Judul : Bermain dengan Cerpen, Apresiasi dan Kritik Cerpen Indonesia
Penulis : Maman S. Mahayana
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006
Ada yang mengatakan cerpen adalah cerita yang dapat langsung habis dibaca sekali duduk. Tapi cukupkah sekali duduk untuk merenungkan makna yang terkandung di dalamnya?
Setidaknya saya tidak cukup sekali duduk untuk menamatkan buku ini. Ada puluhan cerpen yang diulas dalam buku ini—meski saya tidak menghitung jumlahnya secara persis.
Sebetulnya Pak MSM tidak hanya akan mengajak kita bermain dengan cerpen. Tapi terlebih dulu kita diajaknya berkenalan, bersahabat, baru bermain hingga bergaul bebas! Eits, bergaul bebas di sini jangan dikonotasikan dengan macam-macam. Pak MSM justru hendak mengajak kita menengok kesusastraan negeri jiran hingga bersenggolan dengan dunia pewayangan.
Perkenalan kita dengan cerpen Indonesia dimulai dari mengenal sejarah cerpen Indonesia itu sendiri. Bangsa kita rupanya sudah produktif menghasilkan cerpen sejak abad 19. Dalam dasawarsa tahun 1950-an saja ada 5043 cerpen yang dimuat dalam 55 majalah. Produktivitas ini semakin semarak di masa sekarang ini dengan bermunculannya antologi-antologi cerpen, koran-koran yang memuatkan cerpen tiap Minggu, belum lagi tabloid, majalah, dan beragam media cetak lain. Ini hanya satu fenomena yang Pak MSM urai dalam buku ini.
Persahabatan dengan cerpen terjalin ketika Pak MSM membawa kita mengintip isi beberapa antologi cerpen yang telah terbit. Dari sepuluh antologi cerpen yang diulas, ada dua yang sudah saya baca—“Hingga Batu Bicara” (Helvy Tiana Rosa, Maimon Herawati, dan Setiawan Intan Savitri) dan “Kali Mati” (Joni Ariadinata). Beberapa cerpen dalam “Korma: Cerpen-cerpen Puasa-Lebaran” terbitan KOMPAS juga kiranya sudah pernah saya baca di antologi lain. Nah, mulai dari sinilah saya menyadari bahwa kebermaknaan cerpen mungkin bisa jadi tidak ada tanpa hadirnya kritik.
Saya lupa kapan membaca “Hingga Batu Bicara” (selanjtunya HBB)—sudah lama sekali sepertinya, mungkin SMP. Saya sudah lupa pula cerita tentang apa saja yang ada di dalamnya. Bahkan kalau bukan karena disinggung dalam buku ini, saya mungkin tidak bakal ingat kalau pernah membaca antologi tersebut! Bagaimanapun juga, kotak memori saya akan antologi tersebut kemudian dibuka dan ternyata memang nyaris tidak ada apa-apa di sana… Tapi bagian ini tetap saya soroti juga dengan porsi spesial.
Saya ingat-ingat, waktu saya SMP kiranya mulai terjadi booming fiksi islami yang diusung para penulis FLP. Para penulis HBB termasuk di antaranya. Banyak kiranya remaja seumuran saya yang suka membaca karya-karya semacam ini. Pada awal kemunculannya, saya sempat mengoleksi novel remaja islami (NORI) terbitan Mizan sampai akhirnya tidak terkejar lagi dan orientasi saya pun beralih ke teenlit. Tapi ada teman saya waktu itu yang tetap setia membeli karya genre ini sehingga saya tetap bisa menikmatinya.
Sejak SMA, lama saya tidak mencicipinya lagi. Sekarang tampaknya fiksi islami sudah tidak lagi berjaya. Penyebab yang paling kentara mungkin karena tema, alur, penokohan, dan unsur-unsur lainnya yang itu-itu saja. Pembaca belia mungkin tidak memerhatikannya, seperti saya waktu itu, tapi pada sekarang ini kalau saya membacanya lagi, hal itu benar sekali adanya. Namun rupanya ada satu unsur dalam fiksi islami yang luput dari sorotan saya: problem keberpihakan dan netralitas—ini adalah judul dari bagian yang mengulas HBB dalam buku ini.
Begini salah satu isi paragraf pengantarnya, “John Steinbeck, Ernst Hemingway, Pearl S. Buck atau Pramoedya Ananta Toer dan Umar Kayam adalah para pengarang yang mengandalkan pengalaman objektif sama pentingnya dengan pengalaman intelektual. Wawasan pengetahun menjadi sama penting dengan observasi dan pencermatan atas objek yang hendak diangkat dalam karya sastra. Boleh dikatakan, hampir semua pengarang besar, sama sekali tidak mengandalkan bakat alam. Mereka senantiasa menyerap dan mengembangkan gagasannya lewat pengetahuan. Intelektualitas menjadi sumber kekayaan gagasan dan daya hidup kepengarangannya. Hanya dengan itu, mereka tidak cepat kehabisan ide, bahkan selalu memperbarui karyanya dengan gagasan baru dan tema yang lebih problematik.” (hal. 86)
Wawasan para penulis HBB mengenai persoalan yang bersangkutan dengan Palestina—sebagai tema antologi tersebut—memang amat mengagumkan, namun sayangnya mereka terjebak dalam keberpihakan yang malah mengurangi kualitas karya yang dihasilkan. Di sinilah ketidakseimbangan antara intelektualitas dan godaan emosional terjadi. Menurut Pak MSM, netralitas pengarang justru penting untuk menyembunyikan keberpihakannya. Bukankah kualitas suatu karya antara lain dilihat dari kepiawaian pengarang menyembunyikan makna? Tersebutlah Seno Gumira Ajidarma, Ahmad Tohari, dan Joni Ariadinata sebagai nama yang bisa dijadikan sumber belajar. Sekedar penggambaran saja (objektif, tragis, maupun ironis) bisa menggiring pembaca kepada pemihakan.
Lain dengan HBB, belum ada setahun sejak saya menamatkan dan mengomentari “Kali Mati”. Saya baru ngeh di mana segi estetika dari karya tersebut setelah membaca ulasan Pak MSM dalam buku ini. Gaya bahasa yang saya istilahkan dengan “frontal” justru merupakan kekuatan Joni Ariadinata dalam segi tersebut. Jadilah saya mengenal istilah baru lagi, onomatope, yang menurut KBBI elektronik saya artinya adalah: kata tiruan bunyi, msl "kokok" merupakan tiruan bunyi ayam, "cicit" merupakan tiruan bunyi tikus. Kita akan banyak menemukannya dalam cerpen-cerpen Joni Ariadinata.
Banyak hal lain yang tidak kepikiran oleh saya saat membaca maupun mengomentari antologi tersebut. Sebagai contoh, tata bahasa yang tidak nyaman dibaca justru merupakan simbol dari kehidupan marjinal yang diangkat. Kenyamanan dalam kemarjinalan? Mungkinkah itu?
Kalau saya tidak membaca buku ini, saya mungkin tidak akan ngeh dari mana indahnya cerpen-cerpen Joni Ariadinata, apa makna yang diusungnya, dan mengapa beliau sampai diperhitungkan sebagai sastrawan.
Masih banyak cerpen lainnya yang dibedah dalam buku ini—baik per antologi maupun sendiri. Menurut Pak MSM, kebanyakan cerpen yang disajikannya memiliki tema yang tidak istimewa. Bisa saja peristiwa yang diangkat hanyalah penggalan dalam kehidupan sehari-hari, bukan aksi yang biasa kita saksikan di layar lebar atau TV. Namun justru di balik situasi yang sepertinya biasa-biasa saja itu terkandung begitu banyak makna. Seperti yang saya kutip dari halaman 200, tentang cerpen Wildam Yatim, “Jalur Membenam”,
“Hal pertama yang dapat kita tarik dari cerpen ini adalah bahwa tema cerita bukan segala-galanya. Tema besar dengan penggarapan yang dangkal, tetap saja tidak akan membantu karya itu menjadi penting. Sebaliknya, tema yang sederhana dengan penggarapan yang mendalam akan menghasilkan karya yang bermutu. Kenyataannya, sastra memang sering kali mengambil bahan ceritanya dari persoalan-persoalan remeh-temeh yang tidak penting atau peristiwa keseharian yang sebenarnya sudah tidak asing lagi.”
Sebut saja salah satu cerpen dalam buku ini, “Si Kakek dan Burung Dara” oleh Mohammad Fudoli. Dikisahkan seorang kakek yang menunggu sang cucu untuk menemaninya berziarah ke bukit, lalu mereka berjalan, sang kakek memberi nasihat ini-itu pada sang cucu, sang cucu menanggapi dengan tingkah khasnya, lalu mereka pulang, dan burung dara sang kakek kabur karena sang cucu lupa menutup pintu, namun sang kakek memaafkannya. Sepertinya kejadian biasa saja, namun ternyata hubungan kakek-cucu ini menyimbolkan keimanan dan ketakwaan. Kalau kita membaca cerpen ini sekilas saja, tanpa ada niat untuk memikirkannya lebih dalam, mungkin kita tidak akan ngeh kalau sebenarnya cerpen ini menyuarakan kesadaran untuk kembali pada Tuhan.
Bagi pembaca awam, kiranya bukan hal mudah untuk mengapresiasi cerpen sampai ke maknanya yang terdalam. Butuh wawasan luas hingga kita bisa mengasosiasikan suatu ucapan atau tindakan tokoh dengan ajaran agama, maupun mempersepsikannya sebagai pelajaran yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pembaca berintelektualitas tinggi mungkin masih bisa coba mengakomodasinya sendiri. Tapi bagaimana dengan yang tidak? Inilah mungkin sebab mengapa karya populer biasa laris manis—karena tidak butuh intelektualitas tinggi untuk memamahnya!
Di sinilah peran kritikus, yang memang berkapasitas untuk itu, dibutuhkan. Yang saya pahami, kita butuh kritikus sebagaimana kita butuh ulama—untuk memberi kita arti dari teks yang tidak bisa begitu saja kita pahami! Ulama dengan Al-Quran sedang kritikus dengan karya sastra buatan manusia. Jika saya boleh menganalogikan lagi, membaca suatu karya tanpa tahu makna yang dikandungnya bagai memakan sesuatu tapi tidak jelas gizinya apa.
Tidak hanya pembaca yang butuh kritik, pengarang apalagi. Pengarang dapat belajar untuk membuat karya yang berkualitas dari kritik yang ada—tidak mesti kritik atas karyanya meskipun itu juga butuh, tapi juga kritik atas karya-karya orang lain.
Kalau bagi saya, keuntungan membaca kritik itu ada dua: 1. bisa tahu kandungan cerita tanpa harus membacanya sendiri, dan; 2. mengetahui kriteria karya yang berkualitas itu bagaimana dan ini kiranya akan sangat berguna ketika kita menggarap karya sendiri. Contohnya, dari paragraf-paragraf semacam ini saya tahu apa yang harus saya pelajari,
“Dalam konteks itu, barang kali juga, Sutardji hendak menegaskan, bahwa karya apa pun, dapat menjadi cerpen. Dengan kata lain, cerpen atau karya sastra apapun, dapat berangkat dari peristiwa apa saja. Masalahnya tinggal, bagaimana sastrawan mengolah dan menyajikannya menjadi sebuah karya yang cerdas, menjadi karya yang memperlihatkan kepiawaian sastrawannya. Dan presiden penyair ini telah membuktikan, bahwa yang kotor dan jorok sekalipun, bisa menjadi cerita yang indah dan menawan jika pengarangnya telah sampai pada kualitas yang kokoh—kuat—mantap.” (hal. 84)
“Dalam kesusastraan dunia, keberhasilan memotret situasi sosial yang didukung oleh warna lokal inilah yang acapkali mengantarkan sastrawannya memperoleh penghargaan yang membanggakan. Karya-karya sastra seperti itu pula yang cenderung menjadi karya-karya monumental.” (hal. 203)
Tapi bisa pula proses kreatif jadi tersendat-sendat karena diiringi dengan pemikiran bahwa jalan cerita harusnya begitu atau kalau karakternyabegini kira-kira sudah berkualitas apa belum ya—jadinya kita harus menggiring kebebasan imajinasi kita pada koridor yang sesuai dengan kriteria keberkualitasan karya.
Saya lupa apa saja yang saya pelajari di bangku sekolah terkait karya sastra dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Saya kira selama ini saya mempelajari sastra secara otodidak. Nah, sejak membaca buku-buku bernuansa kritik semacam ini (terutama pada saat mengomentari buku ini), saya jadi menyadari bahwa pengajaran apresiasi sastra merupakan materi yang amat vital dalam kurikulum pelajaran Bahasa Indonesia (memang sastra pentingnya apa sih?). Bagaimana minat baca masyarakat meningkat, kalau cara mengapresiasi bacaan saja tidak diajarkan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar