Padang berarti tanah yang datar dan luas
(tidak ditumbuhi pohon-pohon yang berkayu besar) ataupun lapangan[1]. Gunung Padang
memang hampir tampak demikian. Hanya beberapa pohon yang tumbuh di puncaknya, usia
mereka pun konon belum lanjut, sedang selebihnya adalah hamparan rumput dengan
batu-batu bergelimpangan. Bukit-bukit (masing-masing bernama) dengan vegetasi
yang tampak lebih rimbun mengelilinginya. Saya kira Gunung Padang sendiri lebih
menyerupai bukit.
Kata “padang” rupanya berasal dari
bahasa Sunda yang berarti “terang”. Sebetulnya kata ini terdapat dalam bahasa
Jawa juga dengan arti yang sama. Jika dikaitkan dengan interpretasi bahwa situs
ini merupakan tempat pemujaan, maka penamaan Gunung Padang bisa berarti
pencerahan yang didapat setelah melakukan pemujaan.
Pak Nanang, salah satu juru pelihara Gunung Padang |
Ada lagi menurut Pak Nanang. Suatu malam
ia tengah berada di Gunung Padang dan menyaksikan kemunculan cahaya menyerupai
kubah masjid dari ujung situs hingga ke bawah. Rupanya cahaya ini terlihat pula
oleh warga yang bermukim di sekitar bukit ini. Jadi penamaan Gunung Padang
adalah karena gunung ini merupakan gunung yang bercahaya, sebagaimana Jabal Nur
di Timur Tengah.
Dalam diskusi di lantai dua bangunan di
tepi situs, Pak Nanang mengungkapkan filosofi mengenai Gunung Padang dari sudut
pandang seorang muslim yang dipadu dengan cerita warga setempat alias folklor.
Setiap keunikan legok, bentuk, maupun posisi batu mengandung simbol-simbol yang
Islami, serta filosofi yang berkaitan dengan konsep kepercayaan masyarakat pada
masa itu terhadap Sang Pencipta. Dengan cara itulah, secara aksara belum
ditemukan, orang pada zaman itu membahasakan maksudnya. Ia menganggap tempat
ini lebih sebagai tempat untuk bertafakur dan mendapatkan pencerahan, atau
istilahnya uzlah, sebagaimana Nabi
Muhammad SAW di Gua Hira.
Sebagai orientasi, Gunung Gede merupakan
simbol dari keagungan Tuhan. Gunung Gede merupakan kiblat, pusat dari kegiatan
pemujaan pada Yang Kuasa, sebagaimana Mekkah bagi umat Islam kini. Meski saat
itu Islam belum disempurnakan, Islam sudah ada sejak manusia pertama, Nabi Adam
AS, menjejakkan langkah di bumi.
Dua batu menyerupai tiang yang berdiri
di undakan pertama disebut Eyang Pembuka Pintu dan menyimbolkan dua kalimat
syahadat. Di undakan atasnya ada kumpulan batuan yang disebut Gunung Masigit,
di mana ada batu yang bentuknya merupakan simbol dari orang yang sedang
bersujud ke arah Gunung Gede.
Hamparan batu yang di tengah itu bernama Gunung Masigit |
Di atasnya lagi, ada bebatuan yang
disebut Eyang Mahkota Dunia. Suatu Kamis malam, Pak Nanang datang ke mari
meminta petunjuk pada Allah SWT akan makna dari penamaan tersebut sembari
memandang bintang-bintang. Lalu ia merasa mendengar bisikan bahwa yang dimaksud
dengan mahkota adalah kehormatan sehingga mahkota dunia adalah kehormatan
dunia. Seseorang memperoleh kehormatan di dunia bukan karena kekayaan yang ia miliki,
melainkan karena ia bisa memberi—berzakat.
Di undakan ketiga, ada batu yang disebut
Kramat Tunggal, yaitu batu dengan cetakan semacam kujang pada permukaannya.
Kramat berarti tempat, tunggal adalah satu, sedang kujang bisa diartikan
sebagai sesuatu untuk dipegang. Dari pengertian ini, kita bisa menyimpulkan
sendiri apa makna dari batu tersebut.
Legok yang seperti kujang |
Batu selanjutnya adalah Bandung Tunggal
alias Batu Gendong. Bandung berarti agung sedang tunggal adalah satu—Agungkan
Yang Satu. Batu yang terletak sebelum undakan terakhir ini menarik pengunjung
untuk coba-coba mengangkatnya. Konon jika kita berhasil mengangkat batu
tersebut, keinginan kita akan terkabul. Namun menurut Pak Nanang, batu ini
semacam sambutan, “Silahkan anda melaksanakan perjalanan ke tingkat yang
terakhir (undakan kelima—dyh) dengan catatan anda harus kuat dulu dari satu ke
empat (empat undakan sebelumnya—dyh), Agungkan dulu Yang Satu.”
Tangkep, Maaang...! |
Pada undakan terakhir ada semacam
singgasana atau hamparan untuk tempat mengheningkan cipta—beristirahat setelah
semua terlalui. Di situ ada batu cukup besar yang disebut Batu Pandaringan. Batu
lonjong yang nyaris terbaring ini menghadap ke Gunung Gede dan dianggap sebagai
akhir dari prosesi pemujaan. Batu ini memiliki energi yang luar biasa. Sinyal
elektronik, misalnya pada ponsel dan GPS, sangat kuat di sini. Menurut Bang
Ridwan, dulu posisi batu tersebut lebih tegak. Karena dianggap keramat, selain
memberi sesajen, pengunjung juga mengambili tanah di bawah batu untuk dibawa
pulang sehingga lama-lama batu kekurangan pijakan. Robohlah ia. Selain di bawah
batu ini, sesajen juga dijumpai di atas batu pada undakan yang lebih bawah
dalam wujud dua pasang pisang, serta bebungaan di pojok Sumur Cinta. Justru
pengunjung yang menaruhnya di situ, bukan penjaga.
Energizer stone |
Selain undakan utamanya yang lima, Pak
Nanang mengungkapkan trivia lain yang serba lima dari Gunung Padang. Dari
undakan satu ke undakan kedua terdapat lima undakan kecil lain. Kebanyakan batu
di sini—90%-nya—memiliki lima sudut. Ada lima gunung yang mengelilingi situs
ini yaitu Gunung Karuhun, Emped, Gunung Malati (perkebunan teh), Pasirmalang,
dan Gunung Batu. Dan lagi, jika cuaca sedang cerah, dari salah satu titik
pemandangan kita bisa melihat lima gunung dalam keadaan sejajar, yaitu Gunung
Batu, Pasirpogor, Gunung Kencana, Gunung Gede, dan Gunung Pangrango. Orientasi
situs ini ke arah Gunung Gede atau barat laut—5o lintang utara.
Situs ini juga dekat dengan lima mata air. Ada apa dengan angka lima?
Salah satu batu dengan lima sudut |
Kembali ke bebatuan, ada beberapa batu
lain yang khas di situs ini antara lain batu lumbung yang menyimbolkan
kesejahteraan, kumpulan bebatuan menyerupai tempat duduk untuk bermusyawarah,
serta batu ceper di undakan pertama yang dianggap sebagai batu musik karena
jika dipukul bunyinya seperti gamelan (disediakan palu untuk mencobanya).
Batu kursi |
Tapak maung yang membuat situs ini dikaitkan dengan Prabu Siliwangi |
Bagaimanapun, situs yang dianggap tertua
di Asia Tenggara—mungkin juga dunia?—ini masih merupakan misteri, sebuah objek
yang amat menarik bagi para peneliti dari berbagai disiplin ilmu.
Beberapa waktu lalu, pengeboran
dilakukan pada undakan ketiga. Pada sampel tanah di kedalaman dua meter lebih, didapati
pasir campur kerikil—pasir sungai—yang secara logika tidak mungkin ditemukan di
kawasan tersebut. Dugaan sementara, pasir tersebut dibawa dari sungai lalu
dihamparkan di sana sebagai penangkal bencana. Jika gempa terjadi, bangunan
akan tetap stabil dengan keberadaan pasir di bawahnya. Hasil penggalian hingga
kedalaman 24 meter menunjukkan bahwa bagian bawah bukit ini masih berupa
bangunan. Usianya mencapai 6.700 tahun. Penggalian hendak dilakukan sampai
kedalaman 40 meter namun ditunda karena pipa bornya tidak cukup.
Bermacam interpretasi yang berseliweran
dalam pikiran kami baru sebatas yang tampak di permukaan. Interpretasi pun
sekadar interpretasi, sesuatu yang belum tentu pasti, karena tidak ditemukan
catatan langsung dari pelaku maupun saksi pembangunan situs ini. Perjalanan
menguak titik terang dari misteri Gunung Padang masih panjang.
Tulisan ini disusun hanya berdasarkan ingatan akan
bacaan, pengalaman, dan obrolan serta
rekaman suara dan visual milik pribadi yang diambil selama perjalanan. Kebenaran
informasi tidak dijamin. Wallahu alam.
Nice blog, boleh minta nomor telfon kang nanang??
BalasHapus