Matahari sialan.
Dengan secangkir susu cokelat di tangan, Hayat melaju ke
jendela. Secangkir lagi, ia harap, dapat membuat tidurnya enak lagi. Ia siap
untuk kembali mengarungi belantara mimpi. Namun itu nanti, setelah ia
mengkhotbahi matahari agar menyingkir hari ini.
Kesalahan pertamamu
adalah kemunculanmu.
Jendela terbuka lebar, biarlah sejenak sumpek kamar terusir
angin segar. Hayat mengernyit.
Kesalahan keduamu
adalah menyengat muka saya dengan hangatmu.
Sembap mukanya terarah pada seberkas oranye di pucuk
cakrawala. Belaian sejuk di atas kepala mengembus helai-helai rambutnya yang
anti gravitasi, sekaligus menebar aroma kecut akibat lupa mandi. Ngeh. Ia
menoleh pada aktivitas di beranda sebelah.
“Ngapain, Jek?”
“Masang teru-teru bozu…”
…tetek lo borju?
Hayat mengamati dua titik dan sebuah garis melengkung pada
puncak bulat benda tersebut. Benda itu tidak terlihat seperti itu sama sekali. Pakek rok pulak. Dan Jeki hendak menggantungkannya di bawah atap
jendela. Ada tongkat melintang di sana yang sejatinya ditujukan untuk jemuran.
Freak. Liuk lampai uap
mengepul dari mulut Hayat yang terbuka sedikit sementara matanya mengerling.
Kesalahan ketigamu
adalah sebentar lagi kamu akan membunuh dingin… dan embun. Kamu adalah benda
paling tegaan yang pernah diciptakan Tuhan.
“…biar hari ini cerah lagi…”
Dahi Hayat berkerut. Sosok Jeki raib lalu mencuat lagi
sebagian dengan ransel di pundak. Laki-laki berkacamata itu melambaikan tangan.
Matanya menyipit. “Pamit dulu ya.”
Hayat tidak menjawab. Jeki keburu mengunci jendela. Seakan
pandangannya dapat menembus dinding, bola mata Hayat mengikuti gerakan Jeki,
hingga tetangganya itu mengunci pintu ruangan, menyusuri lorong, lalu menuruni
tangga…
Lirikannya pada matahari kini penuh benci.
Saya enggak peduli
lagi sama kesalahan-kesalahan kamu selanjutnya. Saya bakal melenyapkan kamu.
Hayat meletakkan cangkir di meja terdekat. Lalu sebelah
kakinya menjejak lantai beranda mini di muka jendela, disusul sebelah kaki yang
lain. Selanjutnya, ia meniti jejeran genteng yang memisahkan berandanya dengan
beranda Jeki. Telapak kakinya melangkah miring, selekat mungkin dengan dinding.
Begitupun telapak tangannya yang menempel erat, menggeser sedikit demi sedikit.
Ia tidak mengacuhkan orang-orang di bawah sana yang mulai ngeh akan aksinya.
Jemarinya nyaris menggapai benda putih di bawah atap jendela
Jeki ketika mendadak permukaan yang dipijak kakinya menjadi licin. Sontak
tubuhnya merosot lantas bergemelatakan pada permukaan genteng yang menurun.
Pagar kosan yang lancip-lancip siaga menancap tubuhnya. Crat.
Hayat bergidik.
Sekiranya ada cara yang lebih cerdas untuk mati.
Ia mengamati si tetek borju itu lagi lalu membayangkan bola
pingpong yang dibungkus sapu tangan putih. Pengikatnya menggunakan benang,
setidaknya itu akan tampak lebih elegan ketimbang rafia. Sedangkan tambang,
selain terlalu besar, lebih pas untuk menggantung lehernya ketimbang leher
boneka itu.
Ia mengubek-ubek segala laci di ruangannya. Ia tahu ia tidak
akan menemukannya. Ia tidak suka main tenis meja. Ia lebih suka menampung
sesuatu dengan tisu ketimbang sapu tangan. Dan untuk apa ia punya benang kalau
ia bisa minta orang lain menjahitkan?
Ia hanya menemukan sebuah kok. Dengan spidol besar, ia
membubuhkan dua titik pada tepi bagian bulat benda tersebut. Ia memandang hasil
kerjanya cukup lama sebelum menorehkan tanda kurung—kurung buka—di bawah dua
titik. Tercenung sebentar, ia guratkan lagi tanda kurung dengan sudut—kurung
tutup—di atas dua titik. Kini koknya sudah tampak siap berperang.
Lalu ia keluar kamar. Ia mengetuk setiap pintu untuk
menanyakan pada penghuni demi penghuni apakah mereka memiliki kok. Sembari
menunggu tanggapan, ia meneliti keranjang sampah sekiranya ada kok mendekam di
situ. Pada satu kesempatan, seorang tetangga memiliki sebuah tabung kok yang
penuh terisi. Hayat menukarnya dengan lembaran biru. Kurang? Bagaimana dengan
yang merah—yang ada gambar duo proklamator?
Ia juga tidak lupa minta benang. Jarumnya tidak usah, terima
kasih.
Kembali ke kamar, ia menyiapkan barisan serdadunya. Berulang
kali ia mengikat leher kok dengan benang, lalu melepaskannya lagi. Ia
bertanya-tanya mengapa para serdadunya selalu tampak seperti berdiri ketika
digantung. Ia mulai merasa mereka mengkhianatinya… sampai ia menemukan cara
untuk menggantung mereka secara terbalik.
Dengan jemawa ia melirik benda Jeki yang tersenyum hampa kala
dipermainkan siliran.
Serdaduku ada
serenteng!
.
Beberapa minggu lalu
Separuh nyawa Hayat menahan tanggul yang hendak jebol. Di
kampus, tempat sampah kena hantamnya. Adik-adik angkatan tercelus dalam
seringai. Kawan-kawan sok asyik terpana akan geraman. Para penumpang angkot
mendapati wajah mengerut. Masuk kamar, pintu diempas dalam kosen. Tangan
menjungkirbalikkan tempat tidur sementara kaki menendang meja sampai
tersungkur.
Sebelum menghancurkan semesta, ia akan menghabisi para
penunggu kamarnya terlebih dulu. Ini akan menjadi panas yang berkepanjangan.
Hanya dengar tarikan napas yang menggebu-gebu, lemari sudah
keder. Ialah korban selanjutnya, apabila cermin tak menyelamatkannya dengan
memantulkan wajah yang memerah. Hayat tersentak mendapatkan basah telah
merajah.
Setelah mengunci pintu, ia tersengguk di balik kasurnya yang
melunglai. Sungguh, ini bukan perkara balon hijaunya telah meletus. Kini ia
paham maksud Ayud mengalungkan syal ungu padanya. Ungu itu warna janda, kendati
Hayat pria. Lalu dengan bersahaja, gadis itu berlalu tanpa kata.
Seseorang sudah pernah memberitahunya. Jika air surut,
tsunami akan melanda. Ketika cerewet tak lagi jadi tabiat Ayud, itu adalah
pertanda. Kendati itu sudah terjadi beberapa kali, ketika tiba yang terakhir
kali, badai dahsyat akan terjadi.
Selalu dalam senyum tatkala perempuan itu meminta perpisahan.
Hanya sekilas riak pada wajah Ayud saat mengucapkan, setelah itu tiada
terkilan. Hayat selalu menganggapnya gurauan. Bagi Hayat, pinta itu bukan
kenyataan. Bagi Ayud, itu pengingkaran.
Empat tahun itu tidak sebentar, menurut Hayat. Ayud
menyetujui.
Bagi Hayat, itu cukup untuk menumbuhkan niatnya mengikrarkan
ikatan ini dalam jalan yang suci kelak. Orangtua Hayat sudah mengenal Ayud,
begitupun orangtua Ayud pada Hayat. Resepsi tidak usah ramai-ramai. Jumlah anak
perempuan dengan anak laki-laki harus seimbang, berapapun totalnya. Rumah
mereka bakal bergaya art deco.
Namun bagi Ayud, itu cukup untuk memahami bahwa hubungannya
dengan Hayat ternyata tak tersurat dalam takdir.
Seketika, bayangan akan masa depan memburam.
Memangnya demi apa Hayat beli gitar, ikut kursus gitar jaz,
sampai gabung ke unit jaz di kampus segala, padahal Hayat lebih fasih mengecup
harmonika kendati baru khatam dua lagu. Demi apa Hayat sendu tiap malam supaya
lekas piawai mengimprovisasi blue notes.
Dan ketika akhirnya Hayat berhasil menamatkan buku Memahami dan Menikmati Jazz-nya John F. Szwed setelah empat tahun,
ini yang Ayud lakukan padanya. Belum pengorbanan lain yang Hayat tak pernah
ingat saking tulusnya ia berikan.
Dulu Ayud bilang, melihat wajah Hayat seperti melihat
matahari yang menerangi hari, sesuai nama sejati Hayat—Rahayy. Ra itu dewa
matahari bangsa Mesir, kata Ayud, iih…
masak arti namanya sendiri enggak tahu... –sikap manja itu amat memerihkan
ketika diingat kini. Tapi Hayat lebih suka dipanggil Hayat, ketimbang Rahayy
dipelesetkan jadi Rahayu.
Kini Hayat ingin tahu apakah Ayud pernah melihat hujan. Hujan
yang tak peduli apakah langit masih digayuti matahari, sebagaimana Ayud
sendiri. Lalu pada hari-hari itu, matahari akan terasa dingin seiring hujan
yang kian kencang. Membentuk siklus berdasarkan cepat-lambatnya. Hingga
sepanjang waktu. Selamanya. Tak bisa berhenti.
Tapi setiap orang tahu, seorang pria tidak selayaknya
menangis. Hayat berharap bendungannya baru ambruk begitu ia sudah dalam kamar
tadi. Dan ia tidak akan membiarkan siapapun, apalagi Ayud, melihat hujan di
wajahnya.
.
Kembali ke hari ini
Hayat tidak menghitung, sudah hari keberapa ia menghabiskan
waktu dengan tidur. Kadang ia memainkan lagu-lagu blues dengan gitar atau harmonikanya, tapi tak ada yang tuntas.
Kuliahnya yang sudah jarang-jarang, semakin ia abaikan. Ia lupa kapan ia
terakhir kali membuka folder yang isinya, umumnya orang-orang menyebut,
skripsi, atau tugas akhir, apalah. Ketika mendapati hanya sunyi yang mengisi
udara, ditambah matahari nyata tak menggubris ancamannya, ia mengeluh.
Persediaan segala makan-minum serba instan di kardus pun nyaris melompong.
Ia coba mengisi waktu dengan membaca buku. Kata sebuah
majalah, buku bisa menggusah kegalauan. Ia menyeret novel Pramoedya Ananta
Toer, Bumi Manusia. Kawan-kawannya
merasa diri mereka lebih keren saat mereka membaca novel tersebut.
Gaya berceritanya memikat, Hayat menikmati, namun setelah
Minke bertemu Annelies, dan Annelies menaruh harapan pada Minke, Hayat tak
sanggup melanjutkan. Ia yakin Annelies jauh lebih cantik daripada Ayud. Ia
yakin pula dirinya jauh lebih ganteng dari Minke, pun dari kekasih Ayud yang
sekarang. Tapi mengapa Ayud mengira akan menghabiskan hayat (dan menghabisi
Hayat) dengan si begundal itu. Hayat merasa bagai Robert Mellema yang gemar
mencemooh Minke lalu Annelies balas mengata-ngatainya—begitulah memang yang
terjadi antara ia, si Tomsek—Tommy brengsek, dan Ayud.
Mencegah dirinya agar tidak tersedu sedan, Hayat mengambil
setumpuk komik Doraemon. Kebersamaan Nobita dan Shizuka di masa depan menyayat
hatinya, lagi.
Menyelesaikan persamaan diferensial dalam buku teks Kalkulus
ternyata dapat menenteramkannya. Tapi dayanya terlalu lemah untuk menyalakan
lampu ketika gelap menerjang.
Lalu malam kembali jadi malam.
Sebenarnya Hayat sudah tidak tahan mendekam dalam kamar.
Hingar bingar kampus sudah ia rindukan. Tapi status perasaannya masih rawan.
Wajah kuyunya akan tersiarkan. Apalagi kalau berpapasan dengan sang mantan, ia
bakal makin tak keruan. Harga dirinya dipertaruhkan. Rasa ini terlalu sakit
untuk dijelaskan, hingga kata-kata pun angkat tangan.
Kendati ia berupaya untuk tidak menunjukkan, keadaannya tetap
diketahui orang-orang. Adiknya, para tetangganya, kawan-kawannya, bapak kosnya,
ibu warung langganannya, telah mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Namun seolah telah jadi ritual bagi hujan untuk bertandang setiap malam.
Sementara hujan turun, Hayat bertanya-tanya mengapa hujan tidak turun di luar
saja, jangan di mukanya. Dan mengapa hujan ini tak kunjung berhenti… Apakah
sedang bulan Januari[1]
di mukanya?
Masih tujuh belas tahun usianya saat ia terpikat Ayud untuk pertama
kali. Remang-remang senja kala itu membikin kenangan itu selalu tampak sephia dalam ingatannya. Mereka menunggu
angkot bersama-sama di depan Gelanggang Taruna lalu berkenalan. Masih dalam
seragam sekolah, Ayud bilang ia habis dari rumah temannya. Hayat mengaku baru
selesai latihan karate, padahal ia tidak pernah ikut latihan bela diri apapun
sebelumnya. Tapi kini Hayat sudah punya sabuk cokelat…
Selama pendekatannya pada Ayud, Hayat mencari tahu apa yang
Ayud suka dan menunjukkan pada Ayud bahwa ia menyukai hal yang sama. Itu bukan
hal yang sulit. Itu bukan suatu kebohongan. Termasuk menjadi mahasiswa di
kampus yang sama dengan Ayud, meski beda jurusan.
Bahkan ketika akhirnya Ayud mau menerima Hayat pun,
pernyataan bahwa Hayat lagi tidak punya pacar bukan lagi kebohongan. Hayat
berhasil meninggalkan yang empat bulan demi Ayud yang ternyata hanya empat
tahun…
Hayat terkesiap ketika seseorang menggedor pintu kamarnya.
“Yat… Yaaat…?” Ia menoleh ke sana kemari. Pikirannya menyuruh untuk lekas cari
cermin, lihat bagaimana rupanya kini. Tapi refleksnya malah membuka kunci
pintu. Begitu pintu terbuka, Hayat buru-buru memunggungi temannya seraya
mengeloyor ke kamar mandi. “Masuk San…” tak lupa ucapnya.
Napas Hayat tertahan begitu ia mendapati matanya yang agak
bengkak. Selebihnya rona merah mengisi beberapa bagian wajahnya. Ia
menyemburkan air ke wajahnya itu, menggosok-gosoknya. Wajahnya terlihat lebih
segar sesudahnya, namun tetap rada pucat. Ia pun melumuri wajahnya dengan
pelembap. Mendingan. Tapi ia tidak tahu bagaimana cara mengempiskan bengkak.
Gamang menyelinap.
Ia berharap Santosa tidak menyalakan lampu kamar supaya
nestapa di wajahnya ini tak kentara. Setelah membasahi rambutnya,
menggosok-gosoknya dengan handuk, lalu membiarkan handuk itu tetap di sana
hingga wajahnya tak terlihat penuh, Hayat keluar dari kamar mandi.
Kamar benderang benar. Santoso
sontoloyo.
Cengiran lebar tergurat di wajah Santosa sembari kakinya
mendorong keranjang sampah dari bawah meja belajar Hayat. Keranjang itu saking
penuh dengan remasan tisu hingga berjatuhan. Hayat merasa ada yang menonjok
dadanya. Namun ia tidak akan biarkan Santosa merobohkan harga dirinya. Apapun
yang akan Santosa lontarkan, ia akan menghadapinya dengan jantan. Pose duduk
Hayat di kasur menunjukkan pertahanan. Ia menanti.
“Pantesan lo enggak pernah keliatan ngampus lagi, coli mulu
sih kerjaannya.”
“Eheh iya… Kan yang atas garap yang bawah juga ikutan mikir.”
“Oah… Hahahaha… Emang kerjaan lo udah nyampe mana? Dicariin
Pak Sabar tuh, katanya udah lama lo enggak ngadep-ngadep. Eh gua nyalain yah
laptopnya.”
“Sok aja. Ya sampai situ-situ aja Broh.”
“Eh lo inget enggak sih, fungsi f dikatakan periodik tuh
kenapa ya, yang di trigonometri itu…”
“…itu kan kalau ada p, yang persamaannya f dalam kurung x
plus p sama dengan f x itu, buat semua x di daerah asal f.”
“Oooh… Yang periode f-nya itu bilangan positif terkecilnya p
itu ya?”
“Iya.”
“Hiburan lo ditaruh di mana Broh?” Mata Santosa memelototi
setiap ikon di layar laptop Hayat. Hayat mengambil alih tetikus. Santosa
mengeluarkan harddisk external dari
ranselnya. “Yang baru semuanya ya Broh?”
“Hah?”
“Iya. Ah lo betah ngamar terus kan pasti ada yang baru lagi,
iya enggak Broh?”
“Oh…”
Semua untukmu,
Santosa, asal kamu lekas enyah dari sini. “Nih, semualah Broh, biar nyenyak tidur
lo entar.”
“Ah. Tengs Broh.” Santosa menepuk-nepuk punggungnya.
“Anak-anak bilang lo galau abis gitu ditinggal si Ayud—“
“Ah udah lewat…”
“Si Kang Tommy jadi sering keliatan edar gitu di kampus.”
“Oh ya…”
Sekitar setengah jam kemudian, Santosa meninggalkan kamar
Hayat dengan sukaria. “Aah, tengs Broh. Jangan kebanyakan coli lo, entar
mandul,” kata Santosa sambil pakai sepatu.
“Gitu-gitu gua udah nyampe bab empat, Busuk,” dusta Hayat
sekaligus sungguh-sungguh.
Seberlalunya Santosa, Hayat membuka kotak tisu baru. Kotak
tisunya yang terakhir. Hayat menegakkan layar laptopnya. Dengan kaki, ia
menyeret keranjang sampah pada posisi yang akan memudahkannya untuk memasukkan
tisu-bekas-pakainya nanti ke sana. Ia mencari-cari sinyal wi fi. Pertemuannya dengan Santosa tadi benar-benar merangsangnya
untuk menelusuri foto-foto gadis… gadisnya. Gadisnya yang sudah bersama
laki-laki lain. Jika dulu media sosial menjadi sarananya menyalurkan kerinduan
pada yang terkasih, kini sarana tersebut ia butuhkan untuk mencongkel sisa-sisa
kepedihannya. Realitas virtual tetaplah realitas. Di depan foto Ayud bersama
kawan-kawan Tomsek, dan tentu saja si Tomsek sendiri—si Tomsek merangkul Ayud,
di suatu kafe yang bahkan belum pernah Hayat kunjungi karena harga menunya
ngajak kere, Hayat membekap mukanya dengan lembar demi lembar tisu. Cairan
kental dari lubang hidungnya mengucur tak henti-henti.
Gua bahkan udah lupa
kapan terakhir kali gua coli Broh…
.
Hari ini harus
berakhir
Semalaman Hayat berhasil membuat dirinya merasa lebih rileks.
Dengan membayangkan Ayud, tentu saja. Dendamnya seperti terbalas. Mandi sebelum
subuh sangat menyegarkan. Masih gelap ketika perasaan positif menyemburat di
batinnya. Ia kangen menguar senyum dan berjalan di bawah matahari. Ia akan
keluar kamar hari ini demi pasokan ransum dalam kamarnya.
Bahkan ibunya heran mendapati anaknya itu sudah terjaga
begitu ditelepon. Sembari berpakaian, Hayat mendengarkan cerita ibunya lewat
pengeras suara. Tentang sang kakak yang makin tidak betah di rumah. Tentang
sang adik yang ingin menentukan sendiri jalan hidupnya. Ibu tak bisa terima itu
semua. Tentang dirinya, “Sayang, udah nyampe bab berapa?” Ibu tahu kalau Hayat
belum lama putus, tapi Ibu hanya menghendaki putranya itu lekas lulus.
Di beranda, ia mengudap susu cokelat terakhir sebagai
sarapan. Jeki mengganti teru-teru bozu yang sudah kumal dengan yang cemerlang,
sekalian menjemur cucian. Bikin Hayat ingat kalau ada yang harus ia cuci juga,
tertinggal di kamar mandi.
Jeki tersenyum padanya. Hayat membalas.
“Bikin teru-teru bozu juga?” Tatapan Jeki beredar ke atas
kepala Hayat.
Hayat mendongak. “He… Siapa yang nyangsangin kok ke sini ya?
Banyak bener…” Ia mengambil rentengan kok terbalik tersebut. Ia mengangguk
ketika Jeki pamit ke dalam kamar. Ia mengambil salah satu kok lalu memasang
kembali sisanya ke tempat semula.
Ia pergi ke kampus sekitar pukul sepuluh. Seseorang di
ruangan Pak Sabar memberitahunya kalau yang bersangkutan baru akan hadir
setelah jam istirahat. Maka ia mengisi waktu dengan membolak-balik hasil cetak
pekerjaannya selama berbulan-bulan ini. Puluhan lembar kertas tersebut sama
sekali tidak membuatnya bangga. Namun itu bekalnya untuk menjadi anak paling
dicinta Ibunda.
Ia menatap gadis di hadapannya dengan sayu.
“Hayat…” Suaranya masih semerdu dulu.
“Hei.. Selamat ya yang baru ditoga kemarin…” Hayat bangkit
untuk menjabat tangan Ayud.
Tangannya juga masih selembut dulu.
Gadis itu tersipu-sipu. Hayat tergugu.
Pesonanya masih sama seperti dulu.
Hayat mengempaskan tubuhnya ke sandaran beton. Gadis itu
memilih untuk duduk di hadapannya saja, tak di sampingnya. Mereka bertukar
senyum seakan tidak pernah ada perkara di antara mereka.
Padahal sejak resminya perpisahan itu, entah sudah berapa
kali Hayat sengaja memaki-maki si Tomsek di dekat Ayud. Bikin Ayud berang. Luka
batin Hayat kian menganga. Ayud menaburinya dengan garam, lalu meneteskan
cairan jeruk purut.
Seakan Ayud tak pernah menciptakan ritual baru dalam hidup
Hayat.
Ah. Ritual. Tentu Hayat ingat. Ia mengeluarkan botol minum 1
L-nya. Tutupnya cukup besar hingga menyerupai gelas. Ia menuangkan isi botolnya
ke sana, menyuguhkannya untuk tuan putri.
“Ah Hayat...” Ayud tampak malu. Hayat tersenyum pahit. Namun Ayud
cicipi juga air dalam gelas-gelasan itu.
Hayat juga tidak memakai kendaraan bermotor ke kampus. Jarak
antara kosannya dengan kampus relatif dekat. Maka ia menggunakan sepeda dengan
model yang membuat Ayud bisa membonceng, baik di depan maupun di belakang.
Dengan rendah hati Hayat mengungkapkan maksudnya pakai sepeda macam demikian
bukan karena ia ramah lingkungan, melainkan ingin pamer kemesraan ke seantero
kampus. Sekarang Hayat ingin menukar sepedanya dengan BMX saja.
“Udah jarang kelihatan di kampus, Yat, ngapain aja?”
“Yah… Lagi sibuk nyariin orang aja…”
“Nyariin orang?”
…yang bakal selalu
ada di samping saya setiap saya bangun tidur.
“…iya… biasalah, proyekan dosen.”
Ayud manggut-manggut seraya menghabiskan isi tutup botol
Hayat. Ketika ia meletakkannya di meja yang memisahkan mereka, Hayat menuangkan
air lagi. Ia tidak tahan untuk tidak mengatakan yang sebenarnya. Ia juga tidak
tahan untuk tidak membuat pipinya basah lagi. Tapi pria punya harga diri.
“Ayud…” Seseorang memanggil dengan lembut. Ia seorang dosen
muda sekaligus konsultan di perusahaan bonafide. Ia piawai memainkan saksofon
dan sungguhan menggemari John Coltrane. Anggota kehormatan unit jaz yang biasa
tampil dalam pertunjukan serius. Ia membeli Nissan keluaran mutakhir dengan
penghasilannya sendiri. Ketika melihat cincin melingkar di jari manis Ayud,
Hayat tahu bahwa tidak lama lagi gadis itu akan diboyong juga ke rumah elit di
kawasan utara kota. Segala kemapanan pria itu hanyalah kebrengsekan di mata
Hayat.
…i just want someone to say to me no, oh,
oh, oh… I'll always be there when you wake,
yea-ah… you know I'd like to keep my cheeks dry
today… so stay with me and I'll have it made… and I'll have it made and I'll have it made, oh… lord no no… you know I'm really gonna, really gonna
have it made… you know I'll have it made…[2]
Ayud tidak menyentuh gelas-gelasan itu lagi. Setelah “dah,
Hayat” yang bersemangat, gadis itu pergi dengan serpihan hati Hayat
melayang-layang mengikuti lenggoknya.
Ke manapun kamu
pergi, Hayat memandang cakrawala, ada seberkas mendung di sana, Hayat tertegun,
senang memercik, ia mengeluarkan pisau lipat dari ranselnya lalu memotong
bagian dari langit yang mengelabu itu seukuran kartu pos, saya akan mengirim ini ke sana. Mulai sekarang tidak ada lagi senja
buat kamu, saya ganti sama mendung.[3]
Menjelang habis jam istirahat, Hayat sudah menanti di depan
ruangan Pak Sabar. Ia duduk saja dan tidak tahu apa yang ia harus lakukan.
Seorang teman perempuan melintas lalu berhenti ketika melihat sesuatu digantung
terbalik di bagian luar ransel Hayat.
“Apa ini?”
Hayat berdecak seraya mencomot kok yang bermata, bermulut,
dan beralis itu dari tangan Deya.
“Nungguin hujan ya?”
Hayat tak acuh.
“Aku bisa bikinin yang lebih bagus lo.”
Hayat diam saja. Deya
malah duduk di sampingnya. Hayat sedikit menjauhkan diri.
“Enggak usah nunggu hujan. Di kolam renang aja, sambil
berenang, sambil...”
“Heuh?” Hayat sok tak mengerti apa yang cewek sok mengerti
ini ucapkan.
“Iya… Kan sama-sama enggak keliatan.” Tepat ketika Hayat
menoleh, Deya menunjuk bagian bawah mata.
Cara yang lebih efisien sebetulnya, tapi Hayat tidak bisa
berenang.
.
Hari ini belum
berakhir
Bagi mahasiswa angkatan atas, bertemu dengan sesama mahasiswa
angkatan atas di kampus merupakan peristiwa langka yang harus dirayakan dengan
setidaknya jabat tangan lalu basa-basi singkat, tak harus bernas, dan pasti
mengesankan. Namun Hayat tidak ngeh bahkan ketika namanya sudah berkali-kali
dipanggil.
“Mau ke mana Yat?”
“Ngejemput hujan…”
Ia tidak mau kelihatan begitu nelangsa, jadi ia
mengucapkannya dengan pelan sehingga tidak ada yang dengar selain bakteri di
sudut bibirnya.
Sore ini, satu lagi temannya akan disidang. Bagi yang
bersangkutan, itu adalah momen menegangkan yang akan menyenangkan pada akhirnya.
Namun bagi Hayat, menyakitkan tetap menyakitkan. Tak harus menunggu sidang,
pertemuan dengan dosen sudah berupa pembantaian. Segala yang ia telah rancang
selama ini ternyata tidak cukup layak untuk menunjang gelar kesarjanaan. Ia
harus merombak total penelitiannya. Ia mungkin akan jadi mahasiswa terakhir
yang diwisuda di angkatannya. Kalau ia punya senjata api, ia akan menembaki
setiap sivitas akademika kampus ini sampai tak bersisa peluru di selongsong.
Lalu ia pulang dan terisak-isak sepuasnya di bawah ketiak ayahanda.
Namun selama kuning masih menyala, hidup adalah panggung
sandiwara.
Sementara sepatunya menapaki aspal jalanan kampus, nanar
matanya mengarah ke cakrawala. Di mana mendung bercokol, ke situ ia menuju.
Ketika mendung makin menggurita, ia memotong setiap tentakelnya untuk ia kirim
pada Ayud di manapun perempuan itu berada. Beberapa ia simpan dalam kantongnya
untuk persediaan. Ketika ia tak ingin sendu sendiri di kamar, ia akan menutupi
keapatisan matahari dengan menempelkan potongan tersebut di jendela.
Semakin kelabu, semakin cepat langkah Hayat. Semakin kelabu,
semakin bagus menurutnya. Apalagi kalau ada petirnya.
Neng, bapaknya Zeus
ya? Petirnya gede banget, sampe membelah hati Abang…
Ketika rintik menyentuh dahinya, ia hampir tak dapat menahan
gemetar. Setiap rintik mencuatkan prahara, semakin ia tertunduk. Rintik demi
rintik menjadi totol-totol pada permukaan pijakannya, termasuk rintik dari
matanya. Sementara para pedagang sibuk menutupi barang-barang mereka, pejalan
kaki mencari tempat berteduh, serta pengendara motor menggelar ponco, ia
melangkah terus. Semakin cepat, apabila ruangnya beririsan dengan ruang orang
lain.
Desing peluru langit merangkai ritme dalam pendengarannya.
Menyelusup ke celah-celah pakaiannya, mengalir di permukaan kulitnya, dingin.
Tapi itu tidak meredakan gemuruh yang menggejolak di dadanya. Mukanya tetap
terasa panas.
Deru angin membuat perjalanan Hayat bagai pelarian. Terasa
Ayud berada di belakangnya, meniru setiap gerakannya, seakan tak mau jejaknya
dihapus hujan. Tega nian kamu Ayud,
padahal di hatimu sudah ada gelombang pelangi, sementara di hatiku tidak pernah
ada lagi matahari…
Angin menyeret hujan hingga menusuk-nusuk wajahnya,
tangannya, bagai akupunkturis beraksi dengan seribu jarum. Lambat laun ia tak
bisa membedakan hujan dari langit dan hujan dari matanya lagi, begitupun
orang-orang yang mengamatinya dari tempat mereka berteduh. Hanya wajahnya yang
berkerut-kerut menahan sengguk, lalu gigil.
Beginilah seharusnya pria jantan, menyembunyikan tangisnya
dalam hujan!
Terengah-engah ia menyadari bahwa ia semakin mendekati pusat
kota. Tetes demi tetes air mengalir dari tepi bibir ke dalam mulutnya. Di
trotoar ia termangu sesaat. Berbagai kendaraan melesat di jalan raya yang
relatif lebar, tak mau kalah dari dera hujan. Hayat terus berjalan. Beberapa
meter lagi ia akan menemukan tempat duduk di taman balai kota. Semakin
langkahnya maju, semakin beban di dadanya terasa menghimpit.
Ia tak hanya menangisi Ayud kini, tapi juga hidupnya.
Hidupnya yang hanya untuk mendapat pengakuan dari orang-orang bahwa ia telah
menjadi bagian dari mereka. Bagian dari orang-orang yang lulus perguruan tinggi
bonafide, orang-orang yang berpenghasilan menjulang, orang-orang yang punya
kekasih, orang-orang yang gaul, orang-orang yang dibanggakan orang-orang…!
Di bangku taman, sengguknya semakin keras. Berkat Ayud, ia
sempat merasa menemukan yang sejati dalam dirinya. Berawal dari kepura-puraan
menyukai jaz, sebagaimana Ayud mencintai jenis musik itu dengan sangat, Hayat
menyadari bahwa dirinya mungkin berbakat dalam jaz. Ia telah mengarang beberapa
komposisi, beberapa orang telah mengapresiasi, namun itu tidak berarti apa-apa.
Bermain jaz memang mengasyikkan, namun segiat apapun ia berlatih, itu tidak
membuatnya lebih hebat dari kebanyakan orang di unit jaz. Keluarganya pun tidak
menganggap itu dapat menghidupinya kelak.
Dan semakin ia mempelajari jaz, semakin ia menyadari bahwa ia
begitu bodoh. Entah sudah berapa lembar tisu terbuang hanya untuk mengelap
liurnya dari harmonika yang tak kunjung jago ia mainkan. Butuh berapa tahun sih
untuk jadi semahir Howard Levy?
Kini Ayud telah menemukan pemain jaz yang lebih piawai. Dan
Hayat tidak usah berpura-pura memahami permainan John Coltrane lagi. Sebelum
bertemu Ayud, dari ranah jaz Hayat cuman tahu Maliq & D’essentials dan
itupun Hayat tidak suka.
Tahu-tahu Hayat mendapati tangisannya terdengar makin jelas.
Telapak tangannya lepas dari wajah. Peluru air tak lagi menghunjam kepala dan
luruh ke tubuhnya, melainkan pada kubah kecil tak jauh di atasnya.
Di bawah kubah itu pula, seorang pria berambut bihun
memandanginya. Mantel tebal membungkus tubuhnya yang tidak terlalu besar.
“Hujan-hujanannya jangan di sini yuk. Di sana aja, yang lebih
terang.” Pria itu menunjuk halaman balai kota yang tak ternaungi pepohonan.
Tapi… tapi… tapi…
pilu ini belum habis…
Begitu pria itu menyentuh punggung, seketika Hayat tergiring
bagai kerbau tercocok di hidung. Begitu mereka berjalan, lengan pria itu belum
juga lepas. “Siapa namanya?” tegur ramah pria itu.
“Hayat,” ucap Hayat agak tersendat. Pikirannya kalut
menimbang untuk tetap bersama atau kabur dari situasi memalukan ini. Merasa
dirinya bakal dibawa ke tempat di mana orang-orang lain juga berteduh, Hayat
jadi panik. Ia takut hujan tak cukup menyamarkan bekas tangis di wajahnya. Biar
bapak ini saja yang tahu, jangan orang lain.
“Sebenarnya enggak apa-apa kalau Adek mau hujan-hujanan.
Malah kalau anak kecil suka hujan-hujanan, gedenya jadi enggak gampang sakit.”
Sebetulnya Hayat baru sekali ini hujan-hujanan. “Tapi Bapak sih takut aja
kalau…”
…terdengar gemerisik cukup panjang disertai suara benda berat
memukul bumi…
“…kejadiannya kayak gitu…” Bapak itu menoleh, lalu ikut
membalikkan badan sebagaimana Hayat yang ingin melihat akibat peristiwa
tersebut dengan lebih jelas. Bangku yang ia duduki tadi tak terlihat lagi
karena tertutup batang yang semula menjulang di belakangnya. “Entar namanya
bukan Hayat lagi dong, tapi mayat hahaha!”
Hayat dibawa ke pos jaga, bersama beberapa pria lain, kepulan
asap, dan bergelas-gelas kopi. Ia mengambil jarak dari mereka, berlagak hendak
menafakurkan hujan saja. Pelukan dingin pada tubuhnya mulai terasa menyiksa. Ia
basah sebasah-basahnya, sampai ke lapisan paling dalam.
“Kopi, Dek?”
“Rokok?”
“Sini ikut gapleh yuk!”
“Dry clothes, please…”
ingin sekali Hayat berkata begitu. Ia mengamat-amati bantalan jemarinya yang
mengerut, demikian pun buku-buku jarinya telah memucat.
“Seneng hujan-hujanan ya Dek?” Pria yang menolongnya tadi
menyodorkan segelas kopi. Asap melenggok dari permukaannya. Hayat menghirup
aroma cairan tersebut dengan hikmat. Tegukan demi tegukan terasa begitu hangat
di kerongkongannya lantas memuaikan uap. Telapak tangannya memeluk gelas itu
erat-erat kemudian. Ia bersyukur giginya tak jadi bergemeletuk.
“Iya Pak,” angguk Hayat. Saya
senang hujan, apalagi hujan yang turun langsung dari lubang di bawah kelopak
mata saya…
…saya senang ketika
keadaan jadi rumit. Bapak mungkin enggak ngerti. Tahu enggak Pak, saya juga
senang mendengar kabar buruk. Enggak tahu kenapa, rasanya enak aja ketika
perasaan saya jadi sedih, ketika hal-hal berjalan enggak sesuai seharusnya.
Kalau Bapak punya cerita nestapa, bagi-bagi aja ke saya.
Saya sukanya denger
lagu-lagu blues—yang sendu-sendu. Saya cuman
senyum kalau hati saya lagi gelap. Saya merasa nyaman sekali pas lagi enggak
ada matahari. Saya enggak lagi meracau lo Pak. Itu emang udah jadi obsesi baru
saya...[4]
…makanya baru hari
ini saya keluar...
.
Hari ini pun
berakhir
Hujan belum tuntas betul namun Hayat sudah berpamitan. Ia
keluar dari pos jaga dengan langkah-langkah ringan. Ia harus mengendalikan
gerakannya agar tidak menjelma tarian. Entah mengapa ia merasa tidak ada yang
harus ia khawatirkan. Selama hayat dikandung badan, ia masih punya harapan.
Berjibun halangan memang merintang di jalan. Tapi kini ia tak lagi membenci
matahari, karena sinarnyalah yang membiaskan hujan jadi pelangi. Karena menurut
kitab yang ia baca di kala insaf, yang kering, yang mati, dihidupkan-Nya melalui
hujan hingga menumbuhkan kenikmatan. Hujan pun menyingkirkan kesia-siaan.
Kemarilah awan kelam, guntur mencekam!
Betapa menyenangkannya halusinasi ini…
…di sela-sela panasnya sekujur tubuh bak tengah disetrika.
Lalu ada sepasang tangan tak terlihat yang memutar-mutar kepalanya.
Hayat sudah mandi. Pakaiannya pun kering. Tapi yang ia mampu
lakukan hanya berbaring. Topan berkecamuk dalam perutnya. Ia lupa belanja.
Kesadarannya seakan menguap berangsur-angsur… timbul lagi… lamban laun
tenggelam… meruap lagi… lalu terpendam… kembali merebak.
Seseorang mengetuk pintu. Mungkin itu orang pertama yang akan
menyalatkannya…
“Yat… Boleh masuk enggak?”
Hayat seperti mengenal suara itu. Suara tetangganya…
“…masuk…aja…” Hayat tidak tahan mendengar ketukan di pintu
lama-lama. Jenis suara tetangganya itu juga bukan jenis suara yang disukainya.
Untuk saat ini ia hanya merindukan suara ceweknya, ah, mantan ceweknya… belaian
kasih…
Jeki termangu di muka pintu. “Kamu kenapa Yat?”
Hayat memejamkan mata dalam-dalam sebelum memaksakan dirinya
untuk bangkit. Seperti ada benda berat yang berguling di dalam kepalanya.
Tunduklah ia. “Jek.”
“Iya?”
“Bagi pop mi dong.”
Hayat terkapar lagi di kasur, namun pikirannya masih bisa
menghitung sampai 180. Tepat tiga menit. Butuh beberapa menit lagi bagi Jeki
untuk mempersembahkan segelas mi seduh ke singgasana Hayat. Jeki juga
membuatkan untuk dirinya sendiri. Kehadiran sebungkus belut kering amat patut
disyukuri. Tak ada sang juwita, tetangga pun jadi. Ternyata tetangga bukan
sekadar orang yang tinggal di sebelah.
“Makasih ya Jek…” ujar Hayat dengan pipi gembung.
Jeki mengangguk. “Nyantei…”
Kata Jeki lagi, “Sebenernya tadi sore saya ngeliat kamu di
taman balai kota.”
“O ya?”
“Iya. Tapi saat-saat kayak gitu… ya... saya ngerti jugalah kalau
enaknya enggak digangguin. Ya udah saya biarin aja. Eh enggak tahu juga malah
bapak-bapak yang nyamperin…”
“Iya… Malah ada pohon tumbang segala…”
“Seriusan?”
“Kamu bukannya ada di situ?”
“Iya, tapi pas kamu dateng, saya udah mau pergi.”
“Oh.” Hening sebentar. “Ngapain Jek, kamu di situ?”
“Kamu ngapain?”
Pertanyaan yang salah. Hayat harap Jeki tak mengungkitnya
lagi.
“Makanya saya pasang teru-teru bozu, Yat.”
“Kenapa gitu?” Hayat menyeruput kuah mi lagi.
“Kalau hujan,” ucap Jeki dengan lamban, “bawaannya jadi cemen
mulu…”
“Oh.”
“Jadi kebiasaan.”
Sepertinya Jeki sudah jauh lebih sering patah hati.
“Yang pertama emang berat Yat. Tapi itu baru pertama.
Seharusnya kamu ngehindarin tempat yang ada pohonnya Yat, apalagi kalau lagi
hujan deres banget gitu, kecuali kamu bener-bener desperate.”
“Oh.”
“Sesuatu itu terjadi lebih karena ada kesempatan Yat, enggak
mesti karena niat.”
“Oh.”
“Iya. Besok pagi saya mau pasang teru-teru bozu lebih
banyak.”
“Oh… Oke. Saya bakal nurunin yang punya saya.”
Dalam pembaringannya malam itu, gelombang panas masih menerpa
muka Hayat kala ia ingat nasibnya. Tapi ia tidak sampai terisak. Ia tidak tahu
mengapa. Mungkin itu karena kepalanya terlalu berat. Hayat menyangga kepalanya
tinggi-tinggi. Ia gulung pula tubuhnya dengan berlapis-lapis sarung dan
selimut. Tidak bernafsu lagi membayangkan Ayud. Demam ini membuatnya serasa mau
mati. Kalau mati kan sudah tidak ada apa-apa lagi, termasuk Ayud. Hanya gelap,
gelap kamarnya.
.
Esok ternyata masih
ada
Hayat mengayuh sepeda ke taman balai kota. Ransel gembung
melekat di punggungnya. Di dalamnya terdapat bingkisan untuk bapak penjaga
taman. Sekadar wafer, kopi, dan beragam nyamikan lain untuk teman kongko di pos
jaga. Entah apakah mereka masih ingat wajahnya setelah berhari-hari lalu.
Hangat yang membelai wajah tak lagi jadi soal bagi Hayat.
Kendati sudah amat terang pagi itu, ia belum merasa gerah dalam jaketnya.
Apalagi ketika ia sudah memasuki kawasan taman yang rindang oleh pepohonan
dewasa.
Dari kejauhan, ia melihat beberapa orang berkerumun dekat
sebuah pohon. Sepertinya akan ada pemangkasan. Seorang pria menaiki pohon
dengan beberapa benda tajam menempel di tubuhnya. Tali dialungkan pada salah
satu dahan. Pria itu mengayunkan kapaknya berkali-kali pada pangkal hingga
bagian dalam kayu menyeruak.
“Pohonnya dipangkas ya Pak?” tegur Hayat pada salah seorang
pria.
“Iya. Ini banyak yang patah gara-gara hujan kemarin. Ya
sekalian dibersiin aja pohonnya. Yang gampang patah disingkirin juga.”
“Hm… Dibersiin semua ya Pak…”
“Ya enggak semua. Supaya enggak bahaya aja. Nanti juga
pohonnya jadi lebih bagus pertumbuhannya.”
Oh. Begitu ya cara menangani benda patah, Hayat termenung. Ia
merasa sejuk menitik kepala. Ia mendongak ke sana kemari. Mungkin gerimis
datang lagi.
“Kenapa?”
“Dikirain ujan Pak.”
Mata bapak itu mengerling ke atas. “Yah namanya juga abis
hujan. Tapi kebetulan ini juga pohon ki hujan.”
“Ki hujan?”
“Iya. Makanya disebut ki hujan, pohonnya suka netesin air,
kayak hujan.”
Hayat mendongak lagi. Kali ini ia menyadari bahwa bentangan
tajuk pohon itu sungguh lebarnya. Daunnya kecil-kecil dan berbentuk tak
simetris. Dahannya bergelung-gelung bak dedalu perkasa di halaman Hogwarts.
Diameter batangnya mungkin lebih dari satu meter.
“Dulu ada yang ditanam pak walikota, tapi terus tumbang.”
Bapak itu menunjuk ke satu arah. Memang ada bekas bonggol pohon di sana.
“Tapi yang ini besar banget ya Pak.”
“Iya mungkin sudah puluhan tahun umurnya… Banyak di sini
pohon kayak gini. Tuh di sana ada. Di situ juga.” Bapak itu menunjuk ke banyak
arah.
Setelah merasa cukup waktu berdiri di situ, Hayat izin untuk
lalu. Tapi sebetulnya ia hendak menuju pohon serupa yang letaknya agak jauh
dari kerumunan itu. Dengan menghapal ciri-ciri pohon tadi, ia mencari pohon
lain yang ia anggap memiliki ciri-ciri serupa. Ia hanya ingin tahu bagaimana
rasanya duduk di bawah pohon tersebut, bahkan berbaring.
Di bawah satu pohon yang ia temukan, hamparan rumput yang
terpangkas pendek membentang. Seolah menyambutnya. Basah merembes ke balik
pakaiannya saat ia duduk di sana. Ia mendongak, mengamat-amati, untuk
memastikan apakah ia sudah berada di bawah pohon yang benar. Ia temukan ruang
yang nyaman untuk menyandarkan tubuhnya.
Ia masukkan nama pohon tersebut dalam mesin pencari di
ponsel. Dua puluh delapan juta ton karbon diserap pohon ini per tahunnya. Luar
biasa. Ia yakin pohon inilah yang umumnya ia temukan di kawasan hijau kota,
menaungi pejalan kaki di bawahnya dari terik durjana matahari, membiarkan
kehidupan terhirup dari setiap sel di permukaannya. Dan nama pohon itu adalah
pohon hujan.
(creedence clearwater revival – “have you ever seen the
rain”, slam – “gerimis mengundang”, the temptation – “i wish that it would
rain”, blind melon – “no rain”, travis – “why does it always rain on me”, a-ha
– “crying in the rain”, aphrodite’s child – “rain and tears”, peter pan –
“menghapus jejakmu”, the cascade – “rythm of the rain”, garbage – “only happy
when it rains”, gene kelly – “singing in the rain”, johnny nash – “i can see
clearly now”. March 2nd, 2012)
[1] Konon Januari itu
kepanjangan dari hujan turun sepanjang hari
[2]
Blind Melon – No Rain
[3] Ya. Seno Gumira
Ajidarma.
[4]
Garbage – Only Happy When It Rains
Tidak ada komentar:
Posting Komentar