Kamis, 29 Maret 2012

Setelah Pesta..

abacus sipoa, sempoa * abalone sejenis kerang yang dapat dimakan * abandon dengan leluasa, bebas tak terkendalikan * abase menghinakan, merendahkan derajat * abashed bingung, tak tahu apa yang mesti dilakukan—malu dan rikuh * abate mengurangi, meredakan * abbreviate memendekkan * abdicate mengundurkan diri, melepaskan dengan resmi *

 

 

 

Turun dari angkot, sejenak kami mendongak sebelum menyeberang jalan. Sudut antara bagian bawah dagu dengan garis pangkal leher mungkin mencapai 45o. Bangunan itu terang benderang dilatari kelamnya cakrawala selepas senja. Lebarnya mungkin dua—atau tiga?—kali rumahku. Jelas itu rumah yang kami tuju. Gerbangnya terbuka hingga menampakkan beberapa kendaraan di baliknya—kebanyakan adalah motor. Sebetulnya rumah itu tidak jauh beda dari rumah-rumah lainnya di kawasan utara kota ini.

Di rumah itulah, teman sekelas kami yang bernama Rio akan merayakan “tujuh belas manis”nya—istilah Zia. Seluruh warga kelas diundang untuk meriuhkan (“pesta kecil-kecilan di rumah yang besar, huh,” dengus Zia). Rio bahkan mengajak para undangannya untuk menginap sekalian di rumahnya, ramai-ramai. Seru memang. Namun aku memilih untuk pulang saja kalau waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Zia pun urung. Atas tawaranku pula, ia akan ikut pulang lalu menginap di rumahku.

Rio warga baru di sekolah kami sebetulnya. Ia pindah dari sekolah lain di kota yang sama. Anak bandel, dengar-dengar.

Saat melewati gerbang, Zia berkata, “Kayak masuk ke lokasi syuting sinetron ya Tat?”

“Bukan ‘kayak’ lagi,” komentarku ketika menyadari bahwa pelataran rumah itu saja lebih luas dari rumahku.

Pintu depan rumah itu terbuka lebar. Kami tidak usah melepas alas kaki untuk memasukinya. Ruang yang kami temui di balik pintu luar biasa lega. Di sisi ruangan, meja-meja bertaplak putih dan lipit-lipit. Berbagai kudapan dan minuman tersaji di sana. Langit-langit rumah ini jauh dari jangkauan tangga biasa. Entah bagaimana lampu bertingkat-tingkat yang seolah terbuat dari kristal tergantung di sana. Speaker bertengger hampir di setiap pojok ruangan. Musik yang dikumandangkannya berdentum-dentum di dada. Ruangan ini berbahaya bagi pengidap gangguan jantung.

Tampak muka-muka yang kami kenali: Yusuf, Idham, Susan, Fea, Paula, Sasa, Nani, Krisan… dan masih banyak lagi. Sepertinya mereka sudah cukup lama berada di sini sedang aku dan Zia termasuk kloter yang datang agak akhir. Sudah begitu aku belum salat maghrib pula… waduh… waktunya tinggal sepuluh menit lagi. Aku mengajak Zia untuk mencari Rio dulu, mengucapkan selamat dan menyerahkan kado padanya, menanyakan di mana aku bisa salat, lalu langsung ngacir ke sana. Tapi setelah berputar ruangan itu sekali, kami tidak melihat Rio. Setidaknya aku sudah tanya di mana tempat untuk salat pada beberapa teman yang kami datangi. Aku pun menitipkan kadoku pada Zia. Ia sendiri sedang berhalangan untuk salat.

Ketika aku kembali, Zia sedang mengobrol dengan Kamal. Kurangkul Zia lalu ku­si­mak obrolan mereka. Kusangka Kamal sedang coba mengajak Zia mengobrol lalu Zia menanggapinya dengan dingin, seperti biasa.

Selama ini Zia selalu menjauhi Kamal. Kamal memang belum putus usaha mendekati Zia padahal Zia sudah terang-terangan menunjukan sikap tidak suka. Sebetulnya aku prihatin pada Kamal, apalagi ia sohib baik Ardi—cowokku—yang berarti ia sohib baikku juga. Aku sempat was-was ketika di tahun ketiga SMA ini akhirnya Kamal sekelas dengan Zia—denganku juga. Semakin Zia merasa terganggu, semakin ia akan bikin penyok hati Kamal. Kamal tahu diam-diam Zia juga suka menggunjingkannya.

Sebetulnya aku bisa paham mengapa Zia kurang senang dengan Kamal. Penampilan fisik Kamal memang kurang menarik, namun Kamal tidak pernah kehabisan bahan untuk membuat dirinya tampak membanggakan. Ayahnya tinggal di luar negeri lah. Ia sering dikirimi barang-barang yang sukar ditemui di Indonesia lah. Koleksi anime, manga, action figure, dan semacamnya yang berbau Jepang, berjubel di kamarnya lah. Apapun lah.

“…terus gimana rasanya si balon-balon itu…” respons Zia dengan nada kurang berminat yang lantas berganti warna jadi cemooh, “kerang dari Laut Selatan?”

“…abalone,” koreksi Kamal. Di balik nada tegasnya itu, aku bisa merasakan bahwa ia gugup sekaligus tertantang untuk bertahan. Bertahan saja, tanpa daya untuk balik menyerang.

“…kita juga enggak harus jauh-jauh ke Jepang buat liat orang ngitung pakai sempoa…” ucap Zia lagi. Ia seakan guru yang sedang memberi pengertian pada siswanya yang sok tahu.

Untuk situasi semacam inilah aku berada di sini. “Hei, kalian lagi pada ngomongin apa sih?” semburku ceria. Saking ceria, tubuh Zia bergoncang. Air dalam gelas di tangannya hampir tumpah. Ia melotot padaku. Namun aku bisa melihat kilasan di mata Kamal bahwa ia merasa telah diselamatkan. Setidaknya sedikit kelegaan terpancar dari wajahnya.

Sembari menjerat leher Zia dalam rangkulanku, aku coba cairkan lagi kekakuan Kamal. Gerakan Zia jadi gelisah. Jelas ia tak nyaman. Tapi ia tidak berusaha melarikan diri. Mungkin karena ia tahu Rio sedang berjalan menuju kami.

Cowok bermata sipit itu tidak sendiri. Santo, Kurnia, Septa, dan Yusuf mengapitnya. Mereka sudah aktif dalam Komite Kajian Kembang Sekolah (K3S) sebelum mereka disatukan di kelas XII IPA 1. Sepengetahuanku, anggota komite tersebut hanya cowok kelas XII dan kelas XI saja. Radar gosipku sering bergetar kalau aku berada di dekat mereka, meski bukan aku yang mengendalikan pergosipan di kelas, melainkan mereka. Ardi yang tidak sekelas dengan kami saja sering mereka bawa-bawa ke dalam kelas, secara fisik maupun tidak. Sengaja untuk menggodaku.

“Eh, Tata, Ardinya enggak dibawa?” Tuh kan. Senyum licik sudah terulas di bibir Kurnia.

“Kan yang diundang cuman temen sekelas aja,” kataku sopan. “Iya kan, Rio?”

“Enggak kok. Di sini banyak anak dari kelas lain juga kan?” Pandangan Rio beredar ke sekeliling, tubuhnya agak ke belakang, dengan sebelah lengannya agak membentang.

Benar juga sih.

“Huu.. Tahu gitu aku bawa si Ardi,” ujarku sok menyesal. Aku dan Zia, yang sepupu Ardi, sama tahu kalau cowokku itu lebih suka ngansos di rumah ketimbang menghadiri hingar-bingar pesta. Kamal cenderung lebih suka unjuk diri ketimbang Ardi, namun ia tampak tertekan juga ketika berada di dekat sekawanan cowok dominan. Tubuhnya pun tidak setinggi mereka—padahal tinggi para cowok tersebut juga rerata tinggi laki-laki Indonesia. Setidaknya keramaslah lagi dan sisir rambut kamu, Kamal, diam-diam aku meliriknya dengan miris. Sikapnya terlihat makin canggung. Tubuhnya beringsut hingga menyenggol Soni yang sedang mengambil kudapan di belakangnya. Segera kuambil alih suasana. Kutanya Zia, “Eh kado buat Rio udah dikasih belum?”

Aku melepas rangkulan sementara Zia berpaling pada dua kado yang bertumpuk di meja di dekat kami. Sebetulnya isi keduanya sama. Warna, corak kertas kado, dan cara membungkusnya saja yang dibuat beda. Hihihi…

“Makasih ya teman-teman,” Rio tersenyum seraya menerima kado-kado tersebut dalam dekapannya.

“Eh Zia, kamu jadi kan mau ikut Ajojajojing?” celetuk Septa.

Zia mengerutkan dahi. Tampangnya sok ragu. “Ikut enggak ya?”

“Alah… Ikutan aja, Zia. Enggak rame kalau enggak ada kamu mah!” Tangan Septa seolah hendak menepuk lengan Zia, tapi tak kena.

Dalam rangkulan Santo, Kurnia menambahkan, “Buruan daftar gih. Bentar lagi loh. Jam setengah delapan mulainya. Tuh, berapa menit lagi itu…”

“Sekarang udah jam setengah delapan lebih.” Aku mengecek jam sekaligus sms dari Ardi di ponselku.

“Eh Kamal, ikutan juga yuk.” Zia menoleh pada Kamal. Kepala Kamal nyaris tunduk terus sejak tadi. Cowok kucel itu pun terperangah. “Katanya kamu pernah belajar tango waktu pelesir sama ayah kamu ke Argentina…” lanjut Zia.

Kelima cowok memandang Kamal dengan tertarik.

“Oh ya? Ayo, Kam, Mal, biar tambah rame!” kata Rio. Sebelah alisnya terangkat. Yang lain juga menyemangati.

“Yuk, kita daftar bareng, Kamal!” Baru kali ini aku lihat senyum Zia sesumringah itu pada Kamal. Sementara wajah Kamal malah diliputi keraguan. Kawanan Rio mulai menggapai-gapai tangannya, namun Kamal makin beringsut.

Jantungku serasa mencelus. Entah mengapa. Aku bahkan tidak tahu apa itu Ajojajojing. Acara menari tanpa henti selama setengah jam nonstop dengan lagu yang berubah-ubah? Kita kan harus sudah sampai di rumahku sebelum jam sembilan, Zia! Namun kemauan cewek satu ini jarang bisa kucegah. Ya ya, habis itu kita langsung pulang, Tat! Zia meyakinkan. Tapi yang lebih bikin aku gamang adalah ajakan Zia pada Kamal barusan. Apakah Zia sudah sebegitu gemasnya pada Kamal? Mestinya Zia mengerti kalau segala cerita Kamal itu tidak bisa betul-betul dipercaya! Aku tidak ingin bilang sohib baikku itu ingin menjebak sohib baikku yang lain. Aku kira sudah cukup sikap angin-anginan Zia pada Kamal selama ini, tidak perlu sampai memberinya pelajaran seperti ini.

Mendadak nyala ruangan redup. Teriakan demi teriakan bernada gurauan bermunculan, tidak usah dihiraukan. Lalu titik-titik cahaya dari lantai dua yang terbuka mewarnai ruangan dengan nuansa remang-remang. Seseorang bicara melalui pengeras suara, asalnya dari pojok di mana sound system mendekam,  “Yok temen-temen, kita mulai aja Ajojajojingnya ya! Yang mau ikutan masih boleh daftar. Dikasih waktu satu menit lagi! Buruan!”

Keraguan sudah tidak tampak di wajah Kamal lagi—karena gelap. Namun aku masih bisa dengar dengan jelas suaranya yang memelas, “Enggak ah, enggak ah…” Namun Zia dan kelima cowok terus memprovokasi dengan sikap terbuka. “Ayo, ayo, ayo, ayo…” sampai Kamal akhirnya berkata, “Iya deh, iya deh…”

Aku berusaha ikut larut dalam kesenangan Zia dan kelima cowok itu. Tapi tetap saja aku tidak tega melihat pertunjukan Kamal setelah ini. Membayangkan ia menari saja aku tidak bisa. Memang ia mau menari apa? Tarian minta hujan yang pernah diajarkan tamu di ekskul Jejepangan yang sama-sama kami ikuti? Mending kalau begitu, tapi kalau dangdut? Zia mungkin jago, tapi Kamal bakal mati gaya, bahkan mati gantung diri kalau ia sampai terlalu malu. 

Bersama banyak orang lain, aku ikut menyingkir, membuat lingkaran yang mengelilingi sebuah ruang yang cukup lega bagi delapan orang untuk beraksi.

Serta-merta pencahayaan berubah nuansa. Gemerlap warni-warni lampu yang meminjam komposisi pelangi menyapu setiap orang, dinding, dan benda apapun yang dilaluinya. Irama dengan hentakan-hentakan ala synthesizer tenggelam dalam pendengaran kami. Zia terlihat seperti memekik. Sepertinya ia senang sekali dengan musik ini. Kakinya mulai bergerak-gerak dalam ritmis. Sesaat aku tercenung menyaksikan ia melepas ekspresi tubuhnya dengan begitu leluasa. Seakan ada yang perlu dibebaskan dari tubuhnya, hingga menjadi tak terkendalikan sama sekali.

Sementara Kamal, sebelah tanganku bertahan di muka, tunduk rikuh di tengah tarik ulur lengan para peserta lain. Sementara mereka menikmati dinamika nada dengan rileks, Kamal celingukan saja. Aku berharap celingukannya sempat mengarah padaku, jadi ia bisa menerima dukungan semangat yang dipancarkan wajahku.

Aku mendesah lega ketika ia sepertinya sudah mulai bisa mengikuti irama. Tubuhnya bergoyang pelan ke kiri dan kanan. Tidak seaktif gerakan yang lain, namun setidaknya kini ia tidak lagi beda sendiri. Ketika ia diam saja di tengah goyangan orang-orang, justru itu malah lebih menjadikannya sebagai pusat perhatian. Dan aku yakin ia tidak menikmati itu dalam situasi seperti ini.

Sayangnya, musik keburu berganti. Penonton berteriak “wow!” dan “waw!” demi lagu beraliran dangdut yang lagi populer-populernya itu. Peserta tidak kalah riuh. Mereka membangkitkan histeria penonton dengan mengadaptasi berbagai peranti bangunan ke dalam goyangan mereka. Dari yang lazim dipakai macam bor dan gergaji, sampai yang jarang terekspos seperti palu dan backhoe. Sebagian orang terperangah saja sedangkan sebagian lagi tak tahan untuk tak terbahak. Aku sendiri diam saja. Entah mengapa aku kurang senang menonton acara yang seperti ini. Belum lagi karena Kamal lagi-lagi mematung. Malah sepasang mata kecilnya yang bergerak-gerak gelisah. Aku juga tidak kuat melihat penampilan Zia yang tidak kalah menghebohkan dari upaya para peserta cowok mencari sensasi. Ia memang bukan satu-satunya peserta cewek. Terserah peserta cewek lain mau berusaha sebagaimanapun. Mereka kan bukan sohib baikku, tapi Zia iya!

Belum reda tawa penonton, warna musik sudah beralih lagi. Kali ini para cewek yang menjerit-jerit. Tengok saja ponsel dan komputer mereka, lagu-lagu produksi negeri ginseng ini pasti ada! Kali ini bukan peserta saja yang unjuk kebisaan, tapi juga penonton. Atmosfir memanas kendati mereka tertib—tidak mengacaukan lingkaran arena pertandingan. Aku kira Kamal familier juga dengan lagu-lagu semacam ini. Tapi ia malah bergeming. Aku lagi-lagi tepok dahi. Lebih terperangah lagi aku ketika ia mendadak angkat kaki, bukan pertanda tarian, melainkan pelarian!

Kontan aku mengikutinya mengeloyor. Aku panggil namanya berkali-kali. Ia tidak menggubris. Baru di atas rerumputan halaman ia berhenti. Aku harap itu bukan karena asmanya kumat. Ia membungkuk. Punggungnya naik turun. Sengalan nafasnya terdengar keras. Sontak aku mengelus-elus punggungnya dan bertanya, “Kamu bawa inhaler enggak?”

Ia masih betah menatap rumput sementara aku mengedarkan pandang ke sekeliling. Satpam rumah ini tengah mengamati kami.

Mendadak Kamal misuh-misuh. “Zia itu… Zia itu… Dia cuman mau manfaatin aku aja!”

Aku tertegun. “Maksud kamu apa, Mal—“

“Dia tuh ngedeketin aku cuman supaya dia bisa ngedapetin koleksiku aja!” Dia menunjuk-nunjuk gedung yang menyala di seberang halaman—tempat di mana sebelumnya kami berada tadi. “Sekarang dia mau mempermalukan aku! Aku enggak bisa terima!” Tapi ia sungkan tengadah selama mencak-mencak.

Aku memandangnya dengan prihatin sekaligus agak sulit memercayai kata-katanya.

“Maksud Zia bukan kayak gitu kali…” ujarku dengan nada yang aku harap bisa meredakan kekalutannya. “Udah yuk, jangan di sini.” Aku hendak menggiringnya dari jangkauan pengawasan satpam. Memang kami bukan orang yang patut dicurigainya, tapi siapa sih yang tidak tertarik sama adegan tegang urat seperti ini? Kamal menampikku.

Aku berasa melintasi gurun selama Kamal terus meracau. Aku harap ada yang bisa memendekkan omelannya. Lama-lama kupingku panas juga. Bukan masalah ia menjelek-jelekkan Zia. Dalam beberapa hal sikap Zia memang kurang pantas. Aku lebih capek karena kekesalanku pada cowok yang entah kapan bakal dewasa ini.

Kamal baru berhenti ketika sosok Zia muncul dari pintu depan rumah yang terbuka lebar. “Tataa… Dicariin ih!” Ia berlari-lari kecil ke arahku. Menoleh sejenak pada Zia, Kamal lekas balik arah. Langkahnya terseok-seok cepat di atas rumput. Ketika Zia sudah sampai di dekatku, Kamal sudah cukup jauh. “Sama siapa, Tat?”

“Si Kamal…” jawabku. “Udah jojingnya?”

Ia membuat huruf V dengan jemarinya. “Aku ngundurin diri…” katanya seraya menjulurkan lidah.

“Eh, kenapa?”

Ia tersenyum saja.

“Kalau mau sampai selesai juga enggak apa-apa, Zia, nanggung.” Aku jadi merasa tidak enak. Semula aku memang ingin minggat dari sini sebelum jam delapan malam, tapi biarlah ia menyelesaikan kesenangannya dulu.

“Enggak ah. Yuk kita pulang sekarang aja!” Ia mendorong pundakku pelan.

Kami bahkan tidak pamit dulu sama pemilik acara. Zia bilang toh di dalam juga masih heboh.

Di jalan, aku ceritakan tentang Kamal. Tiba-tiba aku ingin Zia menyadari kalau ia seharusnya tidak mengajak Kamal ikut menari tadi. Aku juga ingin mengkonfirmasi ucapan Kamal tentang Zia. Bibir Zia kontan tertarik ke bawah. “Dia sendiri yang nawarin koleksinya kok. Ya udah, aku terima aja. Toh kalau udah selesai perlunya aku balikin lagi kok.”

“Omong-omong kenapa kamu enggak sampai selesai tadi, Zia?” tanyaku.

“Udah enggak pingin aja.”

“Bukannya tadi kamu semangat banget?”

“Iya… Terus pas lagu keenam tahu-tahu aku bilang ke Rizal kalau aku enggak nerusin lagi.” Rizal adalah MC acara Ajojajojing tadi. Hilangnya dua peserta tidak serta-merta bikin acara tersebut henti. Baik animo penonton maupun animo peserta tidak begitu terpengaruh karenanya, karena aksi peserta yang tersisa begitu memikat mata.

“Kenapa kamu tahu-tahu ngundurin diri, Zia?”

“Pingin aja. Si Kamal juga tahu-tahu udah enggak ada kan…”

Ah. Zia. Cewek satu ini memang suka jauh dari tebakan, meskipun aku bukannya sering main tebak-tebakan. Hal mana yang melayangkan ingatanku pada pelajaran merajut yang ia belum lanjutkan lagi, atau nasib novelnya yang entah sudah tuntas apa belum, atau ikatannya dengan ekskul jurnalistik yang sudah lama terbengkalai.

“Kayaknya kamu mesti ngomong baik-baik sama Kamal deh, Zia. Sekalian minta maaf…” Wajah terhina Kamal membayang lagi dalam benakku.

“Kenapa?” Ia cemberut.

“Ya biar di antara kalian bisa ada saling pengertian yang baik aja… Soalnya kayaknya dia ada masalah juga sama kamu.”

Zia tampak sebal mendengar kata-kataku.

Tapi ia selalu apa adanya. Ia tidak bisa memendam galau lama-lama. Kalau sudah meletup, akan sekalian ia beberkan semua.

“…enggak enak aja tadi, pas liat si Kamal tahu-tahu lari… Iya sih, aku emang rada-rada gimana gitu sama dia, tapi dianya juga yang kayak gitu kan… Jadi serba salah deh ah…” ucapnya lirih ketika kami sudah sama terbaring di kasur.

Mata sudah berat, kesadaran hampir lenyap, tapi aku masih cukup pikiran untuk mencerna sandi-sandi yang ia kirimkan. Setidaknya sebelum kesadaranku betulan lenyap aku masih bisa menyimpulkan bahwa sohib baikku ini memang baik. Ia menyesali perbuatannya yang bikin Kamal punya pengalaman tidak enak. Aku akan memberitahukannya pada Kamal begitu bertemu dengannya di sekolah…

…lusa. Saat itu sedang jam istirahat. Aku belum sempat mendekati Kamal, atau setidaknya mendapat situasi yang pas untuk membicarakan Zia dengannya. Ia juga sudah menghilang dari kelas tidak lama setelah bel istirahat bunyi. Aku sudah dua kali bolak-balik kelas-kantin dan tidak berpapasan dengan bocah itu sama sekali. Mungkin ia sedang membaca di gudang sekolah bareng Ardi atau sekadar nongkrong di sekre ekskul Jejepangan.

Di mana ada dia, biasanya ada Ardi juga. Secara aku belum bertemu Ardi sama sekali hari itu, aku bermaksud untuk menyusul ke sekre saja. Namun langkahku melambat begitu aku melewati ruangan di samping ruang BP. Ruangan kecil dengan meja panjang dan deretan kursi di setiap sisinya itu biasa digunakan guru atau aktivis OSIS untuk rapat. Berkat koneksi seorang aktivis OSIS yang rada playboy, ruangan itu juga bisa dimanfaatkan para anggota K3S untuk diskusi mingguan mereka. Apa lagi topiknya, kalau bukan cewek-cewek layak keceng di sekolah?

Kadang aku memang sengaja melambat di situ supaya bisa menangkap perkembangan gosip terbaru, meski sekilas. Pada kesempatan ini aku lebih tertarik untuk segera berjumpa dengan Ardi, namun urung karena aku mendengar nama Zia disebut.

Pintu ruangan terbuka sedikit karena tadi ada anggota yang baru keluar. Keriuhan yang semula terdengar hingga ke koridor kini tervisualisasikan. Seseorang duduk di meja, dua orang berdiri sembari bersandar pada dinding, sedang sisanya mungkin duduk di kursi—aku tidak bisa memastikan ada berapa banyak cowok dalam ruangan itu. Dari penggalan dialog mereka, aku bisa menangkap bahwa mereka tengah membicarakan cewek yang kemarin ikut Ajojajojing di pesta Rio. Mereka juga sepertinya sedang menyaksikan hasil jepretan selama acara tersebut. Aku tidak tahu bagaimana mereka mengomentari peserta cewek lainnya, tapi komentar mereka tentang Zia bikin aku tersengat.

Aku tidak mengerti bagian mana dari bahenol dan overacting yang bisa bikin mereka sampai ngakak habis-habisan itu. Sial, mereka benar-benar merendahkan derajat cewek—apalagi cewek yang aku kenal baik! Aku tahu Zia tidak selebay yang mereka pergunjingkan. Itu hanya upaya mereka saja, berimajinasi yang bukan-bukan, untuk kesenangan mereka sendiri. Payah!

Ketika anggota mereka yang tadi keluar hendak masuk lagi, aku manfaatkan kesempatan itu agar bisa masuk ke dalam ruangan. Aku cukup terpana mendapati banyaknya cowok di sana, lebih lagi ketika Kamal terselip di antara mereka.***

                         

25-290312

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain