Judul : Olenka
Pengarang : Budi Darma
Penerbit : Balai Pustaka, 2009
Paragraf pertama dalam kata pengantar novel peraih SEA Write Award ini saya jadikan pula paragraf pertama dalam review saya kali ini,
Menurut Budi Darma, karya sastra yang baik bukanlah tulisan yang kaya dengan tindakan-tindakan jasmani yang menakjubkan, melainkan kaya berkelebatnya sekian banyak pikiran. Setiap karya sastra yang baik hakikatnya adalah kisah berkecamuknya pikiran dan pandangan orang yang tidak malu-malu berlaku jujur mengakui siapa diri mereka sebenarnya.
Seorang kawan mengatakan bahwa novel-novel Pramoedya Ananta Toer juga demikian. Wajar saja, menurut saya—jika yang dirujuknya ialah tetralogi Bumi Manusia. Pramoedya menulis tetralogi tersebut di penjara, kiranya dia punya banyak waktu untuk merenung, kan?
Tapi justru peraih nobel sastra, Ernest Hemingway, menerapkan prinsip sebaliknya untuk karya-karyanya. Prinsip gunung es, katanya. Hanya sepertiga yang ia tampilkan ke permukaan, selebihnya biar pembaca menyelam sendiri untuk menemukan. Penuturan obyektif Hemingway memungkinkan pembaca untuk melengkapinya dengan interpretasi mereka masing-masing. Kendati demikian, tak jarang saya malah tak mendapatkan apa-apa dari karyanya yang saya baca. (“-_-)a
Menariknya, Budi Darma berkata lagi—masih dikutip dari kata pengantar, “Sebagai pengarang saya tidak membuat rencana. Apa yang akan saya tulis saya tidak tahu, dan apakah saya akan menulis cerpen atau novel, saya juga tidak tahu.” Ditambahkan oleh penulis kata pengantar, kekuatan intuisi menjadi hal yang penting—untuk tidak mengatakannya mutlak. Menarik untuk dijadikan bahan eksperimen, bukan?
Apakah kehidupan atau manusia itu sendiri yang absurd, yang jelas novel ini mengisahkan petualangan cinta seorang Fanton Drummond. Awalnya saya kira novel ini memuat unsur otobiografis pengarang—jadi tokoh utamanya ialah mahasiswa Indonesia yang kepincut cewek native. Namun ternyata novel ini ialah bukti keberhasilan pengarangnya dalam menyelami kehidupan masyarakat Barat—khususnya di Bloomington, Amerika. Bloomington konon berasal dari julukan Blooming Town—maksudnya kota yang banyak berisi bunga mekar kali ya. Sementara itu Washing Town ialah nama suatu laundry di pinggiran Selokan Mataram selatan Pogung, Jogja, dengan jargon: “the best washing in town”!
Fanton Drummond (selanjutnya FD) bertemu Olenka. Ia tidak bisa lepas dari bayang-bayang Olenka hingga mencintainya. Gayung bersambut (mengapa harus gayung dan mengapa ia disambut, saya tak paham sebetulnya). Namun sayangnya, Olenka sudah memiliki suami, Wayne Danton (selanjutnya WD), dan anak, Steve. WD adalah seorang pengarang yang amat mementingkan kepengarangannya di atas segalanya sehingga ia menjadi individu yang egois dan asosial. Bagi saya, ini jadi semacam kritik bagi pengarang wanna-be agar menyeimbangkan kehidupannya dengan pengembangan diri, terutama ke ranah sosial. Olenka bagai budak WD. Olenka yang sesungguhnya bercita-cita jadi pelukis akhirnya meninggalkan kehidupannya di Tulip Tree—nama apartemen tempat para tokoh ini tinggal. FD yang kehilangan melancong dan bertemu seorang gadis bernama Mary Carson (selanjutnya MC). FD terpikat MC—meskipun tak bisa sepenuhnya melupakan Olenka—namun MC kerap jual mahal. Akhirnya FD tak jadi memperistri MC dan berhasil melacak jejak Olenka lewat koran—namun tak bersua langsung lagi dengannya hingga akhir cerita.
Banyak hal menarik dalam novel ini. Seperti percakapan yang selalu menggunakan saya-sampean dan bukannya saya-kamu atau saya-kau dan lain-lainnya. Bahkan terdapat istilah-istilah berbahasa Jawa lainnya.
Hal. 94
Ketika saya bertanya mengenai Wayne, Galpin berkata, “Oh, Si Bisu itu? Semprul.”
Hal. 145
Seorang pegawai perempuan menjawab: “Maaf, Tuan, kami tidak mempunyai daftarnya.”
“Diancuk!”
“Apa Tuan?”
“Diancuk!”
“Hus, jangan bicara kotor, ah…”
“Gundulmu!”
“Lho, kok omong kotor lagi. Jangan, ah, tidak baik…”
“Kamu sundal, ya?”
“Bukan, Tuan. Saya orang baik-baik, kok. Mbok jangan begitu ah…”
Sehingga membaca novel ini bagaikan menonton film Barat dengan dubbing bahasa Jawa. Kocak.
Sesekali disisipkan juga potongan artikel koran (hal. 22), foto (hal. 38), iklan (hal. 40), dan semacamnya, ditambahi keterangan berkaitan dengan para tokoh, yang semakin memperkuat latar novel ini. Menimbulkan pertanyaan, ini kisah nyata atau bagaimana sih? Yang kiranya bukan. Yang kiranya pengarang hanya mendalami tokohnya dengan begitu baik, menjadikannya seolah sungguh-sungguh nyata.
Baik benar pengarang. Tidak hanya membocorkan proses kreatifnya di balik penciptaan Olenka dalam Bagian VI, ia juga memberi kita banyak referensi karya sastra untuk dieksplorasi. Mereka termuat dalam Bagian VII, berupa catatan yang menerangkan 54 angka kecil yang tersebar di sepanjang novel. Seakan pengarang mengajak kita untuk menghayati juga Antic Hay (Aldous Huxley), A Passage to India (E. M. Forster), Jane Eyre (Emily Bronte), The Flea (John Donne), Women in Love (D. H. Lawrence), The Leather Stocking Tales (James Fernimore Cooper), Vanity Fair (William Makepeace Thakeray), The Rainbow (D. H. Lawrence), Raintee County (Ross Lockridge Jr.), hingga sajak-sajaknya Robert Browning dan Chairil Anwar.
Tidak hanya memuat isu homoseksualitas, pengarang juga mengutip dua ayat dari Quran surat Al-Baqarah. Satu di tengah dan satu di akhir, berpadu dengan Doa: Kepada Pemeluk Teguh-nya Chairil Anwar yang membuat saya bertanya-tanya apakah pada akhirnya si tokoh utama memeluk agama Islam?
Lagi-lagi saya menemukan sebuah novel yang mengajak saya untuk menjadi bebas ketika membuat fiksi. Dalam novel ini, dengan seenaknya unsur-unsur cerita diambil dari karya orang lain (tentu saja dengan catatan), fakta dilebur ke dalam fiksi hingga membuat penasaran apakah memang begitu yang ada di dunia nyata, dan lain-lain. Bagian VII membeberkan semua itu, betapa kaya referensinya novel ini, seakan pengarang ingin mengatakan pada saya, “Kalau kamu ingin menghasilkan karya seperti ini, kamu harus banyak-banyak membaca (dan mengalami)!”
…dan bahwa kekuatan imajinasi itu amat penting bagi seorang pengarang.
Baik, Pak!
sumber gambar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar