Gazing up into the darkness I saw myself as a creature driven and derided by vanity; and my eyes burned with anguish and anger – James Joyce dalam Araby
Araby. Saya kira saya pernah membaca cerpen itu sebelumnya dalam
bahasa Indonesia, dalam buku Dubliners terbitan Jalasutra. Saya
meminjam kumpulan cerpen James Joyce tersebut dari seseorang, dan entahlah apa
yang saya dapatkan dari situ setelah menamatkannya. Orang tersebut juga membeli
buku James Joyce yang lain, A Portrait of
the Artist as a Young Man (Jalasutra, Yogyakarta, 2003). Tapi ia malah
memberikan novel tersebut untuk saya, kalau tidak salah karena ia tidak menyukainya.
Ada hal yang membuatnya tidak bisa memahami novel tersebut. Sayapun coba
membaca, dan tidak menangkap apa-apa. Pembacaan saya tersendat-sendat, hingga
terhenti sama sekali. Belum tamat. Entah karena terjemahannya, atau pembacaan
saya yang belum sampai ke sana. Bagaimanapun itu sudah bertahun-tahun lalu. Kini
saya menghadapi lagi Araby dalam
bahasa aslinya, dalam buku The Harper
Anthology of Fiction yang disusun oleh Sylvan Barnett (HarperCollins Publishers
Inc., USA, 1991). Akibatnya saya merasa harus membuka lagi buku Menyusuri Lorong-lorong Dunia Jilid 2
(InsistPress, Yogyakarta, 2008), sebab baru lewat kumpulan catatan perjalanan
oleh Sigit Susanto tersebut saya betulan ngeh
sama James Joyce.
Perjalanan
Sigit Susanto di Zürich dan Dublin menapaktilasi kehidupan sastrawan yang sangat
termasyhur tersebut. Karya-karya James Joyce menjadi ikon bagi Dublin. Bahkan
di beberapa negara, para penggemar James Joyce mengadakan perayaan kecil-kecilan
untuknya setiap tanggal 16 Juni (tanggal kencan pertama James Joyce dengan
wanita yang kemudian menjadi istrinya—Nora Barnacle), yang dinamakan Bloomsday.
Cerita
Sigit Susanto mengenai James Joyce turut menyadarkan saya bahwa saya memiliki
ikatan dengan tempat (kota) di mana saya dibesarkan, yang mana sepatutnya
menjadi inspirasi saya dalam berkarya. Sebagaimana yang dikatakan James Joyce
pada seorang pemuda Irlandia yang tinggal di Paris, saya kutip dari halaman 85
buku Sigit Susanto, “… Anda orang Irlandia, seharusnya Anda menulis tradisi
Anda yang sudah mendarah daging. Tak ada manfaatnya meminjam model yang lain.
Anda harus menuliskan apa yang mengalir pada darah Anda, bukan apa yang
bersarang di otak Anda.” Agaknya itulah yang menyebabkan karya-karya James Joyce
mengandung elemen autobiografis.
Dan Araby, bisa dibaca di sini, adalah satu dari sekian karya
James Joyce yang menunjukkan hal tersebut. Araby
memberi gambaran akan kehidupan di Dublin pada era 1900-an, lingkungan di mana
James Joyce dibesarkan. Unsur religi mewarnai cerpen ini, mengingatkan kalau
James Joyce pernah mengenyam pendidikan di sekolah Katolik.
Araby ditulis James Joyce tahun 1905, yang berarti usianya masih
sekitar 23 tahun (lh. 1882) pada waktu itu. Cerpen ini menceritakan tentang
seorang anak lelaki yang kasmaran dengan tetangganya—kakak perempuan dari
temannya bermain. Tidak disebutkan secara persis usia anak ini, yang jelas ia
masih bersekolah. Mungkin sekitar akhir SD-awal SMP. Ia tinggal bersama Paman
dan Bibi. Perasaan si anak terhadap perempuan yang ia sukai sangat kuat, namun ia
tidak berani mendekati. Pada akhirnya ada momen di mana mereka bisa
berinteraksi. Perempuan tersebut ingin pergi ke Araby, sebuah bazaar, pada Sabtu malam tapi tidak
bisa. Ada retret di biaranya. Si anak pun berjanji pada perempuan tersebut,
jika ia pergi ia akan membawakannya sesuatu. Ia pun meminta izin Bibi, lalu Paman
pada Sabtu pagi. Ia tidak sabar untuk pergi ke bazaar dan memenuhi janji. Namun Sabtu tersebut Paman pulang larut
sekali. Bahkan Paman lupa kalau si anak hendak ke bazaar. Paman pun memberikan uang kepada anak tersebut, yang lantas
lekas-lekas memburu kereta. Hampir semua stan telah tutup ketika si anak tiba. Si
anak pun mendekati salah satu stan yang masih buka. Tapi niatnya untuk membeli
sesuatu surut begitu ia didekati oleh penjaga stan. Nada wanita tersebut membuat
si anak merasa tidak diperlakukan sebagai calon pembeli. Si anak pun berlalu.
Semua cahaya dipadamkan, tempat tersebut benar-benar gelap. Yang menyala hanya
luka dan kemarahan dari si anak.
Detail
yang saya dapati selama pembacaan cerpen ini bikin saya teringat lagi sama
cerita Sigit Susanto, kalau James Joyce sangat memerhatikan detail. Ia sampai
menyurati bibinya, bahkan menyuruh kawan-kawannya untuk mewawancarai ayahnya, demi
mendapatkan detail yang hendak ia gunakan dalam adikaryanya, Ulysses. Dalam Araby, detail memberi nuansa yang kontradiktif antara lingkungan di
mana si anak tinggal (Dublin era 1900-an), yang digambarkan demikian kelam, dengan
perempuan yang menjadi sasaran kasmaran si anak, yang seakan bercahaya. Bagaimanapun
cerpen merupakan sebuah komposisi. Kekuatan cerpen ditentukan oleh kemampuan
pengarang dalam memilih hingga menyusun kata. Satu kata saja bisa menuai
beragam makna. Kata menjelma detail.
Adapun
yang paling menyentuh saya dari cerpen ini adalah isu coming of age yang dicetusnya. Dari kalimat terakhir saya menangkap
inferioritas seorang anak, yang merasa direndahkan oleh orang-orang yang lebih
tua. Begitu emosional.
Kita bisa
menemukan banyak review tentang Araby di internet. Saya pun sampai
tertegun. Betapa sepenggal tulisan dapat mengandung banyak makna, begitu kaya, barangkali
menyembunyikan kompleksitas, hingga mengundang orang-orang untuk membahas dari
berbagai sisi hingga berlembar-lembar halaman, bisa jadi lebih panjang dari
cerpen itu sendiri. O James Joyce, Y U so inspiring?***
Dishare dong ke publik buku A Portrait of the Artist as a Young Man nya. : ) - kamartendy -
BalasHapusinsya Allah kalau sudah selesai dibaca hehe...
Hapusterima kasih ya sudah berkunjung :)