Rabu, 14 Maret 2012

Lokasi menarik di sekitar Gunung Padang

Mumpung ke Gunung Padang, sekalian saja sambangi dua lokasi lain yang juga menyimpan sejarah.

Lokasi terdekat adalah makam tua di bukit belakang Gunung Padang. Sebetulnya dulu lokasi ini merupakan pemakaman umum. Karena suatu hal, pemakaman tersebut dipindahkan meski masih ada beberapa makam yang dibiarkan. Salah satunya adalah makam milik seorang kepala perkebunan bernama Hadiwinata yang wafat pada tahun 1947. Ada dua makam lain yang dapat diidentifikasi yaitu makam uyut Pak Nanang serta makam dengan tulisan “WAPAT”, “ALLOH”, dan “1947”, sedang makam-makam lainnya nihil informasi.

Makam sang juragan kepala

Lokasi berikutnya terletak pada ketinggian yang lebih rendah, seingat saya sebelum perkebunan teh, yaitu Stasiun Lampegan. Ada penunjuk jalan yang membedakan arah ke stasiun tertua di Pulau Jawa—mungkin juga di seluruh Hindia Belanda—tersebut dengan arah ke Gunung Padang, jadi lokasi ini mudah dicapai. Bangunan-bangunan dengan arsitektur zadul masih bisa dijumpai di seberang stasiun.

Ayo siap-siap turun!

Tidak jauh dari stasiun, terdapat sebuah terowongan yang dibangun pada tahun 1879 – 1892 dengan memapas bukit. Kata “lampegan” konon berasal dari Bahasa Belanda, “lamp gaan”, yang berarti “nyalakan lampu”. Karena terowongan gelap, maka masinis meneriakkan kata ini supaya petugas menyalakan lampu. Namun menurut Bang Ridwan, kata “lampegan” juga terdapat dalam kamus bahasa Sunda, yaitu sejenis tumbuhan.

Menelusuri jejak Nyi Sinden

Hawa dingin seketika menyambut begitu terowongan sepanjang 415 meter itu dimasuki. Ada lubang-lubang di sepanjang dindingnya sebagai tempat keluar air. Pada bangunan yang memanfaatkan lembah semacam ini, lubang-lubang tersebut memang harus dibuat agar air tanah dapat dikeluarkan alih-alih merusak bangunan.

Cahaya...! Cahaya...!

Cerita horor juga meliputi terowongan ini. Ketika terowongan ini selesai dibangun, Belanda mengundang seorang sinden untuk mengisi peresmiannya. Selesai menyanyi, sinden tersebut pergi ke arah terowongan dan tidak pernah kembali. Pada malam tertentu, akan terdengar suara gamelan dari dalam terowongan.

Grafiti dalam terowongan: *ENKOU

Setelah dua kali ambruk, tidak ada lagi kereta yang melewati terowongan yang terakhir direnovasi pada tahun 2010 ini, pun melintasi stasiun. Kereta terakhir yang menuju ke sini berangkat dari Ciroyom pukul enam pagi setiap hari Sabtu, namun baru kembali ke tempat semula pada hari berikutnya. Kini terowongan itu malah dilalui oleh pengendara sepeda motor.

Menilik rel yang terentang di depan stasiun ini, peruntukkannya adalah untuk kereta penumpang. Ukuran rel untuk kereta barang tidak lebih lebar dari ini. Bukan tidak mungkin kereta jenis tersebut juga dapat melintas di sini tapi fungsi utamanya bukan untuk itu.

Pabrik dan tahun produksi besi rel teridentifikasi dari bagian dalam besi rel tersebut, salah satunya Cockerill –1909. Sekitar masa itu, jalur ini dilalui kereta jurusan Batavia – Bandung hingga empat trayek dalam sehari. Jarak sepanjang itu bisa ditempuh dalam tiga jam. Tidak ada ubahnya dengan sekarang, padahal di Jepang dan Eropa 600-an kilometer sudah dapat ditempuh dalam 4 – 6 jam saja dengan kereta. Begitulah perkembangan teknologi kita.

Pemerintah kabupaten berencana memfungsikan kembali rel ini untuk mendukung pariwisata di Gunung Padang.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...