Sumber: http://www.seriemaniacos.com.br/blog/conheca-episodes/ |
Saya suka menonton
serial komedi. Lebih spesifik lagi: produksi AS yang terakses oleh operator TV kabel
langganan keluarga saya, sebut saja “Community”, “30 Rock”, “The Big Bang
Theory”, “Monk”, dan sebagainya. Kadang saya berangan-angan membuat serial
komedi saya sendiri. Sebuah refleksi kehidupan sehari-hari dalam suatu
lingkungan dengan para karakter yang kuat, dengan nilai-nilai yang sesuai
kebudayaan saya sendiri. Di samping kepiawaian dalam membikin saya tersentil
lantas tertawa, serial komedi AS kadang mempertunjukkan hal-hal yang bagi saya
tidak patut. Dengan demikian angan-angan saya yaitu terjun dalam dunia
pertelevisian sebagai penulis skrip serial komedi ala Indonesia.
Serial “Episodes”
yang tengah tayang di FX mempertunjukkan saya bagaimana realitasnya apabila
angan-angan saya itu terwujud. Situasi industri pertelevisian di AS dengan di
Indonesia mungkin tak persis sama, namun kegoncangan budaya itu niscaya. Banyak
hal dalam budaya pertelevisian AS yang menjadi masalah bagi tokoh utama serial
tersebut yang orang Inggris, begitupun saya kelak (ingat: ini cuman
angan-angan!) dengan dunia pertelevisian yang saya awam sekali. Ketika menulis
ini, saya baru menonton episode 2 dan episode 3 dari serial tersebut dan saya
menyukainya. Serial yang diproduksi tahun 2011 ini mendapat rating 7,6 dari 10
di situs Internet Movie Database dan baru saja diganjar Golden Globe berkat
Matt LeBlanc sebagai aktor berpenampilan terbaik.
Alkisah, sepasang
suami-istri penulis skrip, Sean dan Beverly Lincoln hijrah dari Inggris ke AS—tepatnya
Los Angeles. Sebelumnya mereka telah membuat sebuah serial yang tenar di
Inggris. Seorang produser dari AS meminta mereka untuk mengadaptasi serial
tersebut untuk pemirsa AS. Konflik pun mulai bertaburan. Skandal demi skandal
di antara orang-orang yang bekerja dengan mereka terungkap. Matt LeBlanc, aktor
yang tenar berkat serial “Friends”, digadang-gadang sebagai bintang serial. Ulah
sang aktor yang banyak maunya malah membuat hubungan Sean dan Beverly
bergejolak. Sementara Beverly yang keras kerap tidak dapat menahan diri ketika
konsepnya diacak-acak, Sean cenderung permisif, menjaga hubungan dengan
orang-orang, dan fleksibel.
Animasi yang menjadi
pembuka serial menggambarkan bagaimana sebundel naskah terbang melintasi Big
Ben, menembus awan, mengarungi Samudra Atlantik, menyusuri lorong di antara
bebatuan besar, hingga tercerai-berai setibanya ia di Hollywood. Sebuah
idealisme dalam benak penulis bisa jadi kacau balau begitu bersentuhan dengan
pihak-pihak yang memiliki beragam kepentingan.
Pelajaran yang
paling saya ingat dari episode 3 serial ini adalah ketika Matt ingin mengubah
salah satu karakter dalam konsep serial pasangan Lincoln. Di Inggris, serial
dibuat dalam format series sedangkan
AS menggunakan format season. Jika 4 series berarti 24 episode, maka di AS 24
episode baru terhitung sebagai 1 season.
Dan AS bisa membuat sebuah serial hingga ber-season-season. Serial “Friends”
saja mencapai 236 episode. Dalam konsep serial pasangan Lincoln, sebuah
karakter lesbian memang cukup untuk dieksplorasi dalam 4 series saja. Namun dalam industri pertelevisian AS yang membuka
kemungkinan untuk jumlah episode yang lebih banyak, karakter tersebut sebaiknya
tidak lesbian karena akan membatasi pengembangan karakternya. Dengan demikian
kita harus membuat karakter yang bisa selalu berkembang. Begitulah menurut
Matt, terlepas dari apapun kepentingannya di balik penjelasan ini.
Dalam teori mengenai
fiksi, karakter bisa dikategorikan menjadi karakter datar (flat character) dan karakter bulat (round character). Jika suatu karakter digambarkan sebagai orang
yang baik sejak awal hingga akhir cerita, maka ia adalah karakter datar. Jika
ia mengalami perubahan karakter dalam perjalanan hidupnya itu, maka ia adalah
karakter bulat. Tertanam dalam otak saya, karakter yang ideal adalah karakter
bulat—bulat seperti bola. Ia bisa menggelinding, memantul-mantul, bahkan
penyok. Maka itu saya menyukai karakter
utama yang antihero. Karakter antihero terasa sangat manusiawi dan
realistis, meski saya tidak bisa memungkiri bahwa sosok hero juga bertebaran dalam realitas.
Ketika sebuah
karakter muncul dalam kepala saya, saya langsung bisa membayangkannya sebagai sosok
yang sungguh ada. Namun itu hanya seperti ketika saya melihat seseorang. Saya
masih perlu untuk mengamatinya, mendekatinya, berkenalan lebih jauh dengannya, dan
bagian yang paling penting adalah mendengarkannya bercerita. Dan ia tidak
menceritakan kehidupannya seketika. Setelah menceritakan sesuatu, ia akan
meninggalkan saya dengan catatan mengenai kehidupannya yang belum tentu utuh,
belum tentu layak disajikan dalam sebuah cerpen atau novel. Sewaktu-waktu, ia
datang kembali untuk memperbarui catatan saya tentangnya. Jika ia tidak kunjung
datang sementara saya tengah merindukannya, membutuhkannya, saya akan berusaha
agar ia muncul. Entah itu dengan membaca, mengobrol dengan orang lain, atau
sekadar jalan-jalan sambil mengamati interaksi orang-orang di sekitar.
Maka menggarap
karakter adalah sebuah proses panjang. Saya bersyukur ketika teman saya bilang
kalau karakter-karakter dalam novel pertama saya—yang digarap sendiri—bisa
dipercaya. Saya butuh lima tahun untuk memahami mereka sebelum mampu untuk menuliskannya
dalam lima hari saja. Maka bagi saya, proses pembuatan cerpen tidak
semengesankan proses pembuatan novel. Proses pembuatan cerpen layaknya sebuah
pertemuan singkat dengan seseorang atau orang-orang, sementara proses pembuatan
novel seperti tinggal bersama dengan seseorang, atau orang-orang, atau sebuah
keluarga, atau dari keluarga satu ke keluarga lainnya, dalam suatu lingkungan
atau berbagai lingkungan selama periode waktu tertentu.
Rumit. Maka itu
menarik. Ketika saya menonton serial AS—tidak mesti komedi karena saya juga
menggemari serial nonkomedi macam “Bones”—saya terpukau dengan bagaimana para
karakter tampil sewajar mungkin. Sekilas mereka tampak seperti orang-orang
biasa, tidak kentara perbedaan karakter di antara mereka. Namun ketika kita
mengikuti cerita lebih lanjut, mereka terasa makin seperti orang-orang biasa,
ya, dengan beragam sifat yang manusiawi bercampur aduk dalam diri mereka hingga
membentuk sebuah kepribadian. Sesuatu yang membedakan mereka antar satu sama
lain—tidak melalui penampilan fisik dan gestur saja. Mereka bisa begitu
mengagumkan di satu waktu sekaligus menyebalkan di waktu lain.
Kembali pada serial “Episodes”.
Selain suka pada aksen khas pasangan Lincoln, kecanggungan mereka dalam
menghadapi orang-orang AS yang mereka temui merupakan kelucuan bagi saya.
Mereka juga cenderung sopan dan memiliki norma. Saat menontonnya, di kepala saya melaju sebuah pikiran. Di
luar sana orang-orang bekerja dalam ritme yang cepat. Begitu sibuknya mereka,
tanpa mereka sadari sebagian orang mengambil keping-keping kehidupan mereka
untuk disajikan kembali dengan rekayasa sedemikian rupa hingga menjadi hiburan
bermakna. Ketika orang-orang sibuk tersebut rehat sejenak dengan menyetel
serial, mereka menertawakan kehidupan yang sebetulnya refleksi dari kehidupan
mereka sendiri. Tapi ketika mereka menjalaninya, mereka tak menyadari bahwa itu
serangkaian lelucon. Mereka tak menertawakannya, mereka mengeluhkannya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar