Yang membuat saya memburu buku semacam
“Menganalisis Fiksi – Sebuah Pengantar” (ditulis oleh Dr. Furqonul Aziez, M.
Pd. dan Dr. Abdul Hasim, M. Pd., 2010, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia) adalah
agar saya mengetahui bagaimana cara mengapresiasi fiksi, sekaligus mengetahui
seperti apa fiksi yang dianggap berkualitas. Percuma membaca dan menulis banyak
karya tanpa bisa memahami maknanya bukan?
Buku ini menurut saya merupakan buku
yang baik untuk memulai pelajaran tersebut. Isinya hanya 102 halaman, mengingat
kadang kita keder duluan dengan buku yang lebih tebal. Ukuran hurufnya cukup
besar. Bahasanya mudah sehingga enak diikuti, meski rada janggal pada terjemahan
kutipan yang umumnya berbahasa Inggris. Gagasan dan sistematika buku ini
sebagian memang didasarkan pada buku “Studying
the Novel” karya Jeremy Hawthon (1986, London: Edward Arnold Publisher
Limited), agaknya itu pula yang membuat fiksi yang dimaksud dalam buku ini
lebih diarahkan pada novel. Meskipun demikian bentuk fiksi lainnya seperti
cerpen dan novela mendapat ulasan sepintas dalam satu bab.
Novel ternyata merupakan genre sastra
termuda. Novel merupakan medium yang lebih leluasa jika dibandingkan dengan
puisi, drama, cerpen, maupun novela, yang mana jenis karya lainnya tersebut dibatasi
oleh aturan-aturan, bentuk, atau ukuran tertentu. Suatu permasalahan bisa
digali secara mendalam hingga menyeluruh melalui novel.
Gillie (penulis “Longman Companion to English Literature”, 1972, London: Longman
Group) dalam buku ini mengatakan bahwa Inggris merupakan negara yang sering
disebut sebagai tanah kelahiran novel pada abad ke-18. Sebetulnya saya pernah
baca di Annida (edisi yang saya tidak ingat) mengenai novel pertama di dunia,
yang ditulis oleh orang Jepang pada tahun 1300-an dan menceritakan tentang
seorang pangeran bernama Genji-apa-gitu. Saya pernah baca juga di Republika
(lagi-lagi di edisi yang saya tidak ingat) mengenai ilmuwan muslim pada masa
kejayaan Islam (yang berarti hampir semasa abad pertengahan di Eropa ya?) yang
telah menghasilkan novel, kalau tidak salah ada kata “Hayy” atau “Hayat” pada
judulnya, tentang seseorang yang belajar kehidupan dari membedah rusa-atau-apa.
Adapun novel yang dimaksud dalam buku ini adalah yang memiliki kemiripan dengan
kehidupan nyata, dibandingkan dengan jenis karya sastra yang muncul sebelumnya
seperti roman atau hikayat. Barangkali novel karangan orang Jepang dan ilmuwan muslim
tersebut, maupun karya-karya sastra sebelumnya yang bentuknya rada menyerupai
novel itu, dalam konteksnya belum sebagaimana novel yang kita kenal sekarang,
lengkap dengan aspek sosiologis-industrinya.
Kemunculan novel merupakan akibat dari
bangkitnya kelas menengah di Inggris pada masa itu, yang dengan demikian menyediakan
publik pembaca yang luas. Jumlah orang yang melek huruf semakin meningkat.
Teknologi percetakan telah mampu memproduksi karya dalam jumlah besar, serta
memenuhi pasar dengan harga terjangkau. Membaca novel pun menjadi semacam mode
di Eropa. Kelas menengah juga merupakan faktor penting bagi kemunculan kapitalisme.
Kapitalisme mengakibatkan individualisme, yang sekiranya menciptakan iklim
kondusif bagi aspirasi penulisan novel. Novel ditulis seseorang dalam
kesendiriannya, dan dibaca orang lain dalam kesendiriannya pula. Walaupun
ditulis dan dibaca secara pribadi, produksi dan distribusi novel memerlukan
bentuk masyarakat dan industri yang terorganisasi dengan baik. Ralph Fox
(penulis buku “The Novel and The People”,
1979, London: Hutchinson) dalam buku ini mengatakan bahwa novel merupakan epik
tentang perjuangan individu melawan masyarakat maupun alam, yang mana ia hanya
bisa berkembang di tengah masyarakat yang kehilangan keseimbangan antara
manusia dan masyarakatnya, dan masyarakat semacam itu adalah masyarakat
kapitalis. Adalah menarik, mengetahui bahwa kapitalisme yang dihujat banyak
orang ternyata berperan dalam menyuburkan kebudayaan literer—yang justru dipuja
banyak orang!
Bagaimanapun juga buku ini memberikan
pengetahuan mengenai banyak hal lain seputar fiksi, khususnya novel. Kita bisa
mengenal berbagai macam genre yang telah tercipta. Kita bisa menyadari
pentingnya mempelajari karya-karya terdahulu agar dapat menciptakan kebaruan. Kita
bisa memahami tujuan penciptaan tokoh hingga kecenderungan sebagian besar
novelis dalam menulis karya-karyanya. Kita bisa mengidentifikasi teknik-teknik
apa saja yang bisa kita gunakan dalam menggarap narasi, penokohan, plot, sampai
latar. Kita bisa membedakan realisme dengan modernisme, plot dengan struktur,
atau image dengan simbol. Dan yang
lebih penting adalah kita bisa mulai menganalisis secara intrinsik serta
menggunakan berbagai pendekatan dalam mengkritik suatu karya.
Sayangnya buku ini terlalu merujuk ke
literatur Barat. Puluhan novel Barat (yang umumnya sudah zadul banget!) disebut
dalam buku ini, sedangkan dari Indonesia hanya dua novel yaitu “Royan Revolusi”
(Ramadhan KH) dan “Siti Nurbaya” (Marah Rusli). Saya berharap menemukan lebih
banyak buku yang membantu kita mengenal karya fiksi dari negeri kita
sendiri—kebudayaan kita sendiri. Lebih baik lagi apabila kita memiliki buku
semacam “The Harper Anthology of Fiction”
atau “One World of Literature” tapi
dikhususkan untuk karya-karya dari
Indonesia saja, yaitu berupa kompilasi fiksi pendek yang masing-masingnya
dilengkapi dengan daftar pertanyaan, sehingga membantu pembaca mengembangkan
analisisnya terhadap suatu karya.
Meskipun demikian sekiranya calon
pengarang tidak perlu terpatok dengan kriteria-kriteria dalam buku terkait
kritik. Barangkali buku semacam ini bisa memberitahu mana yang bagus dan mana
yang buruk dalam cerita kita, maupun teknik apa yang bisa dipakai untuk
melancarkan penulisannya, tapi jangan sampai hal-hal tersebut mengebiri proses
kreatif kita.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar