Minggu, 22 Juni 2025

Dua Timbangan Buku Sang Mahasiswa dan Sang Wanita: Dasacarita dari Hungaria Terjemahan Prof. Dr. Fuad Hassan

Dasacarita dari Hungaria Terjemahan Fuad Hassan 
Sang Mahasiswa dan Sang Wanita

Oleh: JAKOB SUMARDJO

SETIDAK-TIDAKNYA ada dua orang menteri RI yang pernah menerjemahkan karya-karya sastra asing selama jabatannya sebagai menteri negara, yaitu Prof Dr Priyono yang pada tahun 1964 telah menerbitkan "Kisah-kisah dari Rumania" (Balai Pustaka, 1964), dan kini pada tahun 1985 Prof. Dr. Fuad Hassan juga telah menerbitkan "Sang Mahasiswa dan Sang Wanita", Dasacarita dari Hungaria (Grafitti Pers, 1985).

Kebetulan cerpen-cerpen pilihan mereka menyangkut dua negara Eropa Timur yang terabaikan dalam kancah terjemahan sastra di Indonesia. Tidak mengherankan kalau banyak nama-nama pengarang yang sangat baru bagi kita, lantaran belum pernah kita dengar namanya dalam pembicaraan sastra dunia di Barat.

Membicarakan kumpulan cerpen dari suatu negara/bangsa yang telah tua usianya dalam sastra, tentu tidak pada tempatnya kita hanya melihat sepuluh cerpen dari sepuluh pengarangnya. Bahkan dari sumber aslinya dari mana 10 cerpen ini diambil, yaitu "44 Hungarian Short Stories" yang diterbitkan oleh Unesco, masih belum bisa dikatakan mewakili sastra cerita pendek negeri itu. Jadi paling kita hanya menilai 10 cerpen itu tanpa mengaitkannya dengan kehungariaannya. Hanya secara kebetulan 10 cerpen yang dipilih memang dari pengarang Hungaria modern.

Sepuluh cerpen yang dipilih oleh Fuad Hassan dalam bukunya ini meliputi karya-karya cerpen yang terbit dari tahun 1910 sampai 1966. Jadi kalau dibandingkan dengan Indonesia, barangkali sejajar dengan cerpen yang ditulis oleh Mas Marco Kartodikromo sampai pada zamannya Wildan Yatim. Dan itu hanya dipilih cerpennya saja dari 10 pengarangnya.

Ciri menonjol dari sepuluh kumpulan cerpen ini adalah sifat puitik cerpen-cerpennya, penuh simbol-simbol berbentuk cerita; sifat lekatnya pada alam dan cuaca yang mementingkan kepolosan, keluguan, kemurnian, dan spontanitas; serta pemaparan cerpen yang banyak merenung daripada pemaparan plot yang manis. 

Mutu puitik ini hampir menonjol di sepuluh cerpen. Namun yang kiranya murni puisi dalam bentuk prosa adalah cerpen-cerpen "Hari Cerah di Musim Semi" yang menceritakan keasyikan seorang anak yang bercengkerama di hutan dengan penuh keriangan dan terganggu oleh kehadiran orang lain yang berasa telah "berdosa" telah menodai kemurnian hubungan alam antara hutan dan si anak. Saya katakan "puitik" karena cerpen ini berbicara banyak di luar ceritanya, ada sesuatu yang terasa di luar cerita yang disajikannya, ia berkembang dan multitafsir bagi pembacanya. Adalah rasa, suasana, makna kemurnian hubungan alam dan manusia murni (kanak-kanak) yang dimunculkan dari balik cerita.

Cerita puitik yang lain adalah "Ciuman Anna Szegi" yang mengisahkan percintaan mendalam antara seorang pemuda desa dengan gadis desa yang sebentar akan kawin. Perkawinan ternyata tidak membuat cinta si wanita lenyap. Si pemuda "bunuh diri" hilang di telaga cinta, dan kemudian wanita mengikutinya. Gambaran yang disajikannya begitu rupa menyatu dengan lukisan alam Hungaria sehingga peristiwa cinta di sana adalah peristiwa alami, wajar, tumbuh, dan sehat tanpa norma-norma. Bahkan norma perkawinan bikinan manusia tak kuasa menghapus makna percintaan mereka.

Jenis ini pula adalah "Orang-orang Nazi" yang melukiskan dua petani desa dan dua prajurit Nazi yang terlibat dalam percakapan. Petani tua dan anak-anak laki-laki yang merupakan cucunya berusia 8 tahun tengah membelah kayu di hutan, dan dalam percakapan Nazi-Nazi berusaha menekankan kebenarannya sendiri dengan memaksa si anak memanggil kambing sebagai anjing. Mungkin banyak simboliknya daripada puisinya, namun saya kira suasana juga yang menonjol dalam cerpen ini, suasana tekanan antara kebenaran alami dan kebenaran politik.

Begitu pula "Sang Mahasiswa dan Sang Wanita" dapat bercerita tentang gejolak suasana hati seorang wanita kesepian yang mula-mula bersikeras menolak permintaan ciuman dari mahasiswa yang belia namun akhirnya tak kuasa menahan gejolak rasa dari dalam yang alami. Bukan saja si wanita memberikan ciuman, tetapi lebih dari itu dalam amukan badai perasaannya.

Contoh simbolisme dalam cerpen-cerpen Hungaria dapat dibaca dalam "Sekitar Perapian Keluarga" yang mengisahkan campur tangan koperasi Sosialis dalam urusan hubungan suami istri. Seorang suami mencurigai istrinya yang selalu ditinggalkannya bekerja, pada suatu sore berdandan tidak seperti biasanya. Kontan sang suami mencurigai penyelewengan istrinya. Sang suami mendesak pada sang istri siapa lelaki terkutuk itu. Karena tidak mengaku maka sang suami mengamuk dan menggegerkan tetangganya. Pada saat itulah datang pengurus koperasi Petofi yang mengancam sang suami untuk tidak meneruskan menyiksa istrinya.

Karena keperluan istri selama ini dipenuhi oleh koperasi dan istri milik koperasi. Barang siapa mengganggu ketenangan istri, meskipun itu suaminya sendiri, maka koperasi akan bertindak. Ini memberikan gambaran bagaimana sistem politik mereka telah terlalu jauh mengurusi urusan yang amat emosional dan personal itu. Barangkali karya ini memang berisi kritik, namun jelas memberikan gambaran sasaran protes yang hidup dalam masyarakat Hungaria.

Cerpen "Hari Minggu yang Damai" juga lebih bersifat simbolik daripada puitik. Cerpen ini juga berisi kritik sistem kepegawaian di negeri Sosialis itu.

Sebagai cerpen plot kiranya patut diajukan "Petualangan Berpakaian Seragam". Cerpen semacam ini banyak dijumpai di Indonesia pada zaman majalah Kisah dahulu. Sebab cerpen yang lancar, jelas jalan ceritanya, mengandung tegangan yang konsisten, dan diakhiri dengan suatu kejutan.

Cerpen "Petualangan" ini mengisahkan seorang anak muda golongan terpelajar di Hungaria yang memasuki dinas militer sukarela. Sebenarnya hanya untuk gagah-gagahan belaka agar dia dikenal sebagai pemuda yang membela tanah air pula, meskipun ia hanya boleh memakai seragam militernya dua kali dalam seminggu. Dengan modal pakaian seragam, dia memancing cinta gadis-gadis pembantu rumah tangga. Dan seorang gadis rumah tangga yang polos dan manis dari sebuah desa mencintai dan membelanya sebagai kekasih. Ternyata gadis pembantu itu adalah pekerja pada rumah kawan mahasiswanya yang adiknya malah pernah pacaran dengannya. Si gadis desa dengan sembunyi-sembunyi memasukkan si pemuda ke dalam kamarnya yang sempit lewat pintu samping. Padahal pemuda kenal betul dan dihormati di rumah itu, karena diharapkan ia dapat menikahi anak putri tuan rumah. Begitulah hubungan mereka berlangsung sampai suatu kali dalam kepolosan gadis desanya ia mulai bicara soal nikah dan bayi. Maka si pemuda menjadi panas dingin dan mencoba membuka kedoknya, namun tak sampai hati. Sampai pada suatu hari tuan rumah mengundangnya dalam suatu pesta. Dalam pesta itulah ia menjumpai si gadis tuan rumah, dan keluarganya terang-terangan mengharapkan pertunangan anak gadisnya. Dan pada saat itulah gadis pembantu masuk dan mengetahui segalanya. Maka kontan ia menyatakan diri keluar dari pekerjaannya dan mengembalikan uang gajinya .... 

Cerpen ini berbicara soal kemurnian hubungan manusia dan sistem sosial. Sistem sosial dan kelas sosial telah merusak kemurnian kemanusiaan. Gara-gara ada pembedaan "golongan" antara kelas jembel dari desa yang hina dan kelas terpelajar yang kaya dan sombong, maka percintaan murni itu telah lenyap dengan mengorbankan golongan kecil. 

Persoalan serupa dapat dijumpai dalam cerpen pertama yang berjudul "Omelette a Woburn" yang mengisahkan bagaimana seorang mahasiswa yang baru pulang belajar dari luar negeri dengan uang pas-pasan, harus menempuh petualangan untuk memenuhi hasrat ingin tahunya pada negeri lain, dan terjerumus ke dalam restoran kelas tinggi. Padahal si mahasiswa amat lapar dan ingin membelanjakan uangnya yang sedikit dengan makanan kelas mahasiswa yang murah dan banyak. Ternyata cara makan dan budaya makan kelas atas di restoran itu amat berbeda dengan budaya makan mahasiswa. Pesanan mahasiswa apa yang dinamakan Omelette a Woburn tak lain hanya telur dadar biasa yang amat tipis dan tak mungkin memenuhi hasrat kelaparannya. Maka dengan ketegangan tinggi ia menanti bayaran untuk telur dadar tipis itu. Ternyata uangnya masih cukup untuk dibayarkan. Neraka restoran itu ia tinggalkan dengan kebahagiaan besar, bukan karena kenyang tapi karena lepas dari budaya makan orang kaya yang mementingkan kehormatan makan daripada isi makanannya.

Begitulah cerpen-cerpen Hungaria ini telah disampaikan kepada kita dalam bahasa yang lancar dan enak dibaca dan dengan peristilahan yang benar pula, misalnya untuk "roti komuni" dalam misa agama Katolik (Ortodoks)?***

Sumber: Pikiran Rakyat, 10 Desember 1985




Rahasia Sukses Hongaria

Judul Buku : Sang Mahasiswa dan Sang Wanita
Penerbit : PT Grafiti Pers, Jakarta, Cetakan II, 1986
Halaman : 106 halaman 
Oleh : Prof. Dr. Fuad Hassan (Pengalih bahasa)

JUDUL kumpulan cerpen yang dialih-bahasakan oleh Mendikbud Prof. Dr. Fuad Hassan ini diangkat dari cerpen "Sang Mahasiswa dan Sang Wanita", karya pengarang Hongaria terkenal Lazlo Kamondy, yang hidup tahun 1928 - 1972.

Sebagaimana yang diakuinya sendiri--karena alih bahasa yang dilakukan adalah alih bahasa yang kedua, yaitu setelah karya aslinya dalam bahasa Hongaria ke dalam bahasa Inggris--maka hasil terjemahan ini oleh pengalih bahasa dikatakan tidak sempurna.

Agaknya dalam hal ini Fuad Hassan menyadari bahwa menerjemahkan bukanlah suatu pekerjaan yang terlampau gampang, apalagi menerjemahkan karya sastra di mana penerjemah mau tak mau dihadapkan pada kenyataan sukar untuk mentransformasikan ide, suasana, peristiwa, tokoh, serta gaya bercerita ke dalam bahasanya sendiri.

Tetapi dalam dasacarita (sepuluh cerita - Red.) pilihan pengalih bahasa dari kumpulan cerpen bunga rampai terbitan UNESCO, 44 Hungarian Short Stories (1979) ini diusahakan dalam terjemahannya tidak sampai mengubah arti dan maksud pengarang semula, apalagi mengubah suasana yang hendak ditampilkan oleh pengarangnya.

Kita barangkali bertanya-tanya mengapa Hongaria yang berpenduduk tak lebih dari sepuluh juta jiwa itu begitu terkenal. Bahkan bagi kebanyakan orang, termasuk Indonesia, negeri itu masih tetap merupakan sebuah misteri. Bagaimana tidak! Karena Hongaria begitu banyaknya menghasilkan manusia-manusia maestro.

Bila ingin mengambil contoh sarjana-sarjana kelas wahid, ambillah dari Hongaria. Tak berlebihan, sebab kenyataan membuktikan bahwa John von Neumann, Eugene Wigner, Albert Szent, Gyorgyi, Edmund Teller, Leo Szilard, adalah nama ilmuwan terkenal kelas dunia; bahkan dua di antaranya pernah meraih hadiah Nobel. 

Tak hanya berhenti di situ keunggulan Hongaria. Di bidang Ekonomi dan Film, misalnya, mereka sangat unggul. Siapa yang tidak mengenal aktor Leslie Howard yang selama bertahun-tahun lamanya mendominasi film-film di Inggris? Apalagi tentang sastra yang memberikan gambaran suatu masyarakat, Hongaria telah banyak melahirkan pengarang internasional yang terkumpul sekitar berkala Nyugat, yang berhaluan menentang tradisi-tradisi sastra konservatif.

Demikian bermutunya cerpen-cerpen dalam antologi ini, sehingga CP Snow dalam kata pengantarnya untuk edisi UNESCO Collection of Representative Work European Series mengatakan bahwa cerpen-cerpen ini akan mengajarkan sesuatu kepada kita, sesuatu yang sangat penting, tentang suatu negeri yang hebat dan suatu kesusasteraan yang hebat pula.

Sebagamana sub judulnya, antologi cerpen ini mengetengahkan sepuluh cerita yang ditulis sepuluh pengarang terkenal. Antara lain Dezo Kosztolanyi, Jozsi Jenoi Tersanzky, Sandor Hunyadi, Pal Szabo, Emil Kolozsvari Grandpierre, Gabor Goda, Imre Dobozy, Endre Fejes, Ferenc Santa, dan Laszio Kamondy.

Dengan segala talenta yang ada pada dirinya masing-masing pengarang menampilkan coraknya sendiri. Saya begitu terpukau ketika mengikuti cerpen ini satu demi satu, dan tak ingin berhenti sebelum ceritanya tamat. Tentu saja itu disebabkan karena tajamnya pengarang memantau setiap persoalan dan situasi manusia serta menggarap di dalam bentuk kesusasteraan yang sangat bermutu.

Timbul pertanyaan: Apakah hanya orang yang pernah tinggal di Hongaria dan mengerti seluk-beluk negeri itu saja yang dapat menikmati, meresapi, dan memiliki antologi cerpen ini? Tidak! Kendatipun ide-ide ceritanya sendiri mengambil kejadian, tokoh, situasi dan tempat di Hongaria; akan tetapi tidaklah mengubah suasana penghayatan kita, asalkan membacanya secara tepat.

Buku ini tak ayal lagi telah menjadi best-seller. Terbukti hanya dalam kurun waktu setahun saja sudah mengalami cetak ulang untuk yang kedua kalinya. Para kritisi sastra, sastrawan, dosen/guru sastra, mahasiswa/siswa, dan masyarakat sastra seyogianya memiliki sendiri buku ini.

Di samping itu bila ada yang ingin mencari jawab teka-teki keberhasilan Hongaria yang telah dan sedang menghasilkan tokoh unggul yang sama sekali tidak sebanding dengan jumlah penduduknya, maka buku ini adalah penuntun ke arah jawaban teka-teki itu. 

['SIM'/R. Masri Sareb Putra]

Sumber: 'SIM', 14 Desember 1986

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain