Kenalkan,
Adrianna Fernandhita Fauzi. (Saya)
panggil saja Adri.
Sejak TK ia
bersekolah di Voltaire International School (VIS), dan akan menjalani masa SMA
juga di sana. Itu ketentuan orangtuanya, ia selalu menurut pada mereka.
Adri
berasal dari kalangan menengah ke atas, atau memang atas, yang hidup di
metropolitan. Tipe anak yang kedua orangtuanya sibuk dan biasa pulang malam,
sehingga ia dan saudara-saudaranya dikasih segala fasilitas. Si Papa suka baca,
koi, dan golf, dan punya aturan makan malam bareng biarpun ia baru pulang
setelah jam sembilan malam. Si Mama yang bankir modis dan gaHul. Masing-masing punya sopir sendiri, pun ada sopir khusus
untuk anak-anak mereka. Adri punya seorang kakak dan seorang adik, keduanya
cowok. Si kakak yang lebih bisa menentukan nasibnya sendiri meneruskan
pendidikan di Bandung, doyan tebar pesona dan mabuk. Si adik suka menonton TV,
les, dan olahraga, ingat salat.
Novel “glam girls” karangan Nina Ardianti ini (Gagas Media, 2008) menceritakan kehidupan awal Adri
di VIS jenjang SMA, memberikan gambaran akan sebuah sekolah elit internasional
beserta sistem pendidikannya, seragamnya, menu internasional di kafetarianya,
sampai kehidupan sosial di dalamnya—yang terakhir ini yang jadi sorotan utama.
VIS diisi oleh anak-anak yang hidup ala jetset, entah anak sosialita, duta
besar, pengusaha, ekspatriat, atau pejabat. Lokal, blasteran, maupun murni
bule—hidup mereka ditentukan oleh merek, dengan siapa mereka bergaul, serta
kemampuan menyelipkan bahasa Inggris di sela-sela percakapan, he, setidaknya
ini yang saya tangkap dari narasi Adri.
Rashi, May,
dan Marion merupakan the hottest clique
di VIS. Just so you know, clique
adalah istilah yang lebih sophisticated ketimbang
gank. Nasib menggiring Adri untuk
terus dan terus bersinggungan dengan mereka, sampai-sampai bikin Sasya, Selena,
dan Bianca iri pada Adri. Namun Adri tidak begitu mengindahkannya, ia lebih
peduli pada masalah akademisnya, termasuk ketika ia sekelompok dengan Rashi dan
May di subject Indonesian Studies. Mengerjakan
tugas bareng Rashi dan May membuat Adri dekat dengan mereka, apalagi setelah
Marion minggat dari clique tersebut. Hidup
Adri pun mulai berubah… ia lebih memerhatikan penampilan, mendadak populer,
pelajaran keteteran, hingga dijauhi orang-orang yang semula dekat dengannya. Bagaimanapun
sebagai karakter utama Adri mengalami transformasi, ia berusaha menyeimbangkan
perubahan tersebut dengan kehidupannya yang lama. Maka akhir novel ini malah
merupakan awal kehidupan yang baru bagi Adri, ia akan menjadi bagian dari clique Rashi dan May.
Eh maaf spoiler.
Anyway, novel ini sebetulnya mengusung unsur-unsur yang bakal
kita temukan juga di berbagai sinetron remaja, walaupun saya masih bisa menerima keklisean tersebut sebagai situasi
yang wajar.
Agaknya pengarang pun mengakui hal tersebut.
Ads: Abis. Lo pikir hidup gue sinetron yang bersambung melulu!…Jasmine_Nads : Hehehe… Eh, bukannya malah keren banget, Ad. Lo jadi cewek-cewek berkuasa kaya geng cheers di sinetron-sinetron Indonesia. (hal. 207)
Omongan Sasya barusan kayak scene di sinetron-sinetron nggak, sih—minus pelototan dan pindah-pindah angle kamera untuk menambah elemen ketegangan. (hal. 246)
Novel ini mengingatkan saya sama karya-karyanya
Sitta Karina, sesuatu yang saya konsumsi di akhir SMP-awal SMA kemudian saya
dan teman saya tidak menyukainya sampai-sampai bikin parodinya. Sama-sama
mengumbar gaya hidup kalangan atas, mencampur-adukkan penggunaan bahasa
Indonesia dengan bahasa Inggris, dan merek merupakan unsur yang haram untuk
dilewatkan. Coba bandingkan kalimat dari halaman 82 ini…
Aku menyampirkan daypack Samsonite pinkish-ku ke bahu dan melirik Swatch di pergelangan tangan kiri.
...dengan kalimat yang sudah
disederhanakan ini.
Aku menyampirkan ranselku ke bahu dan melirik jam di pergelangan tangan kiri.
Terasakah perbedaan yang signifikan?
Saya coba mengumpulkan merek-merek yang
bertaburan dalam novel ini, ternyata cuman sampai 2,5 halaman A5 saja.
Lumayanlah untuk menambah wawasan.
Semula saya teriritasi dengan
unsur-unsur tersebut. Kini saya memaklumi penggunaannya untuk membangun
kehidupan yang ingin ditampilkan. Ternyata merek merupakan dewa bagi kalangan
ini. Pergaulan mereka juga taraf internasional, sehingga wajar kalau mereka
bilingual.
Bagaimanapun juga saya masih lebih
menyukai novel ini. Barangkali karena narasi dibawakan oleh sudut pandang orang
pertama yang notabene karakter utamanya, suaranya “dapet”. Gaya bertuturnya pun
enak, sebagaimana bahasa lisan saja. Meskipun sama jorjoran dengan yang ada
dalam karya-karya Sitta Karina, namun pembawaan novel ini terasa simpel dan
lebih meyakinkan. No offense, it’s just
my own opinion. Tuh kan saya jadi latah berbilingual-ria :P
Selain itu bagi saya isi novel ini tidak
menyilaukan kovernya, barangkali karena saya sudah pernah mengonsumsi karya
semacam ini sebelumnya, atau mungkin juga karena saya sudah tahu apa yang bakal
saya hadapi. Karakternya ternyata masih duduk di kelas 1 SMA (grade 10, ya know), masih polos, dan
gejolaknya terasa. Karakter lain yang digarap cukup bagus menurut saya adalah
Rashi, yang berpotensi sebagai antagonis, tapi dalam perjalanannya malah
mendukung protagonis. Karakternya seperti bawang, berlapis-lapis maksudnya.
Adapun karakter-karakter lain seperti May, Sasya, Marion, Dico, siapalah, saya
rasa cenderung flat, kalau bukan
karena perannya yang cuman pendukung, yang dengan demikian membuat nuansa sinetron
dari novel ini makin terasa. Beberapa cowok yang disebutkan namanya
berseliweran dalam kehidupan Adri, tempting
but nothing happened, entah kenapa rada suka dengan yang semacam ini.
Sebetulnya saya antara percaya dan tidak
percaya dengan kehidupan yang ditampilkan melalui novel ini. Di satu sisi saya
ingin mempercayainya, maksudnya, saya membaca novel ini untuk mengetahui (kembali)
kehidupan kalangan tertentu, sehingga apa yang saya dapatkan dari novel ini
saya anggap sebagai cerminan realita. Di sisi lain saya rada tercengang dengan
bagaimana peliknya kehidupan sosial kaum ini. it’s like you’re nobody without brand, popular acquaintances, and else—bleh!
Saya yang rada asketis ini pun belum
bisa mengatakan kalau kehidupan sosial saya bagus, maka saya memilih untuk bisa
fleksibel dalam pergaulan ketimbang eksklusif seperti itu. Saya berinteraksi
dengan siapapun yang ada, bukan dengan yang memiliki label tertentu.
Barangkali sebagian orang bakal
terkesima dengan ke-sophisticated-an
(bahasa apa sih ini? o_0) yang disajikan cerita dalam novel ini, karya-karyanya
Sitta Karina, serial “Gossip Girl”,
atau apalah. Saya sih justru kasihan dengan orang-orang yang mendasarkan
hidupnya pada hal-hal yang tidak mendasar seperti itu, sooo materialistic, sampai untuk cari teman yang tulus saja susah. Apalagi
di sekitar kita toh masih banyak orang yang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya
sehari-hari saja tidak mampu. Pun sekiranya lebih baik untuk mensyukuri mereka
yang masih mau menghargaimu, meskipun kamu merasa sudah tidak punya harga diri.***
Mbak, posting dung foto brand2 internasional yg ad di novel ini, mbk...
BalasHapus