dok. Kurnia Latifiana |
Mulanya hanya seutas
cacing meliuk di dasar got. Putih bagai mi. Cah menyorot tepi. Buset.
Rumbai-rumbai merah jambu itu rupanya sebangsa cacing pula! Terus kami
melangkah, pun cahaya dari senter Cah. Rumbai-rumbai merah jambu melulu,
bergoyang-goyang di balik muka air. Gelap dengan pendar rembulan adalah momen
pesta pora bagi mereka. Tak terbayang apabila kaki kita tercelup ke sana,
memburai kawanan. Sembari menggeliat, mereka telusuri bagian dalam celana. Saya
bergidik.
Dinginnya Dieng pada
sekitar pukul sebelas malam itu, Jumat (13/4/12), belum mengganggu. Perjalanan
baru saja dimulai. Rombongan terdiri dari saya, Nurdin, Trubus, Bagus, Mbak
Nia, Mas Aat, Cah, Mbak Ayu, dan Mas Ovip. Mas Ovip adalah pemuda Dieng yang
aktif di Pokdarwis[1]
sedangkan yang lain adalah mahasiswa serta mantan mahasiswa sebuah fakultas di
UGM. Nurdin, selaku penggagas acara, meminta Mas Ovip untuk mengantarkan kami
ke Gunung Prau.
Gunung Prau,
sebagaimana Gunung Padang, sesungguhnya lebih tepat disebut bukit—bukit di atas
plato berketinggian 2093 mdpl. Dilihat dari dataran, Gunung Prau terletak di
selatan dan ditandai oleh sebuah menara pada perbukitan rimbun.
Kami bertolak dengan
motor dari Jogja sekitar pukul empat sore dan tiba di Wonosobo sekitar dua
setengah jam kemudian. Setelah makan nasi goreng di rumah Mbak Ayu, sekitar
satu jam kami habiskan untuk mencapai Dieng.
Termos di rumah Mas Ovip: disumbat bohlam |
Di dapur rumah Mas
Ovip, kami meringkuk di seputar api-api sembari menyeruput teh panas. Sangat
khas Dieng. Nurdin mengutarakan keinginannya untuk bermalam di padang rumput
yang dinamakan Bukit Teletubbies. Kata Mas Ovip, “Kalau bermalam di sana, paginya
kita enggak bakal bangun,” sebab tempat yang dimaksud berada di dekat kawah. Gunung
Prau pun jadi alternatif.
Nurdin tampaknya
sudah biasa bermalam di gunung, bukit, maupun hutan. Ia menyangka kawan-kawan
seperjalanannya kali ini sesiap dirinya. Tapi, tidak semua dari kami membawa sleeping bag, senter, makanan, peralatan
masak, dan pakaian ganti, bahkan Mbak Ayu baru pulih dari tipes. Tapi, kami tetap jalan.
Mas Ovip memimpin
dengan senter saya yang membiaskan oranye, sedang yang lain putih. Formasi di
belakangnya berubah-ubah.
Lepas dari jalan
beraspal, kami mendaki tangga di belakang terminal. Setelah melintasi jalan di
muka pemukiman para ahli kubur, langkah kami membelah hamparan kebun kentang,
wortel, kubis, dan berbagai komoditas Dieng lain. Siluet pohon pinus yang bagai
raksasa menjulang dalam kesendirian.
Rimba pun disusupi. Permukaan
yang ditapaki kian menguras energi. Semula tersengal-sengal, namun setelah
beberapa lama nafas terkontrol. Mendaki memang membutuhkan pengalaman, atau
setidaknya olahraga teratur. Kalau kita tidak biasa, pernafasan kita bakal
“kaget” seperti istilah Mbak Nia terhadap apa yang dialami Bagus. Bagus sering
berhenti karena nafasnya tidak kunjung terkendali. Padahal, ketika kita
berhenti terlalu sering atau lama sebelum melanjutkan perjalanan, pernafasan
kita bakal membutuhkan penyesuaian lagi. Ngos-ngosan lagi.
Kaki pun mengalami
penderitaannya sendiri. Sepatu lapangan yang berat bagai yang Nurdin pakai
agaknya enak untuk perjalanan seperti ini. Tapi hujan sewaktu-sewaktu bisa
datang sehingga saya tidak menjadikan itu sebagai pilihan, apalagi kalau tidak
bawa alas kaki buat ganti (itulah Nurdin). Sandal lapangan amat fleksibel,
meski licin juga ketika lumpur menerpa. Cah hanya memakai sandal jepit dan
sepertinya ia tidak mengalami masalah. Tapi Bagus, sandalnya yang ala
bapak-bapak itu ia copot sehingga kakinya telanjang.
Rintik membelai
kulit, merembesi pakaian. Mas Ovip mengira itu kabut semata. Rintik tak
berhenti, kendati ditunggu beberapa lama. Itu hujan ternyata. Ponco disibak.
Dengan mata yang
rabun, pun tidak pegang senter sendiri, saya sangat mengandalkan sorotan dari
orang yang pegang senter. Saya kasih senter saya ke Mas Ovip, Nurdin kasih
senternya ke saya, saya kasih senter Nurdin ke Trubus, Trubus dan Mas Ovip
berganti mengarahkan jalan bagi saya. Saya bagai buta. Sering kali saya jatuh,
atau hampir jatuh, selain karena permukaan yang hendak dipijak tak terlihat
dengan jelas, koordinasi tubuh saya juga kurang baik. Padahal saya merasa masih
berenergi. Mas Ovip bilang itu karena lelah.
Dari belakang Mas
Ovip menyorot jalan yang harus saya lalui. Ini lebih mudah ketimbang saya jalan
di belakangnya lalu jatuh karena penerangan kurang, sementara Trubus belum
sampai di dekat saya. Agaknya karena ini kami salah arah.
Puncak bukit, alias
Gunung Prau, telah terlihat. Tapi kami menembus semak, bukannya meniti jalan
setapak. Mas Ovip kembali menjadi ujung tombak. Ia pun bingung, tapi ia terus
mencari jalan. Saya tidak kuasa menyusul dengan kecepatan yang sama. Ia kian
jauh. Sempat dalam pandangan saya hanya siluet tetumbuhan dilatari kelam,
sementara rintik terus menderu. Dalam hati saya berdoa agar Allah menunjukkan
jalan, begini rasanya tak berpenglihatan, sembari terus berjalan dengan meraba
daun dan dahan. Di belakang saya Trubus mendekat. Takut sedikit pudar, tapi
kaki tetap siaga menginjak-injak sebelum melangkah. Tubuh condong pada dinding
apapun di sisi kiri, sebab barangkali sisi kanan adalah jurang.
Ikon Gunung Prau: menara yang menjulang di kala terang |
Akhirnya jalan
setapak kembali tampak. Dinding yang dilajurinya cukup curam. Semangat bikin
tak peduli. Kami telah hampir. Jalan datar sudah terhampar. Menara yang
menjulang itu seakan mengucapkan selamat datang. Di baliknya ada beberapa
bangunan. Tiga jam terlampaui.
Identitas salah satu bangunan di Gunung Prau |
Ponco ditanggalkan.
Matras dibentangkan. Ransel diletakkan. Minyak kayu putih dioleskan. Kencang
angin mendera, diduga bikin nyala api dari kompor gas tak jadi. Kami pindah ke
sisi lain bangunan yang lebih tertutup. Jika bangunan itu berada di tepi jalan
raya, dan saya hanya melewatinya saja untuk mencapai tujuan yang lebih nyaman,
saya akan mengesankannya angker. Dalam keadaan darurat sebagai ini, bangunan
itu jadi bersahabat.
Sementara sebagian
dari kami merebus air, lainnya membuat shelter.
Bagi cewek adalah tenda milik Nurdin cs sedangkan bagi cowok adalah matras
beratapkan ponco. Semua cowok membawa sleeping
bag, untung.
Dalam pakaian basah,
diliputi angin yang mendesah, serta dingin yang bikin resah, kami menyeruput
air hangat beraroma dan berasa jahe. Mi dibumbui buncis yang dipotong dengan
tangan, diraup ramai-ramai. Kloter berikutnya, mi dibumbui susu cokelat.
Rasanya gurih sekaligus manis, nikmat. Biskuit oranye setengah bulat dicelupkan.
Lumayan. Lalu dimasukkan juga biskuit-serupa-*reo-tapi-bukan, saya tidak tega
makanan dibegitukan.
Usai cukup makan dan
minum, saya, Mbak Nia, dan Mbak Ayu memasuki tenda. Dome merek E*g*r, bukan bivak, tapi atapnya masih harus dilapisi
ponco. Ukurannya pas untuk tiga orang, kami. Pakaian yang basah diganti dengan
yang kering. Kaki dilumuri bedak. Hanya ada satu sleeping bag untuk bertiga, mbak-mbak menghamparkannya sebagai
alas. Mas Ovip membawakan selimut bulu yang digunakan kedua mbak, sedangkan
saya memakai selimut garis-garis ala rumah sakit plus sarung.
Sleeping bag
tak cukup untuk menahan dingin yang menguar dari permukaan di bawah tenda.
Dingin itu meresap ke tubuh kami. Sekali waktu lelap sampai, namun kesadaran
timbul kembali dan menjadi derita. Neraka mungkin panas, tapi dingin tak kalah
menyiksa. Tak terbayang apabila hasrat ingin buang air kecil muncul, seperti
yang Mbak Ayu alami dua kali sepanjang sisa malam itu. Tak terbayang apabila
kami berada di luar juga sebagaimana para cowok, apakah selembar matras dan sleeping bag cukup?
Justru di saat
nyaman mulai sayup-sayup, suara yang memberitahukan bahwa langit telah merah
terdengar. Mari mengerang. Langkah-langkah muncul, menjauh. Pujian pada
terbitnya si bola api di ufuk berseliweran, diharapkan pelontarnya untuk bikin kabita[2].
Saya tidak terpengaruh. Saya keluar terakhir dari tenda, setelah mengganti
pakaian kering dengan pakaian basah lagi karena beberapa pertimbangan. Saya
baru menuju matahari ketika yang lain sudah jalan berlawanan arah dengan saya.
Matahari pun sudah bertengger pada posisinya, sudah bukan sunrise melainkan sun
saja.
Sang Fajar di ufuk seberang |
Fajar menyingsing, lebih
populer disebut sunrise, mengapa
engkau biasa saja bagiku? Saya pernah menyaksikan naiknya mentari di Gunung
Guntur dan Bukit Sikunir sebelumnya, dua puncak yang terkenal bagi pemburu sunrise, adakah saya tergugah sangat
dalam pengalaman itu? Kala itu mentari naik dengan cepat dilatari semburat-semburat
kapas yang bagai awan. Koin yang amat terang. Gunung-gunung menjalarkan kaki
yang mencengkeram bumi dengan kokoh, disaput kabut, bagai lukisan. Mengapa kita
harus berjuang semalaman dulu (dua malam untuk Gunung Guntur), payah dalam
nafas, kaki, dan hujan, baru bisa mengagumi kebesaran Tuhan? Bisakah kita
memuji Tuhan dengan hanya bercokol di
tengah hiruk-pikuk perkotaan saja?
Lukisan Tuhan |
Sekiranya ini cuman
perkara kesukaan. Toh yang mengaku “pecinta alam” belum tentu beriman. Toh yang
anak kota tulen tak mesti menafikan solat.
Sapa mentari dengan
pancaran sinarnya yang bikin mata terpicing, “Udah, nikmatin aja.“ Maka diiringi
“Jika Nanti Kau Panggil Namaku” dari grup lawas bernama SAS, saya melakukan
senam asal-asalan. Tubuh yang kaku-kaku berkat digempur semalaman ini perlu
dilemaskan. Dingin harus digusah. Asmara yang mulai berpendar lagi diabaikan
saja.
Kubis: selain jadi bumbu mi, ia juga berfungsi sebagai spons untuk membersihkan wadah serta serbet untuk memegang benda yang panas |
Ketika saya kembali,
Nurdin sedang menunaikan solat di atas matras. Ia bersujud menghadap matahari.
Sejak kapan matahari terbit di arah kiblat, Bung? Dalam benaknya dunia mungkin
telah kiamat, atau ia sekadar saking terpesona pada sumber binar. Kecele dua
kali, ia juga melakukan tayamum padahal ada sumber air di samping bangunan
sebelah.
Satu dari banyak bukit Dieng yang telah gundul. Tapi kelihatannya malah seolah artistik lo. |
Setelah sarapan,
kami beres-beres. Saya makin kerap jatuh saat menuruni bukit—Trubus sangat
menantikan momen-momen tersebut. Nurdin berdiskusi dengan Mas Ovip mengenai
jenis pohon untuk penghijauan bukit-bukit Dieng. Mas Ovip mencari jenis yang
tidak menarik untuk ditebang warga, namun cepat tumbuh serta dapat menyerap
banyak air.
Ketika kami sampai
di rumah Mas Ovip, tidak banyak jeda waktu hingga zuhur. Batal rencana untuk
mengunjungi pesona alam lain di pelosok Dieng. Sementara Mas Ovip pergi, Bagus
menemani Trubus mencari sarapan dan kembang setempat, sofa di ruang depan rumah
Mas Ovip dikuasai enam orang yang larut dalam kantuk masing-masing.
Menjelang pukul
setengah tiga sore, kami telah siap untuk meninggalkan dataran tinggi tempat para
dewa bersemayam itu. Hujan mengiringi perjalanan kami menuju Wonosobo. Ujung
ponco saya terbelit rantai motor yang saya naiki, tapi saya tidak merasakannya.
Kamar mandi dan santap sore di rumah Mbak Ayu menjadi jeda nikmat sebelum
perjalanan dilanjutkan.
Duduk di atas motor
yang melaju selama berjam-jam juga sebuah penderitaan. Tubuh saya baru terasa
seperti sedia kala, tidak lagi kaku-kaku, setelah renang pada Senin sore.
Selama dua hari pula Diapet menjadi teman yang baik. Dengan demikian ingin saya
kukuhkan Diapet dan Dieng jadi sejoli, lihat pengalaman saya sebelumnya.
Gunung prahu, pertama kali di puncaknya seakan-akan di dunia yg beda, pemandangannya yg khas dan unik,smoga tetap lestari
BalasHapusAamiin. Terima kasih sudah berkunjung. :)
HapusMakasih juga tlah follow blog SANDAL
Hapus