Sukses dengan NaNoWriMo 2011, tahun 2012 saya sempet kepikiran buat bikin novel tiap bulan yang jumlah harinya 30. Tapi ini bukan NaNoWriMo, yang berarti National Novel Writing Month, yang berarti itu dilakukan bersama-sama secara nasional--meski sebenarnya nasional--di bulan November aja, maka saya namain proyek ini PerNoWriMo alias Personal Novel Writing Month karena dilakukan secara personal. Aturan mainnya sama kayak NaNoWrimo, yaitu dalam 30 hari saya harus menghasilkan novel sebanyak 50.000 kata alias sehari setidaknya 1.666 kata. Saya pun memulai proyek ini di bulan April.
Selama 7 hari berturut-turut, saya berhasil memenuhi ketentuan tersebut sampai saya, bahasa Sundanya mah, stuck. Biarpun saya udah punya konsep, awal- akhirnya gimana, tengahnya mau diisi apa aja, tapi pada akhirnya saya menyadari kalau saya belum siap buat garap cerita ini. Karakter-karakter dan plotnya cukup kompleks. Dan saya ga tahan buat nulis asal-asalan, apalagi sebetulnya saya punya kewajiban dan proyek utama yang seharusnya diseriusin. Daripada makin bikin ricuh pikiran, akhirnya saya berhenti deh. Kewalahan sendiri malahan hihihi.
Yang udah tertulis itu mungkin bakal saya tulis ulang bertahun-tahun kemudian, ga tahu kapan. Jadi saya pikir lebih baik yang ga jadi ini saya bagikan aja biar bisa dinikmati khalayak, sekadar ngasih tahu kalau perkembangan menulis fiksi saya udah sampai sini. :D
Yang saya bagikan ini adalah dua dari sembilan karakter yang membentuk cerita. Sebetulnya saya udah nulis sampai empat, tapi pas masuk ke yang keempat saya udah kehabisan kata-kata. Terus penggarapan karakter yang ketiga menurut saya belum tepat, masih butuh pengembangan lagi supaya bisa lebih wajar. Ceritanya sendiri sebetulnya menyangkut isu yang sensitif, yang akan terberitahukan kalau cerita ini udah jadi. :P
Dari dua karakter itu, ada 23 halaman A5 yang ingin saya bagi. Saya akan mem-posting-nya selama empat hari berturut-turut. Selamat menikmati! :)
____________________
Bibi (1)
Bibi adalah wanita yang bekerja untuk suatu keluarga di
sebuah rumah. Semburat putih tampak pada rambutnya yang selalu digelung. Selalu
pula, peyot tubuhnya diselubungi kebaya lusuh dipadu jarik batik. Kini kulitnya
sewarna karton, dulu pernah kuning. Tak satupun majikan Bibi memperbolehkan
wanita itu mengunyah pinang atau tembakau.
Sejak masih gadis, Bibi telah bekerja
dari satu majikan ke majikan lain, dari satu kota ke kota lain, bahkan ke
negara lain. Semua majikannya sedarah. Ia sempat berhenti bekerja untuk
keluarga itu selama beberapa belas tahun. Ia pulang ke kampung, menikah, lalu
mengurus keturunannya sampai ia dimohon-mohon untuk kembali. Seolah ada
kepercayaan tertanam dalam keluarga itu, Bibi adalah pengasuh anak terbaik yang
mereka ketahui.
Wanita yang menjadi majikan terakhir
adalah anak keempat dari majikan pertama Bibi. Ia telah tumbuh dan berkembang,
dari seorang gadis kecil yang gemar merengek menjadi pegawai BUMN yang
jabatannya terus naik. Bibi mulai bekerja khusus untuknya sejak wanita itu
hamil untuk pertama kali. Sementara sang suami melanjutkan studi di luar
negeri, wanita tersebut dipindahkan dari satu kota ke kota lain. Di manapun
wanita itu tinggal dalam waktu yang cukup lama, Bibi selalu serta. Bibi merawat
anak demi anak wanita tersebut sejak mereka masih dalam kandungan. Bibi
mengasuh ketiganya dengan telaten sebagaimana ia mengasuh ibu mereka dulu.
Itulah pekerjaan utamanya. Meski pekerjaan rumah lainnya diserahkan pada fisik yang lebih
muda, kadang Bibi urun tenaga. Pembantu pendamping Bibi jarang berganti.
Bibi paling menikmati saat di mana ia
menggendong anak majikannya dalam jarik. Bibi akan membuai. Menimang-nimang.
Menyanyikan tembang-tembang Jawa yang selalu fasih ia lantunkan sejak ia masih
bocah. Jika langit diterangi matahari dengan bersahabat, Bibi membawa si kecil
keluar rumah. Sering kali Bibi bertemu dengan ibu, ayah, atau simbok lain
dengan batita dalam jarik yang terikat di pundak. Satu sama lain saling menyapa
lalu berbincang sekadarnya namun hangat.
Tapi momen yang paling Bibi senangi
adalah menyapih batitanya di tepi hamparan rumput yang luas. Hamparan tersebut
membentuk teras-teras. Setiap teras menyajikan daratan yang cukup lapang bagi
penduduk kampung untuk menggembalakan kerbau. Ia menemukan tempat semacam itu
ketika majikannya ditugaskan di Lawang. Dari daratan yang biasa dipijak, Bibi
bisa mengedarkan pandang sejauh mungkin dan mendapati barisan pepohonan yang
rimbun. Sesekali tegur-menegur yang ramah terjadi antara ia dan petani yang
melewati jalan setapak di belakangnya. Setelah mengusap pipi si bungsu yang
berlepotan bubur sumsum, ia mengarahkan bocah tersebut agar melihat pada
kerbau-kerbau yang merumput. “Lembune lahap tho…” ucap Bibi dengan lembut. Satu
sendok lagi dikecap oleh mulut mungil itu. Kedua belah pipinya
berguncang-guncang.
Momen itu selalu terasa seperti
kemarin. Tahu-tahu si bungsu sekaligus satu-satunya putra itu telah mampu
berlari. Tubuhnya tak kalah gembil dari pipinya. Sepasang matanya yang mungil
seolah terbenam pada permukaan wajah yang kuning langsat. Bibi tak lagi kuat
mengangkat, selain karena bobot tubuh bocah itu, juga karena perilakunya yang
tak bisa diam.
Bibi pun tak mampu mengejar. Nyeri di dada ketika Bibi
berusaha menyusul Raka yang langsung tancap begitu bersua teman-teman
sepermainannya. Hampir tumpah piring berisi makanan Raka sore itu. Wajah Bibi
kian keriput akibat kerut-kerut menahan nyut-nyut, namun tetap terarah pada si
bocah. Ia mendesah, “…Gusti Rabbi…” ketika Raka menendangi temannya. Di lain
kesempatan Raka tidak saja menendang, tapi juga memukul, menghantam, atau
membanting. Kadang Bibi kehabisan kata untuk dilisankan dengan lirih. Ketika
cengkeraman di dadanya mengendur, Bibi mendekat dengan langkah terseok-seok.
Di rumah, Bibi tetap sibuk mengubah tikai menjadi damai. Ratu
tidak mau berhenti mendorong dada Raka—jika tempelengannya tak mengena. Raka
juga tidak mau berhenti meludahi kakaknya. Di belakang Ratu, Rara cemberut
saking jijik dengan lendir berbusa yang mengalir di sepanjang lengannya. Situasi
akan lebih baik apabila ibunya anak-anak berada di rumah. Dalam dekapan wanita
itu, si bungsu menjadi lebih dapat diarahkan. Kalau tidak, Ratu akan berang
karena Bibi lebih memilih untuk tidur bersama Raka ketimbang menemaninya dan
Rara seperti biasa.
Bibi menghadapi ini setiap hari.
Ketika pada suatu malam Bibi tidak
kelihatan menemani anak-anak, sang majikan langsung merasa ada sesuatu yang
janggal. Ratu mengatakan bahwa Bibi sakit. Bibi mendekam di kamar sepulang dari
lapangan untuk memberi makan sore pada Raka. Wanita itu pun mendatangi Bibi.
Setelahnya, tugas mendampingi Raka diserahkan pada pembantu satu lagi.
Tapi Sari tidak seperti Bibi. Tabiat
para majikan yang seenaknya dan selalu ingin dilayani memang masih bisa ia
toleransi, tapi tidak dengan perilaku si bungsu yang suka menodai
barang-barang—kalau bukan menghancurkannya. Entah dengan pulpen, lipstik
ibunya, atau kecap dan sambal, ia akan menghiasi perabotan dengan ragam pewarna
yang ia temukan. Sang nyonya tak sampai hati untuk memarahi bungsunya, jadi
kekesalannya diluapkan pada orang yang ia suruh untuk membersihkan
barang-barang itu. Sari tidak tahu bagaimana melenyapkan noda itu hingga
benar-benar tak berbekas, jadi gerutu nyonya tetap mengiang-ngiang di telinga.
Sembari memangku Raka, Bibi mengarahkan anak itu agar mewarnai kertas saja.
Lalu pulpen di genggaman Raka meninggalkan noda yang tak pernah hilang di
kebaya Bibi.
Setelah beberapa kali badannya kena cakar dan gigitan Raka,
Sari berusaha untuk menyelesaikan tugas sorenya dengan cepat. Setelah menjejali
mulut badung itu dengan bersendok-sendok makanan dari piring, entah nanti akan
dikunyah atau malah dilepeh, perempuan itu meninggalkan Raka di mana pun bocah
itu ingin tinggal. Toh Raka tidak pernah jauh dari lapangan. Raka sudah semakin
besar. Raka tahu ke mana harus pulang setelah menjelajah hingga ke berbagai
titik di sekitar komplek perumahan.
Maka setiap menjelang senja Bibi memandang jam dalam resah,
sembari tangannya membelai-belai rambut Ratu. Dokter berpesan agar aktivitas
Bibi tidak terlalu melelahkan. Fisik Bibi sudah tak sekuat dulu, apalagi
jantungnya. “Bibi mau cari Dek Raka dulu ya Mbak,” begitu kata Bibi di puncak
kegelisahannya.
Ratu memegang erat lengan Bibi. “Enggak usah Bi. Paling entar
lagi juga pulang!” seru gadis cilik yang tengah beranjak remaja itu. Meski bau
Bibi aneh, tapi entah mengapa Ratu selalu merasa nyaman untuk meletakkan
kepalanya di pangkuan Bibi.
Kekhawatiran Bibi tidak pernah berarti. Pakaian dan tubuh
Raka yang tak tertutup memang coreng-moreng dengan tanah dan darah, tapi bocah
tambun itu selalu kembali ke rumah dalam keadaan utuh.
Sesekali Raka pulang diantar omelan dari tetangga yang tak
terima anaknya dihajar. Baik Bibi maupun Sari sama-sama menunduk dan membiarkan
telinga mereka menadahi muntahan komplain. Sehabis itu Sari tak tahan untuk tak
menjewer Raka meski nyonyanya mungkin akan balas memarahinya kalau si bungsu
sampai mengadu. Sebelum itu terjadi, Bibi mengambil alih Raka.
Dengan sayang ia menanggalkan helai demi helai pakaian dari
tubuh anak itu. “Kalau berteman itu yang baik tho, Le,” ucap Bibi lembut.
“Bukannya diantemi… Temennya entar pada takut…”
Entah anak itu mendengar atau tidak. “Aku kan jagoan!”
serunya sementara Bibi mulai membasuh tubuhnya dengan air hangat. Satu
tangannya berpegang pada pundak Bibi. “Enggak boleh ada yang ngalahin aku!”
Raka terus berceloteh mengenai betapa hebat dirinya. Bibi tersenyum.
Sesungguhnya ia rindu untuk melihat kehebatan anak itu lagi, yang larinya
begitu kencang hingga wanita tua ini kewalahan, yang energinya seakan tak
habis-habis, yang gembul pipinya begitu menggemaskan, yang suka mendekap dengan
amat erat hingga Bibi kegelian…
“…eeh… Basah tho…”
Raka tak peduli. Ia membenamkan mukanya semakin dalam ke
perut Bibi. Lingkaran tangannya pada pinggang Bibi mengencang. Dengan handuk
besar dan tebal, Bibi menyelubungi tubuh anak itu dan rasanya ingin sekali
memeluk keseluruhannya. Tapi anak itu semakin tinggi saja.
“Siapa yang jagoan, siapa?” Bibi menggoncang-goncangkan tubuh
Raka dengan gemas. Anak itu tergelak-gelak. Seketika Bibi melupakan perkara
yang telah anak itu timbulkan. Tidakkah orang-orang melihat kepolosan anak ini?
Ia sama sekali tidak berbahaya.
...bersambung ke besok: Bibi (2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar