Selasa, 06 November 2012

Mengintip Kehidupan Remaja Putri Kalangan Atas



Kenalkan, Adrianna Fernandhita Fauzi. (Saya) panggil saja Adri.

Sejak TK ia bersekolah di Voltaire International School (VIS), dan akan menjalani masa SMA juga di sana. Itu ketentuan orangtuanya, ia selalu menurut pada mereka.  

Adri berasal dari kalangan menengah ke atas, atau memang atas, yang hidup di metropolitan. Tipe anak yang kedua orangtuanya sibuk dan biasa pulang malam, sehingga ia dan saudara-saudaranya dikasih segala fasilitas. Si Papa suka baca, koi, dan golf, dan punya aturan makan malam bareng biarpun ia baru pulang setelah jam sembilan malam. Si Mama yang bankir modis dan gaHul. Masing-masing punya sopir sendiri, pun ada sopir khusus untuk anak-anak mereka. Adri punya seorang kakak dan seorang adik, keduanya cowok. Si kakak yang lebih bisa menentukan nasibnya sendiri meneruskan pendidikan di Bandung, doyan tebar pesona dan mabuk. Si adik suka menonton TV, les, dan olahraga, ingat salat.

Novel “glam girls” karangan Nina Ardianti ini (Gagas Media, 2008) menceritakan kehidupan awal Adri di VIS jenjang SMA, memberikan gambaran akan sebuah sekolah elit internasional beserta sistem pendidikannya, seragamnya, menu internasional di kafetarianya, sampai kehidupan sosial di dalamnya—yang terakhir ini yang jadi sorotan utama. VIS diisi oleh anak-anak yang hidup ala jetset, entah anak sosialita, duta besar, pengusaha, ekspatriat, atau pejabat. Lokal, blasteran, maupun murni bule—hidup mereka ditentukan oleh merek, dengan siapa mereka bergaul, serta kemampuan menyelipkan bahasa Inggris di sela-sela percakapan, he, setidaknya ini yang saya tangkap dari narasi Adri.

Rashi, May, dan Marion merupakan the hottest clique di VIS. Just so you know, clique adalah istilah yang lebih sophisticated ketimbang gank. Nasib menggiring Adri untuk terus dan terus bersinggungan dengan mereka, sampai-sampai bikin Sasya, Selena, dan Bianca iri pada Adri. Namun Adri tidak begitu mengindahkannya, ia lebih peduli pada masalah akademisnya, termasuk ketika ia sekelompok dengan Rashi dan May di subject Indonesian Studies. Mengerjakan tugas bareng Rashi dan May membuat Adri dekat dengan mereka, apalagi setelah Marion minggat dari clique tersebut. Hidup Adri pun mulai berubah… ia lebih memerhatikan penampilan, mendadak populer, pelajaran keteteran, hingga dijauhi orang-orang yang semula dekat dengannya. Bagaimanapun sebagai karakter utama Adri mengalami transformasi, ia berusaha menyeimbangkan perubahan tersebut dengan kehidupannya yang lama. Maka akhir novel ini malah merupakan awal kehidupan yang baru bagi Adri, ia akan menjadi bagian dari clique Rashi dan May.

Eh maaf spoiler.

Anyway, novel ini sebetulnya mengusung unsur-unsur yang bakal kita temukan juga di berbagai sinetron remaja, walaupun saya masih bisa menerima keklisean tersebut sebagai situasi yang wajar. Agaknya pengarang pun mengakui hal tersebut.

Ads:       Abis. Lo pikir hidup gue sinetron yang bersambung melulu!Jasmine_Nads  : Hehehe… Eh, bukannya malah keren banget, Ad. Lo jadi cewek-cewek berkuasa kaya geng cheers di sinetron-sinetron Indonesia. (hal. 207)

Omongan Sasya barusan kayak scene di sinetron-sinetron nggak, sih—minus pelototan dan pindah-pindah angle kamera untuk menambah elemen ketegangan. (hal. 246)

Novel ini mengingatkan saya sama karya-karyanya Sitta Karina, sesuatu yang saya konsumsi di akhir SMP-awal SMA kemudian saya dan teman saya tidak menyukainya sampai-sampai bikin parodinya. Sama-sama mengumbar gaya hidup kalangan atas, mencampur-adukkan penggunaan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris, dan merek merupakan unsur yang haram untuk dilewatkan. Coba bandingkan kalimat dari halaman 82 ini…

Aku menyampirkan daypack Samsonite pinkish-ku ke bahu dan melirik Swatch di pergelangan tangan kiri.

...dengan kalimat yang sudah disederhanakan ini.

Aku menyampirkan ranselku ke bahu dan melirik jam di pergelangan tangan kiri.

Terasakah perbedaan yang signifikan?

Saya coba mengumpulkan merek-merek yang bertaburan dalam novel ini, ternyata cuman sampai 2,5 halaman A5 saja. Lumayanlah untuk menambah wawasan.

Semula saya teriritasi dengan unsur-unsur tersebut. Kini saya memaklumi penggunaannya untuk membangun kehidupan yang ingin ditampilkan. Ternyata merek merupakan dewa bagi kalangan ini. Pergaulan mereka juga taraf internasional, sehingga wajar kalau mereka bilingual.

Bagaimanapun juga saya masih lebih menyukai novel ini. Barangkali karena narasi dibawakan oleh sudut pandang orang pertama yang notabene karakter utamanya, suaranya “dapet”. Gaya bertuturnya pun enak, sebagaimana bahasa lisan saja. Meskipun sama jorjoran dengan yang ada dalam karya-karya Sitta Karina, namun pembawaan novel ini terasa simpel dan lebih meyakinkan. No offense, it’s just my own opinion. Tuh kan saya jadi latah berbilingual-ria :P

Selain itu bagi saya isi novel ini tidak menyilaukan kovernya, barangkali karena saya sudah pernah mengonsumsi karya semacam ini sebelumnya, atau mungkin juga karena saya sudah tahu apa yang bakal saya hadapi. Karakternya ternyata masih duduk di kelas 1 SMA (grade 10, ya know), masih polos, dan gejolaknya terasa. Karakter lain yang digarap cukup bagus menurut saya adalah Rashi, yang berpotensi sebagai antagonis, tapi dalam perjalanannya malah mendukung protagonis. Karakternya seperti bawang, berlapis-lapis maksudnya. Adapun karakter-karakter lain seperti May, Sasya, Marion, Dico, siapalah, saya rasa cenderung flat, kalau bukan karena perannya yang cuman pendukung, yang dengan demikian membuat nuansa sinetron dari novel ini makin terasa. Beberapa cowok yang disebutkan namanya berseliweran dalam kehidupan Adri, tempting but nothing happened, entah kenapa rada suka dengan yang semacam ini.

Sebetulnya saya antara percaya dan tidak percaya dengan kehidupan yang ditampilkan melalui novel ini. Di satu sisi saya ingin mempercayainya, maksudnya, saya membaca novel ini untuk mengetahui (kembali) kehidupan kalangan tertentu, sehingga apa yang saya dapatkan dari novel ini saya anggap sebagai cerminan realita. Di sisi lain saya rada tercengang dengan bagaimana peliknya kehidupan sosial kaum ini. it’s like you’re nobody without brand, popular acquaintances, and else—bleh!  Saya yang rada asketis ini pun belum bisa mengatakan kalau kehidupan sosial saya bagus, maka saya memilih untuk bisa fleksibel dalam pergaulan ketimbang eksklusif seperti itu. Saya berinteraksi dengan siapapun yang ada, bukan dengan yang memiliki label tertentu.

Barangkali sebagian orang bakal terkesima dengan ke-sophisticated-an (bahasa apa sih ini? o_0) yang disajikan cerita dalam novel ini, karya-karyanya Sitta Karina, serial “Gossip Girl”, atau apalah. Saya sih justru kasihan dengan orang-orang yang mendasarkan hidupnya pada hal-hal yang tidak mendasar seperti itu, sooo materialistic, sampai untuk cari teman yang tulus saja susah. Apalagi di sekitar kita toh masih banyak orang yang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sehari-hari saja tidak mampu. Pun sekiranya lebih baik untuk mensyukuri mereka yang masih mau menghargaimu, meskipun kamu merasa sudah tidak punya harga diri.***

1 komentar:

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain