Aku tidak tahu jam
berapa saat itu. Sepertinya dini hari. Ada suara-suara, suara manusia, suara
pakde dan budeku. Aku malas bangun. Tapi kuketahui juga kalau Pakde di dapur
memegang senter. Memburu tikus. Tikus yang telah menaiki tempat tidur budeku.
Menggigit tangan budeku sampai berdarah.
Sudah kukatakan, aku
malas bangun. Aku tetap di tempat tidur sementara Pakde menyorot bagian bawah
tempat tidur itu. Ia tidak menemukan yang ia cari. Setelah itu kegemparan reda.
Aku tidak tahu lagi bagaimana pakde dan budeku dapat tidur setelah kejadian
itu. Dengan lekas aku kembali lelap.
Ada kerajaan tikus
di rumah ini. Setiap pagi pakde atau budeku menaburkan abu di atas butir-butir kotoran
tikus yang berserakan di teras. Kadang cicitan mereka, gemerisik pergerakan
mereka, mewarnai heningnya malam. Aku pernah menemukan bangkai satu di antara
mereka, dengan tubuh tercabik, di bawah rak piring. Ketika aku menyodokkan sapu
ke bawah meja lalu menariknya kembali, banyak kulit kacang ikut terseret. Pintu
yang membatasi dapur dengan ruang makan, juga pintu kamar mandi, harus ditutup
tiap malam agar tikus tidak masuk ke ruang dalam. Tapi mereka tetap ada.
Beberapa kali Bude
mengatakan kalau tikusnya marah, jika kotoran begitu banyak atau ada makanan dari
meja yang dijarah.
Ketika aku sendirian
saja di rumah pada suatu malam, berisiknya mereka mengusik tidurku. Mereka
berkeliaran di ruang depan. Ada yang sempat menaiki kakiku. Aku bangun. Ada
tempe goreng di dekat kosen kamar. Aku ingat kalau aku lupa menutup piring
berisi gorengan di meja makan.
Selanjutnya hari
berjalan seperti biasa. Aku beraktivitas di kampus sampai sore. Ketika aku
sampai di depan rumah, Pakde tengah membuat sesuatu dari semacam besi kawat
yang berbentuk kotak-kotak. Perangkap tikus rupanya. Bude ada di sampingnya,
memerhatikan.
Aku dibilangi untuk
tidak membuka pintu kamar mandi di ruang makan. Ada tikus di situ. Tikus yang
sengaja dijebak. Pakde masuk ke sana dengan perangkap yang telah ia buat.
Bentuknya silinder.
Aku masuk ke kamar
untuk berganti pakaian. Kamar yang aku tempati itu terletak bersebelahan dengan
kamar mandi yang dimasuki Pakde. Hanya dinding membatasi.
Lantas aku dengar
cicitan nyaring. Jika makhluk itu manusia, aku akan mengatakan ia
berteriak-teriak, menjerit. Lengkingan yang menyayat pendengaran dan sesuatu
yang ditaruh di balik dada. Entah apa yang Pakde lakukan terhadap tikus itu.
Eksekusi usai. Tikus
itu basah, lemas, dan meringkuk di sudut perangkap. Pakde meletakkannya di
sudut pagar. Aku hendak memotretnya, namun Pakde keburu memasukkannya ke dalam
plastik, lalu ke tempat sampah.
Kasihan, ucapku.
Tapi ia telah
menggigit budeku semalam.
Pakde berkata kepada
tetangga yang ia temui, ia tidak akan membunuh tikus itu kalau tikus itu tidak
menggigit budeku.
Tikus ganas.
Entah berapa lama ia
mendekam di kamar mandi. Tampaknya ia berusaha keluar dengan menggaruk-garuk
bagian bawah pintu, atau tepi kosen. Bude menunjukkan itu kepadaku.
Mungkin tikus itu
juga sempat memasuki bak mandi saking gelisah. Maka aku disuruh Pakde menguras
bak mandi.
Kematian tikus yang
telah berani menggigit Bude tampaknya menjadi peringatan bagi tikus lain. Satu
tikus lagi berhasil terperangkap dalam balok perangkap yang biasa. Kotoran
merambah hingga ke bawah meja, atas karpet—bagian yang berubin pada teras—tapi
belakangan ini sudah tidak lagi ditemukan. Tidurku juga sudah jarang terusik
oleh aktivitas mereka. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar