Selasa, 13 Maret 2012

Meraba Titik Terang Misteri Gunung Padang (Bagian 2 - Tamat)

Filosofi Gunung Padang

Padang berarti tanah yang datar dan luas (tidak ditumbuhi pohon-pohon yang berkayu besar) ataupun lapangan[1]. Gunung Padang memang hampir tampak demikian. Hanya beberapa pohon yang tumbuh di puncaknya, usia mereka pun konon belum lanjut, sedang selebihnya adalah hamparan rumput dengan batu-batu bergelimpangan. Bukit-bukit (masing-masing bernama) dengan vegetasi yang tampak lebih rimbun mengelilinginya. Saya kira Gunung Padang sendiri lebih menyerupai bukit.

Kata “padang” rupanya berasal dari bahasa Sunda yang berarti “terang”. Sebetulnya kata ini terdapat dalam bahasa Jawa juga dengan arti yang sama. Jika dikaitkan dengan interpretasi bahwa situs ini merupakan tempat pemujaan, maka penamaan Gunung Padang bisa berarti pencerahan yang didapat setelah melakukan pemujaan.

Pak Nanang, salah satu juru pelihara Gunung Padang

Ada lagi menurut Pak Nanang. Suatu malam ia tengah berada di Gunung Padang dan menyaksikan kemunculan cahaya menyerupai kubah masjid dari ujung situs hingga ke bawah. Rupanya cahaya ini terlihat pula oleh warga yang bermukim di sekitar bukit ini. Jadi penamaan Gunung Padang adalah karena gunung ini merupakan gunung yang bercahaya, sebagaimana Jabal Nur di Timur Tengah.

Bangunan hijau di seberang baru didirikan sekitar dua bulan lalu, ketika Gunung Padang kembali ramai. Sayang pengunjung yang menaikinya belum sadar kebersihan. Sampah seperti kacang, kulit telor, plastik bertebaran di lantainya.

Dalam diskusi di lantai dua bangunan di tepi situs, Pak Nanang mengungkapkan filosofi mengenai Gunung Padang dari sudut pandang seorang muslim yang dipadu dengan cerita warga setempat alias folklor. Setiap keunikan legok, bentuk, maupun posisi batu mengandung simbol-simbol yang Islami, serta filosofi yang berkaitan dengan konsep kepercayaan masyarakat pada masa itu terhadap Sang Pencipta. Dengan cara itulah, secara aksara belum ditemukan, orang pada zaman itu membahasakan maksudnya. Ia menganggap tempat ini lebih sebagai tempat untuk bertafakur dan mendapatkan pencerahan, atau istilahnya uzlah, sebagaimana Nabi Muhammad SAW di Gua Hira.

Sebagai orientasi, Gunung Gede merupakan simbol dari keagungan Tuhan. Gunung Gede merupakan kiblat, pusat dari kegiatan pemujaan pada Yang Kuasa, sebagaimana Mekkah bagi umat Islam kini. Meski saat itu Islam belum disempurnakan, Islam sudah ada sejak manusia pertama, Nabi Adam AS, menjejakkan langkah di bumi.

Dua batu menyerupai tiang yang berdiri di undakan pertama disebut Eyang Pembuka Pintu dan menyimbolkan dua kalimat syahadat. Di undakan atasnya ada kumpulan batuan yang disebut Gunung Masigit, di mana ada batu yang bentuknya merupakan simbol dari orang yang sedang bersujud ke arah Gunung Gede.

Hamparan batu yang di tengah itu bernama Gunung Masigit

Di atasnya lagi, ada bebatuan yang disebut Eyang Mahkota Dunia. Suatu Kamis malam, Pak Nanang datang ke mari meminta petunjuk pada Allah SWT akan makna dari penamaan tersebut sembari memandang bintang-bintang. Lalu ia merasa mendengar bisikan bahwa yang dimaksud dengan mahkota adalah kehormatan sehingga mahkota dunia adalah kehormatan dunia. Seseorang memperoleh kehormatan di dunia bukan karena kekayaan yang ia miliki, melainkan karena ia bisa memberi—berzakat.

Di undakan ketiga, ada batu yang disebut Kramat Tunggal, yaitu batu dengan cetakan semacam kujang pada permukaannya. Kramat berarti tempat, tunggal adalah satu, sedang kujang bisa diartikan sebagai sesuatu untuk dipegang. Dari pengertian ini, kita bisa menyimpulkan sendiri apa makna dari batu tersebut.

Legok yang seperti kujang

Batu selanjutnya adalah Bandung Tunggal alias Batu Gendong. Bandung berarti agung sedang tunggal adalah satu—Agungkan Yang Satu. Batu yang terletak sebelum undakan terakhir ini menarik pengunjung untuk coba-coba mengangkatnya. Konon jika kita berhasil mengangkat batu tersebut, keinginan kita akan terkabul. Namun menurut Pak Nanang, batu ini semacam sambutan, “Silahkan anda melaksanakan perjalanan ke tingkat yang terakhir (undakan kelima—dyh) dengan catatan anda harus kuat dulu dari satu ke empat (empat undakan sebelumnya—dyh), Agungkan dulu Yang Satu.”

Tangkep, Maaang...!

Pada undakan terakhir ada semacam singgasana atau hamparan untuk tempat mengheningkan cipta—beristirahat setelah semua terlalui. Di situ ada batu cukup besar yang disebut Batu Pandaringan. Batu lonjong yang nyaris terbaring ini menghadap ke Gunung Gede dan dianggap sebagai akhir dari prosesi pemujaan. Batu ini memiliki energi yang luar biasa. Sinyal elektronik, misalnya pada ponsel dan GPS, sangat kuat di sini. Menurut Bang Ridwan, dulu posisi batu tersebut lebih tegak. Karena dianggap keramat, selain memberi sesajen, pengunjung juga mengambili tanah di bawah batu untuk dibawa pulang sehingga lama-lama batu kekurangan pijakan. Robohlah ia. Selain di bawah batu ini, sesajen juga dijumpai di atas batu pada undakan yang lebih bawah dalam wujud dua pasang pisang, serta bebungaan di pojok Sumur Cinta. Justru pengunjung yang menaruhnya di situ, bukan penjaga.

Energizer stone

Selain undakan utamanya yang lima, Pak Nanang mengungkapkan trivia lain yang serba lima dari Gunung Padang. Dari undakan satu ke undakan kedua terdapat lima undakan kecil lain. Kebanyakan batu di sini—90%-nya—memiliki lima sudut. Ada lima gunung yang mengelilingi situs ini yaitu Gunung Karuhun, Emped, Gunung Malati (perkebunan teh), Pasirmalang, dan Gunung Batu. Dan lagi, jika cuaca sedang cerah, dari salah satu titik pemandangan kita bisa melihat lima gunung dalam keadaan sejajar, yaitu Gunung Batu, Pasirpogor, Gunung Kencana, Gunung Gede, dan Gunung Pangrango. Orientasi situs ini ke arah Gunung Gede atau barat laut—5o lintang utara. Situs ini juga dekat dengan lima mata air. Ada apa dengan angka lima?

Salah satu batu dengan lima sudut

Kembali ke bebatuan, ada beberapa batu lain yang khas di situs ini antara lain batu lumbung yang menyimbolkan kesejahteraan, kumpulan bebatuan menyerupai tempat duduk untuk bermusyawarah, serta batu ceper di undakan pertama yang dianggap sebagai batu musik karena jika dipukul bunyinya seperti gamelan (disediakan palu untuk mencobanya).

Batu kursi

Tapak maung yang membuat situs ini dikaitkan dengan Prabu Siliwangi

Bagaimanapun, situs yang dianggap tertua di Asia Tenggara—mungkin juga dunia?—ini masih merupakan misteri, sebuah objek yang amat menarik bagi para peneliti dari berbagai disiplin ilmu.

Beberapa waktu lalu, pengeboran dilakukan pada undakan ketiga. Pada sampel tanah di kedalaman dua meter lebih, didapati pasir campur kerikil—pasir sungai—yang secara logika tidak mungkin ditemukan di kawasan tersebut. Dugaan sementara, pasir tersebut dibawa dari sungai lalu dihamparkan di sana sebagai penangkal bencana. Jika gempa terjadi, bangunan akan tetap stabil dengan keberadaan pasir di bawahnya. Hasil penggalian hingga kedalaman 24 meter menunjukkan bahwa bagian bawah bukit ini masih berupa bangunan. Usianya mencapai 6.700 tahun. Penggalian hendak dilakukan sampai kedalaman 40 meter namun ditunda karena pipa bornya tidak cukup.
                                                                                 
Bermacam interpretasi yang berseliweran dalam pikiran kami baru sebatas yang tampak di permukaan. Interpretasi pun sekadar interpretasi, sesuatu yang belum tentu pasti, karena tidak ditemukan catatan langsung dari pelaku maupun saksi pembangunan situs ini. Perjalanan menguak titik terang dari misteri Gunung Padang masih panjang.


Tulisan ini disusun hanya berdasarkan ingatan akan bacaan, pengalaman,  dan obrolan serta rekaman suara dan visual milik pribadi yang diambil selama perjalanan. Kebenaran informasi tidak dijamin. Wallahu alam.


[1] kata program Kamus Besar Bahasa Indonesia di komputer saya

1 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...