Jumat, 30 Mei 2008

DI BALIK PEMENTASAN PERTAMA TEATER FLP JOGJA: DARI PERSPEKTIF D--- S-------- A---------

Kamis sore itu Mbak Desi mengedarkan sebuah angket. Angket yang menjadi salah satu yang mengawali dimulainya forum teater FLP Jogja.

Teater? Kayaknya asik juga. Aku mau coba ah. Hari kapan yang paling tepat untuk menyelenggarakan forum ini? Senin sudah dipakai untuk forum diskusi. Selasa forum non fiksi. Kamis forum fiksi. Mmm... Rabu paling.     

Saat makan malam di rumah, Mbak Novi—alias Mbak Putri, sepupu jauhku yang sesama anggota FLP Jogja angkatan 9—bertanya, “Tadi kamu pilih hari apa, Ta, forum teater?”

“Rabu,” jawabku.

Tidak tahu akankah ada kelanjutannya forum teater itu.

 

Ada pemberitahuan. Pada suatu Sabtu 12 April 2008 akan diadakan launching forum teaternya FLP Jogja di Balairung selatan pukul 16.00 WIB. Ada pembicara. Pembicaranya dari Teater Garasi. Menarik juga. Aku lupa topiknya. Sebenarnya aku ingin datang ke sana. Ingin tahu. Menambah wawasan. Mengisi waktu. Ternyata ada hal lain yang lebih penting dikerjakan untuk mengisi waktuku.

Pada hari itu aku praktikum Silvika di Wanagama. Silvika adalah ilmu menanam pohon. Wanagama adalah hutannya UGM. Pagi sampai siang itu hidupku dikejutkan oleh kehororan-kehororan dalam hutan. Keong. Ulat. Banyak teriak karena mereka. Banyak mendongak karena aku kebagian menghitung lebar tajuk pohon. Mata kesilauan. Tidak bawa kacamata hitam. Tidak punya.

Aku kira aku bakal masih sempat mendatangi acara FLP tersebut. Ternyata sampai di kampus hari sudah sore. Selepas solat ashar di masjid Al-Ihsan kampus Kehutanan aku tahu jam menunjukkan pukul setengah lima. Kalau aku datang ke sana, aku bakal telat setengah jam. Malu ah. Jadi aku melangkah pulang saja. Melewati Balairung. Jadi pemandu jalan dadakan bagi para calon mahasiswa baru yang besoknya akan mengikuti UM UGM. Teman-temanku dari SMAN - Bandung juga sedang di Jogja dan akan mengikuti tes tersebut. Mereka ada di Fakultas Teknik sekarang. Jauh. Nanti aku gak kebagian bis. Jadi aku hanya mengucapkan kata-kata semoga sukses via sms kepada salah satu temanku. Tak lupa aku juga sms Mbak Desi, minta maaf karena gak bisa datang. Trus aku tanya gimana acaranya. Sukses gak. Yang datang 10 orang.

 

Jumat besoknya. Perdana kedua setelah launching yang Sabtu itu. Aku sengaja gak ikut Reading Club-nya IFSA LC GMU. Paling debat lagi debat lagi. Gak suka debat. Gak penting. Aku lebih penasaran sama forum teaternya FLP Jogja. Bisa tambah ilmu sepertinya. Keknya asik. Hal yang baru. Dan gak ngajak debat tentunya.

Aku datang. Dan cuman Retno angkatan 9 FLP Jogja yang datang selain aku. Ternyata cuman dia juga angkatan 9 yang datang pada Sabtu itu. Tapi gak papa. Ada Isti juga. Ada Mbak Lilo yang selalu setia. Dan lain-lain. Lalu aku jadi kenal Mbak Leli juga. Dia dan Mbak Desi yang mengarang naskah itu. Naskah yang bakal dipentaskan di Diskusi Cakrawala. Whoa, hebat. Cepat juga geraknya forum ini. Kami mencoba Reading dan analisis tokoh. Lalu cari pemain juga. Siapa yang kira-kira cocok memerankan tokoh tersebut di antara kami... Pada mulanya aku nggak begitu niat terpilih sih. Aku cuman ikut-ikutan aja. Kalau dapat peran ya syukur...

Aku jadi polisi hutan.

Polisi hutan kok cewek??

Ada kok...

Polisi hutannya ada dua. Yang satu lagi belum tahu siapa yang memerankan. Mestilah cowok lah. Mbak Desi juga ngebayanginnya yang main jadi polisi hutan itu dua-duanya cowok kok. Sedih banget. Kurang pemain. Akhirnya akulah yang dipake.

Reading. Untuk sementara lawan mainku Mas Iim. Gak tau kenapa. Minder aku. Aku jadi gak yakin. Polisi hutan itu gimana sih nada bicaranya. Apakah harus tegas? Ataukah sok-sok ngejawa gitu? Kaku? Aku dengar Mbak Desi menyebut nama Rif’an.

Keesokan Sabtunya rencana untuk latihan lagi. Siapa tahu aja pemeran untuk polisi hutan satunya lagi sudah ada. Yaya. Aku Insya Allah datang. Aku selalu bisa datang.

 

Pada Sabtu itu ada acara menarik juga di Fakultas Ilmu Budaya UGM. Gi Korean Festival. Ada seminar tentang Film Korea pada jam 09.00. Ada film ‘Secret Sunshine’ jam 13.00 dan ‘My Tutor Friend 2’ jam 15.00. Aku nggak akan bisa nonton film yang kedua karena ada latihan teater. Padahal itu film katanya kocak sekali. Yah, nonton film gituan kan bisa ngerental kapan-kapan. Sementara latihan teater... Siapa tahu aja hari ini aku udah dapat lawan main dan bisa bener-bener latihan.

Aku datang. Satu per satu personil lain datang. Dan ternyata Mas Rif’an gak bisa. Jadi hari ini aku gak ‘main’ lagi dong? Padahal... padahal aku bisa nonton film kedua di FIB. Aku hitung-hitung jumlah dialogku di naskah. Cuman 7 kalimat pendek. Sampai jam lima sore aku masih bertahan dalam kehampaan. Menjaga agar perasaanku tetap sedatar LCD notebook. Tidak apa-apa. Tidak apa-apa.

Hari mulai gelap. Aku pamit pulang. Dalam naungan pepohonan Manilkara kauki aku mengsms teman dekatku di Bandung. Bertukar kemalangan. Dia cerita motornya mogok di Pasopati dan sedang menunggu bantuan. Aku cerita aku melewatkan film Korea terlucu demi latihan teater dimana lawan mainku gak ada dan dialogku sendiri cuman 7 kalimat pendek. Dia menyayangkan nasibku yang selalu malang. Huh, kek dia nggak aja.

Sesampai di rumah, hujan. Aku menunggu kepulangan Mbak Novi dan adiknya, Dila, yang menonton film tersebut. Mereka pulang dengan wajah puas sumringah. Ketika ku tanya bagaimana komen mereka terhadap film tersebut, Mbak Novi berkata, “Lucu selucu-lucunya!!”

Akh.

Malam itu aku—dibantu Dila—membujuk Mbak Novi agar mau pergi lagi keluar rumah. Mengantar pergi ke Wahana untuk pinjem ‘My Tutor Friend 2’ dan film apalagilah yang lain mereka pingin tonton. Mumpung bulik sekeluarga lagi pergi. Setelah beberapa lama akhirnya Mbak Novi mau juga. Bersamaku pergi ke Wahana, kami pinjam ‘Lovely Complex Live Action’ dan tentu saja ‘My Tutor Friend 2’. Pulanglah kami dan aku masuk angin.

Pertama kami nonton ‘Lovely Complex Live Action’ dulu. Malam sudah larut ketika filmnya selesai. Lalu saatlah film yang ditunggu-tunggu...

Ternyata tidak bisa diputar.

Bisa sih, tapi agak lama.

Karena tak sabaran jadi kumati-nyalakan CPU komputer yang baru beberapa hari diservis itu. Tetap tidak bisa. Ah. Menyerah. Gimana besok dah.

Keesokan harinya komputernya nggak bisa nyala sama sekali. Rupanya komputernya harus diservis lagi. Ya. Komputer baru diservis sensitif katanya. Jangan dulu dipake mainan. Jadi aku harus pergi ke rumah bude di RT sebelah untuk pinjam laptop. Aku harus ngerjain laporan kan. Kupinjam lagi disk ‘My Tutor Friend 2’ yang lain. Aku bilang pada penjaga rentalnya disk yang kemarin aku pinjam itu gak bisa diputar. Dengan disk yang baru aku coba tonton di laptop sepupuku. Ternyata laptop sepupuku nggak dipasang program yang bisa putar DVD. Jadi...

Ah, sudahlah. Jangan diingat-ingat lagi.

 

Sebagai koordinator publikasi aku berambisi untuk menyebarkan publikasi sampai habis. Sampai pada H-1 tidak tersisa lagi satu lembar publikasi pun di tanganku. Dalam waktu kurang dari dua minggu 750 lembar publikasi ini harus habis!! Banyak sekali ya. Pada mulanya kami hanya cetak lima puluh. Lalu seratus lagi. Eh, ternyata cepat juga ya habisnya. Lalu atas inisiatifku dan Mbak Novi, kami cetak lagi seratus. Tanpa lapor dulu ke ketua panitia, Mas Adi. Pas aku bilang sama dia, ternyata dia juga udah cetak lima ratus. Glek. Bener-bener glek. Besoknya aku datang ke forum non fiksi untuk ambil yang dia cetak. Mas Adi datang dengan pembawaannya yang menunjukkan dia sedang agak shock. Tempat yang kemarin telah ditetapkan sebagai lokasi Diskusi Cakrawala ternyata akan dipakai oleh acara lain. Mereka lebih dulu daripada kita. Jadi tempatnya ganti. Dan 750 lembar yang telah dicetak dan sebagian kecil disebar ini belum direvisi karena pemberitahuannya mendadak banget... gya... Udah mah publikasinya kebanyakan, salah tempat pula. Tapi tanggung jawabku untuk menyebarkan apa yang sudah terlanjur basah ini sampai habis. Aku optimis bisa. Caranya adalah dengan memberdayakan semua anggota FLP—juga kawan-kawan di luar itu—sebagai staf publikasi. Hahahaha...

Jadi pada keesokan harinya, yaitu Rabu, hari yang ditetapkan pada Sabtu kemarin sebagai hari melanjutkan latihan untuk persiapan pementasan Diskusi Cakrawala itu, aku sangat berniat datang, dengan niat sangat kuat adalah memberdayakan para pemain menjadi staf publikasi. Semuanya akan kukasih masing-masing dua puluh lembar. Huhu.

    

Rabu sore itu aku datang dan mendapati Mas Budi sudah ada di sana. Mas Budi itu termasuk orang FLP Jogja kedua yang aku kenal. Yang pertama itu Mbak Lilo. Mas Budi juga orang pertama yang aku temui di Jogja yang langsung nyambung begitu aku nyebut minimagz Openmind. Aku lupa bagaimana awalnya kami bisa ampe nyambung ke situ. Sama-sama tahu.

Ini adalah kesempatan. Aku mau kasih publikasi banyak banget ah ke dia. Tapi ini masih banyak yang belum diberi double tape. Lalu dia ngebantuin aku nempel-nempelin. Kata dia lebih cepat nempelin dengan menggunting double tape-nya lebih dulu. Menurutku itu gak praktis. Langsung sobek aja. Oke, kalau gitu mari kita buktikan mana yang lebih cepat.. Adu cepat itu tidak jadi berlangsung karena ada orang lain yang datang—aku lupa siapa—yang ngajak ngobrol Mas Budi.

Setelah beberapa lama datang juga orang-orang yang lain. Yang paling susah adalah mencari orang untuk memerankan polisi hutan dan penebang kayu. Namun pada hari ini para pemeran akhirnya telah ditetapkan. Syukurlah. Akhirnya aku punya lawan main juga. Hix. Dan orangnya Mas Budi. Heu.

Kami coba membaca dialog. Aku masih mencoba-coba gaya bicara yang pas. Apakah tegas. Apakah berlogat daerah mana gitu. Tapi yang paling bikin aku terusik adalah gaya bicaranya Mas Budi. Dia sama sekali gak memancarkan aura polisi melainkan anak muda sengak nan belagu. Aku merasa ini bukanlah interaksi antara dua polisi hutan melainkan anak Pramuka dan Bu Polwan. Apakah gaya bicaranya bisa agak tegas sedikit..?

Selain melatih dialog kami juga merancang masuk ke panggungnya dari mana. Gayanya mau kek gimana. Karena dialog kami berdua sama-sama pendek jadi ya lama latihannya pun pendek. Sebenarnya kami ada dialog dengan para penebang hutan cuman keknya mereka masih sibuk latihan sendiri. Jadinya kami pun urung. Pada sore itu aku bagikan publikasi banyak-banyak ke semua orang yang ada. Yang anggota FLP. Mbak Lilo yang paling banyak. Mas Budi juga banyak deng. Ayolah, ini kan pementasan pertama kita... kalian juga pingin banyak yang nonton kan?? Yang lain pada mau aja kukasih banyak-banyak (aku gak peduli mau mereka tempel di mana...) cuman Mas Johan aja yang ambil seperlunya. Kurang dari lima lembar pula. Dan dia juga titip publikasi lainnya ke aku dan Mbak Novi (yang sengaja ku minta datang untuk nambahin stok publikasi untuk dibagi-bagikan...). Ngah... Yah, pokoknya bebanku sudah berkurang. Sisa yang sedikit ini besok mau kubagikan ke anak-anak forum fiksi.

    

Forum puisi. Aku gak terlalu suka puisi sebetulnya. Kata anak-anak yang bawain Mbak Leli, jadi enak. Tapi aku nggak ngerasain. Aku kan mau latihan teater dan bagiin publikasi. Aku lupa waktu itu latihan apa. Yang jelas... besoknya GLADI RESIK!!

 

Tempat diskusinya jadinya di Ruang Rajawali Wisma Kagama. Pada Jumat itu anak-anak forum teater katanya mau gladi resik di sana. Tapi aku mau menghadiri rapat terakhir dulu di Masjid Kampus. Mas Budi juga ternyata ada di sana. Setelah rapat berlangsung beberapa lama, ia memberiku isyarat untuk pergi ke sana. Ya sudah, duluan saja. Aku menyusul setelah agak lama. Aku nggak begitu suka sebetulnya kalau menghadiri sesuatu itu setengah-setengah. Aku pergi ke Wisma Kagama dengan berjalan kaki santai. Karena sepeda tak ada naik motor pun tak bisa. 

Sampai di sana—jalannya bertele-tele juga—ternyata pas banget mau adeganku... Ya ampun, sudah pada menunggu ya?? Trus latihan deh. Mas Budi ternyata bisa bersuara keras juga. “TANGKAP DIA!!!” Aku mengejar-ngejar penebang kayu serasa mengejar anak ayam. Sangat antusias. Terutama yang namanya Mas Haris itu. Waha.

Dari semua tokoh menurutku yang paling greget Bondo ama Rimbi ya. Si Isti bisa aja main ekspresinya. Kalau aku yang jadi Rimbi kira-kira aku bisa gitu gak ya? Ntar imejnya Rimbi jadi jatuh, jadi Rimbidiot lagi. Jadi polisi hutan juga agak aneh e... Yah, aku cuman membantu saja.

 

Pada hari H... aku sudah membawa sepatu Eiger, ransel hitam, topi rimba hitam, kaos hitam, celana lapangan hitam. Semua serba hitam. Lalu Isti juga meminjamiku sarung tangan hitam. Tidak. Tidak. Semua itu tidak kugunakan begitu aku datang ke tempat kejadian. Pertama aku berlagak jadi penerima tamu dulu. Menerima tamu dengan senyum. Tak seorangpun mesti tahu, penerima tamu ini bakalan jadi polisi hutan di akhir acara. Uh, ya, maling lebih tepatnya. Karena outfit-ku dari atas sampai bawah serba hitam. Isti juga minjemin aku topi rimba abu-abunya soalnya kalau aku pake yang warna hitam juga mati entar... Mati apanya... Jadi kupinjamkan sama Mas Budi yang pake kaos putih dan celana coklat muda itu. Alas kakinya sepatu kets aja. Uh. Kok cuman aku yang niat ya? Niat jadi maling. Topi rimbanya nggak jadi dia pake. Kekecilan. Di daftar hadir panitia, aku menulis, ‘nervous uy...’. Aku ingat Mas Adi sempat menghampiriku bentar dan tanya, “D---, masih nervous?” Hihiw... Kagak ah. Aku mencoba enjoy aja.

Menunggu-nunggu... Sebentar lagi akan tiba... Menunggu di balik pintu... Memegang popor kayu... Aku paling ingat ekspresinya Mas Adi dan Mas Ade saat mereka keluar ruangan dan menyadari di balik pintu ada sesosok makhluk hitam. Topi rimba menutupi setengah kepalanya. Paling sialan tuh responnya Mas Ade. Ah, ya, sudahlah mau digimanain lagi. Aku sendiri dalam sanubariku merasa geli. Aku sengaja nggak pake kacamata kala itu. Biar nggak bisa liat penonton.

Trus aku masuk terakhir, setelah para penebang kayu. Begitu masuk, aku memilih berdiri tidak jauh dari tempat aku duduk lagi. Menyilangkan tangan. Berdiri tegak. Sok sok mengawasi keadaan. Gatau ah gimana kata orang pas tiba-tiba ngeliat aku sok cool gitu, waha. Aku cuman bisa liat Flower dan Nisa yang duduk di depan sana, melihatku lalu segera berbalik. Ntah geli ntah ngeri.

Jadi aku juga ikut menonton sebagian pementasan itu sampai tiba giliranku. Dan bodoh juga. Kemarin kan pas latihan seharusnya dialog pertama para polisi hutan itu, aku dan Mas Budi duduk di atas kursi biar kelihatan ama penonton. Eh, dia malah ngajak duduk di atas lantai. Aku sudah tahu kalau dia nggak mestinya duduk di situ. Udah ada kursi, itu mbok ya diisi. Tapi otomatis aku manut aja dan terjadilah percakapan pendek kami. Aku bisa ngebayangin jadi penonton paling belakang, terhalang kepala orang, dan menyaksikan tidak ada siapa-siapa di depan sana yang bisa dilihat dengan mata namun terdengar suara anak Pramuka belagu dan Bu Polwan.

Selesailah percakapan pendek itu. Kami kembali ke deretan bangku. Aku ngikutin Mas Budi aja. Termasuk ketika dia duduk di deretan bangku cowok-cowok. Trus ikut dia ke sisi satunya. Siap-siap nangkep penebang hutan neh...

Dia teriak.

Teriak juga.

Kejar-kejaran.

Menepi.

Menunggu Bondo dan Rimbi.

Lalu masuk ‘panggung’ lagi. Di mana aku mengawasi para penebang hutan sementara ‘partner’-ku mengurusi Bondo. Aku membentak-bentak mereka, para penebang hutan (pohon sih mestinya... ah, kadung ah), yang memelas-melas padaku. Aku bisa mendengar penonton menyebut-nyebut, “Ih, OSPEK ya, OSPEK ya...” Memangnya aku ngerti ibu Polwan asli gelagatnya gimana?

Adegan di mana aku menolak duit suap mesti jadi adegan yang paling ditunggu-tunggu Mas Budi, di mana dengan nikmatnya dia akan (dan pasti) mengatai aku, “bego”. Uh. Yaa, nikmat banget dia mengorek hatiku. Aku sudah cukup menyadari aku bego tanpa perlu dikatai sebenarnya. Tapi ini kan adegan... akting... akting...

Singkat cerita akhirnya selesailah juga pementasan itu. Para pemain berdiri di depan, saling bergandeng tangan, dan membungkukkan badan.

Horee... Alhamdulillah. Sampai di luar ruangan aku lepas topi rimbaku.

Hai, terima kasih sudah datang ke acara diskusi ini, sekarang lihatlah wajahku yang sebenarnya...

 

Extended: Pementasan kedua yang gak jadi

Woa, tampil lagi??

Aaa... di Maskamp ya. Minggu. Festival nasyid. Dalam bayanganku kami bermain teater di dalam masjid.

Kendalanya adalah, salah satu penebang hutan tidak bisa bermain saat itu. Jadi penebang hutannya tinggal satu deh. Dan dia jadinya bermonolog. Nah, kalau penebang hutannya yang satu itu gak bisa main juga?? Comot salah satu polisi hutan, jadikan dia penebang hutan. Jadi polisi hutannya tinggal satu. Keduanya—penebang dan polisi—akan bermonolog.

Setelah tahu Mas Johan dan Mas Haris gak akan tampil sehingga Mas Budi dijadikan penebang hutan dan itu artinya aku harus bermonolog sebagai polisi hutan... memikirkan itu bikin aku—kata orang Sunda mah—lieur. Isin aku. Tapi ini adalah hal baru. Patut dicoba tuh. Mungkin bisa nambah kepercayaan diri.

Tidak banyak waktu untuk latihan. Sekali latihan, sekaligus gladi resik. Sabtu sore. Minggu paginya pentas.

Namun pada Sabtu itu aku nggak pergi ke mana-mana sehingga aku agak urung untuk keluar rumah. Eman-eman ongkos masalahnya. Aku pergi ke luar dan menghabiskan duit empat ribu (lima ribu kalau aku pulangnya gak kebagian bis dan harus naik trans Jogja) cuman untuk menghabiskan waktu kurang dari 2 jam di luar rumah. Tadinya aku nggak mau datang. Namun Mbak Desi mengharapkanku datang karena Mas Budi dia tarik jadi penebang sehingga aku harus jadi polisi sendirian dan monolog dan... ntar dia bantuin. Oalah, bingung aku. Kata bulikku sih terserah aku aja mau pergi apa nggak. Bulik tahulah aku suka pergi ke luar menghadiri acara karena aku nggak enak kalau nggak datang. Aku minta Dila untuk mengantarku dengan motor. Untungnya dia mau. Jadilah pada sore itu kami menembus angin menuju Balairung UGM. Begitu sampai di sana ternyata udah pada mau moving ke Maskamp. Balik lagi deh.

Di Maskamp kami melihat-lihat tempat akan diadakannya acara dan merancang-rancang di mana posisi yang tepat saat akan berdiri nanti. Kami juga mencoba membaca dialog sambil menggerak-gerakkan tangan. Lebih ekspresiflah.

Latihan yang lumayanlah. Meski bertambah satu orang lagi yang suka ngatain aku ‘bego’. Uh. Oke deh. Insya Allah besok aku bisa tampil seperti itu. Aku menunggu esok. Belajar bermonolog. Butet Kertaradjasa, ah, aku jadi ingat dia.

 

Keesokkan paginya aku terbangun karena ketukan di pintu kamar. Itu omku. Om bertanya apakah aku akan pergi karena kalau nggak dia mau mengajari aku nyetir mobil. Karena masih terusik habis bangun tidur tanpa basa basi aku bilang aku nggak bisa karena habis ini mau pergi... Yaa, om hanya bisa tersenyum... Senyum apa itu, membuat hatiku mencelos. Aku sering ngerasa gak enak kalau diajak teman pergi-pergi yang bikin aku gak di rumah meski akhir minggu—harinya keluarga—tapi aku dengan begitu enaknya aku menolak ajakan orang yang selama ini kurepotkan. Ajakan untuk mengasah skill-ku dalam menyetir mobil. Abis gimana juga, ya, aku sudah punya agenda lebih dulu..

Aku pergi dari rumah dengan sudah mengenakan seragam malingku. Uh, ganti ah, jangan maling. Tim SWAT gitu. Jadi ada personil tim SWAT naik D6 Minggu pagi, berhenti di kawasan Bulaksumur. Awaha.

Aku turun dari bis dan berjalan menembus kerumunan orang-orang yang merasa harus menghabiskan duit mereka untuk sesuatu yang belum tentu akan berguna. Sampai di sana... di mana kalian? Itu Isti, Retno, Mbak Leli bawa popor. Mbak Desi lagi sama keluarganya katanya. Ooo... turun ke bawah...

Masalah.

Masalah itu bukan menjangkitiku. Aku tidak masalah berlagak di depan ikhwan terutama. Lagian dengan outfit macam ini nggak jelas aku ini cewek pa gimana. Namun ada beberapa orang yang kurang nyaman dengan situasi demikian. Di mana semua mata—terutama mata ikhwan akan mengarah padanya... Uh. Ya. Terserah sih. Gak tau ah. Gak mau mikirin. Kalau jadi ya oke. Kalau gak jadi ya gapapa. Aku netral-netral aja kok. Kalau gak jadi aku mau segera ke Klebengan, nyiram dan ngukur semai, pulang, dan menggarap laporan.

Pementasan nggak jadi. Diganti puisi. Mas Budi, Mas Anjar, dan Mas siapa-entah-aku-lupa-euy-namanya. Mas Budi teriak menggelegar, menarik orang-orang di jalan melihat. Ah, ini orang emang... Pingin juga tuh aku teriak teriak di panggung kek gitu.

Setelah ditraktir bakwan dan gulas, aku diantar Isti ke Klebengan. Ternyata gerbangnya dikunci jadi aku gak bisa nyiram dan ngukur sekarang. Aku lewat jalan samping. Gak ada jalan. Aku kembali dengan dada berdebar karena bertemu bekicot dan ulat. Terbersit rencana untuk memanjat. Tapi pakaianku udah hitam-hitam begini... Orang-orang di pinggir jalan gak mungkin menyangka aku personil tim SWAT yang hendak meredam bom yang tersembunyi dalam kebon kan? Yang kepikiran pasti maling. Dasar orang Indonesia suka suudzon. Trus aku jalan menantang panas ke Net2u, warnet langganan depan kampusku. Selama sekitar dua jam aku menghamburkan duitku. Aku balik ke Klebengan dan ternyata masih dikunci. Mau gimana lagi aku... Gak mungkin panas-panas begini tetap di situ dan akan menunggu di mana pula...? Jadi aku jalan ke selatan, hendak mencegat D6, melintasi UNY, sambil memikirkan juga apa yang hendak kutulis dalam cerpen pementasan pertama forum teater FLP Jogja ini...


HABIS KATA #5

Sekali lagi benar. Senyatanya ini bukanlah cerpen melainkan sebuah kisah nyata yang terjadi pada saya. Bisa dikatakan ini adalah comotan dari catatan harian saya. Catatan harian khusus sehingga saya izinkan orang lain membacanya.

Karena catatan harian ini dibuat meamng karena ada orang yang memintanya.

Mbak Desi...

Dia berencana membukukan kisah di balik pementasan teater pada Diskusi Cakrawala FLP Jogja April 2008 kemarin, yang ditulis oleh para pemeran tokoh yang ada dalam teater tersebut. Salah satunya saya. Butuh beberapa waktu dan beberapa kali menulis hingga jadilah tulisan saya yang dapat terbaca ini. Saya biasa menulis buku harian jadi tidak ada masalah berarti dalam menulis ini. Seperti menulisi buku harian seperti biasa saja, hanya kali ini medianya saja yang ganti.

Pada waktu menulis ini sejak awal saya sudah memakai font Lucida Console dan saya biarkan saja tetap begitu hingga ke wujud hardcopy-nya. Yah, ganti suasana jugalah, masak Times New Roman terus.

Entah saking keringnya ide di kepala saya pada Mei 2008 itu atau memang sedang rese-resenya itu si kehidupan akademis memanggil saya, sehingga pada bulan Mei itu tidak ada cerpen yang saya hasilkan. Jadi demi memenuhi tuntutan program kerja yang saya buat sendiri, saya jadikanlah tulisan ini sebagai cerpen Mei. Kalau tidak salah, kebetulan memang deadline tulisan ini adalah Mei jadi ya cocok. Bisa-bisanya ya saya, haha...

Tidak banyak yang bisa dibahas lagi mengenai cerpen ini selain bahwa apa yang tertulis memang benar adanya. Saya mungkin bukan seorang yang piawai menggarap pengalaman sehari-hari menjadi sesuatu yang sangat menghibur dan menarik dibaca. Dengan demikian saya biarkan pembaca mengetahui sepenggal dari catatan harian saya. Semoga bisa diambil hikmahnya dan janganlah sampai merasakan kemalangan yang sama.

Oh ya, ternyata film ‘My Tutor Friend 2’ itu, setelah saya menontonnya sebagian, tidak sebegitu ‘lucu selucu-lucunya’. Kalau mau ngakak saya sarankan untuk menonton ‘Naked Gun 2 ½’ dan ‘Shaun of The Dead’. Tapi maaf saja kalau selera humor kita berbeda. (12/30/2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain