnya tidak gemetar.
Wanita tersebut mengumpat seraya menyeret anaknya pergi dari
halaman.
Selepas kepergian mereka, Bibi mencari-cari selopnya. Rara
yang sedari mula mengintip kejadian tersebut keluar dari balik pintu depan.
“Mau ke mana Bi?” tanya gadis cilik itu pelan. Ia tak kalah gentar dari Bibi.
“Mau cari Adek…” kata Bibi. “Sudah Mbak Rara di rumah saja
ya…”
Rara memang tidak berminat untuk ikut mencari Raka. Kegalauan
Bibi masih bisa Rara rasakan hingga sosok nenek itu menghilang di belokan
jalan. Garis-garis lembayung membayang di langit. Rara menutup pintu lalu
berlari mencari tempat yang terang di dalam rumah.
Bibi mengangkat kain hingga sebagian betisnya tersingkap.
Tapak selopnya beradu dengan aspal berbatu. Ia tidak terpikir apapun mengenai
di mana kira-kira keberadaan Raka. Hanya nyalang matanya pada apapun di
sekitarnya. Bibirnya komat-kamit mengucurkan doa agar petunjuk dari Yang Maha
Tahu mengarahkan langkahnya.
Wajahnya mengernyit tepat ketika ia mendapati lapangan
kosong-melompong. Ia mengelus-elus dada. Terasa ada sesuatu yang dipelintir di
dalam sana. Ia memelankan langkah. “Dek… Dek Raka…” Kepala beberapa ekor gagak
menengok ketika suara parau itu mengudara.
Dari balik pagar rumah yang tengah
dilewati, seorang wanita muda menegurnya. Wanita itu menunjuk arah menuju
sawah. Ia melihat Raka berjalan ke sana.
Ketenangan membercak di atas nyeri Bibi. Ia mengucapkan
terima kasih pada wanita itu. Langkah Bibi menjadi lebih wajar meski masih
diliputi ketidakpastian. Barulah ia berucap syukur ketika melihat sosok itu di
atas hamparan rumput.
Kepala bocah itu tengadah ke angkasa dengan mulut menganga.
Ia begitu terkesima ketika beberapa ekor merpati mendarat di pundak pria di
sebelahnya.
“Dek… Dek Raka…” Bocah itu menoleh. “Ayo pulang yuk…”
Cengiran yang diulas bocah itu memamerkan barisan gigi yang
kecil-kecil lagi putih. Matanya lebur menjadi garis. Semburat jingga runtuh di
atas kepalanya.
Bibi kira bocah itu akan berlari ke arahnya, menyeruduk ke
dalam pelukannya. Tapi Raka malah terus melewatinya. Kepalanya teleng. Ekspresi
pada wajahnya meneriakkan kata-kata, “Ayo kejar aku Bi!” Kecemasan Bibi kian
jadi. Ia mengangkat kainnya lagi. “Oalaaah…” desahnya panjang. “Bibimu ini udah
enggak kuat lari, Dek…” Tapi kemudian ia tetap tergopoh-gopoh.
Bocah itu lari cepat sekali bagaikan ahli. Dalam pelarian ia
merasakan sensasi mendebarkan. Akankah Bibi berhasil menangkapnya? Selama ini
ia membayangkan jarit Bibi, yang biasa dipakai untuk menggendongnya, juga
berfungsi sebagai selendang terbang. Bibi akan menyibakkan kedua ujung jarit
tersebut lalu melesat ke atas. Raka mendongak. Ia berharap melihat sosok Bibi
dilatari kelamnya awan. Meski tidak menemukan apapun selain formasi kawanan
burung yang hendak pulang ke sarang, dayanya untuk melanjutkan pelarian tetap
ada.
Sebentar lagi Raka akan melewati jalan menuju rumah. Tapi ia
tidak ingin pelariannya usai begitu saja. Ia tidak menoleh ke belakang sama
sekali. Ia tahu Bibi akan selalu mengejarnya. Ia bisa merasakannya. Ia ingin
Bibi menangkapnya lalu bersama-sama mereka pulang.
Jalan raya menghadang. Tidak ada kendaraan yang berlalu
dengan kecepatan pelan. Ini adalah jalan penghubung kabupaten dengan kotamadya.
Bibi selalu menggenggam tangan Raka dengan erat jika mereka hendak menyeberang.
Ada bakso yang lezat di sisi jalan satunya. Mereka cukup sering membeli ke
sana. Dan menyeberang adalah hal yang mudah. Tengok kanan. Kendaraan masih
menyerbu. Tunggu sampai arusnya mereda. Sudah? Kendaraan seperti tidak kunjung
berhenti. Raka bingung. Ia menoleh ke belakang dengan gelisah. Bisa-bisa Bibi
keburu sampai. Saat itulah mata sipit sang bocah menangkap sepasang orang yang
hendak menyeberang juga. Dengan gesit langkah-langkah kecilnya menjejeri
mereka. Ternyata pembatas jalan ini tinggi juga. Raka merasa lebih mudah
menaikinya ketika ada tangan Bibi menarik sebelah tangannya, atau sekalian
mengangkat badannya yang subur itu. Tapi Raka bisa melakukannya sendiri! Bocah
itu menyimpan sorakannya untuk ia tunjukkan nanti, saat Bibi sudah sampai di
tepi jalan. Sementara itu ia menanti sambil bersandar pada tiang lampu. Ia
memantulkan-mantulkan punggungnya pada tiang tersebut seraya sesekali
pandangannya teralih ke tepi jalan. Itu Bibi!
Raka mengangkat kedua lengannya setinggi mungkin seraya
melambai lalu melonjak-lonjak. Terpancar sekilas kelegaan di wajah panik Bibi
sebelum kembali mengawasi laju kendaraan. Bibi ingin lekas menyeberang. Raka
tidak memerhatikan kerut-kerut yang tidak biasa di wajah Bibi. Ia terus
melonjak-lonjak. “Bibi! Aku bisa nyeberang lo! Bibiii!” teriaknya sekencang
mungkin untuk menyemangati.
Orang-orang di samping Bibi bergerak dengan langkah cepat.
Bibi menyusul dengan tertatih-tatih. Mendadak ia tercekat. Tepat ketika
orang-orang di sampingnya tadi telah mencapai pembatas jalan, sebuah bis
menyalip sedan lantas menerobos ruang yang ada. Sopir bis tidak memperhitungkan
adanya wanita tua yang gagal melanjutkan langkah. Benturan keras antara tubuh
manusia dengan dinding depan bis berkecepatan tinggi serta-merta memalingkan
banyak wajah. Seluruh ban di bagian kanan bis itu melindas tubuh Bibi, disusul
ban dari mobil-mobil lain yang tak sempat menghindar. Jeritan dan seruan
membumbung bersama polusi di udara.
Raka tak memerhatikan bagaimana ada kendaraan yang seketika
berhenti dan tetap melaju. Ia tidak melihat orang-orang yang berlarian searah
dengan ceceran darah, meski ia mengikuti mereka. Getaran merambati setiap
langkahnya. Setiap langkahnya berpijak ke paving block, seketika itu kakinya
terasa goyah. “Bibi… Bibi… Bibi…” gumamnya tanpa henti dengan tatapan nanar
sekaligus setengah sadar. Aliran udara menyetrum pelan sekujur lehernya,
telinganya, lantas merembet ke tepian lengannya… Dengan gontai kakinya menuruni
pembatas jalan, “awas!”, dan dua buah kendaraan berdesing bagai peluru di
belakangnya. Ia menyentuh orang-orang yang ia lalui tanpa melihat mereka. Ia
hanya ingin memegang sesuatu.
Seseorang berjengit ketika
merasa ada sesuatu yang mencengkeram pergelangan tangannya. Seorang anak
kecil. Tatapan bocah itu terpaku pada sosok yang terkapar dalam genangan darah
di aspal. Sosok dengan posisi tubuh yang ganjil. Lengan dan kaki tidak mengarah
ke semestinya. Rambut kelabu terburai menutupi sebagian wajah. Mulut terbuka
setengah. Mata membeliak ke arah berlawanan. Salah satu bola mata yang nyaris
mencuat dari rongganya mengarah tepat ke sang bocah. Cengkeraman di pergelangan
tangan mengencang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar