Selasa, 30 November 2010

Luasnya Dunia Remaja


Judul : Kematian Donny Osmond, Kumpulan Cerita
Pengarang : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama

Saya mengimpikan bisa membuat cerita remaja dengan gaya sastrawi namun sarat makna. Suatu literatur alternatif yang tak merendahkan kapasitas intelektual remaja. Apalah, asal bukan melulu asmara. Sampai saya menemukan sebuah buku yang dijamin lain. Ini buku sastra tentang remaja. Yang nulis Seno Gumira Ajidarma. Ada komiknya, banyak gambar, plus resep otak-otak. Nah, bingung kan? Ups, saya sudah mengutip kalimat di sampul belakang nih.

Kiranya saya butuh waktu kurang dari dua jam untuk menamatkan kumpulan cerita ini. Kumpulan cerita tentang remaja dari mata seseorang yang sudah bukan lagi remaja. Bukan orang biasa pula. Seno Gumira Ajidarma adalah seorang yang suka menulis tentang satu hal yang saya minati, yaitu komik. Kalau tak salah dia juga yang mengarang Kematian Paman Gober—sebuah cerpen yang belum pernah saya baca, namun saya tahu garis besar ceritanya seperti apa dan itu memuat hal lain lagi yang saya suka: satir.

Lewat kumpulan cerita ini, Om Seno menunjukkan bahwa dunia remaja memang begitu luasnya—bukan hanya dari kalangan konsumen teenlit mainstream saja. Pasangan yang make out di tepi pantai sejauh 687 km dari rumah mereka, ballboy di lapangan tenis sebuah sport center, cowok yang kesengsem berat sama film Basic Instinct, anak jalanan, hingga cewek yang terjebak di lorong waktu maupun di pegunungan gamping—mereka juga remaja! Mengapa jarang teenlit yang mengangkat kehidupan mereka?

Satu hal yang membuat saya mengagumi hingga mengidamkan profesi wartawan—sebagaimana Om Seno—ialah karena dengan menjadi wartawan saya bisa keluar dari cangkang saya dan mengalami sendiri betapa dunia begitu luasnya. Seperti yang Johan katakan dengan Astari dalam Keroncong Asmara,

“Kalau bisa ia jadi wartawan.”
 “Lho kerjaan itu memperluas wawasan, tidak sempit di bidangnya sendiri terus.”
“Pokoknya harus jadi manusia, bukan mesin.”
“Wartawan, kalau perlu jadi seniman sekalian, biar kreatif.” (hal. 13-14)

Kalimat-kalimat yang amat menggoda, Om, hehe…

Karena Om Seno juga wartawan, maka saya merasa bahwa apa yang ia tulis bukan sekedar rekaan melainkan berdasar hasil observasi dan wawancara pada pelaku atau orang-orang terkait—di dunia nyata, tentu. Penuturannya terasa mendalam. Inilah satu alasan lain mengapa saya kira jadi wartawan begitu menggoda ialah karena profesi tersebut kiranya amat mendukung kepengarangan.

Diterbitkan tahun 2001, sebagian cerita merekam kehidupan remaja tahun 90-an. Kebetulan baru beberapa waktu lalu saya menonton film Ruma Maida, mengunduh lagu-lagunya Rumah Sakit dan Singiku serta ingin kembali menjadi anak TK. Beberapa waktu sebelumnya malah saya menyimpan file dari Kaskus yang seorang teman tautkan di Facebook, judulnya, “110 Gaya ABG Tahun 90-an.” Saya sedang ingin main ke zona 90 dan apa yang saya dapatkan seakan mendukung saya untuk itu. Apa-apaan ini, efek The Secret?

Keroncong Asmara dan Rina Bunting memuat tema yang agak klise saking kerapnya dimediakan: remaja yang “melakukan” padahal belum menikah. Bandana adalah tentang bagaimana seorang miskin bisa membuat seorang kaya menderita—saya suka, menyentuh! Cerita untuk Y & L ialah tentang sepasang anak yang mengambili bintang dan bulan, wew, mustahil tapi romantis pokoknya. Ritchie Blackmore membuat saya merasa jadi lebih memahami dunia cowok—bonus lirik-lirik lagunya Deep Purple pula. Farol dan Fitri mengingatkan saya pada sinetron Cinta Fitri. Aku Anak Jalanan—ini loh, yang membuat kumpulan cerita ini jadi ada resep otak-otaknya. Tokoh ibu dalam Big Boss membuat saya tertawa karena kalimatnya, “Mengeluarkan uang empat ratus ribu untuk sepatu itu tidak sopan, tidak menjaga perasaan orang kecil, ngerti nggak.” Sukab Ingin Jadi Tentara meyakinkan saya bahwa sosok manusia “sempurna” itu memang ada. Kematian Donny Osmond membuat saya jadi penasaran apakah korban tawuran pelajar tahun 1996 yang bernama Donny Osmond itu benar-benar ada. Seorang Wanita Memetik Gitar dan Dan Perempuan Itu Menjadi Bintang adalah cerita yang kurang remaja, menurut saya. Duaribusatu, pernah dimuat di Kawanku, merupakan cerita ngaco nan kocak di mana Tom Cruise jadi sopir mikrolet. Ratri Murid Nomor Satu adalah suara hati seorang gadis berambut merah dari pegunungan gamping—namun tak dijelaskan mengapa ia bisa sampai berbeda dari teman-temannya.

Yang saya herankan adalah mengapa nama Sukab dan Ratri begitu kerap disebut. Nama Ratri muncul di Big Boss, Sukab Ingin Jadi Tentara, dan tentu saja Ratri Murid Nomor Satu. Sedang nama Sukab, saya tahu Om Seno punya buku lain dengan judul yang memuat nama tersebut. Entah apa arti dari sang nama.

Teenlit. Teen Literature. Bacaan tentang remaja. “Untuk” rasanya tak tepat menggantikan “tentang” karena remaja bisa membaca tentang apa saja, bahkan apa yang tidak khusus di”untuk”kan buat mereka. Tak sedikit orang berstigma teenlit adalah bacaan ece-ece yang kurang memberdayakan. Remaja yang mengaku bercita rasa tinggi mungkin akan lebih memilih bacaan tentang ranah umur lainnya untuk dilahap. Dan saya kira masih sedikit bacaan tentang remaja yang akan remaja-yang-mengaku-bercita-rasa-tinggi lirik. Jika diperbanyak, bukankah itu akan sangat membantu bagi para remaja untuk dapat lebih mengenali dunia mereka dan menentukan di mana posisi mereka—bukankah itu yang paling mereka cari?

HIDUPLAH SASTRA REMAJA!

Jumat, 26 November 2010

SELAI PISANG COKLAT!

Haloooooooo Sayangku, Anakku, Manisku, muah, muah, muah! Tidak hanya kamu yang manis, tapi juga sesuatu yang telah Nyonya Teladan ciptakan baru-baru ini. Oh, apakah itu, kamu pasti mau tahu... Dimulai dari kedatangan Nyonya Teladan ke rumah Bude Nyonya Teladan lagi... Ketika Nyonya Teladan hendak pulang, Bude mengoleh-olehi Nyonya Teladan sebungkus biskuit Danish. Namun sayang, setelah hari berganti hari hingga minggu diganti minggu, biskuit itu remuk bukan buatan! Olala... Sudah tidak menguar selera untuk memakannya lagi, Sayangku, Anakku, bagi siapapun yang melihatnya... Kebetulan juga Nyonya Teladan saat itu memiliki beberapa buah pisang ambon yang sedang berada di ambang kematangan. Maka...

Kamu hanya membutuhkan
- sebungkus biskuit remuk
- 2 sachet susu kental manis rasa coklat
- sebuah pisang ambon yang amat matang
- air secukupnya
untuk dipadukan di atas sebidang piring sehingga menjadi sesuatu yang Nyonya Teladan namakan SELAI PISANG COKLAT.

Mau tahu bagaimana cara Nyonya Teladan membuatnya? Pertama, Nyonya Teladan remukkan keseluruhan biskuit dalam plastik untuk kemudian dituangkan di atas piring. Tuangkan susunya satu sachet dulu, aduk-aduk... Kurang, Nyonya... Oke. Tambahkan satu sachet lagi. Aduk-aduk lagi. Tambahkan air secukupnya agar semua bahan dapat tercampur dengan merata. Sudah? Oke. Mari kita masukkan sensasi pamungkas kita, sang primadona ambon manise matenge... the banana in the tropical jungle... Dilumat hingga bersatu dengan adonan sebelumnya ya, Anakku, Sayangku...

Nah, sudah jadi adonan selai kita. Agar lebih menggugah selera, pindahkanlah ia ke wadah yang cukup aman untuk dimasukkan ke dalam kulkas bersama. Sembari menunggu semalaman, kamu dapat membeli sebungkus roti sandwich susu spesial merek BE LIVING BREAD di toko terdekat. Maka, kamu akan mendapati cerahnya esok pagi dengan beberapa lembar roti lapis selai buatan sendiri cap nyonya teladan! Salam manis!

Kamis, 25 November 2010

Sekelumit Wajah Jepang Pra Restorasi Meiji

Judul : Yokohama 1 - 8 (tamat), terjemahan dari Yokohama Monogatari
Pengarang : Waki Yamato
Penerbit : PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 1994-1995 (cetakan pertama)

Adalah sebuah seri komik lawas yang saya temukan di rak kontrakan teman, dibeli saat harga komik Elex masih 3300 rupiah. Saya terkekeh saat di nomor pertama membaca sebuah judul di halaman awal: "Roman Yokohama". Kalau bicara soal roman umumnya di kepala ini yang terbayang adalah sebuah buku penuh teks, macam "Siti Nurbaya" itu. Jadi kalau dipikir-pikir lagi seri komik "Candy-candy" pun mungkin bisa disebut roman juga?

Cerita dalam komik ini berlatar di Yokohama, sebuah kota yang menjadi gerbang barang-barang impor maupun ekspor di Jepang, tahun 1870-1880-an. Tepatnya, pada musim gugur tahun 1875, seorang gadis yatim piatu dari gunung bernama Uno dibawa oleh seorang pengusaha kaya raya, yang adalah majikan orangtuanya, ke Yokohama. Pria bernama Tuan Kanou ini bermaksud menjadikan Uno sebagai pembantu anak bungsu perempuannya yang bernama Mariko. Meski dididik sebagai perempuan rumahan yang bertata krama, Mariko badung luar biasa. Tak disangka Uno ternyata dapat berteman akrab dengan Mariko. Inilah awal dari persahabatan mereka, yang saling mengasihi, berkorban, dan mendukung cita-cita satu sama lain, dan tak akan lekang oleh waktu hingga cerita berakhir saat pelabuhan Yokohama menjelang dibangun dan Restorasi Meiji akan segera dimulai.

Sebagai kota pelabuhan, Yokohama banyak mendatangkan orang asing. Dari ilustrasi-ilustrasi yang dibuat sang komikus, Yokohama seperti tak ada duanya dengan kota-kota di Eropa. Dengan budaya Jepang yang masih kental tentunya. Tidak hanya berdagang, ada pula orang asing yang memberi pendidikan bagi masyarakat lokal.

Sebagai anak-anak perempuan yang berpikiran maju dan terbuka pada perubahan, Mariko dan Uno memohon kepada Tuan Kanou agar diizinkan bersekolah. Dengan bantuan dari nenek tetangga sebelah bernama Amano Reika, juga setelah membungkuk-bungkuk penuh harap, dua gadis ini pun diizinkan mengikuti pendidikan yang diselenggarakan keluarga Simmons, yang kelak akan menjadi bekal yang amat berguna dalam memperoleh cita-cita mereka, di antaranya berkelana sampai ke negeri orang.

Tidak mudah jalan yang harus mereka tempuh untuk mencapainya. Apalagi mereka hidup pada jaman di mana masyarakat masih punya pandangan bahwa wanita tidak pantas untuk pergi jauh-jauh dan lebih patut tinggal di rumah saja mengurus suami dan anak. Uno sempat ditipu seorang asing yang hendak menjualnya ke Hawaii, ayah Mariko meninggal dan usahanya diwariskan ke anak sulungnya, Shuiciro, yang lebih berminat melukis daripada berbisnis, hingga akhirnya sepasang sahabat yang sudah bagai saudara ini harus berpisah. Uno menggantikan Mariko pergi ke Amerika sedangkan Mariko sendiri harus tetap tinggal di Yokohama. Karena perusahaan ayahnya di ambang kebangkrutan, Mariko terpaksa menikah dengan seorang pengusaha kaya yang dulu pernah menolongnya.

Akan jadi amat panjang nantinya kalau detail cerita ini dijabarkan. Sebagaimana roman pada umumnya, banyak tokoh lainnya berseliweran dalam cerita ini, di antaranya para pemuda ganteng yang membuat kehidupan cinta dua gadis muda ini jadi pelik, sebut saja Amano Shintaro--teman sepermainan Mariko sejak kecil yang diam-diam dengan Mariko saling menyukai, Ryusuke Kai--anak samurai yang penuh perjuangan keras agar bisa hidup, Kicho Isahaya--penerus bisnis keluarga yang wajahnya cantik dan mirip Shintaro, Toby Simmons--anak pengelola kursus Simmons yang jatuh cinta pada Uno, juga ada tokoh-tokoh lainnya seperti Rinko, anak samurai yang seorang geisha, dan Jim Roid, seorang koboi yang menolong Uno saat mencari Shintaro di Amerika.

Salah satu yang menarik dari cerita ini adalah latarnya. Saat baru ngeh akan latarnya, saya menerka-nerka, akankah ada isu kristenisasi menyelip dalam cerita ini? Misalnya karena banyak mengecap pengaruh dari Barat akhirnya Uno dan kawan-kawan menjadi kristen atau bagaimana, lalu dikejar-kejar untuk dibunuh, seperti yang pernah saya tonton sekilas dalam kartun "Samurai X". Atau apakah mereka akan terkena dampak dari pemboman dua kota industri di Jepang pada masa Perang Dunia II? Tidak ada yang seperti itu sih. Sacramento, San Fransisco, dan daerah-daerah Barat Liar di Amerika sana sempat menjadi latar atau sekedar disebut-sebut dalam cerita ini.

Alkisah, Amano Shintaro, yang tinggal membuat skripsi saja untuk lulus dari Kedokteran Harvard, hijrah ke San Fransisco untuk mengobati para imigran Jepang miskin yang mengadu nasib di sana. Saat itu di Amerika isu rasial masih gencar dan tidak ada seorang dokter kulit putih pun yang mau mengobati orang Jepang, yang sering disangka orang Cina atau orang Indian, apabila mereka sakit. Saking susahnya menjadi orang Jepang di Amerika saat itu, terutama kaum penggarap tanah, untuk membayar biaya menonton pertunjukkan teater seharga 50 sen per orang saja mereka belum tentu mampu (meski saya tidak tahu semahal apa sih 50 sen pada masa itu). Meski demikian, ada juga orang Jepang yang mapan. Tapi profesinya insinyur tambang. Kondisi demikian mengingatkan saya akan novelnya John Steinbeck, 'The Grapes of Wrath"--yang edisi Bahasa Indonesianya berjudul "Amarah"--yang juga mengisahkan tentang kaum kulit putih penggarap tanah.

Entah mengapa, cerita ini menimbulkan kesan yang cukup kuat buat saya. Meski para tokohnya mungkin agak tipikal, romansanya agak klise, dan saya membayangkan jika cerita ini dibuat versi live action-nya, mesti akan menjadi serial drama seperti "Jang Geum", "Putri Huan Zhu", atau drama Taiwan serupa yang soundtrack-nya "hou syang hou syang". Kalau kamu suka kisah roman dengan tema cinta, persahabatan, dan cita-cita berlatar belakang sejarah, bacalah seri komik ini.

Rabu, 24 November 2010

Judul : Serial Akta: Gendut Oke, Hitam...
Pengarang : Jazimah Al-Muhyi
Penerbit : Era Novfis, Solo, 2003

Sudah lama tidak membaca fiksi islami, yang mesti banyak selipan dakwahnya, membuat saya menarik novel tipis ini dari rak di kontrakan teman. Terdiri dari beberapa belas cerita pendek yang meski berdiri sendiri-sendiri namun saling berkaitan antar satu sama lain, bahasa tutur novel ini amat ringan dan tamat sekian jam dibaca. Secara sasarannya anak SMA (karena tokoh-tokohnya masih pada duduk di bangku SMA), sekiranya ceritanya tidak harus sesimpel ini. Setiap peristiwa tidak banyak dijabarkan melainkan hanya diceritakan seperlunya saja. Selain itu, muatan dakwahnya sendiri saya rasa cukup berat. Saya katakan cukup berat karena jika saya memposisikan diri sebagai yang menjadi sasaran dakwah novel ini, akan berat bagi saya rasanya jika harus mengubah kebiasaan saya sebagaimana yang tokoh utama--Akta--dalam novel ini inginkan. 

Tokoh utama serial ini, Akta, adalah seorang siswi SMA yang begitu memegang teguh prinsip ideal seorang muslimah. Ya, biarpun masih duduk di bangku SMA, tapi pembawaannya serius sekali, baik soal keislaman maupun studi. Sekilas si Akta ini tampak sempurna dan ideal. Akidah, otak, finansial, fisik, sepertinya tidak ada masalah berarti jika dibandingkan dengan teman-temannya yang lain, yang pada bermasalah dan si Akta inilah yang jadi pemecah masalahnya. Saya membayangkannya bagai teman-teman saya, mbak-mbak yang aktif di lembaga dakwah tapi aktif juga di kelas, ber-IP tinggi, dan belum prestasi lainnya.

Kalau anda adalah anak muda yang masih haus mencari kesenangan dunia dan belum siap jadi alim (meski ilmu akhirat mesti ditimba sedini mungkin), saya tidak menyarankan anda membaca novel ini. Mengapa? Karena setelah menyelesaikannya, anda mungkin akan jadi merasa amat berdosa. Atau anda akan jadi sebal sama Akta yang kok-sebegitunya-sih-bersikap. Atau bisa jadi malah muncul rasa antipati, "ah, beragama nggak meski segitunya kali..." Tapi anda bilang seperti itu apakah karena pondasi ilmu akhirat anda memang sudah kuat atau hanya asal bunyi saja karena tidak ingin dipojokkan sebagai seorang pendosa? Jika tidak ingin merasa dihakimi oleh fiksi islami yang tidak begitu anda doyani, sebaiknya anda jejali dulu otak anda dengan ilmu akhirat sebanyak-banyaknya.

Selasa, 23 November 2010

Tobias Wolff – Say Yes


Tersebutlah kisah sepasang suami istri. Sang suami dikenal sebagai seorang suami yang berperasaan. Dia mau membantu istrinya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. They talked about different things and somehow got on the subject of whether white people should marry black people. He said that all things considered, he thought it was a bad idea. Konflik pun dimulai. Sang istri terus menyinggung topik ini, bertanya apakah jika dia kulit hitam sang suami akan mau menikahinya. Sang suami keukeuh itu tak akan terjadi dengan mengeluarkan bermacam argumen. Sang istri hanya ingin tahu jawaban pasti dan sang suami menjawab, “tidak.” Perdebatan terhenti. Sang suami berjalan-jalan di luar sejenak untuk menenangkan pikiran. Sekembalinya ke rumah, sang suami minta maaf pada istrinya dan mengubah jawabannya. Namun istrinya telah menjadi seseorang yang asing baginya.

Pada paragraf pertama kita ditunjukkan betapa sang suami berusaha menjadi seorang suami yang berperasaan dengan membantu istrinya dalam pekerjaan rumah tangga, salah satunya adalah dengan mencuci piring bersama.

Saya merasa bisa memahami sang suami. Dia coba menjadi orang yang baik namun ia ternyata tak bisa sebaik itu—hingga mau menikahi seseorang yang berlainan ras dengannya. Bagi saya perdebatan yang sang istri angkat sekiranya tak perlu. Saya sependapat dengan sang suami, jika mana sang istri adalah kulit hitam, mesti akan lain takdir yang terjadi. Tak bermaksud untuk rasis. Saya pun punya pikiran jika saja bapak saya tidak menikahi ibu saya, tentu saya tak akan menjalani hidup yang seperti ini. Dan ini sudah takdir, sudah terjadi, tak perlu untuk diperkarakan karena takdir tak bisa diutak-atik.

Dan soal jodoh adalah pilihan. Kita punya selera masing-masing akan sesuatu. Jika kita ingin menikah dengan A, dan bukan si B, mengapa kita harus dipaksa untuk menikah dengan B? Dan ini tak mesti terkait dengan ras. Jika sang suami memang tak berminat untuk menikah dengan kulit hitam, mengapa dia harus dipaksa untuk mau? Itu bukan berarti dia rasis, saya sependapat dengannya: “I went to school with blacks, and I’ve worked with blacks and lived on the same street with blacks, and we’ve always gotten along just fine. I don’t need you coming along now and implying that I’m a racist.

Well, the husband is just me, seseorang yang berusaha untuk jadi orang baik namun tak lantas dapat menerima perbedaan. Di mata sang istri, sang suami bisa jadi seorang rasis. Dipersalahkan. Dengan demikian, saya punya keberpihakan kuat pada sang suami dan mengklaim sang istri sebagai wanita dominan nan arogan.

Selesai mencuci piring, sang suami berjalan-jalan di luar rumah. Ia melihat dua ekor anjing (?) di tempat sampah sedang mencari makan. Biasanya ia akan melempari mereka dengan batu, namun kali ini ia diamkan saja mereka. Mungkin karena dua ekor anjing itu ialah jantan dan betina, ia jadi teringat pada dirinya dan istrinya. Anjing saja bisa kompak berdua seperti itu, mengapa tidak mereka?

Pada akhirnya, sebagai seseorang yang berusaha untuk jadi orang baik,  sang suami mengalah. Kendati akibat adanya pertentangan itu, dirasakannya kemudian bahwa sang istri telah menjadi seseorang yang asing—sama seperti pada malam pertama mereka dulu. Di sinilah saya menyadari apa yang seakan hendak sang istri (atau pengarang?) sampaikan. Seberapapun kita merasa lebih aman dengan orang yang kita kenal, orang tersebut pernah jadi orang asing dalam hidup kita—sebelum kita mengenalnya, misal. Jadi mengapa kita harus tak menerima orang lain karena ia berbeda dengan kita? Memang beda tak lantas bisa disamakan dengan asing. Toh jika kita menolak sesuatu karena berlainan dengan kita, entah karena beda atau asing, lama-lama kita akan terbiasa dengannya.

Entah apa relevansi dari inti yang saya dapat barusan dengan judul cerpen ini. Mungkin say yes terhadap perbedaan? Bagaimanapun juga, menjadi terbiasa bukan berarti karena kita telah menyukainya. 
 
(dari “The Harper Anthology of Fiction” oleh Sylvan Barnet, 1990)



Minggu, 21 November 2010

Kate Chopin – The Story of an Hour


Datang kabar bahwa suami Mrs. Mallard meninggal dunia. Sesaat Mrs. Mallard menangis lalu ia menyendiri di kamarnya. Ia menyadari betapa bebas hidupnya kini. Ia merasa akan dapat hidup lebih lama. Ia pun ke luar kamar lagi karena terus menerus dipanggil saudarinya. Selagi menuruni tangga, pintu depan terbuka. Sang suami yang dikatakan telah tiada muncul di sana. Dan, when the doctors came they said she had died of heart diseases—of joy that kills. Semua itu terjadi dalam waktu sejam—kalau menilik judulnya.

Awalnya memang Mrs. Mallard tampak sedih akan kematian suaminya. She wept at once, with sudden, wild abandonment, in her sister’s arms. When the storm of grief had spent itself she went away to her room alone. Jika tak diberitahu apa yang ia alami kemudian di kamarnya, kita mungkin akan mengira kesedihan itu tulus.

Di kamarnya yang nyaman, ia coba lepas dari kelelahan psikis yang membayanginya. Butuh waktu untuk meredakan kekagetan akibat kabar yang mendadak ini. Suasana musim semi yang adem ayem memberi kontribusi terhadap penenangan jiwanya.  Ini tersaji dalam paragraf empat hingga paragraf tujuh, di mana pada paragraf delapan hingga paragraf sepuluh ialah yang mengantarkannya pada ucapannya, “Free, free, free!” hingga “Free! Body and soul free!” she kept whispering.

Mrs. Mallard tampaknya telah mengalami pernikahan yang mengekangnya. And yet she had love him—sometimes. Often she had not. Tak dideskripsikan benar mengapa ia sampai merasa begitu bebas saat mengetahui bahwa suaminya telah tiada. Hanya kalimat-kalimat yang menggambarkan perasaannya. There would be no one to live for her during those coming years; she would live for herself. Spring days, and summer days, and all sorts of days that would be her own. Atau mungkin karena persepsinya sendiri akan cinta. What could love—the unsolved mystery, count for in face of this possession of self-assertion which she suddenly recognized as the strongest impulse of her being.

(Unhappened) joy that kills, saya kira inilah tema yang pantas bagi cerpen ini. Mrs. Mallard sudah hampir meraih kebahagiannya dengan bayangan akan kebebasannya melalui hari-hari esok sendirian, namun mendadak suaminya tak jadi mati. Kaget karena tak jadi bahagia lebih fatal memberi akibat rupanya. Bukan lagi membuat air mata tercucur, melainkan mematikan. Malang nasibmu, wahai Nyonya… Saya kira akurat saja sang dokter memberi diagnosis bahwa Mrs. Mallard kena serangan jantung.

Atau bisa jadi saya salah tafsir. Mrs. Mallard meninggal bukan karena kaget dua kali, melainkan karena memang saking bersukacitanya ia, sampai-sampai itu membunuhnya. Kebebasan yang membunuh? Barangkali memang Mrs. Mallard sudah punya masalah dengan jantungnya.

Menjadi ironi ketika Mrs. Mallard menyangka hidupnya akan lebih lama karena kematian suaminya itu, she breathed a quick prayer that life might be long, dalam waktu kurang dari sejam kemudian justru suaminya yang masih hidup sementara ia yang menyambut ajal. Maut memang tak bisa diprediksi—sebagaimanapun kita mengharap umur yang panjang.

Pernikahan. Ada yang harus dikorbankan untuk menebusnya, ialah kebebasan. Jika kita ingin menikah, kita harus siap terikat dengan keluarga baru yang akan terbentuk. Dengan suami atau istri. Dengan anak-anak. Kita tak bisa lagi sepenuhnya jadi diri kita. Pasangan hidup mendamba yang terbaik dari kita. Anak-anak membutuhkan teladan dari kita. Keduanya membutuhkan perhatian dari kita. Bagaimanapun menikah adalah cita-cita terbesar saya. Saya mungkin rela melepas kebebasan saya jika itu dapat membuat saya menjadi perempuan yang lebih baik, bagi-Nya.

Saya jadi teringat film “The Painted Veil”. Tokoh utama perempuan justru menikah untuk mendapatkan kebebasannya. Ia ingin lekas lepas dari keluarganya. Namun sebagai istri dari suaminya ternyata malah menggiringnya ke cangkang baru. Ia coba mencari kebebasannya tapi cinta sejati justru muncul dari pengabdian. Semoga saya tak salah tangkap.

Itulah bagaimana jika kebebasan dikaitkan dengan pernikahan. Namun jika kebebasan dikaitkan dengan hal lain, akademis misalnya, kiranya saya akan sukar ikhlas kalau kebebasan saya dari hal itu direnggut. Waktu untuk mengarang diganti waktu untuk mengerjakan laporan misalnya, itu akan jadi suatu ketidakrelaan yang kabur antara mana yang lebih penting, lebih baik, lebih benar untuk diperjuangkan. Seperti lirik yang disajikan Chaseiro dalam lagunya, “Mari Wong”, jauhkanlah dunia berganda/ ke manapun kau pergi/ tak akan sampai…

Ke mana pun kebebasan dicari, tampaknya harus selalu ada yang dikorbankan. Bisa jadi itu kesempatan untuk mengembangkan hal lain, bisa jadi pula itu nyawa.

(dari “The Harper Anthology of Fiction” oleh Sylvan Barnet, 1990)


Jumat, 19 November 2010

Indah dan Merisihkan

Judul : Cari Aku di Canti
Pengarang : Wa Ode Wulan Ratna
Penerbit : Lingkar Pena Publishing House, 2008

Jika karya yang nyastra diartikan sebagai luapan rangkaian kata yang menjelma indah serta kedalaman budaya manusia—juga butuh untuk membacanya lebih dari sekali agar dapat lebih memahaminya, temukan hal demikian dalam cerpen-cerpen Wa Ode Wulan Ratna. Sebagian cerpen di dalamnya adalah cerpen yang sudah teruji kualitasnya—baik karena juara maupun termuat dalam media sastra macam Horison.

Yang para endorser itu katakan mengenai kumpulan cerpen ini saya setujui. Seolah saya rak punya komentar sendiri saja, saya ingin kutip lagi kata-kata mereka. Narasi yang cantik, kata Maman Mahayana. Indah dan selaras, penuh ungkapan-ungkapan yang baru, kata Hamsad Rangkuti. Demikian pun kata Ratih Kumala: Cara bertutur Wa Ode Wulan Ratna dalam cerpen-cerpennya mengalir lancar. Ia juga cerpenis yang tepat jika ingin mengkhususkan diri unuk mengangkat tema lokal yang kental.

Betapa menakjubkannya seorang perempuan muda yang mampu menyibak kekayaan budaya bangsa dalam media cerpen. Penasaran saya akan proses kreatif yang pengarang alami dalam menggarap setiap cerpennya ini. Setiap cerpen menampilkan kekhasan budaya lokal yang berbeda-beda. Entah bagaimana pengarang dapat menyelami begitu banyak budaya tanpa ada kesan canggung dalam menyajikannya kembali.

Dalam cerpen pertama, La Runduma, kita dikenalkan pada tradisi Buton. Dalam cerpen berikutnya, Cari Aku di Canti, kita dibawa meloncat dari salah satu kaki Sulawesi ke bagian bawah Sumatera—Lampung. Kita diajak kembali ke Buton dalam Bula Malino. Pada cerpen-cerpen berikutnya, kita akan singgah di pedalaman hutan Sumatera, Papua, Borobudur, hingga tak luput jua kota macam Jakarta. Semakin ke akhir, memang semakin memudar unsur lokalitasnya. Namun jalinan kata yang tersaji tetap menarik mata untuk terus membaca.

Mulai Bulan Gendut di Tepi Gangsal, saya kukuh terpikat. Mentang-mentang kuliah di Kehutanan, mulanya saya merasa ini cerpen baik sekali. Cerpen berikutnya, Perempuan Nokturia, memberikan rona yang tak jauh beda. Begitupun dengan Kering. Ketiganya bicara tentang hutan dari sudut pandang yang berbeda-beda, mulai dari masyarakat adat hingga tauke.

Meski demikian, secara ini buku diterbitkan dengan mengusung frasa “Lingkar Pena”, saya dikagetkan dan dirisihkan dengan kerapnya pemunculan kata-kata macam “kelam*in”, “ben*h”, “kenc*ng”—dan lain-lainnya semacam itu. Sampai saya mengira nyaris tak ubahnya pengarang ini dengan pengarang lain yang gemar mengumbar seksualitas.

Tak hanya di ketiga cerpen terakhir yang saya sebutkan, dalam Kembang Sri Gading, Peluru-peluru, maupun Batavius, juga saya temukan seorang lelaki yang begitu mendambanya pada seorang perempuan. Kadang tak luput dari cinta segitiga. Hebatnya, dengan kesamaan hasrat macam demikian, saya merasakan karakter yang berbeda-beda antar masing-masing cerpen.

Lainnya yang buat saya kaget ialah adanya dua cerpen yang mengungkit kultur agama selain Islam, yaitu Kembang Sri Gading dan Corfivollus.

Catatan Harian Hans Mandosir, Meja Gembol, dan Batavius bagi saya merupakan cerpen yang “beda” di antara cerpen-cerpen lainnya. Cerpen yang pertama mengisahkan seorang Hans yang begitu semangat menuntut ilmu dan gemar menulis. Namun sukarnya aksesibiliitas ke daerahnya menjadi penghambatnya dalam menggapai cita. Meja Gembol dituturkan dari sudut pandang seorang ibu-ibu. Meja gembol di rumahnya memiliki daya tarik misterius yang menyebabkan keanehan pada beberapa anggota keluarga. Batavus sendiri membawa saya pada suatu situasi familier dengan sudut pandang tak terduga. Unsur lokal dua cerpen terakhir memang tak sekental cerpen-cerpen lain dan cenderung biasa saja, lokasinya hanya di Pulau Jawa pula, namun mungkin justru karena itulah saya merasa dekat dan dapat lebih menyukainya dibanding cerpen-cerpen lain.

Bagaimanapun juga, senang bisa menemukan kumpulan cerpen nan indah namun merisihkan ini. Jarang saya mendapatkannya, suatu pengalaman yang tak biasa. Kepiawaian pengarang memberi inspirasi untuk terus mengeksplorasi kekayaan bangsa berupa bahasa dan budaya.

Kamis, 18 November 2010

Pengarang sebagai Perekam Zaman



Judul : Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma
Pengarang : Idrus
Penerbit : Balai Pustaka, 2008


Kumpulan prosa ini terdiri dari tiga bagian: Zaman Jepang; Corat-coret di Bawah Tanah; Sesudah 17 Agustus 1945. Masing-masing bagian mungkin mencirikan latar waktu pada cerita-cerita yang ada di dalamnya. Kendati demikian, saya merasa penjajah Jepang ada di hampir semua cerita.

Pertama kali dicetak tahun 1948, buku ini merupakan dokumentasi kehidupan rakyat Indonesia pada tahun-tahun sebelum itu. Kendati setiap judul menampilkan para pelaku dan latar tempat yang berbeda-beda, namun semuanya menunjukkan tema yang sama: derita rakyat di masa sekitar kemerdekaan—terutama di bawah kependudukan Jepang. Hal ini kuat terasa mulai bagian kedua.

Dalam Jawa Baru, tergambarkan secara umum kondisi masyarakat Pulau Jawa yang begitu susahnya mendapatkan pangan untuk menyambung hidup. Apa-apa serba mahal, termasuk beras, padahal mereka sendiri yang menghasilkan! Sudah bukan cerita baru lagi kalau orang pada zaman itu berbaju karung goni—bahkan tak berbaju. Demikian menderitanya mereka pada masa sekitar kemerdekaan ini, sampai-sampai Tuhan pun diragukan.

Semua orang menengadahkan tangan ke langit, meminta rezeki dari Tuhan Yang Maha Kuasa seperti Tuhan lupa memberi mereka rezeki. Setiap tahun padi menguning juga, beras digiling juga… Tuhankah yang salah? (hal. 88—Jawa Baru)

Orang tidak banyak percaya lagi kepada Tuhan. Tuhan baru datang dan namanya macam-macam, bom, mitraliur, mortir. (hal. 118—Surabaya)

Mula-mula orang terkejut kalau mendengar tembakan, tetapi setelah mereka tahu, bahwa tembakan-tembakan itu ditujukan ke atas, ke tempat Tuhan lama, sekarang mereka bersorak gembira mendengar setiap tembakan. (hal. 119—Surabaya)

Mereka merintih-rintih kesakitan di tepi jalan dan dalam hatinya mereka menyumpahi Tuhan. (122—Surabaya)

Kebetulan pada malam sebelum saya menamatkan buku ini, saya menyaksikan tayangan dokumenter di Metro TV mengenai perebutan Tarakan oleh pihak Jepang dan Belanda. Di sana disuguhkan juga betapa saking tak adanya makanan, kulit ubi pun dilahap.

Sebagai mahasiswi tingkat akhir yang gemar bolak-balik Jogja-Bandung dengan kereta ekonomi, cerita paling mengena bagi saya adalah yang berjudul Oh… Oh… Oh! di mana latar tempat berada di stasiun, berlanjut di dalam kereta.

Kereta api berangkat meninggalkan stasiun Sukabumi. Orang Tionghoa itu duduk di kelas dua, tertawa, dan tersenyum manis kepada seorang nona Belanda Indo. Di kelas tiga dan di kelas empat orang menangis karena berdesak-desak. Kondektur berjalan dari kelas tiga ke kelas empat. Sampai ia ke sekumpulan orang berdiri dekat tangga.
“Karcis-karcis,” kata kondektur.
Semua orang mengeluarkan uangnya. Pura-pura marah kata kondektur, “Kalau tidak ada karcis, mengapa naik kereta api juga. Bagaimana masuk stasiun tadi?”
Seorang daripada mereka berkata, “Tukang periksa karcis di pintu stasiun, kami beri sepicis seorang, Tuan.”
Kondektur tidak menjawab lagi, uang di tangan orang-orang itu diambilnya, dimasukkannya ke dalam sakunya dan lambat-lambat katanya, “Lain kali beli karcis, ya.” (hal. 104)

Sekitar tujuh puluh tahun telah berlalu sejak waktu yang melatari cerita tersebut, namun saya merasa tak jauh beda keadaan zaman itu dengan zaman sekarang. Sudah berkali-kali saya ikut merasakan nikmatnya berdesak-desakkan di kereta ekonomi. Sudah dua kali pula saya naik kereta tanpa karcis. Pertama kali, saya disuruh turun sama masinis di stasiun berikutnya untuk beli karcis (Pramex, 17 Oktober 2010). Kedua kali, saya titip goceng pada seorang ibu yang sudah biasa naik Progo tanpa karcis—ibu itu yang membayarkannya pada masinis (Progo, 13 November 2010).  

Sebagaimana Oh… Oh… Oh! tadi, Kota—Harmoni menyajikan situasi hampir serupa di dalam trem. Pasar Malam Zaman Jepang menggambarkan situasi di suatu pasar malam di mana permainan rolet jadi hiburan bagi para serdadu Jepang dan pemicu bunuh diri bagi pribumi. Tak jauh beda, Sanyo adalah cerita tentang seorang tukang kacang yang lancang menanyakan hakikat tukang catut pada masa itu. Fujinkai adalah semacam perkumpulan wanita sedangkan Heiho adalah pembantu serdadu polisi. Keduanya adalah bentukan Jepang yang tak ada untungnya bagi rakyat Indonesia sebagai bagian di dalamnya—sebagaimana yang tersaji dalam Fujinkai dan Heiho.

Bagian ketiga terdiri dari sebuah cerita pendek berjudul Kisah Sebuah Celana Pendek dan dua prosa panjang berjudul Surabaya dan Jalan Lain ke Roma. Kisah Sebuah Celana Pendek adalah kisah mengenai… ya, sebuah celana pendek, yang amat dikhawatirkan oleh pemiliknya. Karena terlalu sering dipakai, celana pendek itu jadi jelek rupanya. Ia ingin menjual benda itu agar bisa makan, tapi kalau dijual, dengan apa ia hendak menutup auratnya?

Surabaya ialah sekumpulan situasi di Surabaya saat terjadi insiden yang mengarah pada tercetusnya Hari Pahlawan. Kebetulan juga Hari Pahlawan baru beberapa hari lalu lewat, wew. Tidak hanya penjajah yang harus prajurit kita serang rupanya, melainkan juga ancaman penyakit sipilis! Banyak perempuan jadi ‘jahat’ di masa itu—menjual tubuh dan menyebar penyakit sipilis para para prajurit kesepian—demi menyambung hidup!

Prosa panjang yang kedua ialah yang cuplikannya kerap dipersoalkan dalam ujian Bahasa Indonesia semasa sekolah menengah. Masih ingat si Open? Orangtuanya menamakannya demikian agar ia jadi seorang yang berterus terang. Namun sifat terus terangnya itu malah memberi sial baginya. Open sudah coba jadi guru, mualim, hingga pengarang, namun selalu saja ia menghadapi sesuatu yang tak menyenangkannya.

Saya membayangkan pengarang kumpulan prosa ini sebagai seorang yang rajin mengikuti media—entah lewat koran atau radio, maupun mengamati atau mengalami langsung kejadian yang menginspirasi prosa-prosanya ini. Gaya bertuturnya meyakinkan dan mengagumkan saya. Saya merasa harus mempelajarinya. Untuk menghasilkan karya seperti pengarang, saya seolah diajak untuk lebih peka terhadap kehidupan kaum marjinal. Mulai dari mengamati hingga berempati. Sebelum tahu dari Wikipedia bahwa pengarang adalah pegawai Balai Pustaka, saya kira ia seorang wartawan—jika bukan pengarang merdeka yang didam-idamkan dalam Kejahatan Membalas Dendam.

Suksoro : Tinggal di kota sangat mahal. Semua harus dibeli. Pakaian harus bagus. Akhirnya terpaksa juga mencari pekerja. Pengarang-pengarang di negeri asing dapat maju karena mereka dapat merdeka hidupnya.
Susilawati : Benar juga perkataan Ayah. Hidup merdeka, tentunya hidup dari hasil karangannya.
Suksoro : Itu yang belum bisa di Indonesia ini. Di Eropa sebuah sajak saja kudengar, dibayar oleh majalah yang memuatkannya, ratusan!
Susilawati : Dengan itu saja, pengarang telah dapat hidup beberapa bulan!
Suksoro : (menarik napas) Ya, ke sana hendaknya pergi kita nanti, apabila pengarang-pengarang muda kita (melihat ke atas). Pengarang-pengarang Indonesia merdeka? (hal. 71-72)

Dikisahkan dalam sandiwara ini, Suksoro adalah tipe pengarang kolot yang kontra dengan (mantan?) kekasih Susilawati, Ishak—seorang pengarang muda dengan semangat kemerdekaan menggebu-gebu. Ada situasi lucu dalam sandiwara ini. Agar dapat menulis dengan tenang, Ishak pergi ke desa dan menemukan sebuah rumah kosong. Ia pun menulis di rumah tersebut. Saking asyiknya, ia sampai tak menyadari kedatangan nenek pemilik rumah. Berhari-hari nenek itu coba berinteraksi dengannya, tak pernah ia hiraukan. Suatu ketika ia berhasil menyelesaikan tulisannya sehingga cukup peka indranya untuk dapat bercakap dengan sang nenek.

Ishak : Untuk kita, untuk kita juga (memandang jauh kembali). Itu rupanya mereka bersedih, sedang padi menguning (sambil mengepalkan tinjunya). Mereka harus mendapat penjelasan lebih banyak lagi. Mereka tidak tahu, tidak mengerti.
Perempuan tua : (mengeluh)
Ishak : (lekas membalikkan badannya). Akan tetapi, Nenek siapa?
Perempuan tua : Kemarin telah kukatakan.
Ishak : Kemarin? Aku tidak tahu.
Perempuan tua : Aku kemarin baru datang.
Ishak : Mengapa kemari?
Perempuan tua : Mengapa? Aku yang punya rumah ini.
Ishak  : Nenek…? Nenek yang punya rumah ini? (tiba-tiba sujud di muka perempuan tua itu, mencium tangannya). Maaf, maaf, Nek. Aku sangka rumah ini rumah kosong. (hal. 51)

Lumayan jadi penyegar di tengah kejemuan :)

Masih soal kepengarangan, dalam Jalan Lain ke Roma pun Open sempat ditinggalkan istrinya. Terlalu asyik mengarang, Open tersinggung ketika sang istri menyuruhnya bekerja supaya mereka tak mati kelaparan. Open pun menyuruh istrinya enyah ke desa. (hal. 65)

Kedua tokoh dalam buku ini mengingatkan saya pada Wayne Danton dalam Olenka. Seorang pengarang bisa jadi amat peka terhadap kehidupan orang lain—tapi belum tentu terhadap kehidupannya sendiri dan atau orang-orang di sekitarnya. Seorang pengarang bisa jadi amat mengedepankan egoismenya—mentang-mentang pengarang, ada saja yang mendukung kehadirannya dari zaman ke zaman. Sekali lagi, ini jadi semacam pengingat bagi para pengarang wanna be agar tak lantas jumawa dan lupa diri.

Mungkin inilah kekuatan dari sastra klasik. Kendati sudah lebih dari enam puluh tahun sejak buku ini pertama kali dicetak, permasalahan-permasalahan di dalamnya masih dapat dirasakan hingga kini. Tentu kita berharap keadaan dapat membaik dari waktu ke waktu. Maka itu, dari buku semacam ini kita dapat berkaca dan sadar akan betapa lambannya kemajuan yang kita peroleh. Lantas, apa yang harus kita lakukan untuk memperbaikinya?

Akhir paragraf, saya hendak mengutip sesuatu dari Jalan Lain ke Roma. Inilah bagian yang amat menyentuh dari prosa panjang nan kocak favorit saya ini, dari halaman 168 – 169,

…Boethius berkata, kesengsaraan itu sebenarnya tidak apa-apa. Hanya anggapan yang salah terhadap kesengsaraan itu, itu yang menjadikan orang putus asa dan celaka. …Kesengsaraan bukan musuh, anggapan itulah yang musuh. Setelah ia dapat melepaskan anggapan itu, dan dapat melihat kesengsaraan yang dideritanya sebagai sewajarnya, ia mengucap syukur kepada Tuhan dan terima kasih kepada Boethius.

sumber gambar 

Rabu, 17 November 2010

Mengingat Hakikat Ajal untuk Tanggap

Di hari peringatan Sumpah Pemuda yang lalu, akhirnya hujan abu mengguyur Jogja pada dini hari. Warga yang bermukim di utara berbondong-bondong ke selatan untuk menghindari guyuran yang berbau belerang ini. Ketika langit terang, terlihat jalanan, dedaunan, hingga atap tertutup abu tebal. Sejak itu warga selalu dihimbau untuk mengenakan masker jika berada di luar ruangan.

Kenyataan bahwa di atas sana ada ribuan pengungsi dengan kondisi yang serba darurat seolah terlupakan. Tak terkecuali yang bermukim di bawah pun kebagian ketar-ketir juga. Gunung Merapi terus menyemburkan isinya yang seolah tak habis-habis. Dari waktu ke waktu semakin keras saja letusannya. Ada desas-desus dari seorang kawan yang relawan bahwa awan panas dikhawatirkan melanda hingga kawasan UGM, bahkan hingga ke Kalasan. Jogja dan Klaten bisa saja jadi kota mati. Desas-desus yang bisa saja mewujud nyata ini serasa bagai seruan untuk lekas packing barang-barang penting seperlunya—kalau sewaktu-waktu harus mengungsi.

Pada 3 November 2010, terjadi letusan yang mengakibatkan lokasi pengungsian diturunkan. Dikepung hawa dingin sehabis hujan, sembari menikmati sajian hangat di Kedai Bambu, saya dan seorang kawan mendengarkan laporan perkembangan aktivitas Merapi seharian itu di RRI. Cemas hati kami dibuatnya sementara Sherina kecil—melalui tape kedai—mengajak kami untuk senang dan riang. Menapaki becek kala menuju jalan pulang ke kosan, kami bertanya-tanya apa yang bisa kami lakukan dalam kondisi mencemaskan ini. Tak terhindarkan bahwa kecemasan dapat melumpuhkan kita hingga tak kuasa melakukan apapun. Dan jawaban yang bisa kami simpulkan hanyalah menunggu dengan sabar, terus berdoa, dan menjalani kehidupan sebagaimana biasa.

Saya telah dengar beberapa ajakan, baik dari kajian maupun siaran RRI, untuk menghikmahi bencana ini. Baik utara, selatan, barat, maupun timur, semua tak luput dari pemberian Merapi. Ialah limpahan mineral yang terkandung dalam abu vulkanik. Setelah ini lewat, niscaya suburnya tetumbuhan yang akan menggantikan kelabu di lereng gunung. Tak hanya itu, rasanya ingin memuji Tuhan ketika sadar bahwa kita sedang diajari-Nya untuk sabar dan banyak berdoa.

Tuhan, apakah selama ini kami kurang sabar dan kurang banyak berdoa?

Ransel yang berisi barang-barang penting seperlunya—kalau sewaktu-waktu harus mengungsi—belum lagi dibongkar. Dada berdebar-debar menanti apakah benar lokasi pengungsian akan semakin turun ke bawah. Mungkin saja akan terjadi pengungsian besar-besaran, apalagi jika kawasan UGM sudah kena. Berapa puluh ribu mahasiswa UGM yang harus diungsikan?

Rundungan dari peristiwa Merapi ini membuat ajal jadi terasa bisa menyambangi kapan saja. Barangkali kita semua takut akan ajal. Kita enggan meninggalkan kenikmatan dunia yang fana ini. Kita tak bisa memastikan setelahnya kita akan masuk ke dalam surga atau neraka. Kita tak pernah mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Sementara itu setiap saat para pengungsi di lereng Merapi bisa saja terserang ISPA atau wedhus gembel dan tewas.

Namun jika hakikat ajal ditilik lagi, ia bisa datang tidak hanya di saat Merapi tengah beraksi seperti ini. Ia bisa datang kapan saja, di mana saja, pada siapa, dengan berbagai cara. Dengan tsunami, misalnya, bagi para penduduk Mentawai baru-baru ini. Ia bahkan bisa menyapa orang yang berada di tempat teraman di dunia sekali pun. Ia bisa datang lewat penyakit jantung, tabrakan kendaraan bermotor, kecelakaan konstruksi, dan lain-lain. Kita semua mungkin ingin hidup lama namun kedatangan ajal tak bisa dipastikan.

Kita semua mungkin ingin hidup lama namun kedatangan ajal tak bisa dipastikan. Memahami hakikat ajal ialah keniscayaan bagi kita untuk selalu mempersiapkan diri dalam menyambutnya. Namun ingat pula bahwa Tuhan tak akan mengubah nasib suatu kaum hingga kaum itu sendiri yang mengubahnya—termasuk menghindarkan diri dari ajal.

Kita semua tahu atau bisa memperkirakan bahwa jika kita lengah akan lingkungan sekitar, itu bisa mendekatkan diri kita pada ajal. Maka dalam kondisi dirundung bencana seperti ini, di mana ajal bisa saja diam-diam membonceng, adalah keniscayaan juga bagi kita untuk selalu waspada dan tanggap.

Biasanya kepanikan tak terhindarkan apabila tanda-tanda bencana terjadi. Menurut KBBI, panik ialah bingung, gugup, atau takut secara mendadak sehingga tak dapat berpikir dengan jernih. Tanggap sendiri diartikan sebagai mengetahui keadaan dan memerhatikan dengan sungguh-sungguh. Bagaimana kita bisa tanggap apabila pikiran tak jernih?

Sebagai akronim dari panik, tenang dapat menjadi kunci untuk tanggap. Masih menurut KBBI, tenang ialah tidak gelisah, tidak rusuh. tidak kacau, tidak ribut, serta aman, dan tentram  perasaan hati dan keadaan. Mempersiapkan ajal sejak dini namun membentuk laku waspada untuk menghindarinya bisa jadi satu cara untuk tenang. Dengan ketenangan, kita akan siap untuk tanggap.

ditulis sekitar 3-4 November 2010

Selasa, 16 November 2010

Weekend with Teenlit (Bagian 3 dari 3-TAMAT)

Kami menginap di sebuah rumah penduduk. Di sana saya membantu apa yang bisa dibantu. Sesekali saya hanya meringkuk saja karena perut saya perih. Makin lama makin perih. Maag saya kambuh. Memang hari itu saya baru makan sekali sekitar jam 10-an. Tapi biasanya begitu saya tak kenapa-kenapa kok. Kata teman saya sih, kemungkinan karena kena angin juga makanya bisa sampai begitu.

Saya makan hanya sedikit—tidak seperti biasanya—karena perih yang mencakar-cakar lambung saya membuat saya jadi tidak bisa menikmatinya. Meskipun makanannya cukup melimpah dan gratis, sebagaimana tujuan saya semula ke sana. Satu, karena tinggal ada seribu tujuh ratus perak di kantong dan tak enak kalau sudah harus menarik duit lagi di ATM. Dengan ikut acara ini saya bisa makan gratis untuk malam itu, besok paginya, dan mungkin juga siangnya. Dua, karena jam 1 siang keesokan harinya saya ada acara di tempat yang cukup jauh dari kos kalau harus ditempuh dengan berjalan kaki, saya bisa minta diantar yang mengantar saya pulang—kalau dengan motor—ke tempat tersebut. Pragmatis sekali. Pada akhirnya sih, saya tidak mendapatkan keduanya. Yang pertama memang saya mendapatkannya. Tapi karena saya makan hanya sedikit dan tidak menikmatinya, jadi ya percuma saja.

Terlepas dari alasan logis yang menghalangi tercapainya kedua tujuan tersebut, saya menyadari memang sebaiknya kita melakukan sesuatu itu dengan niat yang ikhlas, bukannya disertai tujuan-tujuan pragmatis. Tujuan pragmatis itu padahal bisa kita dapatkan tanpa kita harus benar-benar meniatkannya. Yang harus benar-benar kita niatkan adalah ketulusan untuk membantunya itu.

Terlepas dari siksaan perih, saya meresapi pengalaman saya selama di sana dengan pikiran yang mengembara ke alam cerita saya. Kesyahduan yang dipijarkan tungku di ruang belakang, ditambah suasana malam yang melingkungi rumah pedesaan, memasukkan para tokoh cerita saya ke dalam kepala kembali. Membayangkan apa yang akan mereka lakukan jika mengalami hal yang sama. Melengkapi kepingan-kepingan cerita yang telah ada.

Memang kedua tujuan pragmatis saya tidak tercapai, namun saya merasa mendapatkan beberapa pelajaran dari pengalaman ini. Saya tidak merasa rugi karena tidak memanfaatkan malam Minggu dengan menghabiskan teenlit-teenlit yang telah saya pinjam.

Keesokan harinya, saya turun lebih cepat dari yang saya rencanakan jadi tidak terwujud tujuan pragmatis yang kedua—minta antar ke tempat acara, karena pasti belum mulai. Saya langsung pulang ke kosan. Mengaso dengan membaca teenlit-teenlit tersebut. Jadi merasa malas untuk menghadiri acara jam 1, lagipula siapa lagi yang saya bisa minta antar? Menjelang zuhur, saya tidur sampai jam setengah 2-an. Acara sudah pasti akan segera dimulai. Saya belum membersihkan diri. Siang begitu terik. Saya tidak akan ke sana. Saya akan menghabiskan siang hingga sore dengan menamatkan teenlit-teenlit ini saja.

Saya mengambil kembali “Skenario Dunia Hijau dan Cerita-cerita Lainnya”. Meneruskan untuk menamatkannya. Kali ini saya tidak bakal sambil menyambinya dengan buku lain.

Kembali ke dunia SK. Berkenalan dengan para tokohnya yang antar cerita pastinya masih saling berkaitan. Setiap tokoh dalam cerita diambil dari karya SK lainnya, biasanya berupa novel. Hm, salah satu trik promosi.

Menamatkan kumpulan cerpen tersebut. Melanjutkan membaca teenlit berikutnya dengan gembira.

Judul : Girl-ism
Penulis : Desi Puspitasari
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009

Oh, teenlit yang amat sederhana. Seperti buku cerita anak-anak. Saya membayangkan penulisnya sendiri yang menjadi tokoh utama, hihi. Lagipula namanya sama.

Karena itulah, saya merasa, teenlit kiranya sepatutnya ditulis oleh orang yang memang sudah matang hidupnya. Halah. Maksudnya, kalau teenlit ditulis oleh remaja untuk remaja, sepertinya teenlit tersebut hanya akan menjadi curahan pikiran yang masih labil. Baiklah, saya membayangkan diri saya sendiri, yang meskipun sudah memasuki tahap remaja akhir tapi masih belum bisa memantapkan hidup. Dengan pemikiran saya yang masih mencari-cari, menimba, dan belum mantap benar ini, saya merasa kalau saya membuat cerita, maka cerita yang saya hasilkan bakal menunjukkan kelabilan saya.

Saya punya pikiran, jika seorang pengarang ingin menghasilkan karya yang berkualitas, maka seharusnya dia juga seorang manusia yang berkualitas. Setidaknya, dia sudah melewati tahap-tahap bagaimana caranya mencapai kualitas hidup. Pelajaran yang dia dapatkan saat melewati tahapan itulah yang akan dia bagi lewat karyanya. Kalau seorang pengarang belum dapat melihat dunia ini dari perspektif yang utuh, maka saya kira karyanya juga bakalan tak adil. Maksudnya, di karyanya dia menampilkan realita yang suram hingga membuat pembacanya merasa ikutan suram juga. Pesimis hidupnya. Padahal, seandainya si pengarang bisa melihat dunia dari sisi yang lain, realita yang disampaikan tidak harus sesuram itu. Dia bisa memberikan solusi yang lebih berguna ketimbang menampilkan realita yang menyesakkan. Intinya, pengarang tidak boleh picik. Harus memiliki keluasan pandang.

Tapi, kalau teenlit ditulis oleh orang dewasa yang sudah memiliki kemantapan, dia bisa memberikan lebih banyak pelajaran untuk remaja.

Dalam teenlit ini, saya merasakan nilai-nilai islami yang subtil. Tidak banyak kontak fisik, ajakan halus memakai rok untuk para putri, semacam itulah. Realistis pula. Interaksi antara Desi, tokoh utama, dengan teman-temannya sejak awal cerita pada mulanya saya rasakan sebagai hiburan (kocak sih) sekaligus suatu hal yang bertele-tele. Memang berhasil membuat saya merasa ingin mengulang masa-masa di bangku sekolah, mengisinya dengan momen-momen indah seperti Desi dan kawan-kawan, tapi kok cerita utamanya tidak sampai-sampai... Baru deh, setelah mulai agak akhir saya menemukan pelajaran-pelajaran oke dari teenlit ini.

Tidak bertaburan hal-hal menyilaukan seperti dalam karya SK memang, karena memang tidak perlu. Tanpa itu pun, esensinya sudah bisa sampai tanpa harus membuat pembaca iri.

Segera lanjut ke teenlit berikutnya!

Judul : 57 Detik
Pengarang : Ken Terate
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009

Ini loh, yang kata review yang saya temukan melalui googling ada “cerdas-cerdas”-nya. Bukan tokohnya. Penulis cerdas lebih baik daripada tokoh yang cerdas. Tokoh yang katanya cerdas tidak akan terasa kecerdasannya kalau penulisnya tidak dengan cerdas membuatnya menjadi tokoh yang cerdas. Begitulah.

Entah karena terpengaruh review yang sudah saya baca atau bukan, sejak awal membaca cerita ini saya merasa merinding. Saya tahu cerita yang saya baca ini akan memberikan kesan baik untuk saya. Dan memang.

Ciri khas Ken Terate (lah, berasa pengamat per-teenlit-an handal!) adalah menampilkan para tokohnya dengan sudut pandangnya masing-masing. Dan kuat. Pada awalnya memang saya merasa gaya bahasa ketiga tokoh dalam teenlit ini sama-sama saja. Lancar mengalir seperti air PDAM, diselipi kalimat-kalimat kocak yang bikin mendengus. Tapi lama-lama kerasa juga bedanya Nisa, yang biar anak cheers tapi karena berasal dari keluarga biasa-biasa aja terasa tabah, dibandingkan dengan temannya, Ayomi, yang kemanjaannya sebagai anak orang kaya kentara juga. Lalu ada Aji. Yang membuat saya kagum sama penulis adalah gaya bahasa Aji yang menurut saya memang sangat cowok. Seakan penulis yang perempuan bisa mengikuti jalan pikiran seorang cowok yang ngomongnya ke hal-hal teknis. Tapi, saya agak wagu juga kalau orang ngomongnya dicampur antara “gue” dengan “kamu”. Tidak konsisten. “Gue” ya pasangannya sama “lo”. Kalau “kamu” itu dengan “aku” atau “saya”. Padahal Aji ini sudah hampir sempurna jadi orang Jakarta, tapi gara-gara ngomongnya kecampur-campur begitu saya merasa dia tak ubahnya teman-teman saya yang biasa ngomong Bahasa Jawa, karena ingin gaul maka ikut-ikutan ngomong memakai “gue”. Atau “nggue”, tepatnya. Dan tidak heran kalau masih kecampur-campur juga. Dan saya kira Aji kurang banyak menggunakan istilah Kedokteran. Mungkin karena latar belakang penulisnya juga bukan dari sana kali ya.

Saya agak kecewa ketika Aji dan Ayomi pacaran. Dalam teenlit, hal itu seharusnya lumrah. Tapi karena kata Mbak Desi Ken Terate jarang menampilkan masalah pacaran dalam karyanya, saya jadi agak kecewa. Namun kemudian saya bersorak gembira ketika mereka putus lagi.

Hebatnya Ken Terate (selanjutnya KT), dia sangat menyelami para karakternya. Kita seakan mengalami apa yang mereka alami.

Dalam karya KT, setiap tokoh memiliki kelebihan masing-masing juga, sebagaimana para tokohnya SK. Para tokoh KT terasa manusiawi karena kita diajak menyelami benar permasalahan tokoh dengan potensinya, yang bisa jadi kekurangan maupun kelebihannya. Karena alurnya tipikal, pada akhirnya si tokoh ini bisa memanfaatkan potensinya dengan baik. Tidak ayal, hal ini memang memberikan inspirasi bagi pembacanya. Kadang membuat saya malas, kadang memang betulan inspiratif.

Sementara dalam karya SK, apa yang dialami oleh para tokohnya sepertinya hanya di permukaan saja. Tidak mendalam. Karena cerpen kali ya? Ah tidak, mungkin karena dia mau menyombong betapa hebat tokohnya. Sebaiknya dia fokus memanusiawikan dan menguatkan karakter para tokohnya ketimbang menyebutkan apa-apa yang hanya bisa diicip segelintir orang.

Dalam karya SK, setiap tokohnya, oke, jangan ditanya lagi. SK sepertinya lebih suka mengeksplor relasi hubungan cowok cewek ketimbang pergulatan si tokoh dalam mengelola potensinya.

Memang, cerita-cerita seperti ini (termasuk KT juga) akan berakhir dengan “semuanya akan baik-baik saja pada akhirnya kok”. Namun dalam karya SK, geregetnya itu kurang (atau tidak bisa) dikatakan kerasa. Dalam karya KT, kita diajak benar merasakan kecemasan si tokoh sehingga kita boro-boro menyadari bahwa semuanya akan baik-baik saja di akhir. Tapi dalam karya SK, kita seakan-akan tinggal mengikuti saja cerita dengan esensinya yang kurang penting itu.

Selain itu, meski mengaku nasionalis, SK rasanya banyak berkiblat pada Amerika. Menguarkan nasionalisme terasa bagai sebuah apologi.

Selesai membaca “57 Detik”, saya merasa teenlit ini memang inspiratif karena satu alasan. Satu pertanyaan muncul dalam benak saya: “Saya bisa apa?”

sumber gambar: 

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...