Mumpung ke Gunung Padang, sekalian saja
sambangi dua lokasi lain yang juga menyimpan sejarah.
Lokasi terdekat adalah makam tua di
bukit belakang Gunung Padang. Sebetulnya dulu lokasi ini merupakan pemakaman
umum. Karena suatu hal, pemakaman tersebut dipindahkan meski masih ada beberapa
makam yang dibiarkan. Salah satunya adalah makam milik seorang kepala
perkebunan bernama Hadiwinata yang wafat pada tahun 1947. Ada dua makam lain
yang dapat diidentifikasi yaitu makam uyut Pak Nanang serta makam dengan
tulisan “WAPAT”, “ALLOH”, dan “1947”, sedang makam-makam lainnya nihil
informasi.
Makam sang juragan kepala |
Lokasi berikutnya terletak pada
ketinggian yang lebih rendah, seingat saya sebelum perkebunan teh, yaitu
Stasiun Lampegan. Ada penunjuk jalan yang membedakan arah ke stasiun tertua di Pulau
Jawa—mungkin juga di seluruh Hindia Belanda—tersebut dengan arah ke Gunung
Padang, jadi lokasi ini mudah dicapai. Bangunan-bangunan dengan arsitektur
zadul masih bisa dijumpai di seberang stasiun.
Ayo siap-siap turun! |
Tidak jauh dari stasiun, terdapat sebuah
terowongan yang dibangun pada tahun 1879 – 1892 dengan memapas bukit. Kata
“lampegan” konon berasal dari Bahasa Belanda, “lamp gaan”, yang berarti “nyalakan
lampu”. Karena terowongan gelap, maka masinis meneriakkan kata ini supaya
petugas menyalakan lampu. Namun menurut Bang Ridwan, kata “lampegan” juga terdapat
dalam kamus bahasa Sunda, yaitu sejenis tumbuhan.
Menelusuri jejak Nyi Sinden |
Hawa dingin seketika menyambut begitu
terowongan sepanjang 415 meter itu dimasuki. Ada lubang-lubang di sepanjang
dindingnya sebagai tempat keluar air. Pada bangunan yang memanfaatkan lembah
semacam ini, lubang-lubang tersebut memang harus dibuat agar air tanah dapat
dikeluarkan alih-alih merusak bangunan.
Cahaya...! Cahaya...! |
Cerita horor juga meliputi terowongan
ini. Ketika terowongan ini selesai dibangun, Belanda mengundang seorang sinden
untuk mengisi peresmiannya. Selesai menyanyi, sinden tersebut pergi ke arah
terowongan dan tidak pernah kembali. Pada malam tertentu, akan terdengar suara
gamelan dari dalam terowongan.
Grafiti dalam terowongan: *ENKOU |
Setelah dua kali ambruk, tidak ada lagi
kereta yang melewati terowongan yang terakhir direnovasi pada tahun 2010 ini,
pun melintasi stasiun. Kereta terakhir yang menuju ke sini berangkat dari
Ciroyom pukul enam pagi setiap hari Sabtu, namun baru kembali ke tempat semula
pada hari berikutnya. Kini terowongan itu malah dilalui oleh pengendara sepeda
motor.
Menilik rel yang terentang di depan
stasiun ini, peruntukkannya adalah untuk kereta penumpang. Ukuran rel untuk
kereta barang tidak lebih lebar dari ini. Bukan tidak mungkin kereta jenis
tersebut juga dapat melintas di sini tapi fungsi utamanya bukan untuk itu.
Pabrik dan tahun produksi besi rel
teridentifikasi dari bagian dalam besi rel tersebut, salah satunya Cockerill –1909.
Sekitar masa itu, jalur ini dilalui kereta jurusan Batavia – Bandung hingga
empat trayek dalam sehari. Jarak sepanjang itu bisa ditempuh dalam tiga jam.
Tidak ada ubahnya dengan sekarang, padahal di Jepang dan Eropa 600-an kilometer
sudah dapat ditempuh dalam 4 – 6 jam saja dengan kereta. Begitulah perkembangan
teknologi kita.
Pemerintah kabupaten berencana
memfungsikan kembali rel ini untuk mendukung pariwisata di Gunung Padang.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar