Ia lebih tidak tahan
untuk tidak membeli buku ketimbang baju dan sepatu. Sebetulnya ia juga
menghabiskan uang papanya untuk keperluan lain. Camilan, barang khas wanita,
apapun yang seperlunya—maka itu dinamakan keperluan. Tapi khusus untuk tiga
bulan ini, ia sudah mengumpulkan tumpukan struk tersendiri dari dua toko buku
yang paling sering ia kunjungi—di samping tiket masuk kolam renang karena ia ternyata
menyukai renang.
Mari kita cek bacaan
apa saja yang ia beli sejak awal tahun 2012 hingga tiga bulan berselang.
Janna edisi Januari 2012 (7,5K)
Metodologi Penelitian Kualitatif (38K)
Psikologi Sastra (55K)
The Journalist (32,2K)
Pokoknya Kualitatif (56K)
Horison edisi Februari 2012 (20K)
Manifesto Khalifatullah (18,4K)
Kritikus Adinan (15K)
Catatan Mahasiswa Gila (26,6K)
Even Angels Ask (48,9K)
Sahara
(27,3K)
Al-Quran
(51,8K)
Dari judul-judul di
atas tentu kau sudah dapat menerka-nerka bagaimana kiranya wanita tersebut. Namun
tidak sampai setengah dari daftar di atas yang sudah ia baca hingga tamat. Kiranya pula ada buku-buku lain yang ia beli dalam rentang waktu yang sama, namun ia tidak menyimpan bukti pembeliannya.
Ia membeli buku untuk disimpan dalam rak dan baru dibaca ketika orang lain sudah membacanya, atau setelah bertahun-tahun kemudian, atau ada suatu hal yang bikin ia meneguhkan niat untuk menamatkannya. Ketika ia memiliki kesempatan untuk meminjam buku dari perpustakaan atau orang lain, ia akan memprioritaskan buku pinjaman tersebut ketimbang buku miliknya sendiri.
Ia membeli buku untuk disimpan dalam rak dan baru dibaca ketika orang lain sudah membacanya, atau setelah bertahun-tahun kemudian, atau ada suatu hal yang bikin ia meneguhkan niat untuk menamatkannya. Ketika ia memiliki kesempatan untuk meminjam buku dari perpustakaan atau orang lain, ia akan memprioritaskan buku pinjaman tersebut ketimbang buku miliknya sendiri.
Ia bahkan membeli
Al-Quran, seolah belum cukup banyak buku serupa di rumahnya.
Saat seorang teman
memperlihatkan Al-Quran dengan terjemah per kata dan asbabun nuzul, seketika
itu ia menginginkannya. Asbabun nuzul—ia memiliki keinginan terpendam untuk
dapat memahami Al-Quran secara kontekstual. Menurutnya, adalah hal penting
untuk bisa mengetahui latar belakang sesuatu. Ini merupakan sebuah tahap dalam
upaya pemahaman.
Temannya membeli
Al-Quran tersebut di seberang masjid. Ketika mereka menghampiri tempat
penjualannya, ternyata Al-Quran macam demikian dengan ukuran yang diinginkan
sudah tidak tersedia. Ia tidak menghendaki ukuran yang besar dengan alasan
kepraktisan. Ia hendak membawanya keluar kota, ke mana-mana.
Sore. Ia mengikuti
sebuah forum di selasar masjid yang lain. Ia duduk dekat dinding kaca yang
menyekat selasar tersebut dengan bagian dalam masjid. Ia mendengar ada ketukan
pada kaca tersebut. Ketika ia menoleh, ia melihat sampul sebuah Al-Quran yang
tidak hanya dilengkapi terjemah per kata dan asbabun nuzul, melainkan juga
terjemah Kementerian Agama RI, ayat doa, ayat tasbih, intisari ayat, dan indeks
tematik.
Sebagian orang bisa
jadi berpikir ini adalah pertanda. Kendati ia menampik pikiran demikian, ia
tahu ia harus mengalami kemajuan dalam proses pembacaan Al-Quran. Sekadar
tulisan arab dan terjemah tidak lagi cukup. Niat untuk membeli Al-Quran
tersebut mendekam dalam benaknya.
Ia menyadari bahwa
Al-Quran adalah buku yang paling sering ia baca—secara sistematis. Ketika ia
sudah menamatkannya, ia akan membacanya ulang dari awal. Semula ia membaca satu
halaman sehari, setiap habis solat mahgrib atau solat isya, lalu menjadi satu
lembar sehari, masih pada waktu yang sama, lalu menjadi satu lembar setiap
habis solat wajib. Namun ia tidak biasa bepergian dengan membawa Al-Quran.
Sehingga ketika ia menunaikan solat wajib di luar rumah, niat itu tidak
terpenuhi. Namun setidaknya ia membaca lebih dari satu lembar sehari.
Dan baginya, tidak
afdol kalau membaca tulisan arab Al-Quran tanpa sekalian mengetahui terjemahnya.
Sekadar tulisan arab tidak akan mengubah dirimu jika kamu tidak tahu apa
artinya. Dan kendati Al-Quran adalah buku yang selalu ia baca, ia tidak pernah
benar-benar memahami isinya. Ia tidak pernah benar-benar memikirkan bagaimana
Al-Quran memengaruhi kehidupannya. Ia sekadar membacanya, sebagaimana ia
terhadap buku-buku lain. Bahkan buku-buku lain lebih mudah dipahami hanya
dengan sekali baca.
Memang sesekali,
dengan spidol kuning ia tandai ayat tertentu yang ia rasa menyentuhnya. Ia juga
sedang mengumpulkan ayat yang memuat hujan.
Sepanjang ia mencari
Al-Quran idamannya di toko buku, ia menelusuri judul demi judul buku yang
berkaitan dengan Islam. Ada kesenangan tebersit sembari pertanyaan itu
lagi-lagi berhembus di dalam benaknya, kapan
kamu bakal baca buku-buku kayak gitu?
Pemahamannya
terhadap Al-Quran mungkin akan bertambah dengan membaca buku-buku itu.
Kadang ia terpikir
bahwa agama adalah suatu hal yang rumit. Ketika pekan lalu adik kelasnya saat
SMA membicarakan tentang agama, ia ingin menghindarinya. Meski ia senang dengan
bagaimana A. A. Navis dan Jeffrey Lang mengkritisi Islam sebagai cara untuk
menguatkan keimanan—ia bahkan membayangkan pasangan hidup yang memiliki
ketertarikan serupa—ia sekaligus sadar bahwa perkara ini sebetulnya
memusingkan. Namun pandangannya tetap. Agama bukan sesuatu yang hanya bisa
digapai dengan hati, karena banyak sekali Allah melontarkan pertanyaan pada pembaca
firman-Nya, “Maka apakah kamu tidak berpikir?”
Agaknya hanya satu
ayat itu, yang sebetulnya berjumlah banyak karena diulang-ulang, yang tercantol
dalam kepalanya.
Bagaimanapun, ia
senang melihat buku-buku meski ia tidak tahu apakah ia akan dapat melahap
mereka. Ia dibesarkan dengan banyak buku. Dan entah bagaimana buku-buku
meresapkan energi menulis yang tak habis-habis ke dalam dirinya. Menulis,
aktivitas yang membuatnya harus berpikir.
Ia mungkin akan
kembali untuk buku-buku itu, buku-buku di bagian agama, entah kapan, untuk
melepaskan dahaga dan kebodohan yang ditahan-tahan. Keingintahuan ini harus
dijaganya agar selalu menyala. Islam saja
tak habis-habis, pikirnya. Maka ia bersyukur atas minat baca yang ia
miliki, yang membuatnya ingat pada firman pertama Allah—“bacalah”, meski yang
dimaksud barangkali tak mesti teks—lalu menyangkut pada ayat lain dalam Quran,
“Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?”
Meski ia tidak
memahami mengapa ia harus bersyukur atas keingintahuan terpendamnya untuk
mempelajari Islam secara lebih mendalam. Ia tahu, ya, Allah telah menyuruhnya
berpikir, namun terlebih dulu ia merasakan bahwa ini mungkin akibat iman.
Sesuatu yang menggerakkannya untuk terus mencari tahu, mendorongnya untuk
mendekatkan diri pada ilmu, hingga menjadi pemburu bacaan, agaknya itu iman.
"...Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan, dan menjadikan (iman) itu indah dalam hatimu. ..." (Q.S. Al-Hujurat 7)
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar