Sabtu, 27 November 2010

lima

(it must have been love, but it’s over now/ it must have been good, but i lost it somehow/ it must have been love, but it’s over now/ from the moment we touched till the time had run out/ roxette – it must have been love)

.

Sebelum semakin mengutara Kota Bandung, turunlah Zia dan Tata dari angkot. Sampai memasuki bagian dalam rumah makan, Tata belum lepas dari kaitan lengan Zia. Tata menyimpan kekecewaan karena Ardi menolak diajak ikut reuni SMP-nya. Zia menyimpan kesenangan karena Tata menjadi miliknya lagi. Di sini tidak akan ada pendar-pendar obsesi Tata pada Ardi.

Hawa lembab menerpa kala mereka memasuki ruangan besar yang disekat papan-papan kayu berwarna muda dari pemandangan di luarnya. Angin sejuk dan cahaya matahari menembus dari celah-celah di antara kedua bilah papan. Rumbai-rumbai kain krep menjuntai dari langit-langit. Lampu-lampu dengan tali panjang menggantung. Perhatian Zia terarah ke sana sebelum kemudian mengalih pada wajah-wajah yang mengenal dan dikenalnya. Menyapa dan disapa sembari berjalan di antara bangku-bangku panjang berwarna senada dengan dinding. Tata memilih duduk di seberang Akbar. “Si Ega mana, Bar?” Ia menyela percakapan Akbar dengan orang di sampingnya.

“Wah, iya. Gimana ya kabar si Ega?” Akbar mengusap-usap belakang kepalanya.

“Lieur budak teh. Bukannya kamu teh dulu sobat kentalnya si Ega?”

“Loh, bukannya kamu yang sekarang satu SMA sama dia?”

“Oh iya, ya!” Tata tertawa. Zia berdecak-decak. Ganti Akbar yang menegurnya. “Eh, Zia! Saya baru kepikiran, kamu harus jadi orang Garut dulu kalau entar punya mobil! Supaya entar kamu platnya bisa Z 14 atau Z 1 A.”

“Berarti kalau si Tata harus jadi orang Purwakarta dulu atuh?”

“Kenapa gitu?” tanya Tata bingung.

“Iya. Kan biar entar platnya jadi T 4 TA!” Akbar menandaskan. Sebelah alis Tata terangkat—gestur yang dipelajarinya dari Ardi. Ia bangkit untuk menyerbu orang-orang yang ingin diusiknya. Ganti Epay yang mengisi tempat Tata. Ucapnya sumringah, “Aduh, ya ampun. Kangen deh, kangen… Udah lama deh nggak ketemu! Zia! Apa kabarnya?”

“Ah, Epay. Besok juga ketemu di sekolah…” Zia menggeser pantatnya agar bertambah jarak lagi di antara ia dan Epay.

“Ih, Zia. Ini kan reunian, Zia, reunian! Kita harus menyesuaikan!”

“Ya, harusnya kamu bilangnya ke Akbar yang beda sekolah. Jangan ke aku…”

“Iya, ini juga baru mau gitu sama Akbar. Aduh, Akbar, udah lama nggak ketemu! Kangen! Kangen! Kangen!” Akbar menyambutnya dengan tawa renyah. Kata Epay lagi, “Kalau saya plat mobilnya apa, Bar?”

“Mmm… E yah? Berarti kamu harus ke Cirebon dulu, Pay. Tapi huruf P kalau diangkain jadi apa ya?” Akbar menggaruk dagunya. “Tapi kalau pakai nama asli kamu bisa sih, Pay. Jadi V 14 atau V 1 A.”

“Tapi emangnya daerah mana yang platnya V?” tukas Zia nyinyir.

“Haa… Berarti kamu nggak bisa punya mobil, Via!” Akbar menunjuk Epay. Kembali pada tawa renyahnya. Tawa ngakak Zia mengiringi. Epay menggerutu. Setelah bertukar kabar— terutama tentang terpilihnya Ega sebagai ketua OSIS dan ketidakbisahadiran dirinya serta Regi karena ada rapat OSIS, beberapa kalimat, dan tawa lagi, Akbar kembali beralih pada orang di sebelahnya. Epay menepuk punggung Zia. Senyumnya penuh maksud. Setengah berbisik, ia berkata, “Tadi saya ketemu si Ezra di depan!”

Kegamangan melintas dalam hati Zia. Pernah ada masa di mana ia langsung memekik ketika nama itu disebut. Namun setelah itu datang masa di mana malah keresahan yang melandanya. Jadi dengan intonasi datar Zia hanya berucap, “Terus?”

Arah pandang Epay berjalan ke atas. Epay memberi tekanan pada pundak Zia agar membalikkan tubuh sehingga ia bisa melihat Ezra dan Oman menyongsongnya. “Wah, ini nih… Duo maut yang menyabotase konser urang akhirnya dipertemukan lagi,” kata Oman begitu melihat Zia. Oman—Zia menjulukinya Sang Dewa Gitar—adalah guru gitar pertama Zia. Seorang kawan segeng yang memberi sedikit kontribusi bagi upaya sabotase yang disinggungnya. Mendengar kata “sabotase”, Zia meringis.

Belum bisa enyah dalam ingatan Zia, pada suatu malam ia dan Ezra berdiri di balik panggung yang berdiri di lapangan SMP mereka. Cowok berponi itu terlihat menyembunyikan kegugupannya. Sebelah lengannya mencengkeram erat fret gitarnya. “Siap, Zia?” Zia mengangguk saja. Ia heran mengapa ia tidak sampai segugup Ezra. Mungkin karena ini adalah pertunjukan Ezra, kendati ia yang bagian berteriak-teriak dengan pita suaranya sendiri, sementara Ezra meraung dengan gitar listriknya. Selama berminggu-minggu mereka sudah menyiapkan ini. Ketika Oman telah sampai pada suatu bagian dalam permainan gitar-nya, Ezra dan Zia mulai berderap menaiki panggung. Dan kejutan untuk semua hadirin—namun terutama adalah untuk Sugeng, Andri, dan Hauzan. Epay sudah mengomando kawanan gengnya agar bersorak sekeras mungkin saat kejutan itu terjadi.

Belum bisa enyah dalam ingatan Zia, jauh sebelum itu ia selalu memaksa Epay agar menceritakan kembali apa yang telah Ezra curhatkan padanya. Hanya Epay yang tahu pasti bahwa Zia mendamba Ezra semenjak lama—sementara kawanan gengnya hanya tahu bahwa kecengan Zia adalah seorang adik kelas bernama Bagas. Berkat Epay, Zia dapat memahami Ezra lebih jauh, dekat dengan cowok itu, menjadi teman curhat dan berbagi minatnya yang lain, dan setuju untuk bantu menyabotase konser para kawan yang telah mencampakkannya.

Belum bisa enyah dalam ingatan Zia, bulan-bulan setelah malam perpisahan SMP yang penuh sensasi itu menjadi masa-masa di mana hangat mengisi dadanya, sebelum kemudian diganti resah tak berujung. Masa-masa di mana Ezra tahu-tahu meneleponnya, mengajaknya jalan, dan menciptakan kedekatan personal di antara mereka berdua. Zia sudah menduga-duga akan ke mana akhir dari hubungan itu. Ia tidak bisa berhenti bahagia pada saat itu, meski masih menyayangkan mengapa ia dan Ezra tidak masuk ke SMA yang sama saja. Namun selalu ada saatnya bagi pikiran untuk tercerahkan dan membangkitkan kesadaran. Kesadaran yang memberitahunya akan betapa labilnya Ezra. Dengan segala cerita Ezra tentang permasalahannya dengan ayahnya, kesengajaannya untuk tidak pergi ke sekolah, konflik batin tentang mantan pacarnya yang ia ciptakan sendiri, lama-lama Zia merasa tidak nyaman. Pantas saja dulu Ezra selalu bermasalah dengan pacarnya dan tidak pernah bisa sesuai dengan para kawan band-nya hingga ia didepak. Oman pun dicomot untuk menggantikan. Zia pikir, ia dan Ezra bagai dua kutub negatif yang seharusnya saling tolak-menolak. Yang harusnya ia cari adalah kutub positif. Maka pelan-pelan Zia menjauh sembari tak putus melontar harap agar Ezra dapat mengatasi masalahnya sendiri. Epay sungguh heran saat itu karena ia kira sesama orang labil seharusnya dapat saling memahami dan cocok. Namun lama-lama harap Zia terwujud juga. Ezra semakin jarang menghubunginya lagi. Selain usahanya untuk tidak menggubris Ezra seintens semula, Zia tidak tahu apa faktor lain yang menyebabkan Ezra begitu.

Kini ia berada di reuni SMP untuk mengetahuinya tanpa ia rencanakan. Setelah Oman berlalu, Ezra duduk di hadapan Zia. Zia merasakan gelenyar aneh menjalar di dalam dadanya saat melihat wajah cowok berkacamata itu lagi. Sesuatu yang memikat dirinya pertama kali. Setelah bertukar sapa ala kadarnya dan pesan jus jeruk satu, Zia tidak mengharapkan Ezra masih ingat masa-masa di mana mereka pernah dekat dan menyinggung hal tersebut. Ia merasa malu. Satu pertanyaan Epay waktu Zia bilang bahwa ia sudah tidak mau dekat Ezra lagi selalu mengusik, “Trus kenapa kamu nggak berubah jadi kutub positif aja, Zia?”

“Udah nge-band lagi?” tegur Ezra. Zia diingatkan lagi akan betapa memesonakannya senyum cowok itu. Betapa lemas tubuhnya setiap kali senyum itu melayang padanya. Betapa ia selalu lapor pada Epay setiap kali habis berinteraksi dengan Ezra. Ah, itu semua hanya riak-riak kecil dalam kehidupan remaja labil! Zia berusaha menutup kembali kotak memorinya. Ia juga berusaha menepis rasa terpuruk akibat diingatkan akan satu usaha gagalnya.

“Udah… nggak,” ucap Zia setelah gagal juga dalam mengarang jawaban yang mengandung peningkatan harga diri. “Sekarang aku lagi suka ngarang lagu aja.” Setelah pulang dari reunian ini, kalau Tata tidak mengajak mampir ke rumahnya, Zia akan mengurung diri dalam kamar untuk mencipta sebuah lirik lagu berjudul “Simfoni Patah Hati Terakhir.” Mungkin Ezra akan berminat dengan kesukaan Zia mengarang lagu? Oh, tidak, ia melambai pada rombongan Sugeng, Andri, dan Hauzan. Sudah berdamai mereka rupanya. Zia masih ingat akan suatu gosip kala ia SMP bahwa Ezra pernah hampir menghajar Andri karena ketahuan jalan bersama Ocha—pacar Ezra saat itu. Namun Sugeng dan Hauzan malah membela Andri. Zia menghela nafas. Pikirannya susah diajak kompromi dengan indra pendengaran agar memerhatikan cerita Ezra kemudian. Yang ia tangkap hanya Ezra sekarang pegang bass dan ia tidak rebutan cewek dengan salah satu personil band barunya.

Muka Ezra jadi semakin cerah. “Eh, eh, Zia… Liat nih, pacar baru Ezra…” ucapnya sembari mengambil dompet dari saku belakang celananya. Zia tercenung. Rupanya Ezra masih menganggap Zia sebagai seseorang yang dekat dengannya, sampai berinisiatif hendak menunjukkan pacar terbaru segala. Kalau ia tidak pernah menjauhkan diri dari Ezra, mungkin potretnya yang bakal mengisi dompet tersebut.

Mata Zia menumbuk potret yang Ezra sodorkan padanya. Ia merasa mengenal cewek tersebut. “Penyiar Ringo, yah?”

“Eh, kok tahu?”

“Namanya siapa sih?”

“Joan. Anak SMAN Bilatung. Imut banget yah? Ezra suka.”

“Alphita Joannisa Handoko?”

“Eh, kok tahu?” Zia tak heran Ezra tampak kaget. Akhirnya Zia ingat juga siapa nama asli Handoce. Ternyata benar apa kata orang, dunia tidak selebar celana kolor. Terima kasih, Ezra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain