Sebagian orang mungkin menganggap ini biasa saja. Namun bagi
saya yang kerap menghindari berbagai hal yang bisa menimbulkan kecemasan, ini
merupakan suatu lompatan besar. Terima kasih kepada Eneng Siti Saidah yang
telah memberi saya kesempatan ini. Tanpa ia sadari, ia telah memaksa saya untuk
belajar bagai hendak menghadapi ujian pendadaran pada malam pergantian bulan
itu. Dan membuat saya menyadari bahwa apa yang tadinya hendak saya teliti
sebagai skripsi memang tidak memiliki permasalahan berarti.
Padahal saya belum pernah ujian pendadaran—bahkan menghadiri
teman sekalipun. Hanya saja “ujian pendadaran” kali ini yang menguji bukan
sekadar dosen, melainkan siapapun yang menyimak. Bisa siapa saja. Bisa berapa
saja. Sungguh samar.
Maka saya membuka berbagai buku, dokumen pemerintah, sampai
artikel mengenai hutan kota—di Kota Bandung khususnya, dengan tekad. Saya harus
menguasai ini. Solusi saya acap berujung pada menulis. Lalu saya pun membuat
tulisan mengenai apa yang akan saya sampaikan sebagai pemateri dalam kajian
mengenai keberlanjutan hutan kota di Bandung secara live di KLCBS 100.4 FM
Bandung pada 1 Oktober 2011, pukul 10.00 – 11.00 WIB. Bisa dilihat di sini.
Bagaimanapun juga, ini agak terasa seperti mimpi yang jadi
nyata. Pertama, waktu SMP saya dan teman-teman dekat suka mengangankan diri
kami jadi penyiar radio. Kedua, KLCBS termasuk radio favorit saya—selain RRI
dan Ardia Jogja untuk masa sekarang ini. Jazz, Islam, dan penyiar wanita
bersuara khas adalah keunikan dari KLCBS yang menjadikan radio ini sebagai
radio yang paling ingin saya dengarkan saat saya pulang ke Bandung. Ketiga,
saya diminta jadi pemateri tentang hutan kota yang memang jadi minat utama saya
selama kuliah di Fakultas Kehutanan UGM. Saya merasa dianggap bagai seorang
ahli saja—meski mungkin sebenarnya tidak ada yang menganggap demikian. Dan
memang saya pernah mengangankan diri saya menjadi ahli perhutanan kota.
***
Kajian on air di KLCBS mengenai berbagai masalah perkotaan di
Kota Bandung merupakan program turun-temurun di Himpunan Mahasiswa Teknik
Planologi Pangripta Loka ITB. Program ini sudah dimulai sejak tahun 2006—atau
angkatan 2006?—dan Eneng sebagai ketua pelaksana adalah sang pewaris tanggung
jawab.
Pagi itu kami bertemu di depan gedung SAPPK ITB. Sembari
menunggu waktu yang dijanjikan, 9.15, saya mengamati beberapa orang yang hendak
memotong dahan salah satu pohon di taman depan gedung. Ini merupakan salah satu
bentuk pemeliharaan pohon di ruang terbuka hijau. Hanya karena ini berkaitan
dengan apa yang hendak jadi bahan studi saya selama hari-hari ke depan, ini
menjadi suatu hal yang menarik.
Berbagai alat, mulai dari parang, tali rafia yang
disambungkan ke tongkat panjang, sampai gergaji, didatangkan untuk dapat
memotong dahan mati yang berdiameter cukup besar itu—mungkin belasan cm.
Pemotongan bagian yang mati dari pohon diperlukan antara lain untuk menghindari
patahnya bagian tersebut sewaktu-waktu yang dapat membahayakan apapun-siapapun
di bawahnya. Selain itu bagian tersebut masih menyedot energi meski sudah tidak
produktif. Jadi ketimbang begitu, lebih baik apabila energi tersebut
dilimpahkan untuk bagian-bagian lainnya saja agar tumbuh semakin bagus.
Saat saya dan Eneng meninggalkan area tersebut, mereka belum
berhasil menjatuhkan sang dahan.
Di halaman depan ITB yang berseberangan dengan Taman Ganesha,
saya bertemu dengan Sandra (Planologi ITB ’08) dan Rahman (Teknik Geologi ITB
’09). Mereka bertiga ternyata alumni SMAN 3 Bandung juga—sama seperti saya dan
Eneng—namun saya tidak ingat mereka sama sekali… (:-/) Menyusul kemudian adalah
Zilla (Planologi ITB ’09). Saya, Rahman, dan Zilla adalah pemateri untuk kajian
kali ini. Eneng memberitahukan bahwa nanti ada tambahan narasumber. Tidak hanya
dari Bandung Creative City Forum (BCCF) yang akan menyertai kami siaran, tapi
juga dari Dinas Pemakaman dan Pertamanan Kota Bandung. Setelah Fidik, atau
Vidik, atau Fidiq, atau Vidique?—seorang lagi teman Eneng dari Planologi ITB ’08—datang
dengan mobilnya, para cewek memasuki mobil tersebut sementara Rahman mengiringi
dengan motornya.
Sepanjang perjalanan menuju Karang Layung, hampir tidak
terasa kecanggungan karena saya baru mengenal mereka—semua, kecuali Eneng.
Sebenarnya bergaul dengan orang yang baru dikenal bukan kesukaran berarti bagi
saya setelah saya benar-benar menghadapinya. Yang acap saya cemaskan adalah
bayangan sebelum hal itu terjadi. Hari ini juga di kaca bagian belakang sebuah
angkot saya membaca tulisan besar “ANGAN TAKUT BAYANGAN”. Maksudnya, “ANGAN”
tuh “JANGAN” kali ya. Saya langsung kepikiran sebuah ide cerpen.
Saat ditanya mengenai apa yang saya pelajari di kampus saya,
saya masih oke. Saat Fidik menyinggung artikel mengenai hutan bambu yang
dibacanya di KOMPAS beberapa waktu silam—setidaknya saya tahu mengenai artikel
tersebut meski tidak baca, saya mulai rada gelagapan. Secara umum, para
mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM tidak mempelajari bambu. Kami mempelajari
jati. Mengapa sih di jurusan saya tidak ada mata kuliah yang khusus mengenalkan
jenis-jenis konservasionis macam bambu?
Kantor KLCBS terletak di kawasan Bandung utara. Di kawasan
ini, kamu bisa menemukan semacam “perumahan terbuka”. Saya istilahkan demikian
karena saya merasa kawasan ini seperti perumahan padahal jalanan yang membelahnya
adalah jalan raya. Ukuran jalannya tidak terlalu besar—dua mobil cukup—namun
mulus. Pedestrian aman dan nyaman berjalan di sini berkat pepohonan rindang
yang menumbuhi pinggiran trotoar disertai pemandangan rumah-rumah bagus yang
memanjakan mata. Kantor KLCBS termasuk di antaranya.
Fidik memarkir mobil di tepi jalan. Kami memasuki halaman
sebuah rumah untuk dapat memasuki halaman rumah yang ada di sebelahnya. Rumah yang
satu itulah kantor KLCBS. Ada kandang besar di halaman rumah tersebut yang
harus kami lewati untuk dapat mencapai pintu masuk. Kandang tersebut berisi
anjing-anjing kecil yang aktif meloncat-loncat dan menggonggongi kami. Selama
melewati mereka, saya acungkan tanda “V” dengan tangan kanan. Keberadaan para
anjing hiperaktif ini sangat mengherankan kami yang selama ini menyangka bahwa
KLCBS adalah radio muslim. Pendirinya saja yang merancang masjid Salman ITB.
Ya, bahkan Eneng yang sudah sering ke mari pun masih menyatakan keheranan
serupa.
Di ruangan depan, kami disambut oleh Pak Arif Prasetya dari
Dinas Pemakaman dan Pertamanan serta Mbak Priyansi. Ada kawan Zilla juga yang
sudah menanti di sana, Gina. Pak Arif tampak resmi dan membawa sebuah map. Mbak
Priyansi bukan sekadar front-woman
ternyata, waha. Beliau yang berjilbab dan berblus biru muda adalah penyiar yang
akan mendampingi kami selama sejam ke depan. Kami yang baru datang lalu duduk
dan mengobrol sebentar—sekadar perkenalan diri singkat.
Kursi yang kami duduki empuk dan berwarna hitam. Saya duduk
dekat pintu—bersama Pak Arif mengapit Rahman. Di samping Pak Arif adalah jalan
menuju musola. Kami membelakangi kaca depan. Di seberang kanan saya ada semacam
meja informasi. Memang banyak brosur informasi di atas sana—berbagai pihak yang
mensponsori KLCBS. Menempel pada dinding, ada sebuah rak kaca. Di dalamnya saya
melihat Al-Quran dan mungkin berbagai kitab lainnya. Ada juga sesuatu dari
Walini—nama teh yang lagi populer di Bandung.
Mbak Priyansi lalu menyuruh kami langsung masuk ke ruang
siaran agar acara nanti bisa dimulai tepat waktu. Saat itu tinggal Mas Fiki
dari BCCF yang belum datang. Pada saat yang bersamaan memang sedang diadakan
sebuah acara penanaman pohon di Babakan Siliwangi. Acara ini merupakan bagian
dari konferensi internasional anak dan pemuda mengenai lingkungan hidup, Tunza,
di mana BCCF sebagai inisiator diresmikannya Babakan Siliwangi jadi hutan kota
turut terlibat.
Yang memasuki ruang siaran rupanya hanya kami yang akan
bicara. Di balik kaca ruang siaran, tampak Sandra, Eneng, dan Fidik duduk
menunggui kami. Saya amati dinding kedap suara yang seperti gabus
ditusuk-tusuk, juga seantereo bagian ruangan lainnya. Ingin saya rekam dan
simpan dalam ingatan tanpa ingin kehilangan. Saya kira saya sudah pernah
memasuki ruang siaran sebelumnya. Waktu itu saya masih SD dan sedang mengikuti
lomba aritmatika di radio Maestro 92.5 FM Bandung. Aneh ya, lomba kok
disiarkan? Namun waktu itu kan saya belum bermimpi jadi penyiar radio.
Ruang siaran yang sesungguhnya tampak berbentuk trapesium
tapi seginya ada lima. Mbak Priyansi duduk menghadap kami—para pemateri dan
narasumber—yang duduk berjejer. Zilla duduk paling ujung, lalu Rahman, saya,
dan Pak Arif. Jumlah mic pas untuk
kami berlima—nantinya mic saya yang
diambil saat Mas Fiki datang. Ternyata hanya Mbak Priyansi yang menggunakan headphone.
Selain mic, di meja
terdapat beberapa gelas air mineral untuk kami, plus sedotan, lalu dua kotak
kayu yang entah apa fungsinya, sebuah benda hitam dengan tombol-tombol bernomor
seperti telepon namun terdapat tombol berwarna merah juga, serta sebuah
komputer berlayar datar dan cukup besar. Tampilan huruf, warna, dan sebagainya
pada layar tampak biasa sekaligus zadul. Namun tentu saja yang ditampilkan di
situ adalah suatu program khusus. Pada layar tersebut kita bisa membaca sms
yang masuk. Secara otomatis, tiga digit dari deretan nomor yang masuk berubah
jadi huruf “x”. Di sudut ruangan terdapat speaker
kotak hitam. Kami bisa melihat ruangan sebelah karena setiap ruangan dibatasi
oleh dinding kaca dari bagian tengah ke atas. Suhu ruangan adem dan wangi dan
kalau ada yang kentut pasti tercium sekali.
Pukul 10. Semula saya tak mengira Mbak Priyansi ini penyiar
KLCBS yang biasa. Suaranya tidak terdengar khas sebagaimana para penyiar wanita
KLCBS yang biasa saya dengar. Namun ketika ia mulai bicara pada pendengar
radio, suaranya jadi terdengar sewajarnya. Wow.
Setelah memberi pengantar, saya menjadi pemateri yang diberi
kesempatan pertama untuk bicara. Sesuai yang telah dibicarakan di awal, kajian
ini dimulai dari definisi mengenai hutan kota. Saya tak hapal persis redaksi
definisi hutan kota menurut Society of American Forester (SAF), PP no. 63 tahun
2002, Fandeli, hingga Dahlan, namun saya tahu intinya. Saya bilang bahwa banyak
definisi tentang hutan kota. Saya katakan bahwa definisi milik SAF dan
pemerintah itu ribet karena menyertakan kriteria luas. Pada intinya, suatu
hutan kota itu dapat menciptakan iklim mikro. Mbak Priyansi meminta penjelasan
lebih lanjut tentang iklim mikro. Saya hanya katakan kalau pada intinya iklim
mikro itu adalah suasana yang berbeda yang kita rasakan saat berada di dalam
hutan—penjelasan lebih rinci bisa panjang! Dan saya menjelaskan ini semua
dengan cepat dan susunan kata belibet, tentu saja. Gugup, iya. Sesungguhnya
kurang paham, mungkin juga. Namun pada
intinya, saya menyukai pengertian yang sederhana.
Setelah saya, adalah giliran Zilla menjelaskan tentang
bentuk-bentuk hutan kota. Saya tidak terlalu mendengarkannya. Saya kira setelah
Zilla adalah giliran Rahman dulu baru kembali ke saya. Rahman mengemukakan hal
yang cukup kontroversial. Babakan Siliwangi ternyata bukan daerah resapan
air—melainkan luapan—karena jenis tanahnya lempung. Persepsi masyarakat selama
ini bahwa Babakan Siliwangi adalah daerah resapan air harus diluruskan. Namun
memang ada mata air di sana.
Sebetulnya saya kurang begitu paham apa yang Rahman
sampaikan. Saya kagum karena ia mampu bicara dengan tenang. Bahasanya tertata.
Terdengar amat menguasai pengetahuannya sementara saya sendiri acap tidak yakin
pada apa yang saya lontarkan. Zilla sendiri saya lihat agak gemetar tangannya
saat bicara. Rahman bahkan sama sekali tidak membawa berkas materi apapun.
Zilla bawa print-out sementara saya
bawa buletin FSC tentang hutan kota (yang memang saya sendiri yang bikin) serta
notes hijau plus pulpen. Pak Arif sendiri bawa satu map. Buletin yang saya bawa ternyata tidak begitu berguna
karena saat bicara saya berusaha untuk tidak mengintip ke situ. Satu lagi,
Rahman tidak mendekatkan mulutnya ke mic.
Wah, hebat.
Berkat seorang pejabat dinas duduk tepat di samping saya,
sesekali saya membuka notes untuk membaca berbagai hasil penelusuran saya
terkait RTH di Kota Bandung selama ini. Seharusnya kesempatan ini saya manfaatkan
untuk bertanya—barangkali bisa jadi bahan untuk skripsi saya. Ada sih yang
ingin saya tanyakan pada Pak Arif, namun sampai akhir perjumpaan ini saya tidak
punya kesempatan untuk itu. Mungkin karena saya kurang siap juga.
Saya kembali ditanya oleh Mbak Priyansi mengenai bagaimana
aspek konservasi dari hutan kota dan apakah ada hutan kota di Indonesia yang
bisa dijadikan contoh sebagai hutan kota ideal. Untung benar saya sudah membuat
tulisan mengenai ini malam-lanjut-pagi sebelumnya. Dengan, sekali lagi, cepat
dan susunan kata belibet saya katakan bahwa sesungguhnya semakin banyak
intervensi manusia maka akan semakin berkurang fungsi konservasi dari kawasan
tersebut. Dengan kita membuat jalan setapak saja, ada fragmentasi habitat yang
terjadi bagi satwa tertentu. Namun, pikiran saya amat acak dan saya berusaha
mengingat kata-kata yang telah saya torehkan di Word, kita tidak harus seketat
itu. Bagaimanapun hutan kota adalah milik publik. Publik harus bisa
memanfaatkannya. Maka kita boleh mengintervensi asal terbatas.
Mengenai contoh hutan kota ideal di Indonesia, saya
sebenarnya kurang begitu mengetahui. Secara langsung, saya hanya mengamati yang
saya temukan di dua kota tempat tinggal saya saja: Bandung dan Jogja. Maka saya
ceritakan saja mengenai hutan kampus saya yang dibiarkan seadanya. Masyarakat
pun tak akan tertarik berkunjung ke sana. Menurut saya, taman kota di Bandung
sudah bagus dengan adanya fasilitas seperti bangku dan pelabelan pohon untuk
fungsi edukatif. Kita bisa beraktivitas di sana.
Beberapa kali perbincangan dijeda oleh iklan atau lagu atau
apa. Pada momen jeda itu, Mbak Apriyansi tetap aktif menggali informasi dari
kami. Saya lupa kapan Mas Fiki datang. Kehadirannya membuat apa yang
dibicarakan jadi makin seru. Beberapa kali ia bertanya atau mengkonfirmasi
sesuatu hal terkait permasalahan ini pada Pak Arif. Hal-hal yang
diperbincangkan secara off air ini
tidak kalah menarik dari apa yang disiarkan on
air. Sayangnya saya lupa untuk membawa ponsel Mama masuk ruang siaran—yang
sengaja Mama pinjamkan sama saya agar ini semua dapat direkam. Kami memang
hanya membawa barang seperlunya saja ke dalam ruang siaran. Tas kami tinggal di
ruang depan.
Sampai giliran Pak Arif. Beliau membenarkan beberapa
pernyataan saya. Saya merasa tersentuh karena ia dapat menangkap kata-kata saya
yang kacau itu. Beliau membuka mapnya. Ada print-out
Perda Kota Bandung no. 25 tahun 2009 di sana. Beliau membacakan lokasi-lokasi
yang jadi kewenangan dinasnya untuk mengelola. Saya sudah mengetahuinya tentu
saja, waha. Namun saya baru tahu kalau Gasibu termasuk lokasi yang hendak
dijadikan salah satunya—seperti Babakan Siliwangi, tinggal menunggu kebijakan
dari atas saja. Jadi dinas hanya sekadar pelaksana. Ke mana aspirasi dapat
diajukan kalau begitu? Dengan demikian status Babakan Siliwangi saat ini masih
ruang terbuka hijau (RTH), belum hutan kota.
Saya mengucap “urban forest” tanpa suara pada Zilla ketika
Pak Arif menyebut “city forest”. Hal peristilahan ini sudah saya ungkapkan pada
anak-anak Planologi itu di mobil dalam perjalanan pergi.
Sampai giliran Mas Fiki. Ia ditanya mengenai kesibukannya terkait
acara di Babakan Siliwangi dan konferensi Tunza sendiri. Konferensi Tunza akan
berakhir pada malam itu dengan dibacakannya Deklarasi Bandung. Deklarasi ini
juga nantinya akan diangkat dalam konferensi lingkungan hidup yang lebih besar
di Rio. Selain itu, Indonesia Berkebun juga hendak membuat jaringan
internasional berkaitan dengan momen ini.
Menurut Mas Fiki, banyak orang kreatif di Bandung tapi
80%-nya miskin. Ini adalah masalah. Saat bertemu menteri, ia sudah menyampaikan
bahwa cara yang lebih baik untuk mendukung industri kreatif adalah dengan
mengembalikan kebanggaan masyarakat akan produk dalam negeri. Buatlah iklan
untuk itu. Nah, bagaimana keberadaan Babakan Siliwangi sendiri dapat memecahkan
permasalahan ini? Ruang publik satu ini diharapkan dapat menunjang kreativitas
warga Bandung.
Mas Fiki, yang juga berjualan baju ini, mengharapkan Babakan
Siliwangi bisa jadi semacam central park-nya
Kota Bandung. Jadi ketika masuk ke dalamnya, kita akan merasakan suasana yang
berbeda—tidak seperti di Kota Bandung! Meski kalau jalan sedikit kita bisa
lihat orang berenang di kolam—maklum, bersebelahan pisan dengan SORGA. Masalahnya sekarang adalah bagaimana
mendekatkan masyarakat dengan hutan kotanya.
Mas Fiki mencontohkan, kita bisa membuat hutan kota jadi caang (Sunda: terang) di malam hari
dengan menggelar pertunjukan musik di bawahnya. Acara apapun bisa diadakan
sebetulnya. Tidak mesti berbau lingkungan hidup, namun kita bisa lihat
bagaimana suasana yang dihasilkan acara tersebut dapat menyatu dengan suasana
di dalam hutan.
Kita bisa saja memindahkan acara-acara yang biasa dihelat di
dalam bangunan ke dalam hutan. Lalu siapapun diharapkan lama-kelamaan sadar
bahwa tempat yang mereka kunjungi itu harus dijaga. Inti permasalahannya
adalah: bagaimana menerjemahkan hutan kota agar masyarakat mau mengenal dan
menyayanginya.
Pemilihan desain jembatan sebagai juara pertama sayembara
desain Babakan Siliwangi pun dikarenakan jembatan tersebut dapat memudahkan
interaksi antara masyarakat dengan hutan kotanya. Ada juga yang membuat desain
berupa cermin agar hutan tampak lebih luas, namun bisa-bisa cermin-cermin
tersebut dicuri orang padahal belum lama dipajang.
Jumlah sms yang masuk ke dalam komputer bertambah. Awalnya
hanya ada satu, sms request lagu, di
layar biru itu. Seseorang bernama Daud melaporkan sudah ada yang menawarkan
pijat refleksi di jembatan. Ia juga khawatir besi-besi tempat parkir sepeda
jadi rusak kalau ada yang menjadikannya tempat duduk. Lalu ada sms lagi dari
seseorang yang tak menyebutkan namanya. Ia meragukan Babakan Siliwangi sebagai central park-nya Kota Bandung dan protes
mengapa jembatannya pendek. Kata Mas Fiki, itu dikarenakan terbatasnya dana dan
waktu. Lalu kami di ruang siaran jadi membayangkan bagaimana kalau jembatan itu
jadi semakin dipenuhi orang, mulai dari yang jualan hingga pacaran. “Bisa-bisa
jembatannya runtuh,” kata saya—tanpa bermaksud meragukan kekuatan jembatan.
Sewaktu ke sana pun saya agak kaget ketika menemukan jembatannya sudah
berakhir. Saya harap jembatan tersebut bisa dibuat lebih panjang lagi,
mengelilingi seluruh kawasan hutan kota, dengan lika-liku yang lebih rumit,
waha.
Keberadaan pedagang kaki lima (PKL) adalah permasalahan yang
cukup sukar diakhiri. Tidak hanya di Gasibu, Pak Arif menyinggung sukarnya
menyingkirkan PKL di Taman Lansia. Meski mereka berjualan di luar taman, namun
makan-makannya tetap di dalam taman. Jangan sampai hal serupa jadi perkara di
Babakan Siliwangi juga. Tidak mungkin juga memindahkan PKL ke area car free day, apalagi kalau areanya
dekat pemukiman seperti di Buah Batu. Bisa-bisa rusuh antara pemukim dengan
PKL.
Sulit juga membersihkan sampah yang terlanjur mengotori
Babakan Siliwangi. “Susahnya setengah mati,” kata Pak Arif yang tampak
disetujui Mas Fiki. Padahal baru tanggal 18 September kemarin kawasan tersebut
dibersihkan ramai-ramai untuk persiapan penanaman pohon dalam rangka konferensi
Tunza. Namun saat dua belas hari setelah tanggal itu saya ke sana, masih banyak
sampah yang saya temukan.
Saat-saat terakhir, pembicaraan didominasi oleh Mas Fiki, Pak
Arif, dan Mbak Priyansi. Kami, pemateri yang notabene masih mahasiswa, hanya
mendengarkan sembari sesekali mengeluarkan gumam pendek. Namun kami diberi
kesempatan berbicara sekali lagi sebagai penutup, yaitu mengenai harapan kami
untuk Babakan Siliwangi. Saya sih mengharapkan adanya penambahan fasilitas agar
masyarakat lebih nyaman beraktivitas di sana, misalnya dengan mempertegas jalan
setapak yang ada dengan bebatuan. Lagipula pertumbuhan vegetasi di sana tidak
begitu lebat—tidak begitu mengganggu, dibanding hutan-hutan yang biasa saya
masuki. “Tentu dengan intervensi yang tidak merusak,” tambah Mbak Priyansi.
Sekarang saya baru kepikiran kalau keramaian yang mungkin
kelak bakal meriuhi Babakan Siliwangi, misalnya pergelaran musik, bisa-bisa
mengusik para satwa liar yang berdiam di sana. Pepohonan mungkin selamat, tapi
apakah para satwa liar itu akan betah? Bagaimanapun, ini tergantung juga pada
bagaimana Babakan Siliwangi akan ditata nanti. Kan tidak mungkin juga kita
memaksakan sebanyak mungkin orang agar dapat memasuki hutan yang tidak begitu
luas itu. Kepentingan konservasi memang acap bertentangan dengan kepentingan
manusia.
Pukul 11 pun lewat. Kami ke luar dari ruang siaran satu per
satu. Di ruang depan, kami disambut Eneng cs dengan sertifikat sebagai tanda
terima kasih. Setelah itu kami berfoto bersama menghadap musola lalu
bersalam-salaman. Tahu-tahu saja Pak Arif dan Mas Fiki sudah menghilang. Mereka
benar-benar orang sibuk. Eneng cs mengobrol sebentar dengan Mbak Priyansi.
Banyak teman Eneng cs yang mengirim sms namun tidak terbaca di komputer (saya
kok jadi bersyukur ya, selain karena memang waktunya hanya sedikit). Mungkin
jaringannya bermasalah, kata Mbak Priyansi. Tidak seperti TV, kita tidak bisa
mengetahui berapa banyak penyimak kita di radio.
Kembali kami melewati anjing-anjing berloncatan itu. Berada di
dalam mobil lagi, saya bilang pada Eneng kalau semula saya mengira Ridwan Kamil
yang akan jadi narasumber dari BCCF. Eneng bilang Ridwan Kamil suka tidak bisa
dihubungi secara langsung, namun benar beliau adalah dosen Arsitektur ITB yang
konon hendak jadi calon walikota.
Kami diturunkan Fidik di depan gerbang parkir ITB. Semua langsung
berpencar menuju urusan masing-masing. Padahal saya menanti kesempatan
mengobrol banyak dengan Eneng sudah sejak lama. Kini saya menanti itu lagi
beserta segala rekaman siaran mengenai Babakan Siliwangi (bukan hanya yang hari
ini, tapi juga yang sebelum-sebelumnya meski tidak merujuk pada hutan kota) dan
foto-foto dokumentasi siaran tadi, waha.
Entah mengapa tidak terasa kelegaan dan kebanggaan besar
setelah ini berakhir. Mungkin karena dengan bertemu orang dinas dan wakil
komunitas secara langsung tadi saya jadi lebih teryakinkan akan tidak adanya
permasalahan berarti dari apa yang tadinya hendak saya jadikan skripsi. Tapi saya belum benar-benar
melakukan studi tentang hutan kota dan keterlibatan masyarakat Kota Bandung
terkait ini di kotanya. Selain itu, Eneng menawarkan link yang ia miliki pada saya.
Siang itu saya merasa lelah, tidak hanya secara mental karena
cemas berhari-hari, tapi juga fisik karena kurang tidur dan panas begitu malah
jalan kaki menyusuri jalanan samping Boromeus, bertemu Monumen Pancasila,
lanjut ke Dipatiukur, Jalan Suci, hingga Jalan Supratman padahal lagi dalam
upaya menahan hawa nafsu.
Siaran ini adalah dan hanya sebuah awal.
01-021011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar