Tak jadi kembali melewati rute yang sama
karena ada pria tak berbusana, kami mendaki jalan setapak yang membelah lembah.
Sampailah kami di jalan relatif mendatar yang dulunya beraspal. Namun dalam
rangka persiapan konferensi internasional Tunza 27 September-1 Oktober 2011
lalu, aspal yang menutupi jalan sepanjang 900 meter tersebut dikelupas untuk
kemudian ditanami anak-anakan pohon oleh para partisipan konferensi.
Kami melewati dua pria yang tengah
mencabuti tumbuhan liar di sekitar anakan. Mumpung. Akhirnya kami terlibat
obrolan dengan mereka, khususnya saya dengan pria bernama Pak Tatang.
Setiap hari, Pak Tatang berangkat dari
rumahnya di Lembang pukul setengah tujuh pagi dan kembali dari Baksil pukul
empat petang. Ia libur hanya ketika ia sakit. Semula ia bekerja untuk Dinas
Kehutanan di kawasan Tangkuban Perahu hingga PT EGI “meminjam”nya untuk merawat
Baksil. Ia telah bekerja selama lima bulan ketika kontraknya diperpanjang
hingga tiga puluh lima tahun kemudian karena dedikasinya—padahal menurut media
kontrak PT EGI dengan pemerintah kota hanya tiga puluh tahun lo. Jadi sejak
mula hingga kini, ia telah bekerja di Baksil selama kurang lebih setahun. Sudah
ada dua kali pergantian pekerja sebelum ia ditugaskan ke sini.
Pemerintah kota memang telah
mempercayakan PT EGI untuk pengelolaan Baksil dan PT EGI mempercayakan orang
seperti Pak Tatang untuk menjaga kawasan tersebut. Pengalaman Pak Tatang
bekerja di hutan membuatnya hapal akan beragam jenis tumbuhan, tidak hanya
morfologi, tapi juga kegunaan!
Buah bulat berwarna biru keunguan yang
banyak saya dan kawan-kawan temukan di dalam hutan Baksil misalnya, itu adalah
ganitri yang berkhasiat mengobati luka. Buah bulat kecil merah yang suka
digunakan anak-anak untuk merekayasa dirinya seolah berdarah-darah ternyata
mengandung racun. Dan rerumputan yang kita pijak ternyata bukan sekadar rumput.
Setiap bentuk daun rumput mengindikasikan jenis yang berbeda.
Pengetahuan Pak Tatang mencakup 1150-an
jenis tumbuhan dan itu sudah diuji, akunya. Ia telah diminta beberapa kali,
oleh mahasiswa misalnya, untuk bantu mengidentifikasi berbagai jenis tumbuhan
yang ada di Baksil yang jumlah mencapai ratusan! Menurut Pak Tatang, jenis
tumbuhan yang ada di kota umumnya bisa pula ditemukan di kampung meski
penyebutannya menggunakan nama berbeda. Metode belajarnya adalah mengajak orang
tua ke kebun lalu ia minta diterangkan mengenai jenis-jenis tumbuhan yang
ditemui. Ia akan mencatatnya. Berkat keahliannya tersebut, ia suka diminta
menangani pemilihan jenis tumbuhan di mana-mana, sebut saja Medan, Riau,
Tangkuban Perahu, Gunung Burangrang, sampai Baksil. Kini ia menjadi rebutan
antara Dinas Kehutanan dan PT EGI.
Selain Pak Tatang dan seorang rekannya,
PT EGI juga memanfaatkan jasa keamanan dari pihak yang disebut Pak Tatang
sebagai GMBI. Menurutnya, apabila kita hendak mengadakan aktivitas tertentu di
Baksil, sebaiknya kita lapor dulu pada GMBI. Saya sendiri belum mengecek di
mana persisnya letak pos GMBI. Dari sini, mereka akan melaporkan pada atasan
mereka tersebut. Namun jika kita hanya sekadar ingin jalan-jalan, rekreasi, dan
semacamnya, silahkan saja. Pelaporan adalah supaya antar pengunjung dan penjaga
Baksil bisa saling tahu sehingga hal-hal tak diinginkan bisa dihindari. PT EGI
ingin anak-anakan pohon yang sudah ditanam di Baksil terpelihara dengan baik
sehingga Baksil tidak makin rusak. Lalu bagaimana dengan “para penghuni”
Baksil? “…suka kucing-kucingan…” tanggap Pak Tatang.
Ketika saya menyinggung isu rencana
pembangunan rumah makan di Baksil oleh pemerintah kota dan PT EGI, Pak Tatang
mengatakan bahwa hal tersebut entah jadi diwujudkan apa tidak. Menurutnya, yang
hendak dibangun adalah rumah makan saja di tapak bekas rumah makan yang lama.
Namun hingga kini pengkajian mengenai pohon mana yang mesti dilindungi dan mana
yang boleh ditebang yang tumbuh di sana masih dilakukan.
Tidak dipungkiri bahwa ada pihak-pihak
yang menentang rencana tersebut. Meski banyak yang menganggap “majikan”nya
rewel, Pak Tatang mengaku tidak pernah diomeli sang majikan. Ia hanya
menjalankan tugasnya yaitu merawat tanaman di Baksil dan ia menyukainya. Ia
sendiri berharap supaya Bandung tidak semakin gundul dan kawasan hijau yang ada
di Bandung bisa lestari.
Yang ia tidak suka adalah ketika ada
orang-orang yang menggunakan Baksil secara tidak semestinya, seperti
bermesum-mesuman, mabuk-mabukan, apalagi buang limbah sepelemparannya. Banyak
pengunjung yang suka membuang sampah dari jembatan sehingga bagian bawah jembatan
pun dicemari sampah. Adapun sampah tersebut, menurut Pak Tatang, adalah
wewenang Dinas Kebersihan untuk membereskannya.
Salah satu titik persebaran sampah |
Volume suara Pak Tatang yang rendah
bikin saya harus menjaga jarak supaya telinga saya bisa menangkap perkataannya.
Sempat ada pikiran, jangan-jangan ia tidak ingin pembicaraan ini terdengar
orang lain. Namun bagaimanapun, apa yang Bapak sampaikan ini menarik, Pak, jadi
saya sampaikan lagi apa adanya di blog saya ya, Pak, hehehe.
Ketika saya membuka kedok saya sebagai
mahasiswi di Fakultas Kehutanan, ia malah merendah dengan mengakui bahwa ia
lulus SMP pun tidak. Namun itu malah bikin saya malu karena pengetahuan saya
tentang tetumbuhan jelas amat minim jika dibandingkan dengan pengetahuannya.
Sayang sekali saya tidak membawa perekam
untuk mendokumentasikan transfer wawasan yang berharga ini. Bagaimanapun ini
momen tak direncanakan.
Saya pun undur diri dari hadapannya
karena kawan-kawan sudah meninggalkan kami sejak puluhan menit lalu. Jika kami
bersua lagi, ia bilang ia akan memberikan nomor ponselnya sehingga saya bisa
menghubunginya ketika saya memerlukan. Dengan terbuka, ia bersedia untuk
menemani sembari memperkenalkan ragam tumbuhan di Baksil pada saya apabila lain
kali saya menginginkan demikian. Begitupun kamu yang membaca. Cari saja pria
bernama Pak Tatang. Dengan rendah hati, ia akan membagikan pengetahuannya yang
bermanfaat asalkan kita tak bermaksud tak senonoh di Baksil.
Penutup
Selepas dari Pak Tatang, saya menuju
Mitra Art Space (selanjutnya MAS) untuk menyusul Rizkita dan Eva. Saat saya
mampir, mereka tengah berbincang dengan seorang pria tambun berkumis. Mereka lupa
tanya siapa namanya, mereka hanya tahu kalau pria tersebut adalah pengelola
tempat tersebut.
Menurut Eva, sedari mula pria itu
menceritakan pengalaman dan pandangannya. Salah satunya, banyak yang memesan
lukisan kaligrafi kepadanya untuk menangkal makhluk kasat mata di rumah. Masih
banyak muslim yang memercayai hal-hal mistis rupanya. Yang bikin takjub,
lukisan kaligrafi yang berdiri di seberang kami dibuat oleh seorang nonmuslim.
Siapa saja yang mau belajar melukis
secara cuma-cuma, silahkan datang ke MAS kapanpun. Namun yang mengajari bisa
tidak pasti alias ganti-ganti. Umumnya, yang datang untuk belajar sekali atau
beberapa kali, kemudian tidak datang lagi. Umumnya pula, orang lebih memilih
belajar di Sanggar Olah Seni (SOS) kendati konon tidak gratis. SOS yang
terletak di samping MAS menempati lahan lebih luas, menghimpun lebih banyak
seniman, serta aktif dalam menanggapi isu rencana pembangunan Baksil sejak
tahun 2002 hingga belakangan ini—sementara MAS nyaris tak teridentifikasi dalam
pemberitaan perkara ini di media.
Sayang sekali, saya tidak sempat
mengorek informasi mengenai MAS terhadap isu tersebut karena ayam di saku
celana pria itu keburu berkokok. Sementara ia menjawab panggilan, kami pun
undur diri.
Kami sempat menghampiri tapak bekas
rumah makan namun tidak berlama-lama di sana. Lokasi tersebut menguar bau tak
sedap. Ini adalah sisi hutan yang lain dari Baksil, sama tak terawatnya.
Bagaimanapun, hari ini telah menjadi
momen yang mengasyikkan bagi kami. Menjelajah “alam” (baca: alam buatan di
tengah hingar bingar kota di akhir minggu) hingga berbagi dengan orang-orang
baru adalah hal-hal yang patut kami syukuri. Namun tak akan lekang pula dari
ingatan akan hal-hal yang patut disesali. Ruang terbuka hijau kami ternyata
layak huni dan itu menjadikannya belum sungguh layak dikunjungi. Lalu kita
apakan ini hati nurani?***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar