Mengenakan fur—semacam penghangat leher yang
terbuat dari bulu hewan—merupakan tren bagi wanita pada tahun 1920-an, dan
belum dianggap sebagai suatu kejahatan. Miss Brill memiliki sebuah fur yang ia hendak kenakan untuk
menonton pertunjukan musik di taman pada suatu Minggu sore.
http://www.hatshapers.com/Old%20Postcards.htm |
Tidak biasanya tempat tersebut ramai dikunjungi orang. Sepasang
lansia duduk di bangku “spesial” Miss Brill. Miss Brill yang doyan menguping
kecewa karena pasangan tersebut tidak bicara pada satu sama lain, mereka
seperti patung. Minggu lalu suami-istri dari Inggris yang berada di tempat
tersebut. Istri mengeluh soal kacamata, yang dengan sabar ditanggapi oleh
suami. Bukan peristiwa yang mengenakkan juga bagi Miss Brill.
Miss Brill pun
mengamati orang-orang lain. Ia melihat orang-orang yang duduk di bangku, tampak
sama dari Minggu ke Minggu, aneh, pendiam, hampir semuanya tua, dan dari cara
mereka memandang mereka seperti berasal dari ruangan yang gelap dan sempit.
Ia juga melihat
bagaimana seorang wanita cantik menjatuhkan bawaannya, yang diambil oleh
seorang bocah untuk diserahkan pada wanita itu lagi, tapi wanita itu malah
membuangnya seolah barang tersebut telah beracun.
Seorang wanita
dengan topi ermine (sejenis cerpelai)
mendekati seorang pria. Wanita itu tampak senang dan mengajak pria tersebut
mengobrol, tapi sang pria malah mengepulkan asap rokok ke wajah tersebut lantas
pergi begitu saja. Wanita itu pun sendirian, tapi ia segera mendekati orang
lain dengan lebih ramah.
Miss Brill sangat
menikmati mengamati orang-orang, seperti sebuah pertunjukan drama. Semua berada
di atas panggung, termasuk dirinya. Ingatannya melayang pada seorang pria yang
ia bacakan koran setiap empat sore dalam seminggu, yang kondisinya sudah
seperti orang mati. Tapi tiba-tiba pria itu menyadari kalau selama ini wanita
yang membacakan koran untuknya adalah seorang aktris!
“Yes, I have been an actress for a long time.”
Seiring dengan band yang terus bermain, Miss Brill
membayangkan orang-orang turut bernyanyi.
Sepasang remaja
kemudian duduk di bangku “spesial” Miss Brill, menggantikan pasangan lansia
yang semula di situ. Sembari masih bernyanyi tanpa suara, Miss Brill
mendengarkan percakapan sepasang kekasih tersebut, bagaimana mereka
mengolok-olok fur yang ia kenakan.
Di perjalanan pulang
Miss Brill biasa membeli cake madu.
Kadang ia mendapatkan almond pada
irisan cake tersebut, kadang tidak. Keberadaan
almond baginya bagai sebuah hadiah
kecil, sebuah kejutan. Tapi hari itu ia melewati toko roti begitu saja,
langsung menuju kamarnya yang gelap dan sempit seperti lemari. Beberapa lama ia
duduk saja, sebelum melepaskan fur-nya
dengan cepat, tanpa melihat, lalu mengembalikannya ke kotak. Setelahnya ia
seperti mendengar tangisan.
***
Cerpen karya
Katherine Mansfield ini membuat saya ingin memainkan biola terkecil di dunia.
Bagaimanapun cerpen
dibuka dengan mood baik Miss Brill,
begitu seterusnya meski beberapa kali ia melihat hal yang tidak ia sukai,
hingga ia bertemu dengan sepasang kekasih yang membicarakan dirinya. Musik yang
dimainkan oleh band di taman tersebut
seolah menggambarkan suasana yang berganti-ganti.
Tapi beberapa detail
dalam cerpen ini menunjukkan bagaimana Miss Brill sebenarnya merupakan sosok
yang kesepian. Ia mengisi kekosongan dari hatinya dengan mengamati orang-orang.
She had become really quite expert, she thought, at listening as though she didn’t listen, at sitting in other people’s lives just for a minute while they talked round her.
Walaupun ia tidak
mengenal orang-orang tersebut, sehingga ia mendeskripsikan mereka dari apa yang
mereka kenakan.
Ia juga berusaha
menyangkal perasaan negatif dalam dirinya.
And when she breathed, something light and sad—no, not sad, exactly—something gentle seemed to move in her bosom.
…and it also explained why she had quite a queer, shy feeling at telling her English pupils how she spent her Sunday afternoons.
And what they played was warm, sunny, yet there was just a faint chill—a something, what was it?—not sadness—no, not sadness—a something that made you want to sing.
Bahkan di akhir
cerita pun ia menyangkal kalau ia yang menangis.
But when she put the lid on she thought she heard something crying.
Dan barangkali
keberadaan almond dalam cake, yang ia anggap sebagai
hadiah/kejutan, merupakan caranya untuk menghibur diri.
Pengarang bahkan
tidak menyebutkan nama depan Miss Brill sama sekali di sepanjang cerpen, seolah
menunjukkan bahwa Miss Brill tidak memiliki teman yang bakal memanggilnya
dengan nama tersebut.
Dengan demikian Miss
Brill begitu sayang pada fur-nya,
seolah benda tersebut adalah sahabatnya. Ia bahkan memanggil benda tersebut “little rogue”, yang mana kata tersebut
merujuk pada orang yang bersikap buruk namun tidak berbahaya, seperti seorang
pria. Barangkali Miss Brill merindukan seorang pria.
Miss Brill menolak
untuk teridentifikasi dengan orang-orang yang barangkali lebih menyerupai
dirinya…
Other people sat on the benches and green chairs, but they were nearly always the same, Sunday after Sunday, and—Miss Brill had often noticed—there was something funny about nearly all of them. They were odd, silent, nearly all old, and from the way they stared they looked as though they’d just come from dark little rooms or even—even cupboards!
(bandingkan dengan
penggalan dari paragraf terakhir ini:
But today she passed the baker’s by, climbed the stairs, went into the little dark room—her room like a cupboard—and sat down on the red eiderwood.)
…namun dapat
bersimpati dengan wanita bertopi ermine
yang bisa jadi seorang pelacur.
Saya coba memahami
kenapa Miss Brill tidak senang dengan sepasang lansia yang tidak saling bicara,
istri yang rewel sedang suami berusaha menghibur, orang-orang yang duduk di
bangku dan diam saja, wanita yang membuang kembali barang yang telah diambilkan
seseorang untuknya, serta pria yang tidak mengacuhkan wanita bertopi ermine. Menurut saya alasan Miss Brill
lebih dari sekadar yang terkemuka dalam cerpen maupun ulasan-ulasan mengenai
karya tersebut yang saya baca. Miss Brill sebagai orang yang sendiri dan
kesepian, sedang orang-orang yang ia amati sebagai orang yang memiliki
kesempatan untuk berinteraksi dengan orang lainnya, tapi tidak termanfaatkan dengan
baik. Barangkali hari Miss Brill bakal lebih indah ketika ada yang mau
mengobrol dengannya, sehingga menjadi pengalaman yang berkesan bahkan berarti
baginya, dan bukannya malah membicarakannya diam-diam.
***
Cerpen ini
menunjukkan bagaimana suatu karakter dapat ditampilkan secara utuh tapi
ringkas, walaupun karakter tersebut tidak secara langsung mengungkapkan
bagaimana dirinya. Beberapa ulasan yang saya baca mengatakan kalau cerpen ini
pun merupakan bahan yang baik untuk mempelajari ironi dan simbolisme. Misal
bagaimana Miss Brill mencemooh sosok-sosok yang sebenarnya menyerupai dirinya,
juga pada detail-detail yang membantu mengungkap makna seperti “fur”, “rogue”, “nose”,
dan sebagainya.
Lucu mengingat
bagaimana di awal cerpen Miss Brill memerhatikan fur-nya yang dilengkapi anggota tubuh hewan itu…
But the nose, which was of some black composition, wasn’t at all firm. It must have had a knock, somehow.
…sementara di akhir
ia menyadari kenyataan (getting hit onthe nose) pahit mengenai hidupnya.
Sendiri Itu tidak
Indah. Solitude Is not Bliss. Walaupun Sakit Sendiri memang bisa memantik inspirasi.
Antitesis dan perenungan untuk
Sendiri Itu Indah - Seurieus
Solitude Is Bliss - Tame Impala
Sakit Sendiri - Rumah Sakit
Referensi
Barnet, S. 1991. The Harper Anthology of Fiction. New York: HarperCollins Published Inc. (bisa juga dibaca di sini)
http://www.enotes.com/miss-brill/
http://en.wikipedia.org/wiki/Miss_Brill
http://www.jstor.org/discover/10.2307/373778?uid=3738224&uid=2&uid=4&sid=21101200862223
http://www.helium.com/items/1535684-the-short-fiction-mastery-of-katherine-mansfield-as-seen-in-miss-brill
http://grammar.about.com/od/developingessays/a/brillessay.htm
Tambahan
Cerpen ini pernah diadaptasi menjadi film pendek, dalam versi modern pula. Rada wagu sih, tapi tonton aja deh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar