Sejak dulu begitu. Mata kuasa menatap, tapi mulut hanya membisu. Jika kudekati dia, aku malah tergugu. Setiap gadis yang menghempaskan badai di hatiku, hanya bisa kubikin termangu.
Sekali aku coba nyatakan, cukup buat nyaliku ciut. Harga diriku mengerang, meski ia menolakku dengan lembut.
Pada gadis yang kedua, tak ada usaha selangkah pun untuk menggapai hatinya. Ia selalu milik seseorang, dan aku terlalu pengecut untuk mengambil haluan.
Gadis ketiga unik sekaligus semrawut, acap jadi olokan kawananku. Berbagai upaya kukerahkan untuk menyangkal rasa itu. Sempat aku gembira saat kami lama tak bertemu, saat di mana rasa itu tertidur.
Aku telah cukup percaya diri untuk menggoda gadis keempat, tapi ia setia pada kekasihnya. Dan aku juga cukup tahu diri untuk tak mengusik mereka.
Jiwaku kering asmara, tak lagi berhasrat untuk mengembara demi bungkam dahaga, yang tak ada. Mungkin aku sejenis manusia yang tahan hidup tanpa romansa. Aku tak mengapa, hidupku semata perjuangan mencari berita dan cerita agar manusia ingat tujuan penciptaannya.
Tapi ketentuan-Nya mempertemukanku kembali dengannya, gadis terakhirku. Tak lagi kusangkal rasa itu. Kesamaan di antara kami seolah isyarat untuk bersatu.
Padanya kulepas segala malu. Masa demi masa kuraba gelombang yang barangkali akan menggebu-gebu, atau sudahkah habis pada masa yang lalu? Padanya kumulai lagi, pelan-pelan, menghimpun pesonanya di mataku. Kesenduannya yang tak terkatakan, hanya kesenangannya yang tertumpahkan, baktinya yang kudapatkan.
Pada akhirnya momen itu terwujud, lagi. Kala aku memandang dia. Dalam pelukannya seorang manusia mungil dengan mata terpejam, bibir merekah. Jerih payah di malam-malam peluh yang berbuah, yang mencurahkan sayang hingga meruah.
Kali ini tak akan kubiarkan diriku hanya tertegun, sedang ia biarkanku dalam kaku. Ia yang sejati milikku, tak ada yang akan menghajarku kalau aku coba-coba menyentuhnya, tapi akan kuhantam siapapun yang berani mengoyak ketenteramannya. Dan rasa itu akan selalu terjaga. Oaseku.
Akan kudekati ia, tak perlu lagi ragu. Akan aku sampaikan, aku bahkan tak perlu lagi nyali, apalagi harga diri.
“Ma, mau Papa bikinin teh?”
Perempuanku untuk
selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar