Jumat, 02 Maret 2012

Lagu Hujan

Matahari sialan.

Dengan secangkir susu cokelat di tangan, Hayat melaju ke jendela. Secangkir lagi, ia harap, dapat membuat tidurnya enak lagi. Ia siap untuk kembali mengarungi belantara mimpi. Namun itu nanti, setelah ia mengkhotbahi matahari agar menyingkir hari ini.

Kesalahan pertamamu adalah kemunculanmu.

Jendela terbuka lebar, biarlah sejenak sumpek kamar terusir angin segar. Hayat mengernyit.

Kesalahan keduamu adalah menyengat muka saya dengan hangatmu.

Sembap mukanya terarah pada seberkas oranye di pucuk cakrawala. Belaian sejuk di atas kepala mengembus helai-helai rambutnya yang anti gravitasi, sekaligus menebar aroma kecut akibat lupa mandi. Ngeh. Ia menoleh pada aktivitas di beranda sebelah.

“Ngapain, Jek?”

“Masang teru-teru bozu…”

…tetek lo borju?

Hayat mengamati dua titik dan sebuah garis melengkung pada puncak bulat benda tersebut. Benda itu tidak terlihat seperti itu sama sekali. Pakek rok pulak. Dan Jeki hendak menggantungkannya di bawah atap jendela. Ada tongkat melintang di sana yang sejatinya ditujukan untuk jemuran.

Freak. Liuk lampai uap mengepul dari mulut Hayat yang terbuka sedikit sementara matanya mengerling.

Kesalahan ketigamu adalah sebentar lagi kamu akan membunuh dingin… dan embun. Kamu adalah benda paling tegaan yang pernah diciptakan Tuhan.

“…biar hari ini cerah lagi…”

Dahi Hayat berkerut. Sosok Jeki raib lalu mencuat lagi sebagian dengan ransel di pundak. Laki-laki berkacamata itu melambaikan tangan. Matanya menyipit. “Pamit dulu ya.”

Hayat tidak menjawab. Jeki keburu mengunci jendela. Seakan pandangannya dapat menembus dinding, bola mata Hayat mengikuti gerakan Jeki, hingga tetangganya itu mengunci pintu ruangan, menyusuri lorong, lalu menuruni tangga…

Lirikannya pada matahari kini penuh benci.

Saya enggak peduli lagi sama kesalahan-kesalahan kamu selanjutnya. Saya bakal melenyapkan kamu.

Hayat meletakkan cangkir di meja terdekat. Lalu sebelah kakinya menjejak lantai beranda mini di muka jendela, disusul sebelah kaki yang lain. Selanjutnya, ia meniti jejeran genteng yang memisahkan berandanya dengan beranda Jeki. Telapak kakinya melangkah miring, selekat mungkin dengan dinding. Begitupun telapak tangannya yang menempel erat, menggeser sedikit demi sedikit. Ia tidak mengacuhkan orang-orang di bawah sana yang mulai ngeh akan aksinya.

Jemarinya nyaris menggapai benda putih di bawah atap jendela Jeki ketika mendadak permukaan yang dipijak kakinya menjadi licin. Sontak tubuhnya merosot lantas bergemelatakan pada permukaan genteng yang menurun. Pagar kosan yang lancip-lancip siaga menancap tubuhnya. Crat.

Hayat bergidik.

Sekiranya ada cara yang lebih cerdas untuk mati.

Ia mengamati si tetek borju itu lagi lalu membayangkan bola pingpong yang dibungkus sapu tangan putih. Pengikatnya menggunakan benang, setidaknya itu akan tampak lebih elegan ketimbang rafia. Sedangkan tambang, selain terlalu besar, lebih pas untuk menggantung lehernya ketimbang leher boneka itu.

Ia mengubek-ubek segala laci di ruangannya. Ia tahu ia tidak akan menemukannya. Ia tidak suka main tenis meja. Ia lebih suka menampung sesuatu dengan tisu ketimbang sapu tangan. Dan untuk apa ia punya benang kalau ia bisa minta orang lain menjahitkan?

Ia hanya menemukan sebuah kok. Dengan spidol besar, ia membubuhkan dua titik pada tepi bagian bulat benda tersebut. Ia memandang hasil kerjanya cukup lama sebelum menorehkan tanda kurung—kurung buka—di bawah dua titik. Tercenung sebentar, ia guratkan lagi tanda kurung dengan sudut—kurung tutup—di atas dua titik. Kini koknya sudah tampak siap berperang.

Lalu ia keluar kamar. Ia mengetuk setiap pintu untuk menanyakan pada penghuni demi penghuni apakah mereka memiliki kok. Sembari menunggu tanggapan, ia meneliti keranjang sampah sekiranya ada kok mendekam di situ. Pada satu kesempatan, seorang tetangga memiliki sebuah tabung kok yang penuh terisi. Hayat menukarnya dengan lembaran biru. Kurang? Bagaimana dengan yang merah—yang ada gambar duo proklamator?

Ia juga tidak lupa minta benang. Jarumnya tidak usah, terima kasih.

Kembali ke kamar, ia menyiapkan barisan serdadunya. Berulang kali ia mengikat leher kok dengan benang, lalu melepaskannya lagi. Ia bertanya-tanya mengapa para serdadunya selalu tampak seperti berdiri ketika digantung. Ia mulai merasa mereka mengkhianatinya… sampai ia menemukan cara untuk menggantung mereka secara terbalik.

Dengan jemawa ia melirik benda Jeki yang tersenyum hampa kala dipermainkan siliran.

Serdaduku ada serenteng!

.

Beberapa minggu lalu

Separuh nyawa Hayat menahan tanggul yang hendak jebol. Di kampus, tempat sampah kena hantamnya. Adik-adik angkatan tercelus dalam seringai. Kawan-kawan sok asyik terpana akan geraman. Para penumpang angkot mendapati wajah mengerut. Masuk kamar, pintu diempas dalam kosen. Tangan menjungkirbalikkan tempat tidur sementara kaki menendang meja sampai tersungkur.

Sebelum menghancurkan semesta, ia akan menghabisi para penunggu kamarnya terlebih dulu. Ini akan menjadi panas yang berkepanjangan.

Hanya dengar tarikan napas yang menggebu-gebu, lemari sudah keder. Ialah korban selanjutnya, apabila cermin tak menyelamatkannya dengan memantulkan wajah yang memerah. Hayat tersentak mendapatkan basah telah merajah.

Setelah mengunci pintu, ia tersengguk di balik kasurnya yang melunglai. Sungguh, ini bukan perkara balon hijaunya telah meletus. Kini ia paham maksud Ayud mengalungkan syal ungu padanya. Ungu itu warna janda, kendati Hayat pria. Lalu dengan bersahaja, gadis itu berlalu tanpa kata.

Seseorang sudah pernah memberitahunya. Jika air surut, tsunami akan melanda. Ketika cerewet tak lagi jadi tabiat Ayud, itu adalah pertanda. Kendati itu sudah terjadi beberapa kali, ketika tiba yang terakhir kali, badai dahsyat akan terjadi.

Selalu dalam senyum tatkala perempuan itu meminta perpisahan. Hanya sekilas riak pada wajah Ayud saat mengucapkan, setelah itu tiada terkilan. Hayat selalu menganggapnya gurauan. Bagi Hayat, pinta itu bukan kenyataan. Bagi Ayud, itu pengingkaran.

Empat tahun itu tidak sebentar, menurut Hayat. Ayud menyetujui.

Bagi Hayat, itu cukup untuk menumbuhkan niatnya mengikrarkan ikatan ini dalam jalan yang suci kelak. Orangtua Hayat sudah mengenal Ayud, begitupun orangtua Ayud pada Hayat. Resepsi tidak usah ramai-ramai. Jumlah anak perempuan dengan anak laki-laki harus seimbang, berapapun totalnya. Rumah mereka bakal bergaya art deco.

Namun bagi Ayud, itu cukup untuk memahami bahwa hubungannya dengan Hayat ternyata tak tersurat dalam takdir.

Seketika, bayangan akan masa depan memburam.

Memangnya demi apa Hayat beli gitar, ikut kursus gitar jaz, sampai gabung ke unit jaz di kampus segala, padahal Hayat lebih fasih mengecup harmonika kendati baru khatam dua lagu. Demi apa Hayat sendu tiap malam supaya lekas piawai mengimprovisasi blue notes. Dan ketika akhirnya Hayat berhasil menamatkan buku Memahami dan Menikmati Jazz-nya John F. Szwed setelah empat tahun, ini yang Ayud lakukan padanya. Belum pengorbanan lain yang Hayat tak pernah ingat saking tulusnya ia berikan.

Dulu Ayud bilang, melihat wajah Hayat seperti melihat matahari yang menerangi hari, sesuai nama sejati Hayat—Rahayy. Ra itu dewa matahari bangsa Mesir, kata Ayud, iih… masak arti namanya sendiri enggak tahu... –sikap manja itu amat memerihkan ketika diingat kini. Tapi Hayat lebih suka dipanggil Hayat, ketimbang Rahayy dipelesetkan jadi Rahayu.

Kini Hayat ingin tahu apakah Ayud pernah melihat hujan. Hujan yang tak peduli apakah langit masih digayuti matahari, sebagaimana Ayud sendiri. Lalu pada hari-hari itu, matahari akan terasa dingin seiring hujan yang kian kencang. Membentuk siklus berdasarkan cepat-lambatnya. Hingga sepanjang waktu. Selamanya. Tak bisa berhenti.

Tapi setiap orang tahu, seorang pria tidak selayaknya menangis. Hayat berharap bendungannya baru ambruk begitu ia sudah dalam kamar tadi. Dan ia tidak akan membiarkan siapapun, apalagi Ayud, melihat hujan di wajahnya.

.

Kembali ke hari ini

Hayat tidak menghitung, sudah hari keberapa ia menghabiskan waktu dengan tidur. Kadang ia memainkan lagu-lagu blues dengan gitar atau harmonikanya, tapi tak ada yang tuntas. Kuliahnya yang sudah jarang-jarang, semakin ia abaikan. Ia lupa kapan ia terakhir kali membuka folder yang isinya, umumnya orang-orang menyebut, skripsi, atau tugas akhir, apalah. Ketika mendapati hanya sunyi yang mengisi udara, ditambah matahari nyata tak menggubris ancamannya, ia mengeluh. Persediaan segala makan-minum serba instan di kardus pun nyaris melompong.

Ia coba mengisi waktu dengan membaca buku. Kata sebuah majalah, buku bisa menggusah kegalauan. Ia menyeret novel Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia. Kawan-kawannya merasa diri mereka lebih keren saat mereka membaca novel tersebut.

Gaya berceritanya memikat, Hayat menikmati, namun setelah Minke bertemu Annelies, dan Annelies menaruh harapan pada Minke, Hayat tak sanggup melanjutkan. Ia yakin Annelies jauh lebih cantik daripada Ayud. Ia yakin pula dirinya jauh lebih ganteng dari Minke, pun dari kekasih Ayud yang sekarang. Tapi mengapa Ayud mengira akan menghabiskan hayat (dan menghabisi Hayat) dengan si begundal itu. Hayat merasa bagai Robert Mellema yang gemar mencemooh Minke lalu Annelies balas mengata-ngatainya—begitulah memang yang terjadi antara ia, si Tomsek—Tommy brengsek, dan Ayud.

Mencegah dirinya agar tidak tersedu sedan, Hayat mengambil setumpuk komik Doraemon. Kebersamaan Nobita dan Shizuka di masa depan menyayat hatinya, lagi.

Menyelesaikan persamaan diferensial dalam buku teks Kalkulus ternyata dapat menenteramkannya. Tapi dayanya terlalu lemah untuk menyalakan lampu ketika gelap menerjang.

Lalu malam kembali jadi malam.

Sebenarnya Hayat sudah tidak tahan mendekam dalam kamar. Hingar bingar kampus sudah ia rindukan. Tapi status perasaannya masih rawan. Wajah kuyunya akan tersiarkan. Apalagi kalau berpapasan dengan sang mantan, ia bakal makin tak keruan. Harga dirinya dipertaruhkan. Rasa ini terlalu sakit untuk dijelaskan, hingga kata-kata pun angkat tangan.

Kendati ia berupaya untuk tidak menunjukkan, keadaannya tetap diketahui orang-orang. Adiknya, para tetangganya, kawan-kawannya, bapak kosnya, ibu warung langganannya, telah mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun seolah telah jadi ritual bagi hujan untuk bertandang setiap malam. Sementara hujan turun, Hayat bertanya-tanya mengapa hujan tidak turun di luar saja, jangan di mukanya. Dan mengapa hujan ini tak kunjung berhenti… Apakah sedang bulan Januari[1] di mukanya?

Masih tujuh belas tahun usianya saat ia terpikat Ayud untuk pertama kali. Remang-remang senja kala itu membikin kenangan itu selalu tampak sephia dalam ingatannya. Mereka menunggu angkot bersama-sama di depan Gelanggang Taruna lalu berkenalan. Masih dalam seragam sekolah, Ayud bilang ia habis dari rumah temannya. Hayat mengaku baru selesai latihan karate, padahal ia tidak pernah ikut latihan bela diri apapun sebelumnya. Tapi kini Hayat sudah punya sabuk cokelat…

Selama pendekatannya pada Ayud, Hayat mencari tahu apa yang Ayud suka dan menunjukkan pada Ayud bahwa ia menyukai hal yang sama. Itu bukan hal yang sulit. Itu bukan suatu kebohongan. Termasuk menjadi mahasiswa di kampus yang sama dengan Ayud, meski beda jurusan.

Bahkan ketika akhirnya Ayud mau menerima Hayat pun, pernyataan bahwa Hayat lagi tidak punya pacar bukan lagi kebohongan. Hayat berhasil meninggalkan yang empat bulan demi Ayud yang ternyata hanya empat tahun…

Hayat terkesiap ketika seseorang menggedor pintu kamarnya. “Yat… Yaaat…?” Ia menoleh ke sana kemari. Pikirannya menyuruh untuk lekas cari cermin, lihat bagaimana rupanya kini. Tapi refleksnya malah membuka kunci pintu. Begitu pintu terbuka, Hayat buru-buru memunggungi temannya seraya mengeloyor ke kamar mandi. “Masuk San…” tak lupa ucapnya.

Napas Hayat tertahan begitu ia mendapati matanya yang agak bengkak. Selebihnya rona merah mengisi beberapa bagian wajahnya. Ia menyemburkan air ke wajahnya itu, menggosok-gosoknya. Wajahnya terlihat lebih segar sesudahnya, namun tetap rada pucat. Ia pun melumuri wajahnya dengan pelembap. Mendingan. Tapi ia tidak tahu bagaimana cara mengempiskan bengkak. Gamang menyelinap.

Ia berharap Santosa tidak menyalakan lampu kamar supaya nestapa di wajahnya ini tak kentara. Setelah membasahi rambutnya, menggosok-gosoknya dengan handuk, lalu membiarkan handuk itu tetap di sana hingga wajahnya tak terlihat penuh, Hayat keluar dari kamar mandi.

Kamar benderang benar. Santoso sontoloyo.

Cengiran lebar tergurat di wajah Santosa sembari kakinya mendorong keranjang sampah dari bawah meja belajar Hayat. Keranjang itu saking penuh dengan remasan tisu hingga berjatuhan. Hayat merasa ada yang menonjok dadanya. Namun ia tidak akan biarkan Santosa merobohkan harga dirinya. Apapun yang akan Santosa lontarkan, ia akan menghadapinya dengan jantan. Pose duduk Hayat di kasur menunjukkan pertahanan. Ia menanti.

“Pantesan lo enggak pernah keliatan ngampus lagi, coli mulu sih kerjaannya.”

“Eheh iya… Kan yang atas garap yang bawah juga ikutan mikir.”

“Oah… Hahahaha… Emang kerjaan lo udah nyampe mana? Dicariin Pak Sabar tuh, katanya udah lama lo enggak ngadep-ngadep. Eh gua nyalain yah laptopnya.”

“Sok aja. Ya sampai situ-situ aja Broh.”

“Eh lo inget enggak sih, fungsi f dikatakan periodik tuh kenapa ya, yang di trigonometri itu…”

“…itu kan kalau ada p, yang persamaannya f dalam kurung x plus p sama dengan f x itu, buat semua x di daerah asal f.”

“Oooh… Yang periode f-nya itu bilangan positif terkecilnya p itu ya?”

“Iya.”

“Hiburan lo ditaruh di mana Broh?” Mata Santosa memelototi setiap ikon di layar laptop Hayat. Hayat mengambil alih tetikus. Santosa mengeluarkan harddisk external dari ranselnya. “Yang baru semuanya ya Broh?”

“Hah?”

“Iya. Ah lo betah ngamar terus kan pasti ada yang baru lagi, iya enggak Broh?”

“Oh…”

Semua untukmu, Santosa, asal kamu lekas enyah dari sini. “Nih, semualah Broh, biar nyenyak tidur lo entar.”

“Ah. Tengs Broh.” Santosa menepuk-nepuk punggungnya. “Anak-anak bilang lo galau abis gitu ditinggal si Ayud—“

“Ah udah lewat…”

“Si Kang Tommy jadi sering keliatan edar gitu di kampus.”

“Oh ya…”

Sekitar setengah jam kemudian, Santosa meninggalkan kamar Hayat dengan sukaria. “Aah, tengs Broh. Jangan kebanyakan coli lo, entar mandul,” kata Santosa sambil pakai sepatu.

“Gitu-gitu gua udah nyampe bab empat, Busuk,” dusta Hayat sekaligus sungguh-sungguh.

Seberlalunya Santosa, Hayat membuka kotak tisu baru. Kotak tisunya yang terakhir. Hayat menegakkan layar laptopnya. Dengan kaki, ia menyeret keranjang sampah pada posisi yang akan memudahkannya untuk memasukkan tisu-bekas-pakainya nanti ke sana. Ia mencari-cari sinyal wi fi. Pertemuannya dengan Santosa tadi benar-benar merangsangnya untuk menelusuri foto-foto gadis… gadisnya. Gadisnya yang sudah bersama laki-laki lain. Jika dulu media sosial menjadi sarananya menyalurkan kerinduan pada yang terkasih, kini sarana tersebut ia butuhkan untuk mencongkel sisa-sisa kepedihannya. Realitas virtual tetaplah realitas. Di depan foto Ayud bersama kawan-kawan Tomsek, dan tentu saja si Tomsek sendiri—si Tomsek merangkul Ayud, di suatu kafe yang bahkan belum pernah Hayat kunjungi karena harga menunya ngajak kere, Hayat membekap mukanya dengan lembar demi lembar tisu. Cairan kental dari lubang hidungnya mengucur tak henti-henti.

Gua bahkan udah lupa kapan terakhir kali gua coli Broh…

.

Hari ini harus berakhir

Semalaman Hayat berhasil membuat dirinya merasa lebih rileks. Dengan membayangkan Ayud, tentu saja. Dendamnya seperti terbalas. Mandi sebelum subuh sangat menyegarkan. Masih gelap ketika perasaan positif menyemburat di batinnya. Ia kangen menguar senyum dan berjalan di bawah matahari. Ia akan keluar kamar hari ini demi pasokan ransum dalam kamarnya.

Bahkan ibunya heran mendapati anaknya itu sudah terjaga begitu ditelepon. Sembari berpakaian, Hayat mendengarkan cerita ibunya lewat pengeras suara. Tentang sang kakak yang makin tidak betah di rumah. Tentang sang adik yang ingin menentukan sendiri jalan hidupnya. Ibu tak bisa terima itu semua. Tentang dirinya, “Sayang, udah nyampe bab berapa?” Ibu tahu kalau Hayat belum lama putus, tapi Ibu hanya menghendaki putranya itu lekas lulus.

Di beranda, ia mengudap susu cokelat terakhir sebagai sarapan. Jeki mengganti teru-teru bozu yang sudah kumal dengan yang cemerlang, sekalian menjemur cucian. Bikin Hayat ingat kalau ada yang harus ia cuci juga, tertinggal di kamar mandi.

Jeki tersenyum padanya. Hayat membalas.

“Bikin teru-teru bozu juga?” Tatapan Jeki beredar ke atas kepala Hayat.

Hayat mendongak. “He… Siapa yang nyangsangin kok ke sini ya? Banyak bener…” Ia mengambil rentengan kok terbalik tersebut. Ia mengangguk ketika Jeki pamit ke dalam kamar. Ia mengambil salah satu kok lalu memasang kembali sisanya ke tempat semula.

Ia pergi ke kampus sekitar pukul sepuluh. Seseorang di ruangan Pak Sabar memberitahunya kalau yang bersangkutan baru akan hadir setelah jam istirahat. Maka ia mengisi waktu dengan membolak-balik hasil cetak pekerjaannya selama berbulan-bulan ini. Puluhan lembar kertas tersebut sama sekali tidak membuatnya bangga. Namun itu bekalnya untuk menjadi anak paling dicinta Ibunda.

Ia menatap gadis di hadapannya dengan sayu.

“Hayat…” Suaranya masih semerdu dulu.

“Hei.. Selamat ya yang baru ditoga kemarin…” Hayat bangkit untuk menjabat tangan Ayud.

Tangannya juga masih selembut dulu.

Gadis itu tersipu-sipu. Hayat tergugu.

Pesonanya masih sama seperti dulu.

Hayat mengempaskan tubuhnya ke sandaran beton. Gadis itu memilih untuk duduk di hadapannya saja, tak di sampingnya. Mereka bertukar senyum seakan tidak pernah ada perkara di antara mereka.

Padahal sejak resminya perpisahan itu, entah sudah berapa kali Hayat sengaja memaki-maki si Tomsek di dekat Ayud. Bikin Ayud berang. Luka batin Hayat kian menganga. Ayud menaburinya dengan garam, lalu meneteskan cairan jeruk purut.

Seakan Ayud tak pernah menciptakan ritual baru dalam hidup Hayat.

Ah. Ritual. Tentu Hayat ingat. Ia mengeluarkan botol minum 1 L-nya. Tutupnya cukup besar hingga menyerupai gelas. Ia menuangkan isi botolnya ke sana, menyuguhkannya untuk tuan putri.

“Ah Hayat...” Ayud tampak malu. Hayat tersenyum pahit. Namun Ayud cicipi juga air dalam gelas-gelasan itu.

Hayat juga tidak memakai kendaraan bermotor ke kampus. Jarak antara kosannya dengan kampus relatif dekat. Maka ia menggunakan sepeda dengan model yang membuat Ayud bisa membonceng, baik di depan maupun di belakang. Dengan rendah hati Hayat mengungkapkan maksudnya pakai sepeda macam demikian bukan karena ia ramah lingkungan, melainkan ingin pamer kemesraan ke seantero kampus. Sekarang Hayat ingin menukar sepedanya dengan BMX saja.

“Udah jarang kelihatan di kampus, Yat, ngapain aja?”

“Yah… Lagi sibuk nyariin orang aja…”

“Nyariin orang?”

…yang bakal selalu ada di samping saya setiap saya bangun tidur.

“…iya… biasalah, proyekan dosen.”

Ayud manggut-manggut seraya menghabiskan isi tutup botol Hayat. Ketika ia meletakkannya di meja yang memisahkan mereka, Hayat menuangkan air lagi. Ia tidak tahan untuk tidak mengatakan yang sebenarnya. Ia juga tidak tahan untuk tidak membuat pipinya basah lagi. Tapi pria punya harga diri.

“Ayud…” Seseorang memanggil dengan lembut. Ia seorang dosen muda sekaligus konsultan di perusahaan bonafide. Ia piawai memainkan saksofon dan sungguhan menggemari John Coltrane. Anggota kehormatan unit jaz yang biasa tampil dalam pertunjukan serius. Ia membeli Nissan keluaran mutakhir dengan penghasilannya sendiri. Ketika melihat cincin melingkar di jari manis Ayud, Hayat tahu bahwa tidak lama lagi gadis itu akan diboyong juga ke rumah elit di kawasan utara kota. Segala kemapanan pria itu hanyalah kebrengsekan di mata Hayat.

…i just want someone to say to me no, oh, oh, oh I'll always be there when you wake, yea-ah you know I'd like to keep my cheeks dry today so stay with me and I'll have it made and I'll have it made and I'll have it made, oh lord no no you know I'm really gonna, really gonna have it made you know I'll have it made[2]

Ayud tidak menyentuh gelas-gelasan itu lagi. Setelah “dah, Hayat” yang bersemangat, gadis itu pergi dengan serpihan hati Hayat melayang-layang mengikuti lenggoknya.

Ke manapun kamu pergi, Hayat memandang cakrawala, ada seberkas mendung di sana, Hayat tertegun, senang memercik, ia mengeluarkan pisau lipat dari ranselnya lalu memotong bagian dari langit yang mengelabu itu seukuran kartu pos, saya akan mengirim ini ke sana. Mulai sekarang tidak ada lagi senja buat kamu, saya ganti sama mendung.[3]

Menjelang habis jam istirahat, Hayat sudah menanti di depan ruangan Pak Sabar. Ia duduk saja dan tidak tahu apa yang ia harus lakukan. Seorang teman perempuan melintas lalu berhenti ketika melihat sesuatu digantung terbalik di bagian luar ransel Hayat.

“Apa ini?”

Hayat berdecak seraya mencomot kok yang bermata, bermulut, dan beralis itu dari tangan Deya.

“Nungguin hujan ya?”

Hayat tak acuh.

“Aku bisa bikinin yang lebih bagus lo.”

 Hayat diam saja. Deya malah duduk di sampingnya. Hayat sedikit menjauhkan diri.

“Enggak usah nunggu hujan. Di kolam renang aja, sambil berenang, sambil...”

“Heuh?” Hayat sok tak mengerti apa yang cewek sok mengerti ini ucapkan.

“Iya… Kan sama-sama enggak keliatan.” Tepat ketika Hayat menoleh, Deya menunjuk bagian bawah mata.

Cara yang lebih efisien sebetulnya, tapi Hayat tidak bisa berenang.

.

Hari ini belum berakhir

Bagi mahasiswa angkatan atas, bertemu dengan sesama mahasiswa angkatan atas di kampus merupakan peristiwa langka yang harus dirayakan dengan setidaknya jabat tangan lalu basa-basi singkat, tak harus bernas, dan pasti mengesankan. Namun Hayat tidak ngeh bahkan ketika namanya sudah berkali-kali dipanggil.

“Mau ke mana Yat?”

“Ngejemput hujan…”

Ia tidak mau kelihatan begitu nelangsa, jadi ia mengucapkannya dengan pelan sehingga tidak ada yang dengar selain bakteri di sudut bibirnya.

Sore ini, satu lagi temannya akan disidang. Bagi yang bersangkutan, itu adalah momen menegangkan yang akan menyenangkan pada akhirnya. Namun bagi Hayat, menyakitkan tetap menyakitkan. Tak harus menunggu sidang, pertemuan dengan dosen sudah berupa pembantaian. Segala yang ia telah rancang selama ini ternyata tidak cukup layak untuk menunjang gelar kesarjanaan. Ia harus merombak total penelitiannya. Ia mungkin akan jadi mahasiswa terakhir yang diwisuda di angkatannya. Kalau ia punya senjata api, ia akan menembaki setiap sivitas akademika kampus ini sampai tak bersisa peluru di selongsong. Lalu ia pulang dan terisak-isak sepuasnya di bawah ketiak ayahanda.      

Namun selama kuning masih menyala, hidup adalah panggung sandiwara.

Sementara sepatunya menapaki aspal jalanan kampus, nanar matanya mengarah ke cakrawala. Di mana mendung bercokol, ke situ ia menuju. Ketika mendung makin menggurita, ia memotong setiap tentakelnya untuk ia kirim pada Ayud di manapun perempuan itu berada. Beberapa ia simpan dalam kantongnya untuk persediaan. Ketika ia tak ingin sendu sendiri di kamar, ia akan menutupi keapatisan matahari dengan menempelkan potongan tersebut di jendela.

Semakin kelabu, semakin cepat langkah Hayat. Semakin kelabu, semakin bagus menurutnya. Apalagi kalau ada petirnya.

Neng, bapaknya Zeus ya? Petirnya gede banget, sampe membelah hati Abang…

Ketika rintik menyentuh dahinya, ia hampir tak dapat menahan gemetar. Setiap rintik mencuatkan prahara, semakin ia tertunduk. Rintik demi rintik menjadi totol-totol pada permukaan pijakannya, termasuk rintik dari matanya. Sementara para pedagang sibuk menutupi barang-barang mereka, pejalan kaki mencari tempat berteduh, serta pengendara motor menggelar ponco, ia melangkah terus. Semakin cepat, apabila ruangnya beririsan dengan ruang orang lain.

Desing peluru langit merangkai ritme dalam pendengarannya. Menyelusup ke celah-celah pakaiannya, mengalir di permukaan kulitnya, dingin. Tapi itu tidak meredakan gemuruh yang menggejolak di dadanya. Mukanya tetap terasa panas.

Deru angin membuat perjalanan Hayat bagai pelarian. Terasa Ayud berada di belakangnya, meniru setiap gerakannya, seakan tak mau jejaknya dihapus hujan. Tega nian kamu Ayud, padahal di hatimu sudah ada gelombang pelangi, sementara di hatiku tidak pernah ada lagi matahari…

Angin menyeret hujan hingga menusuk-nusuk wajahnya, tangannya, bagai akupunkturis beraksi dengan seribu jarum. Lambat laun ia tak bisa membedakan hujan dari langit dan hujan dari matanya lagi, begitupun orang-orang yang mengamatinya dari tempat mereka berteduh. Hanya wajahnya yang berkerut-kerut menahan sengguk, lalu gigil.

Beginilah seharusnya pria jantan, menyembunyikan tangisnya dalam hujan!

Terengah-engah ia menyadari bahwa ia semakin mendekati pusat kota. Tetes demi tetes air mengalir dari tepi bibir ke dalam mulutnya. Di trotoar ia termangu sesaat. Berbagai kendaraan melesat di jalan raya yang relatif lebar, tak mau kalah dari dera hujan. Hayat terus berjalan. Beberapa meter lagi ia akan menemukan tempat duduk di taman balai kota. Semakin langkahnya maju, semakin beban di dadanya terasa menghimpit.

Ia tak hanya menangisi Ayud kini, tapi juga hidupnya. Hidupnya yang hanya untuk mendapat pengakuan dari orang-orang bahwa ia telah menjadi bagian dari mereka. Bagian dari orang-orang yang lulus perguruan tinggi bonafide, orang-orang yang berpenghasilan menjulang, orang-orang yang punya kekasih, orang-orang yang gaul, orang-orang yang dibanggakan orang-orang…!

Di bangku taman, sengguknya semakin keras. Berkat Ayud, ia sempat merasa menemukan yang sejati dalam dirinya. Berawal dari kepura-puraan menyukai jaz, sebagaimana Ayud mencintai jenis musik itu dengan sangat, Hayat menyadari bahwa dirinya mungkin berbakat dalam jaz. Ia telah mengarang beberapa komposisi, beberapa orang telah mengapresiasi, namun itu tidak berarti apa-apa. Bermain jaz memang mengasyikkan, namun segiat apapun ia berlatih, itu tidak membuatnya lebih hebat dari kebanyakan orang di unit jaz. Keluarganya pun tidak menganggap itu dapat menghidupinya kelak.

Dan semakin ia mempelajari jaz, semakin ia menyadari bahwa ia begitu bodoh. Entah sudah berapa lembar tisu terbuang hanya untuk mengelap liurnya dari harmonika yang tak kunjung jago ia mainkan. Butuh berapa tahun sih untuk jadi semahir Howard Levy?

Kini Ayud telah menemukan pemain jaz yang lebih piawai. Dan Hayat tidak usah berpura-pura memahami permainan John Coltrane lagi. Sebelum bertemu Ayud, dari ranah jaz Hayat cuman tahu Maliq & D’essentials dan itupun Hayat tidak suka.

Tahu-tahu Hayat mendapati tangisannya terdengar makin jelas. Telapak tangannya lepas dari wajah. Peluru air tak lagi menghunjam kepala dan luruh ke tubuhnya, melainkan pada kubah kecil tak jauh di atasnya.

Di bawah kubah itu pula, seorang pria berambut bihun memandanginya. Mantel tebal membungkus tubuhnya yang tidak terlalu besar.

“Hujan-hujanannya jangan di sini yuk. Di sana aja, yang lebih terang.” Pria itu menunjuk halaman balai kota yang tak ternaungi pepohonan.

Tapi… tapi… tapi… pilu ini belum habis…

Begitu pria itu menyentuh punggung, seketika Hayat tergiring bagai kerbau tercocok di hidung. Begitu mereka berjalan, lengan pria itu belum juga lepas. “Siapa namanya?” tegur ramah pria itu.

“Hayat,” ucap Hayat agak tersendat. Pikirannya kalut menimbang untuk tetap bersama atau kabur dari situasi memalukan ini. Merasa dirinya bakal dibawa ke tempat di mana orang-orang lain juga berteduh, Hayat jadi panik. Ia takut hujan tak cukup menyamarkan bekas tangis di wajahnya. Biar bapak ini saja yang tahu, jangan orang lain.

“Sebenarnya enggak apa-apa kalau Adek mau hujan-hujanan. Malah kalau anak kecil suka hujan-hujanan, gedenya jadi enggak gampang sakit.” Sebetulnya Hayat baru sekali ini hujan-hujanan. “Tapi Bapak sih takut aja kalau…”

…terdengar gemerisik cukup panjang disertai suara benda berat memukul bumi…

“…kejadiannya kayak gitu…” Bapak itu menoleh, lalu ikut membalikkan badan sebagaimana Hayat yang ingin melihat akibat peristiwa tersebut dengan lebih jelas. Bangku yang ia duduki tadi tak terlihat lagi karena tertutup batang yang semula menjulang di belakangnya. “Entar namanya bukan Hayat lagi dong, tapi mayat hahaha!”

Hayat dibawa ke pos jaga, bersama beberapa pria lain, kepulan asap, dan bergelas-gelas kopi. Ia mengambil jarak dari mereka, berlagak hendak menafakurkan hujan saja. Pelukan dingin pada tubuhnya mulai terasa menyiksa. Ia basah sebasah-basahnya, sampai ke lapisan paling dalam.

“Kopi, Dek?”

“Rokok?”

“Sini ikut gapleh yuk!”

Dry clothes, please…” ingin sekali Hayat berkata begitu. Ia mengamat-amati bantalan jemarinya yang mengerut, demikian pun buku-buku jarinya telah memucat.

“Seneng hujan-hujanan ya Dek?” Pria yang menolongnya tadi menyodorkan segelas kopi. Asap melenggok dari permukaannya. Hayat menghirup aroma cairan tersebut dengan hikmat. Tegukan demi tegukan terasa begitu hangat di kerongkongannya lantas memuaikan uap. Telapak tangannya memeluk gelas itu erat-erat kemudian. Ia bersyukur giginya tak jadi bergemeletuk.

“Iya Pak,” angguk Hayat. Saya senang hujan, apalagi hujan yang turun langsung dari lubang di bawah kelopak mata saya…

…saya senang ketika keadaan jadi rumit. Bapak mungkin enggak ngerti. Tahu enggak Pak, saya juga senang mendengar kabar buruk. Enggak tahu kenapa, rasanya enak aja ketika perasaan saya jadi sedih, ketika hal-hal berjalan enggak sesuai seharusnya. Kalau Bapak punya cerita nestapa, bagi-bagi aja ke saya.

Saya sukanya denger lagu-lagu blues—yang sendu-sendu. Saya cuman senyum kalau hati saya lagi gelap. Saya merasa nyaman sekali pas lagi enggak ada matahari. Saya enggak lagi meracau lo Pak. Itu emang udah jadi obsesi baru saya...[4]

…makanya baru hari ini saya keluar...

.

Hari ini pun berakhir

Hujan belum tuntas betul namun Hayat sudah berpamitan. Ia keluar dari pos jaga dengan langkah-langkah ringan. Ia harus mengendalikan gerakannya agar tidak menjelma tarian. Entah mengapa ia merasa tidak ada yang harus ia khawatirkan. Selama hayat dikandung badan, ia masih punya harapan. Berjibun halangan memang merintang di jalan. Tapi kini ia tak lagi membenci matahari, karena sinarnyalah yang membiaskan hujan jadi pelangi. Karena menurut kitab yang ia baca di kala insaf, yang kering, yang mati, dihidupkan-Nya melalui hujan hingga menumbuhkan kenikmatan. Hujan pun menyingkirkan kesia-siaan. Kemarilah awan kelam, guntur mencekam!

Betapa menyenangkannya halusinasi ini…

…di sela-sela panasnya sekujur tubuh bak tengah disetrika. Lalu ada sepasang tangan tak terlihat yang memutar-mutar kepalanya.

Hayat sudah mandi. Pakaiannya pun kering. Tapi yang ia mampu lakukan hanya berbaring. Topan berkecamuk dalam perutnya. Ia lupa belanja. Kesadarannya seakan menguap berangsur-angsur… timbul lagi… lamban laun tenggelam… meruap lagi… lalu terpendam… kembali merebak.

Seseorang mengetuk pintu. Mungkin itu orang pertama yang akan menyalatkannya…

“Yat… Boleh masuk enggak?”

Hayat seperti mengenal suara itu. Suara tetangganya…

“…masuk…aja…” Hayat tidak tahan mendengar ketukan di pintu lama-lama. Jenis suara tetangganya itu juga bukan jenis suara yang disukainya. Untuk saat ini ia hanya merindukan suara ceweknya, ah, mantan ceweknya… belaian kasih…

Jeki termangu di muka pintu. “Kamu kenapa Yat?”

Hayat memejamkan mata dalam-dalam sebelum memaksakan dirinya untuk bangkit. Seperti ada benda berat yang berguling di dalam kepalanya. Tunduklah ia. “Jek.”

“Iya?”

“Bagi pop mi dong.”

Hayat terkapar lagi di kasur, namun pikirannya masih bisa menghitung sampai 180. Tepat tiga menit. Butuh beberapa menit lagi bagi Jeki untuk mempersembahkan segelas mi seduh ke singgasana Hayat. Jeki juga membuatkan untuk dirinya sendiri. Kehadiran sebungkus belut kering amat patut disyukuri. Tak ada sang juwita, tetangga pun jadi. Ternyata tetangga bukan sekadar orang yang tinggal di sebelah.

“Makasih ya Jek…” ujar Hayat dengan pipi gembung.

Jeki mengangguk. “Nyantei…”

Kata Jeki lagi, “Sebenernya tadi sore saya ngeliat kamu di taman balai kota.”

“O ya?”

“Iya. Tapi saat-saat kayak gitu… ya... saya ngerti jugalah kalau enaknya enggak digangguin. Ya udah saya biarin aja. Eh enggak tahu juga malah bapak-bapak yang nyamperin…”

“Iya… Malah ada pohon tumbang segala…”

“Seriusan?”

“Kamu bukannya ada di situ?”

“Iya, tapi pas kamu dateng, saya udah mau pergi.”

“Oh.” Hening sebentar. “Ngapain Jek, kamu di situ?”

“Kamu ngapain?”

Pertanyaan yang salah. Hayat harap Jeki tak mengungkitnya lagi.

“Makanya saya pasang teru-teru bozu, Yat.”

“Kenapa gitu?” Hayat menyeruput kuah mi lagi.

“Kalau hujan,” ucap Jeki dengan lamban, “bawaannya jadi cemen mulu…”

“Oh.”

“Jadi kebiasaan.”

Sepertinya Jeki sudah jauh lebih sering patah hati.

“Yang pertama emang berat Yat. Tapi itu baru pertama. Seharusnya kamu ngehindarin tempat yang ada pohonnya Yat, apalagi kalau lagi hujan deres banget gitu, kecuali kamu bener-bener desperate.”

“Oh.”

“Sesuatu itu terjadi lebih karena ada kesempatan Yat, enggak mesti karena niat.”

“Oh.”

“Iya. Besok pagi saya mau pasang teru-teru bozu lebih banyak.”

“Oh… Oke. Saya bakal nurunin yang punya saya.”

Dalam pembaringannya malam itu, gelombang panas masih menerpa muka Hayat kala ia ingat nasibnya. Tapi ia tidak sampai terisak. Ia tidak tahu mengapa. Mungkin itu karena kepalanya terlalu berat. Hayat menyangga kepalanya tinggi-tinggi. Ia gulung pula tubuhnya dengan berlapis-lapis sarung dan selimut. Tidak bernafsu lagi membayangkan Ayud. Demam ini membuatnya serasa mau mati. Kalau mati kan sudah tidak ada apa-apa lagi, termasuk Ayud. Hanya gelap, gelap kamarnya.

.

Esok ternyata masih ada

Hayat mengayuh sepeda ke taman balai kota. Ransel gembung melekat di punggungnya. Di dalamnya terdapat bingkisan untuk bapak penjaga taman. Sekadar wafer, kopi, dan beragam nyamikan lain untuk teman kongko di pos jaga. Entah apakah mereka masih ingat wajahnya setelah berhari-hari lalu.

Hangat yang membelai wajah tak lagi jadi soal bagi Hayat. Kendati sudah amat terang pagi itu, ia belum merasa gerah dalam jaketnya. Apalagi ketika ia sudah memasuki kawasan taman yang rindang oleh pepohonan dewasa.

Dari kejauhan, ia melihat beberapa orang berkerumun dekat sebuah pohon. Sepertinya akan ada pemangkasan. Seorang pria menaiki pohon dengan beberapa benda tajam menempel di tubuhnya. Tali dialungkan pada salah satu dahan. Pria itu mengayunkan kapaknya berkali-kali pada pangkal hingga bagian dalam kayu menyeruak.

“Pohonnya dipangkas ya Pak?” tegur Hayat pada salah seorang pria.

“Iya. Ini banyak yang patah gara-gara hujan kemarin. Ya sekalian dibersiin aja pohonnya. Yang gampang patah disingkirin juga.”

“Hm… Dibersiin semua ya Pak…”

“Ya enggak semua. Supaya enggak bahaya aja. Nanti juga pohonnya jadi lebih bagus pertumbuhannya.”

Oh. Begitu ya cara menangani benda patah, Hayat termenung. Ia merasa sejuk menitik kepala. Ia mendongak ke sana kemari. Mungkin gerimis datang lagi.

“Kenapa?”

“Dikirain ujan Pak.”

Mata bapak itu mengerling ke atas. “Yah namanya juga abis hujan. Tapi kebetulan ini juga pohon ki hujan.”

“Ki hujan?”

“Iya. Makanya disebut ki hujan, pohonnya suka netesin air, kayak hujan.”

Hayat mendongak lagi. Kali ini ia menyadari bahwa bentangan tajuk pohon itu sungguh lebarnya. Daunnya kecil-kecil dan berbentuk tak simetris. Dahannya bergelung-gelung bak dedalu perkasa di halaman Hogwarts. Diameter batangnya mungkin lebih dari satu meter.

“Dulu ada yang ditanam pak walikota, tapi terus tumbang.” Bapak itu menunjuk ke satu arah. Memang ada bekas bonggol pohon di sana.

“Tapi yang ini besar banget ya Pak.”

“Iya mungkin sudah puluhan tahun umurnya… Banyak di sini pohon kayak gini. Tuh di sana ada. Di situ juga.” Bapak itu menunjuk ke banyak arah.

Setelah merasa cukup waktu berdiri di situ, Hayat izin untuk lalu. Tapi sebetulnya ia hendak menuju pohon serupa yang letaknya agak jauh dari kerumunan itu. Dengan menghapal ciri-ciri pohon tadi, ia mencari pohon lain yang ia anggap memiliki ciri-ciri serupa. Ia hanya ingin tahu bagaimana rasanya duduk di bawah pohon tersebut, bahkan berbaring.

Di bawah satu pohon yang ia temukan, hamparan rumput yang terpangkas pendek membentang. Seolah menyambutnya. Basah merembes ke balik pakaiannya saat ia duduk di sana. Ia mendongak, mengamat-amati, untuk memastikan apakah ia sudah berada di bawah pohon yang benar. Ia temukan ruang yang nyaman untuk menyandarkan tubuhnya.

Ia masukkan nama pohon tersebut dalam mesin pencari di ponsel. Dua puluh delapan juta ton karbon diserap pohon ini per tahunnya. Luar biasa. Ia yakin pohon inilah yang umumnya ia temukan di kawasan hijau kota, menaungi pejalan kaki di bawahnya dari terik durjana matahari, membiarkan kehidupan terhirup dari setiap sel di permukaannya. Dan nama pohon itu adalah pohon hujan.

  

(creedence clearwater revival – “have you ever seen the rain”, slam – “gerimis mengundang”, the temptation – “i wish that it would rain”, blind melon – “no rain”, travis – “why does it always rain on me”, a-ha – “crying in the rain”, aphrodite’s child – “rain and tears”, peter pan – “menghapus jejakmu”, the cascade – “rythm of the rain”, garbage – “only happy when it rains”, gene kelly – “singing in the rain”, johnny nash – “i can see clearly now”. March 2nd, 2012)



[1] Konon Januari itu kepanjangan dari hujan turun sepanjang hari

[2] Blind Melon – No Rain

[3] Ya. Seno Gumira Ajidarma.

[4] Garbage – Only Happy When It Rains

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain