Selasa, 06 Mei 2008

Segalanya Pergi Menghancurkan Batin

1

Elmo tenggelam dalam kasur empuk dengan posisi telungkup. Tangkuban Elmo. Seluruh celah yang memancarkan cahaya ditutupnya. Pintu kamar dikuncinya. Tidak ada yang bisa masuk ke dalam penjara batinnya. Bahkan sekalipun kecoak. Peduli amat bila pintunya didobrak. Kedua lubang telinganya disumbat musik yang merangsang orang untuk bunuh diri. Sejak pagi pintu sudah digedor berkali-kali. Nggak denger. Nggak denger. Elmo lagi mati. Pergi sana.

Elmo tidur terus sejak sampai kamar. Tidak keluar-keluar lagi dia. Dia berkali-kali mimpi-trance-sadar-trance-mimpi-trance-sadar. Biasanya dia mimpi dia bangun dari segala kekacauan tersebut dalam tubuh serangga. Mirip-mirip Metamorphosis-nya Frans Kafka gitu. Terakhir kali dia mimpi dia bermetamorfosis jadi ulat kantong dan karena perubahan fisiknya yang jadi bukan manusia lagi itu pacarnya sms minta putus. Aduh, siapa sih nama pacarnya? Bahkan Elmo pun lupa. Pokoknya dia cantik kayak Putri Indonesia. Siapa namanya? Ah ya, Artika. Dia mimpi Artika lagi jalan-jalan sama Baim pakai baju kurang bahan warna perak. Enak di Baimnya. Subhanallah. Dalam keadaan Elmo menderita sekali itu Artika tampak cantik sekali.

Setelah melalui proses trance yang melenakan Elmo tak bisa memejamkan matanya lagi. Kepalanya terangkat, menoleh, tak sengaja matanya menangkap seraut wajah di cermin. Oh, siapa itu? Jelek banget. Elmo bahkan tidak sanggup mendeskripsikannya. Bayangan itu seolah-olah bilang sama dia, “Mati kamu.”

Elmo bangkit dan terduduk namun tetap menunduk di atas kasur. Tangannya merogoh-rogoh tas dan mendapati hapenya berada di paling dasar. Dia pingin sms seseorang. Sms apa ya? Tidak tahu hendak mengsms apa. Pokoknya sms. Entahlah mungkin nanti kepikiran.

Elmo mengaktifkan hapenya. Menunggu sebentar. Hapenya bergetar tanda ada sms yang masuk. Bergetar terus. Wuah, banyak sekali smsnya... Entah dari siapa saja. Missed call lebih lagi. Belasan kali telepon dari rumah. Mungkin hendak menanyakan apa kabar hasil SPMB-nya. Buruk. Ia harus ganti nomor. Jempolnya otomatis memencet tuts pada sms Artika.

           

Putus y.

 

Artika tidak pernah mengirimkan sms sependek itu.

Mimpi. Ini pasti masih bagian dari mimpinya yang tersendat-sendat...

Tubuh Elmo terempas lagi ke kasur. Memejamkan mata selama beberapa lama. Ia tak mampu terlelap lagi.

Tadinya Elmo hendak membanting hapenya. Tapi melihat begitu banyak sms dari Aze ia jadi urung. Namun Elmo malas membaca satu per satu. Apalagi sms dari... Trista. Elmo menahan nafas.

 

2

Hanya temaram lampu meja yang menemani Elmo. Ia sedang mengetik surat wasiat di komputer. Ia pun memikirkan juga akan dimakamkan di mana ia nantinya. Apakah ia cukup layak dimakamkan di makam keluarga di Singaparna? Di belakang rumah Mas Fahri ada pemakaman. Di situ aja gitu? Biar dekat kalau sekali-sekali mau menggentayangi Mas Fahri sekeluarga. Apa di halaman rumah saja biar tidak merepotkan orangtua?

Dear, Mama, Papa...” demikian Elmo mengetik. Aduh, dalam sekejap ia tidak tahu hendak menorehkan kata apa lagi. Lagian di SMA tidak pernah ia diajarkan cara membuat surat wasiat yang baik dan benar. Ia sudah bosan diajari bikin surat lamaran kerja meski kini dia sadar bahwa hal tersebut penting bagi lulusan SMA yang tidak tembus SPMB. Tapi kini dia lebih berminat membuat surat wasiat saja.

Bertepatan dengan pintu kamar diketok dia berhenti mengetik lalu langsung mengklik minimize di jendela MS.Word.

“Elmo...”

Suara berat itu!!!

Elmo loncat ke kasur dan menyelubungi dirinya dengan selimut. Pura-pura tidur.

“Cklek...”

Pintu terbuka. Lampu yang menempel di atap lalu memancarkan cahaya putih yang terang benderang. Sialan! Punya kunci serep dia rupanya!!

Elmo tidak tahu apa yang terjadi di dunia di luar selimutnya. Ia mendengar ayahnya mengeluarkan suara tertahan. “Hmp.”

Elmo memejamkan matanya. Tidur ah. Tidur. Gagang kacamata masih menempel di pelipisnya. Elmo tidak mau membuat gerakan lagi.

Terdengar suara klik-klik dari mouse.

“Bikin surat wasiat, Elmo?”

Alamak.

“Bangun Elmo.”

Dari suara-suara yang terdengar Elmo mengira papanya telah menarik kursi mendekat untuk didudukinya.

Elmo lagi mati. Jangan diganggu.

“STAN nanti masih buka pendaftaran...,” papanya berbicara.

Elmo tidak pernah terpikir untuk masuk STAN. Elmo selalu kepikiran masuk STEI Institut Top Banget. Tidak ada yang dapat menggoyahkannya.

“Pria macam apa kamu seharian tidur begitu sementara berapa juta pemuda seumuran kamu bangun di pagi hari untuk membuka bengkelnya, usaha tambal bannya, mengangkat paculnya. Kamu andalan papa, Elmo.

“Mulai besok pagi papa nggak mau melihat kamu masih malas-malasan begini! Papa nggak ingin ada pria lemah di rumah ini.”

Papa masih berorasi hingga lima menit ke depan. Sesudahnya Elmo terisak pelan. Saat penjara itu gelap kembali tembok di hadapannya retak. Malam itu Elmo berusaha tidur dengan bogem nyut-nyutan.

Dia tidak memperhitungkan berapa besar momentum yang akan terjadi. Dia tidak mau pula mengingat-ingat rumusnya.

 

3

Matahari amat kejam pada jam dua seperempat siang. Terlebih di puncak bulan kemarau ini. Tapi ini sudah rutinitas. Mau tak mau meski Aze tak bisa bersahabat dengan kondisi seperti itu ia harus menerimanya. Ia menyusuri gang menuju ke rumah Mas Fahri yang dijadikan markas BC tersebut. Gontai. Oh, keteduhan... Sirnalah wahai kegerahan! Es batu! Mana es batu! Aze mau minta es batu pada istri Mas Fahri.

Begitu mencapai pintu rumah Mas Fahri, meminta es batu, mengulumnya, dan merayap ke pintu yang menuju tempat les, betapa tercengangnya Aze melihat sesuatu yang tak disangkanyana... Siapa lagi itu kalau bukan Elmo?

Elmo lagi membaca koran di lorong. Dahinya berkerut-kerut tanda sedang berpikir. Lingkaran-lingkaran hitam tebal di sekeliling matanya. Gips yang dulu membebat lengan kirinya sudah lama dilepas. Sekarang ganti tangan kanannya yang dibalut perban. Apakah gerangan yang terjadi..?

Aze tidak tahu harus berucap apa pada lelaki itu. Tadinya ia ingin menyapa “hoi!” tapi entah mengapa kok urung jadinya. Biar Elmo sadar sendirilah. Aze masuk ke tempat Mas Luki, adiknya Mas Fahri yang mengajar Kimia.

“Mas Luki...” tegur Aze.

Mas Luki dan anak yang sedang diajarnya—kedua-duanya mendongak.

“Eh, Aze. Sekarang mau belajar apa?”

“Mas, dari jam berapa Kang Elmo di sini?”

“Ada si Elmo? Baru tahu saya...”

“Tengokin.”

“Ah, nanti aja.”

Terdengar di luar suara Mas Fahri memasuki lorong. Terdengar keterkejutannya melihat Elmo.

“Eh, Elmo, masih butuh tali tambang?” tanya Mas Fahri dengan nada riang.

“Dasar psikopat,” desis Mas Luki. Muridnya tersengal menahan senyum.

Aze menengok keluar ruangan. Ia melihat Elmo tersenyum kecut. “Nggak, Mas. Sekarang saya butuhnya batu-batu berat buat dimasukkin ke kantong.”

“Masak mau nenggelamin diri di kali, Mo. Emangnya masih jaman ya? Jaman sekarang mah yang lagi ngetren gantung diri. Lagian kali mana di Bandung yang masih dalem? Udah pada dangkal semua lagian banyak sampahnya ama lele koneng. Masak kamu mau tewas dalam kubangan tai?”

Elmo mesem-mesem saja. Aze nyaris ngakak.

“Nggak, Mas. Batu-batunya buat saya ngelempar papa...” Elmo seperti mendesis saat mengucapkan kata ‘papa’.

Aze sempat merasakan beberapa detik di sekitarnya tanpa suara. Hingga seekor cicak memberanikan diri untuk berdecak, dinamika bimbel semi privat itu kembali berjalan.

Belajar dari sang cicak, Aze pun memberanikan diri keluar dari tempatnya mengintip.

“Eh, ada Kang Elmo...”

Terinspirasi dari Aze yang belajar dari sang cicak Mas Fahri pun mencicit lagi, “Mo, mau cobain rokok, Mo?” Ia menyulut rokoknya dengan lighter dan menghisapnya lalu ngeloyor.

“Kang, belajar yuk, Kang. Aze ada yang nggak ngerti nih.”

Mula Aze mengira Elmo masih trauma dengan soal-soal. Takut mengingatkannya pada SPMB. Tapi Elmo mau saja disodori soal. Sikap Elmo masih dingin tapi Aze dapat memakluminya.

Lalu mereka pun belajar hingga petang menjelang di ruang terpencil yang dulu jadi tempat persinggahan Elmo setelah mengalami keruntuhan kedigdayaan. Ruangan itu berfungsi sebagai ruang cadangan kalau BC sedang kedatangan banyak ‘pasien’ atau ada ‘pasien’ yang mau menginap hendak intensif mengerjakan soal semalaman. Namun tidak banyak yang ngeh akan keberadaan sudut tempat jalan menuju ruang terpencil itu berada. Elmo akan aman di situ dari jamahan pandang orang-orang yang mengenalnya, apalagi kalau orang itu murid SMAN Bilatung juga.

Ketika sudah waktunya pulang, Elmo mengajak—atau lebih tepatnya menyuruh—Aze untuk ikut bersamanya jalan-jalan ke BSM—Bandung Super Mall.

“Mo ngapain ya?” tanya Aze curiga.

“Nemenin Elmo aja. Bentar doang kok.” Ada sedikit keketusan dalam kalimat Elmo. Karena takut didamprat kalau menolak, Aze menurut saja, apalagi sepertinya emosi Elmo masih labil.

“Mm.. kalau entar ada anak Bilatung atau sebangsanya yang Akang kenal?” tanya Aze lagi, kali ini pernuh kehati-hatian.

Elmo terdiam sebentar sambil memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. “Gimana nantilah.”

Ini pertama kalinya Aze naik kendaraan yang dikendarai sendiri oleh Elmo. Sebenarnya pertama kalinya juga Aze berkendaraan duaan saja dengan cowok dan kendaraan yang dipakai bukanlah kendaraan umum. Ada sedikit debar di hatinya. Selama perjalanan mereka diam-diaman. Wajah Elmo tidak enak dilihat. Untuk mengabaikan segala ketidaknyamanan ini, Aze mengamat-amati bagian dalam mobil Elmo. Dari situ ia menerka-nerka seperti apa kepribadian Elmo sebenarnya. Aze seperti melihat lautan aura ungu.

Kurang dari setengah jam mereka telah duduk di atap mal tersebut, menyaksikan sunset yang tenggelam dalam lautan perumahan sambil menyantap Roti Ngomong.

“Kang Elmo tadi dari mana aja sebelum ke BC?” iseng Aze bertanya. Dia menanyakan hal itu karena tidak tahu mau bicara apa lagi. Aze sedang dalam proses memahami realita yang dialaminya tadi. Elmo ke BC? Apakah dia tidak takut atau malu bertemu dengan anak SMAN Bilatung selain Aze? Adik kelasnya gitu, secara Elmo cukup beken. Ya meskipun jadinya mereka belajarnya ‘ngumpet’ juga. Ia bersyukur selama di BSM ini belum bertemu satu wajah pun yang dikenalnya sebagai wajah anak Bilatung. Entah kalau ternyata sebenarnya ada yang Elmo kenal.

“Kang, aku liat tadi spanduk di sekolah...” Aze sudah lupa dengan pertanyaannya yang tidak dijawab Elmo tadi. SMAN Bilatung mempunyai tradisi, setiap habis pengumuman SPMB setiap kelas yang lulus akan menuliskan nama-nama penghuni kelas tersebut beserta fakultas dan Perguruan Tinggi mana yang telah menerima mereka di sebuah spanduk besar. “...angkatan Akang nggak cuman Akang aja kok yang... nggak lulus SPMB.”

Aze menghentikan segala aktivitasnya sebentar untuk melihat bagaimana reaksi Elmo. Aze duduk di undakan semen belakang Elmo sementara Elmo duduk di lantai. Aze nggak bisa melihat ekspresi Elmo. Aze cuman tahu Elmo sedang mengunyah roti abonnya.

“Oh..,” kata Elmo akhirnya. “Tadi juga sebetulnya Elmo mo ngomongin itu ke Mas Fahri tapi tadi ngajarin Aze... lupa. Yah, udahlah. Udah lewat.”

“Syukur atuh.” Aze lega. Kini berharap ia Elmo bisa menatap dunia dengan kepercayaan dirinya lagi. Tidak lagi takut ketemu sama orang yang dia kenal. Semoga... “Ke sekolah atuh yuk, Kang. Silaturahmi.”

“Ogah.”

Aze bungkam untuk beberapa lama, demi menghabiskan sisa-sisa rotinya. Oh, nikmatnya rasa di lidah ini, dipadukan dengan sensasi yang ditangkap mata, indahnya semburat jingga di kejauhan sana. Tentu saja kalah jauh dengan sensasi yang ditimbulkan jika melihatnya dari Pantai Sanur... Bersin Elmo menarik Aze dari bias nuansa jingga tersebut, meingatkannya akan mimpi seramnya yang kapan itu. Dalam mimpi tersebut Elmo merokok. Biasanya orang kalau sedang stres larinya ke rokok... Mungkin perasaan Elmo bisa lebih membaik kalau dia merokok? Kalau begitu suruh si Elmo merokok saja. Bukan saran yang baik tapi jika itu baik untuk keadaan emosi Elmo yang menegangkan Aze, maka Aze mencobanya.

“Kang, nggak ngerokok?” Aze sudah siap-siap menjauh dari asap rokok apabila Elmo jadi merokok.

Elmo malah menatapnya bingung. “Elmo nggak ngerokok.”

“Anak BKS nggak ngerokok?”

“Emang anak BKS harus selalu ngerokok?”

“Kenapa Akang nggak ngerokok?”

“Karena gue emang nggak kepingin ngerokok!?”

Aze buru-buru menarik diri dari percakapan ganjil itu. Ya, ganjil. Anak-anak BKS yang terkenal beringasan dan suka bentakin orang itu... Cewek-ceweknya judesnya bukan main. Cowok-cowoknya berandalan. Tapi tetap intelek, tentu saja, kan anak Bilatung. Tapi anak BKS yang satu ini tidak merokok. Anak BKS yang satu ini kemarin menangis di bahunya. Anak BKS yang satu ini... kok bisa jadi anak BKS?

Elmo mengelap bibir dengan punggung tangannya seraya beranjak dari duduk.

“Hayu ah, Ze. Udah mulai gelap. Mau pulang nggak?”

“Oh, iya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain