Rabu, 04 Juni 2025

Remaja dan Pornografi

Penyusun : Pusat Data dan Analisa Tempo
Penerbit : TEMPO Publishing, 2022
EISBN : 978-623-05-1803-4 (PDF)

Buku ini memuat artikel-artikel dari 2008-2014. Sebetulnya saya cari yang di bawah itu. Pastinya bukan tidak ada kasus sampai waktu itu, cuma sepertinya fenomena ini makin mengkhawatirkan sejak meluasnya penggunaan internet dan HP berkamera, yaitu mulai 2005 ke atas. Seiring dengan itu, melonjak kasus pornografi remaja. Jadi yang disorot dalam kumpulan artikel ini sebatas dalam periode awal populernya teknologi tersebut.

Dalam periode itu, saya sendiri masih remaja. Maka angka-angka yang disebut dalam buku ini terasa mencengangkan buat saya.

Angkanya bervariasi, kurang lebih sejak 2005-2009 16-69% remaja usia 13-18 tahun sudah melakukan hubungan badan, 21% siswi SMA pernah aborsi, dan hampir 95% anak yang masih duduk di bangku SD terpapar pornografi--kebanyakan dari internet (2013)

Tempat melakukan hubungan: rumah (40%--tidak adakah orang tua atau sesiapa di rumah?), kamar kos (26%--tidak adakah larangan memasukkan lawan jenis?), hotel (26%--?!?!?!?!?).

Sampai 2010 diperkirakan ada 750-900 video porno yang dibuat dan diedarkan di Indonesia, kebanyakan amatir atau direkam hanya dengan ponsel, dan 90% pelakunya adalah pelajar SMP sampai mahasiswa.

Ada 4 juta situs web porno, 90% di antaranya mengandung pornografi anak.

89% chatting remaja berkonotasi seksual..

Pornografi tidak hanya tersebar melalui cerita, gambar, dan film, tetapi juga video permainan PlayStation. 

Akibat terpengaruh oleh gambar dan video porno dari internet serta hasil upload di ponsel, anak SMP usia 14 tahun mencabuli bocah 5 tahun sampai terdapat luka robek di kemaluan korban.

Ternyata, banyak di antara rekan seangkatan saya yang sudah pada meraih pencapaian orang dewasa di masa itu. Waw. Kalau data pada masa saya remaja saja sudah begini, apalagi sekarang setelah HP makin canggih, internet makin mudah diakses, orang makin cuek dengan satu sama lain dan lebih suka memperhatikan TikTok, OnlyFans, dan sebagainya ....

Sebetulnya, pembicaraan tentang seks bukan tidak pernah masuk sama sekali ke kuping saya semenjak ABG. Masa itu saya suka menyetel salah satu radio anak muda, kadang-kadang pada waktu ada segmen yang membicarakan tentang seks remaja dari PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia)--kalau tidak salah. Mendengar pengakuan-pengakuan yang masuk secara sambil lalu, dalam pandangan yang naif, saya pun takjub, Kok bisa ya orang pada begitu? Di Belia Pikiran Rakyat juga sepertinya ada rubrik untuk masalah itu. Selain itu, ada teman yang suka memperhatikan perilaku pacaran teman sekelas. Pernah juga ada gosip mengenai teman SD yang ketika SMP mendapatkan sesuatu perlakuan dari cowoknya.

Terhadap hal-hal tersebut, saya bersikap acuh tak acuh bahkan risi. Ngapain sih ngurus yang gituan. Saya tidak sendirian. Teman-teman lain rata-rata demikian, menganggap hal itu sebagai urusan orang yang sudah menikah. Bahkan ada yang mengatakan bahwa ia ingin punya anak tanpa harus melakukan hubungan itu, atau enggan memikirkan bahwa ia lahir karena orang tuanya melakukan hubungan itu. Pastinya kami punya ketertarikan terhadap lawan jenis, tapi daripada bermesra-mesraan, dalam masa itu pelajaran sekolah, buku-buku cerita, tulis-menulis, dan makan nasi timbel mendoan sambal terasi bareng kawan-kawan, masih tidak kalah penting dan menyenangkan. Bergaul dengan teman lawan jenis sewajarnya saja.

Maka menyelisik topik ini membuat saya merasa betapa "aman" lingkungan tempat saya dibesarkan, betapa "alim" teman-teman saya. Padahal, kami tumbuh di kota(-kota--termasuk kota tempat saya berkuliah) yang terkenal akan fenomena-fenomena terkait. Sebut saja kota tempat saya bersekolah sampai SMA, yang dikenal sebagai Kota Kreatif. Kreativitas itu rupanya meliputi kreasi film biru, di antaranya yang dibintangi oleh mahasiswa kampus swasta (2001), ada juga oleh seorang vokalis band (2010). Ada kenyataan liar di luar sana, dan banyak orang tak memiliki perisai diri (bukan yang nama perguruan silat yach). Sementara saya dan teman-teman saya yang study-oriented, sudah gembira hanya dengan bacaan dan makanan, polos dan sederhana, hidup dalam gelembung, terlindung dari carut-marut kehidupan seksual rekan-rekan yang kurang lebih sebaya di sekitar.

Sebelumnya, saya cenderung berpikiran bahwa pendidikan seks itu buat orang yang sudah mau menikah saja. Sekarang, saya merasa paham kenapa orang pada berkoar tentang pendidikan seks, yang saya bayangkan dilakukan dengan cara yang tidak merangsang (alias bukan melalui pornografi ataupun praktik bersama pacar), yang berarti meliputi segala risikonya. (Bahkan seks halal saja berisiko melahirkan banyak anak yang belum tentu orang tuanya mampu membesarkan dengan baik).

Maka saya mengiyakan perkataan dr. Boyke dalam "Pornografi Remaja di Lampu Merah" (16 Mei 2010), bahwa konten pornografi hanya berpengaruh 10-15% terhadap perilaku seksual seseorang. Pengaruh terbesar justru dari lingkungan dan diri sendiri. Individu harus bisa mengatur libidonya sendiri. Namun, saran yang beliau berikan sama saja dengan yang dipromosikan pemuka agama yaitu: kalau sudah tidak tahan, menikah saja. Wkwkwk. Kalau sudah tidak suka, tinggal cerai--dibenci, tapi halal--dan buat laki-laki, bisa menikah lagi berkali-kali--begitu, bukan?

Ehm, lingkungan lebih menentukan daripada konten. Misalkan, dalam lingkungannya itu, seseorang dapat bertemu dengan yang sama-sama pengin, atau dapat dipengaruhinya, dan ada kesempatan, maka terjadilah. Lain cerita kalau ada yang demen mengonsumsi konten begitu, tapi kurang duit/kurang fisik/kurang gaul/kurang nyali, siapa yang akan melakukannya dengan dia. Barangkali konten hanya katalis yang memperbesar dorongan, tapi tanpa adanya penunjang-penunjang dan kesempatan untuk menindaklanjutinya dengan yang mau-sama-mau atau bisa dipaksa, paling-paling main sendiri sampai frustrasi lalu gabung dengan grup antifap/PMO. Bagaimanapun, merajalelanya konten 18+ bukannya tidak meresahkan, karena memang mengganggu pemandangan dan mengusik perasaan.

Saya sempat sharing tentang isi buku ini kepada teman yang ada pengalaman bergaul bebas (tapi kini sudah hijrah, lagipula berasal dari keluarga taat) dan dia mengonfirmasi bahwa kejadiannya memang sebanyak itu. Karena bergaul dengan mereka pun, maka terbangun kedekatan yang membuat ada perasaan tidak enak untuk menegur, sehingga membiarkan. Selain dari teman yang itu, ada pula cerita dari kenalan-kenalan, baik di internet maupun di dunia nyata, baik pengalaman pribadi maupun orang lain yang sama-sama dikenal ataupun tidak. Memang se-prevalent itu, dan dengan memperhatikan adab pergaulan, saya tidak bisa serta-merta mendakwa dengan sebutan-sebutan tertentu tepat di depan muka mereka. Hanya bisa mengingkari dalam hati, dan terinsafkan betapa lemah iman ini .... Maka agama menyarankan untuk membatasi pergaulan, yang dengan mudahnya saya patuhi sampai taraf kebablasan kadang-kadang.

Sekalipun saya tidak berbuat hal-hal itu, sejujurnya ada perasaan relate dalam membacai topik ini. Umpamanya seperti saya merasa tidak menyukai Chairil Anwar setelah mengetahui riwayat hidupnya, tapi toh beberapa puisinya mengena di jiwa. Seperti ada sebab-sebab berbeda yang bermuara pada suatu pengalaman yang persis. Seperti pengalaman itu berlapis-lapis; lapis luar membuat kita tampak berbeda dari satu sama lain, sedangkan lapis dalam menunjukkan bahwa sebagai manusia kita kurang lebih sama. Maka sekalipun perilaku orang lain terasa menjijikkan, saya tidak bisa merasa lebih baik karena toh memiliki problem-problem tersendiri yang bahasannya ada di topik-topik lain.

and mother always told me, be careful of who you love
and be careful of what you do
'cause the lie becomes the truth
("Billie Jean" - Michael Jackson)

one mistake's all it takes
and your life has come undone
walk away 'cause you're breaking up the girl
("Breaking Up The Girl" - Garbage)

alat kontrasepsi paling aman
yaitu enggak usah berhubungan
("Alat Kontrasepsi" - Blue Savanna)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain