Jauhkan kertas dariku. Pada kertas mesti tertera sesuatu. Akan kulahap habis dengan mataku. Jika tiada, biar tanganku yang mengguratkan sesuatu. Akan kubiarkan kau nikmati itu suatu kelak—jika tidak, aku saja.
Maklumlah. Sejak kecil hidupku bergelimang kertas. Alhamdulillah, orangtuaku punya cukup kertas bernominal untuk membelikanku berjubel kertas berbundel.
Kini ada pula rupanya kertas-kertasan. Tak bisa diremas. Tak bisa ditembus tinta. Tapi bisa merusak mata.
Kini orang pada beralih ke sana karena bahan baku kertas kian rawan. Tak tahukah kau, sumber daya alam kita yang melimpah itu tak hanya berbentuk kayu saja? Bahkan konon ada orang Korea yang berhasil mencipta kertas dari rumput laut! Belakangan hari pun aku dan kawan-kawanku memikirkan kemungkinan untuk mensubtitusi kayu dengan daun lontar. Belum lagi kalau kusebut bahan potensial lain: bambu, jerami, feses sapi—apapun yang berselulosa dan layak jadi pulp!
Hidup insan Teknologi Hasil Hutan!
Mana yang akan kau pilih,
kertas yang dapat merekam jejak kepribadianmu,
ataukah
kertas-kertasan yang hanya bisa ditimpa disain aksara tertentu?
Kalau aku, setelah aku mati boleh kau lihat bagaimana kepribadianku berubah-ubah di atas olahan selulosa yang melapuk—semoga nanti ada yang merawat. Namun sebagai bagian dari pemuda abad 21, aliran cipta dalam bola intelektual ini pun dapat memilih teknologi mana yang paling compatible untuk jadi wadah penampungnya. Dan masih hingga kini aku setia menoreh, meski di balik lembar LKJ.
Dan kemajuan teknologi akan terus mengganti tren zaman. Daun lontar diganti kertas. Kertas diganti Word. Sebagaimana: Pisau pengot diganti pena. Pena diganti kibor. Apa lagi yang akan mengganti Word dan kibor?
*sebagai sarana yang secara siginifikan berjasa sangat dalam memajukan peradaban, kenapa nggak ada HARI KERTAS SEDUNIA ya? (yeah, dan tunggu kemudian ada HARI BILL GATES SEDUNIA, ayeay!)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar