(it must have been love, but it’s over now/ it must have been good, but i lost it somehow/ it must have been love, but it’s over now/ from the moment we touched till the time had run out/ roxette – it must have been love)
.
Sebelum semakin mengutara Kota Bandung,
turunlah Zia dan Tata dari angkot. Sampai memasuki bagian dalam rumah makan,
Tata belum lepas dari kaitan lengan Zia. Tata menyimpan kekecewaan karena Ardi
menolak diajak ikut reuni SMP-nya. Zia menyimpan kesenangan karena Tata menjadi
miliknya lagi. Di sini tidak akan ada pendar-pendar obsesi Tata pada Ardi.
Hawa lembab menerpa kala mereka memasuki
ruangan besar yang disekat papan-papan kayu berwarna muda dari pemandangan di
luarnya. Angin sejuk dan cahaya matahari menembus dari celah-celah di antara
kedua bilah papan. Rumbai-rumbai kain krep menjuntai dari langit-langit.
Lampu-lampu dengan tali panjang menggantung. Perhatian Zia terarah ke sana
sebelum kemudian mengalih pada wajah-wajah yang mengenal dan dikenalnya.
Menyapa dan disapa sembari berjalan di antara bangku-bangku panjang berwarna
senada dengan dinding. Tata memilih duduk di seberang Akbar. “Si Ega mana,
Bar?” Ia menyela percakapan Akbar dengan orang di sampingnya.
“Wah, iya. Gimana ya kabar si Ega?”
Akbar mengusap-usap belakang kepalanya.
“Lieur budak teh. Bukannya kamu teh dulu
sobat kentalnya si Ega?”
“Loh, bukannya kamu yang sekarang satu
SMA sama dia?”
“Oh iya, ya!” Tata tertawa. Zia
berdecak-decak. Ganti Akbar yang menegurnya. “Eh, Zia! Saya baru kepikiran,
kamu harus jadi orang Garut dulu kalau entar punya mobil! Supaya entar kamu
platnya bisa Z 14 atau Z 1 A.”
“Berarti kalau si Tata harus jadi orang
Purwakarta dulu atuh?”
“Kenapa gitu?” tanya Tata bingung.
“Iya. Kan biar entar platnya jadi T 4
TA!” Akbar menandaskan. Sebelah alis Tata terangkat—gestur yang dipelajarinya
dari Ardi. Ia bangkit untuk menyerbu orang-orang yang ingin diusiknya. Ganti
Epay yang mengisi tempat Tata. Ucapnya sumringah, “Aduh, ya ampun. Kangen deh,
kangen… Udah lama deh nggak ketemu! Zia! Apa kabarnya?”
“Ah, Epay. Besok juga ketemu di
sekolah…” Zia menggeser pantatnya agar bertambah jarak lagi di antara ia dan
Epay.
“Ih, Zia. Ini kan reunian, Zia, reunian!
Kita harus menyesuaikan!”
“Ya, harusnya kamu bilangnya ke Akbar
yang beda sekolah. Jangan ke aku…”
“Iya, ini juga baru mau gitu sama Akbar.
Aduh, Akbar, udah lama nggak ketemu! Kangen! Kangen! Kangen!” Akbar
menyambutnya dengan tawa renyah. Kata Epay lagi, “Kalau saya plat mobilnya apa,
Bar?”
“Mmm… E yah? Berarti kamu harus ke
Cirebon dulu, Pay. Tapi huruf P kalau diangkain jadi apa ya?” Akbar menggaruk
dagunya. “Tapi kalau pakai nama asli kamu bisa sih, Pay. Jadi V 14 atau V 1 A.”
“Tapi emangnya daerah mana yang platnya
V?” tukas Zia nyinyir.
“Haa… Berarti kamu nggak bisa punya
mobil, Via!” Akbar menunjuk Epay. Kembali pada tawa renyahnya. Tawa ngakak Zia
mengiringi. Epay menggerutu. Setelah bertukar kabar— terutama tentang
terpilihnya Ega sebagai ketua OSIS dan ketidakbisahadiran dirinya serta Regi
karena ada rapat OSIS, beberapa kalimat, dan tawa lagi, Akbar kembali beralih
pada orang di sebelahnya. Epay menepuk punggung Zia. Senyumnya penuh maksud.
Setengah berbisik, ia berkata, “Tadi saya ketemu si Ezra di depan!”
Kegamangan melintas dalam hati Zia.
Pernah ada masa di mana ia langsung memekik ketika nama itu disebut. Namun
setelah itu datang masa di mana malah keresahan yang melandanya. Jadi dengan
intonasi datar Zia hanya berucap, “Terus?”
Arah pandang Epay berjalan ke atas. Epay
memberi tekanan pada pundak Zia agar membalikkan tubuh sehingga ia bisa melihat
Ezra dan Oman menyongsongnya. “Wah, ini nih… Duo maut yang menyabotase konser
urang akhirnya dipertemukan lagi,” kata Oman begitu melihat Zia. Oman—Zia
menjulukinya Sang Dewa Gitar—adalah guru gitar pertama Zia. Seorang kawan
segeng yang memberi sedikit kontribusi bagi upaya sabotase yang disinggungnya.
Mendengar kata “sabotase”, Zia meringis.
Belum bisa enyah dalam ingatan Zia, pada
suatu malam ia dan Ezra berdiri di balik panggung yang berdiri di lapangan SMP
mereka. Cowok berponi itu terlihat menyembunyikan kegugupannya. Sebelah
lengannya mencengkeram erat fret gitarnya. “Siap, Zia?” Zia mengangguk saja. Ia
heran mengapa ia tidak sampai segugup Ezra. Mungkin karena ini adalah
pertunjukan Ezra, kendati ia yang bagian berteriak-teriak dengan pita suaranya
sendiri, sementara Ezra meraung dengan gitar listriknya. Selama
berminggu-minggu mereka sudah menyiapkan ini. Ketika Oman telah sampai pada
suatu bagian dalam permainan gitar-nya, Ezra dan Zia mulai berderap menaiki
panggung. Dan kejutan untuk semua hadirin—namun terutama adalah untuk Sugeng,
Andri, dan Hauzan. Epay sudah mengomando kawanan gengnya agar bersorak sekeras
mungkin saat kejutan itu terjadi.
Belum bisa enyah dalam ingatan Zia, jauh
sebelum itu ia selalu memaksa Epay agar menceritakan kembali apa yang telah
Ezra curhatkan padanya. Hanya Epay yang tahu pasti bahwa Zia mendamba Ezra
semenjak lama—sementara kawanan gengnya hanya tahu bahwa kecengan Zia adalah
seorang adik kelas bernama Bagas. Berkat Epay, Zia dapat memahami Ezra lebih
jauh, dekat dengan cowok itu, menjadi teman curhat dan berbagi minatnya yang
lain, dan setuju untuk bantu menyabotase konser para kawan yang telah
mencampakkannya.
Belum bisa enyah dalam ingatan Zia,
bulan-bulan setelah malam perpisahan SMP yang penuh sensasi itu menjadi
masa-masa di mana hangat mengisi dadanya, sebelum kemudian diganti resah tak
berujung. Masa-masa di mana Ezra tahu-tahu meneleponnya, mengajaknya jalan, dan
menciptakan kedekatan personal di antara mereka berdua. Zia sudah menduga-duga
akan ke mana akhir dari hubungan itu. Ia tidak bisa berhenti bahagia pada saat
itu, meski masih menyayangkan mengapa ia dan Ezra tidak masuk ke SMA yang sama
saja. Namun selalu ada saatnya bagi pikiran untuk tercerahkan dan membangkitkan
kesadaran. Kesadaran yang memberitahunya akan betapa labilnya Ezra. Dengan
segala cerita Ezra tentang permasalahannya dengan ayahnya, kesengajaannya untuk
tidak pergi ke sekolah, konflik batin tentang mantan pacarnya yang ia ciptakan
sendiri, lama-lama Zia merasa tidak nyaman. Pantas saja dulu Ezra selalu
bermasalah dengan pacarnya dan tidak pernah bisa sesuai dengan para kawan
band-nya hingga ia didepak. Oman pun dicomot untuk menggantikan. Zia pikir, ia
dan Ezra bagai dua kutub negatif yang seharusnya saling tolak-menolak. Yang
harusnya ia cari adalah kutub positif. Maka pelan-pelan Zia menjauh sembari tak
putus melontar harap agar Ezra dapat mengatasi masalahnya sendiri. Epay sungguh
heran saat itu karena ia kira sesama orang labil seharusnya dapat saling
memahami dan cocok. Namun lama-lama harap Zia terwujud juga. Ezra semakin
jarang menghubunginya lagi. Selain usahanya untuk tidak menggubris Ezra
seintens semula, Zia tidak tahu apa faktor lain yang menyebabkan Ezra begitu.
Kini ia berada di reuni SMP untuk
mengetahuinya tanpa ia rencanakan. Setelah Oman berlalu, Ezra duduk di hadapan
Zia. Zia merasakan gelenyar aneh menjalar di dalam dadanya saat melihat wajah
cowok berkacamata itu lagi. Sesuatu yang memikat dirinya pertama kali. Setelah
bertukar sapa ala kadarnya dan pesan jus jeruk satu, Zia tidak mengharapkan
Ezra masih ingat masa-masa di mana mereka pernah dekat dan menyinggung hal
tersebut. Ia merasa malu. Satu pertanyaan Epay waktu Zia bilang bahwa ia sudah
tidak mau dekat Ezra lagi selalu mengusik, “Trus kenapa kamu nggak berubah jadi
kutub positif aja, Zia?”
“Udah nge-band lagi?” tegur Ezra. Zia
diingatkan lagi akan betapa memesonakannya senyum cowok itu. Betapa lemas
tubuhnya setiap kali senyum itu melayang padanya. Betapa ia selalu lapor pada
Epay setiap kali habis berinteraksi dengan Ezra. Ah, itu semua hanya riak-riak kecil dalam kehidupan remaja labil! Zia
berusaha menutup kembali kotak memorinya. Ia juga berusaha menepis rasa
terpuruk akibat diingatkan akan satu usaha gagalnya.
“Udah… nggak,” ucap Zia setelah gagal
juga dalam mengarang jawaban yang mengandung peningkatan harga diri. “Sekarang
aku lagi suka ngarang lagu aja.” Setelah pulang dari reunian ini, kalau Tata
tidak mengajak mampir ke rumahnya, Zia akan mengurung diri dalam kamar untuk
mencipta sebuah lirik lagu berjudul “Simfoni Patah Hati Terakhir.” Mungkin Ezra
akan berminat dengan kesukaan Zia mengarang lagu? Oh, tidak, ia melambai pada
rombongan Sugeng, Andri, dan Hauzan. Sudah berdamai mereka rupanya. Zia masih
ingat akan suatu gosip kala ia SMP bahwa Ezra pernah hampir menghajar Andri
karena ketahuan jalan bersama Ocha—pacar Ezra saat itu. Namun Sugeng dan Hauzan
malah membela Andri. Zia menghela nafas. Pikirannya susah diajak kompromi
dengan indra pendengaran agar memerhatikan cerita Ezra kemudian. Yang ia
tangkap hanya Ezra sekarang pegang bass dan ia tidak rebutan cewek dengan salah
satu personil band barunya.
Muka Ezra jadi semakin cerah. “Eh, eh,
Zia… Liat nih, pacar baru Ezra…” ucapnya sembari mengambil dompet dari saku
belakang celananya. Zia tercenung. Rupanya Ezra masih menganggap Zia sebagai
seseorang yang dekat dengannya, sampai berinisiatif hendak menunjukkan pacar
terbaru segala. Kalau ia tidak pernah menjauhkan diri dari Ezra, mungkin
potretnya yang bakal mengisi dompet tersebut.
Mata Zia menumbuk potret yang Ezra
sodorkan padanya. Ia merasa mengenal cewek tersebut. “Penyiar Ringo, yah?”
“Eh, kok tahu?”
“Namanya siapa sih?”
“Joan. Anak SMAN Bilatung. Imut banget
yah? Ezra suka.”
“Alphita Joannisa Handoko?”
“Eh, kok tahu?” Zia tak heran Ezra tampak kaget. Akhirnya Zia ingat juga siapa nama asli Handoce. Ternyata benar apa kata orang, dunia tidak selebar celana kolor. Terima kasih, Ezra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar