Judul : Galaksi
Kinanthi
Pengarang : Tasaro GK
Penerbit : Salamadani,
Bandung, 2009
Kinanthi adalah seorang anak dari Gunung Kidul. Di dusunnya,
ia kerap mengalami penolakan dari masyarakat karena bapaknya yang penjudi serta
ibunya dianggap baulawean[1].
Dalam kondisi seperti itu, hanya Ajuj yang mau menemaninya. Dan hanya Mbah
Gogoh pula yang mendukung hubungan mereka.
Selepas SD, Kinanthi ditukar orangtuanya dengan 50 kg beras.
Ia sempat mengenyam pendidikan SMP sekaligus jadi pembantu di rumah Pak Edi dan
Bu Eli di Bandung. Namun nasib Kinanthi tetap tragis, bahkan kian menjadi-jadi.
Sahabat satu-satunya, Euis, menjadi korban kriminalitas. Kematian cowok yang
menyukainya, Gesit, membuat Kinanthi dikeluarkan dari sekolah. Setelah beberapa
lama dikurung dalam rumah, Kinanthi dikirim ke Arab Saudi sebagai TKW.
Di jazirah para nabi, Kinanthi mengalami penyiksaan
bertubi-tubi. Ia harus bekerja keras, mendapat perlakuan tak menyenangkan,
hingga nyaris diperkosa. Ia pindah dari satu majikan ke majikan lain. Namun
Kinanthi masih punya keberanian. Ia menyimpan pisau buah dalam gamisnya untuk
mengancam orang yang hendak berlaku tak senonoh padanya. Ia meninju dahi wanita
yang berbuat kasar padanya. Entah berapa kali ia melarikan diri. Sesekali ia
bertemu orang baik seperti Pak Doelahadi dan Borte, namun nasibnya baru berubah
ketika ia ikut hijrah ke Amerika bersama
sebuah keluarga dari Kuwait.
Di Amerika, penyiksaan belum berhenti, bahkan semakin parah. Kinanthi
menjadi bulan-bulanan beberapa keluarga Arab sekaligus. Puncaknya, ia berhasil
diperkosa dan hamil. Ia pun melarikan diri ke sebuah masjid. Ia ditolong Arsy,
seorang wanita dari Mesir, lalu Miranda, interpreter dari Indonesia. Ia dibawa
ke pengadilan imigrasi yang kemudian membebaskannya dari lingkaran setan
tersebut. Kinanthi menjadi warga Amerika.
Dalam belasan tahun, Kinanthi bermetamorfosis menjadi Prof.
Kinanthi Hope, Ph. D. Usianya belum mencapai kepala tiga, namun ia sudah
menjadi guru besar di suatu universitas. Ia juga menulis buku-buku best seller yang membuatnya dijuluki Queen of New York. Rumahnya saja seperti rumah Keanu Reeves dalam film Lake House.
Dalam kegemilangan tersebut, hati Kinanthi tak tenang. Ada
kenangan masa kecil yang selalu mengganjal di sana. Kenangannya bersama Ajuj.
Ajujlah yang selalu ia ingat kapan pun di mana pun. Sejak meninggalkan Gunung
Kidul hingga bersekolah di Amerika, Kinanthi telah mengirim 113 surat pada
Ajuj. Tak satupun terbalas.
Demi menjawab gejolak hatinya tersebut, Kinanthi kembali ke
Indonesia. Dulu Kinanthi adalah gadis desa nan pemalu, tapi kini ia wanita modern
yang sangat bergaya dari Amerika. Apakah Kinanthi berhasil menemukan Ajuj?
Bagaimana keadaan Ajuj kini? Akankah kegamangan hati mereka selama ini mencapai
muaranya? Bagaimana dengan Zhaxi—editor
yang telah membesarkan nama Kinanthi—yang diam-diam mendamba Kinanthi?
***
Kinanthi adalah pusat dari cerita ini. Ia mengalami
pengembangan karakter yang baik. Ia tidak melulu digambarkan positif dengan
kegigihan dan keberaniannya. Kita juga bisa merasakan kesombongannya ketika ia
kembali ke dusun. Karakternya mengingatkan saya pada karakter Nyai Ontosoroh
yang dikarang Pramoedya Ananta Toer. Keduanya berhasil mengangkat diri dari
keadaan yang hina menjadi wanita modern nan berkuasa. Kendati demikian, itu
tidak lantas membuat mereka jadi manusia yang begitu sempurna. Nyai Ontosoroh
tidak berhasil mendidik anak-anaknya. Kinanthi angkuh dan hampir-hampir tak
beragama. Dan kekuatan karakter Kinanthi ini setidaknya mengimbangi karakter-karakter
lainnya yang relatif kurang atau bahkan tak bergejolak.
Apalagi ketika dalam tiga halaman terakhir, plus bagian dalam
sampul belakang, pengarang novel ini mengungkapkan sejumput proses kreatifnya.
Rasanya seperti habis mengakhiri perjalanan jauh. Menuliskan kepadamu apa yang diceritakan Kinanthi sungguh menguras energi. Aku tidak terlalu mengenalnya, kecuali setelah hari-hari kami menjelajahi berbagai tempat di Gunung Kidul sambil kudengarkan setiap kerat cerita hidupnya.
…
…jika pada suatu pagi gerimis, bau tanah basah mengurai penciumanmu dengan romantisme dan engkau bertemu dengan keduanya di suatu tempat… tolong kabari aku segera. Aku sungguh ingin tahu…
Saya suka ketika seorang pengarang menganggap karakternya
begitu nyata. Seakan jejak kakinya juga tampak di tanah. Atau setidaknya, ia
terasa sungguhan hidup dalam benak sebagaimana yang dialami Budi Darma.
Jika kelakuan karakter bikin Budi Darma mengarang novel yang
alurnya rada ganjil, penataan adegan dalam Galaksi Kinanthi justru terkesan
dirancang rapi. Ada suspense terasa
di beberapa bagian.
Misal, saat Borte nan baik hati sempat bersinggungan dengan
Kinanthi di suatu pasar di Kuwait. Sebagai pembaca yang bersimpati, kita
berharap pertemuan itu akan berlanjut dengan Borte menolong Kinanthi yang
tengah melarikan diri dari majikan yang ke sekian. Namun setelah persinggungan
itu mereka malah tidak melanjutkan interaksi. Borte menyetop taksi sedang
Kinanthi entah ke mana. Sesaat kita kecewa (lalu
si Borte ini fungsinya apa sih?). Ternyata di bagian berikutnya, Kinanthi
memaksa masuk ke dalam taksi yang di dalamnya ada Borte. Hore.
Ketidakpastian juga melanda ketika Kinanthi dan Ajuj sudah
bersua namun ternyata Ajuj hendak dinikahkan dengan Sumarsih. Permasalahan
tidak lantas selesai. Kejadian demi kejadian mampir
bertubi-tubi hingga menggantungnya adegan terakhir.
Pengarang berhasil
membenamkan emosi para karakter ke dalam sanubari kita. Sesekali selera humor
pengarang menyembul dan bikin kita mendengus. Beberapa adegan terlampau
dramatis, tapi biarlah. Maka kita berangan-angan novel ini difilmkan. Endorsement-nya berasal dari nama-nama
yang wow pula, sebut saja Dewi “Dee” Lestari, Ahmad Tohari, Ahmadun Yosi
Herfanda, dan sebagainya.
Membaca novel ini ibarat mengendarai mobil di sepanjang
pantai pasir putih, sebut saja salah satu pantai indah di Gunung Kidul yang
fotonya ditampilkan di halaman belakang. Panoramanya bisa kita nikmati, namun
sayang jalannya tidak rata. Ada saja hal-hal mengganjal terasa di sepanjang
perjalanan. Hal-hal yang bikin saya menyimpulkan bahwa novel ini merupakan
contoh bagaimana ide yang wah digarap dengan kurang halus.
Natural, please!
Bayangkanlah dirimu menjadi anak SMP lagi—kelas 1 SMP
tepatnya. Kamu akan ulangan PPKn. Gurumu sudah menulis soal esai di papan
tulis. Kamu dan teman-teman sekelasmu tengah menyalinnya ketika guru lain
tiba-tiba masuk ke kelas. Apa yang kamu pikirkan ketika guru tersebut mengabarkan
pada kamu dan teman-temanmu sekalian dalam bahasa seperti ini, “Euis menjadi
korban kriminalitas di atas angkot sepulang dari Pasar Ujung Berung.”
Kiranya ia lebih tepat berprofesi sebagai penyiar berita di
TV ketimbang guru bukan?
Dan kebijakan mana yang mengizinkan ia menyela KBM, bahkan membuat ulangan ditunda (ayo teriak “hore”
lagi), hanya
untuk memberitakan peristiwa tragis ini—apakah Euis kepala
sekolah? Kenapa ia tidak menunggu sampai jam istirahat lalu mengumumkannya ke seantero sekolah lewat mikrofon di ruang TU? Atau mungkin ia juga bisa memberitakannya lewat kertas di papan pengumuman? Tapi begitulah kejadian
dalam Galaksi Kinanthi halaman 102.
Agak janggal juga bagi saya menyimak percakapan antara Ajuj
dengan Kinanthi maupun Kinanthi dengan Euis. Mereka bicara soal cinta, penyalur
pembantu rumah tangga, hak untuk digaji, apalah. Usia mereka masih awal belasan
tahun. Hal mana bikin saya bertanya-tanya, waktu
saya masih umur segitu emang saya sama teman-teman saya udah bisa ngebicarain
yang begituan ya? Ngerti apa? Atau mungkin juga intelektualitas saya serta
kalangan sebaya saya tidak setinggi para anak-anak dalam novel ini, pengalaman
pun tak seluar biasa itu.
Dialog yang bermunculan setelah Kinanthi jadi profesor terasa
lebih lucu lagi. Tapi biarlah kamu membacanya sendiri supaya kamu terhibur
secara langsung.
Anak SMP ngekos?
Gesit Setiawan adalah siswa yang bunuh diri setelah cintanya
ditolak Kinanthi. Ia kakak kelas Kinanthi. Saat itu mereka masih SMP, kalau
tidak salah tahun 1992. Gesit berasal dari Garut. Ia ngekos di Bandung. Ia juga
dibekali motor Tiger dan kunci vila di daerah Tangkuban Perahu.
Sewaktu saya masih SMP, ada teman sekelas saya—dari Garut
juga—yang ngekos. Tapi ia ngekos bersama kakaknya. Selain dia, saya tidak tahu
soal anak SMP ngekos. Kalau teman SMA sih banyak.
Makanya ini menakjubkan bagi saya. Bagaimanapun
Gesit hebat. Orangtuanya sudah berani ngekosin dia kendati usianya masih
sebelia itu.
Satire itu kata sifat?
Saya baru tahu kalau kata “satire” itu bisa digunakan sebagai
kata sifat, atau setidaknya menggambarkan suatu ekspresi. Ini tidak lazim
sehingga saya merasa janggal ketika mendapatkannya dipergunakan demikian dalam Galaksi Kinanthi.
Coba tengok beberapa.
Kinanthi tertawa kecil, satire. “Aku lupa. Mungkin kelas empat atau lima SD.” (hal. 307)
Ajuj tersenyum satire. (hal. 336)
“…Tentu Engkau tidak mudah percaya kata-kataku,” ada tawa satire, “tetapi aku sungguh-sungguh kali ini.” (hal. 399)
Zhaxi tersenyum. Satire kelihatannya. (hal. 416)
Tawa satire, “Tapi saya kira Anda tidak akan pernah sampai di sana meski saya menunggu sampai hari terakhir napas saya terembus.” (hal. 430)
Dalam KBBI elektronik yang saya miliki, satire adalah kata
benda. Dalam kesusastraan, satire adalah gaya bahasa yang dipakai untuk
menyatakan sindiran terhadap suatu keadaan atau seseorang. Satire juga bisa
berarti sindiran atau ejekan saja.
Memang kewenangan pengarang untuk bermain-main dengan kata,
meski saya rasa akan lebih baik jika pengarang dapat
menempatkan kata sesuai proporsinya.
Kinanthi oh Kinanthi
Di halaman 7, Kinanthi disebut sebagai profesor muda berlatar
pendidikan kedokteran, tapi menguasai hampir segala bidang perbincangan—apapun yang engkau obrolkan di ruang seminar
sampai ke coffee shop, demikian kata narator. Menyoroti latar pendidikan
kedokteran Kinanthi, hal ini ditunjukan pengarang melalui adegan Kinanthi
memberi kuliah di Universitas Washington dan Kinanthi memeriksa akibat dari
kecelakaan yang menimpa Ajuj di gunung gamping.
Apakah “berlatar pendidikan kedokteran dan menguasai hampir
segala bidang perbincangan” membuat uraian narator berikut ini bisa diterima?
…”Masih akan ada gempa susulan, tapi tidak akan sebesar yang pertama,” begitu kata Kinanthi memberi pengertian. Menurut pengalamannya. Menurut keilmuannya. (hal. 388)
Memangnya kedokteran
mempelajari kegempaan juga ya?
Pada intinya,
pengarang ingin menampilkan sebuah karakter yang mampu bangkit dari
keterpurukan dan menjadi hebat—sehebat menampilkan wilayah di berbagai bagian
bumi sebagai latar novel.
Saya kira sebetulnya
Kinanthi tetap bisa dianggap hebat meski ia hanya
seorang doktor dan beberapa bukunya best
seller—belum lagi pembawaannya—sebagaimana Dr. Temperance Brennan dalam
serial AS, “Bones”, tanpa harus digambarkan sampai sebegitunya, sampai bisa
menjadi guru besar dalam belasan tahun saja, sampai dijuluki Queen of New York,
sampai menguasai hampir segala bidang perbincangan, sampai novel percintaannya
terancam diganjar Pulitzer…
Penampilan Kinanthi
dalam novel ini bisa lebih baik tanpa pengarang harus memaksakannya untuk memahami
berbagai bidang. Pengarang cukup memahami betul satu saja, kalau bukan
beberapa, bidang yang menjadi fokus Kinanthi. Bagaimana Kinanthi mampu
mengaitkan bidang yang benar-benar dikuasainya itu dengan berbagai hal yang
umum justru menjadi daya tarik sendiri. Penampilannya pun bisa jadi bakal
terasa lebih natural.
Atau jangan-jangan
memang karakter Kinanthi sehebat itu sehingga pengarang dituntutnya untuk
mengimbangi? Wahai Kinanthi, kasihanilah pengarangmu, ia kewalahan. Beberapa
pembaca bisa merasakan betapa serangkaian narasi dan dialog ini sekadar tempelan,
yang akan terbang begitu angin berhembus.
Dan sebagai orang
yang besar di Bandung, lebaran di Jogja, lalu kuliah di Jogja, tapi KTP-nya
Bandung, saya amat terkejut dengan pernyataan ini.
…Dia baru sadar, sejak kemarin malam, dia telah terpisah jarak hampir seribu kilometer dari dusun kelahirannya.
Ini Bandung. (hal. 92)
Jarak Stasiun Bandung
– Stasiun Tugu saja tidak sampai 500 km kaleeee…
Memang jarak dari Stasiun Tugu sampai Gunung Kidul bisa sampai 500 km ya? Atau
dari Gunung Kidul Kinanthi dibawa ke Surabaya dulu baru ke Bandung?
Mungkin kita harus
mengeluarkan Zhaxi, sang editor "bertangan ajaib", dari dalam novel ini untuk
membenahi kerapuhan dunia yang membungkusnya. Namun terlepas dari segala
kejanggalan yang ada, rentetan informasi dan pemikiran yang juga menyerta dalam
novel ini merupakan bagian dari upaya pengarang yang harus kita hargai.
Permasalahan utama terletak pada bagaimana mengungkapkan detail-detail yang
telah dihimpun dari riset ke dalam bentuk yang senatural mungkin. Sebanyak
apapun pohon eboni yang kita miliki, kita tidak akan bisa bikin mebel yang
ergonomis tanpa kemampuan bertukang yang mumpuni.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar