Kamis, 23 Juli 2020

Melepas Kebergantungan pada Lampu Meja/Remang-remang

Di blog ini, saya merekam kesan tertentu yang ditimbulkan beberapa benda terhadap diri saya, mulai dari laptop Axioo, kue D'asse, seblak Umi Keriting, sampai scanner Canon. Benda-benda itu hanya cuilan remah dari semesta nikmat dunia yang tidak dapat saya peroleh lagi, entah karena sudah tidak berfungsi, jarang dijual, atau apa. Sepertinya ini menunjukkan kelekatan saya terhadap materi, di samping yang berupa kebutuhan pokok--pastinya. Maksudnya, benda-benda yang saya sebut itu sepertinya tergolong pada kebutuhan sekunder, malah mungkin tersier? Yang tanpa itu, saya masih dapat bertahan hidup serta menemukan alternatif, entahkah dalam bentuk barang lagi atau aktivitas lain.

Baru-baru ini, saya kehilangan nikmat atas satu barang lagi, yaitu lampu meja atau lampu remang-remang. Maksudnya adalah lampu yang ditaruh di meja dan dapat menyalakan cahaya remang-remang. Lampu ini berguna saat malam. Misalnya, apabila lampu yang ada di langit-langit dirasakan terlalu terang untuk beraktivitas dan setelahnya mengakibatkan sulit tidur. Misalnya lagi, saat entah kenapa rasanya takut tidur dalam kegelapan total. Misalnya lagi, sebagai peralihan dari lampu langit-langit ke gelap total atau sebaliknya; sebab tanpa peralihan itu, mata bakal kaget dari terang banget ke gelap sekali atau sebaliknya.

Lampu meja yang saya gunakan bukan saya sendiri yang membeli. Ayah saya membelinya untuk ditaruh di setiap meja yang ada di setiap kamar di rumah. Namun, lampu-lampu itu kemudian jarang difungsikan dan hanya menjadi penadah debu.

Saya ingat mulai bergantung pada lampu meja saat kuliah. Saat itu saya menumpang tinggal di rumah bulik. Di kamar yang disediakan buat saya, terdapat lampu yang dipasang di atas meja. Lampu itu saya nyalakan untuk menemani tidur. Sebab entah kenapa saya merasa takut tidur dalam kegelapan total di kamar itu.

Kebiasaan ini berlangsung hingga saya pindah tinggal di kos. Saya minta dibawakan salah satu lampu meja yang ada di rumah. Sejak itu, rasa-rasanya saya selalu tidur dengan lampu meja menyala. Sepertinya, kebiasaan takut tidur dalam kegelapan total terbawa sampai ke kamar kos itu.

Kemudian, saya pindah tinggal lagi ke rumah bude. Nah, pada waktu ini, saya meninggalkan kebergantungan pada lampu meja. Kondisi rumah bude membuat saya tidak merasa takut tidur tanpa lampu meja. Malah, saya selalu tidur dengan pintu kamar terbuka lebar. Yah, begitulah.

Setelah menyelesaikan kuliah, saya kembali tinggal di rumah bersama orang tua. Saya mulai menggunakan lampu meja lagi, tapi kali ini seperlunya saja. Saya mulai berani tidur dalam kegelapan total, padahal kamar saya letaknya di sudut--lantai dua pula. Malah, cahaya sedikit saja rasanya mengganggu. Lampu meja saya nyalakan hanya ketika tidak bisa tidur saat malam dan ingin menulis sejenak sebelum mencoba tidur kembali.

Di samping itu, ada pikiran untuk menghemat energi. Tidur dalam kegelapan total sepertinya lebih baik daripada dalam keremangan. Selain diri dapat beristirahat total, juga tidak keluar biaya listrik alias hemat energi. Kan.

Beberapa tahun ini, lampu meja sangat saya andalkan untuk mengatasi susah tidur saat malam. Adakalanya saya terus beraktivitas saat malam diterangi lampu langit-langit yang sangat terang itu. Dugaan saya, lampu yang sangat terang itu bikin diri ini terkondisikan untuk terus aktif. Akibatnya, saya terus terjaga sepanjang malam sampai lelah dan baru tidur saat pagi. Itu pola hidup yang tidak saya kehendaki. Untuk mengubah pola itu, begitu hari gelap, saya nyalakan saja lampu remang-remang. Aktivitas pun biasanya sekadar membaca dan menulis diterangi lampu itu.

Belakangan, ketika entah kenapa saya mulai kembali tidak nyaman tidur dalam kegelapan total, lampu remang-remang itu terus saya nyalakan sepanjang malam. Baru hari-hari ini saya mematikannya lagi saat hendak tidur karena terpikir soal listrik.

Nah, pada subuh kemarin, ketika saya baru bangun dan hendak menyalakan lampu itu, tiba-tiba saja seperti ada yang meledak(?). Lampu menyala cuma sekejap, setelah itu ngejepret (saya enggak tahu bagaimana mengatakannya secara baku, wkwk) dan aliran listrik di rumah pun padam total. Saat itu juga ayah saya baru bangun dan menyalakan kembali pusat listrik(?) (ah, enggak tahu lagi apa istilahnya!) di rumah sehingga kembali ada cahaya tapi tidak dengan lampu saya. Saya mencoba mencolokkannya berkali-kali ke lubang listrik, tapi tidak ada hasil. Jangan-jangan bohlamnya sudah isdet? Saya menggantinya dengan yang baru; hasilnya sama saja.

Pagi ini, saya mencari lampu meja lainnya di rumah. Mudah-mudahan masih ada yang berfungsi. Tapi, dari beberapa yang ada, tidak satu pun yang dalam kondisi baik. Ada yang kabelnya sudah putus. Ada yang dudukan bohlamnya entah ke mana.

Saya menemukan satu yang tampaknya masih baik, walaupun ukurannya jauh lebih besar daripada yang ada di meja kamar saya. Saya pun mencobanya, dan, ... lagi-lagi ngejepret. Saya mencoba menyalakannya beberapa kali lagi dengan menggonta-ganti lampu, tanpa sadar bahwa aliran listrik di rumah sudah kembali padam total .... Saya baru menyadarinya ketika ibu saya mengeluh mati lampu.

Saya curiga, setelah ngejepret itu, kejadian lampu ini sama dengan lampu di kamar saya, yaitu sudah tidak bisa dinyalakan lagi. Ada sesuatu yang salah di dalamnya, yang tidak saya mengerti. Mungkin lampu ini sudah mencapai batas masa pakainya, seperti yang terjadi dengan scanner Cannon waktu itu. Saya ingin memeriksakannya ke tempat servis barang elektronik terdekat, tapi belum ada biaya. Haha.

Maka, saya berpikir bahwa sebetulnya ini bukanlah urusan yang urgen. Untuk membaca sebelum tidur, saya bisa menggunakan lampu yang ada saja--yaitu lampu langit-langit. Memang rasanya terlalu terang, tapi toh sebetulnya membaca dalam penerangan remang-remang itu, apalagi kalau berupa majalah lawas yang huruf-hurufnya kecil padat, adakalanya bikin sakit mata. Cuma saya berharap penggunaan lampu langit-langit ini tidak akan menggeser pola tidur saya lagi.

Yang jadi persoalan adalah apabila saya mau yoga dulu sebelum tidur. Gerakan-gerakan yoga sebelum tidur itu banyak rebahannya, sehingga mata terarah pada lampu langit-langit yang menyilaukan itu. Enggak rileks dong, malah mengingkari tujuan dari melakukan yoga itu sendiri. Maka semalam saya coba melakukannya dalam kegelapan total saja. Tapi, saya melakukan yoga dengan panduan video YouTube. Walaupun tingkat kecerahan tablet sudah saya turunkan sampai mentok, tetap saja cahayanya menyengat mata.

Yah, begitulah. Saya menyadari bahwa ini keluhan yang teramat sepele (kayak enggak ada masalah yang lebih berat aja dalam hidup lu), yang sekaligus menunjukkan kebergantungan saya pada suatu benda materi nonesensial. Kalau ingat pada tren minimalisme yang lagi hip belakangan, bolehlah dengan tidak berfungsinya lampu meja ini menjadi kesempatan bagi saya untuk melepaskan kelekatan pada suatu benda atau istilah kerennya: decluttering. Seorang minimalis (tingkat advance) tentunya tidak akan memandang lampu meja sebagai kebutuhan yang hakiki, bukan? Dan ia akan fine-fine saja yoga dalam kegelapan total.

Eh, tapi kalau suatu saat ada rezeki, tetap saja saya penasaran membawa lampu meja ini ke tempat servis barang elektronik terdekat.

Sabtu, 18 Juli 2020

Mengajar Matematika kepada Balita

Mengajarkan matematika kepada anak balita sebenarnya mudah, bahkan para ibu telah melakukannya, seperti melalui pertanyaan, "Ada berapa telingamu?", yang dijawab kemudian, "Dua, Bu!" Hanya saja banyak ibu yang kurang atau tidak mengetahui manfaatnya terhadap perkembangan balita setelah masuk sekolah, hingga dilakukan secara sambilan atau asal ada waktu saja.

Para psikolog sependapat, substansi matematika yang dikuasai balita dapat mempengaruhi kemampuannya menghadapi mata pelajaran matematika setelah masuk sekolah. Ini harus diyakini, agar para ibu terangsang untuk mengajarinya sedini mungkin.

Caranya beragam. Jika tidak mampu menemukannya, dapat menanyai ahli pendidikan balita. Bahannya juga banyak serta dapat dicari yang sesuai dengan perkembangan usianya. Sebagai pembuka cakrawala, berikut ini disajikan 5 buah contohnya secara berangkai:

1. Usia 1 tahun

Menyebut deretan angka secara bertahap di hadapannya sambil melakukan gerakan badan, seperti menari-nari. Dalam 3 bulan kesatu menyebut "1 s/d 5", 3 bulan kedua menyebut "1 s/d 10", hingga 3 bulan keempat menyebut "1 s/d 20". Anak tidak perlu disuruh mengulanginya. Asal sudah terdengar dengan jelas, sudah cukup. Ini dilakukan secara berulang, tapi dengan selisih waktu yang tidak terlalu dekat. Misalkan pukul 08.00, 10.00, 12.00, dst. Sedangkan jarak waktu antara angka, cukup 2 detik saja. Gunanya, agar anak dapat menangkap makna tiap angka yang disebutkan.

2. Usia 2 tahun

Menyuruh anak menyebut angka secara bertahap. Tiap tahap cukup 2 angka saja hingga dalam 1 tahun sudah dapat menyebut "1 s/d 20". Ini akan lebih berhasil jika dilakukan dalam suasana gembira dan pikiran segar, seperti setelah mandi dan makan. Dapat juga dengan menjanjikan hadiah setelah anak dapat menyebut angka hingga tertentu. Misalkan, "Tono kini sudah dapat menyebut 1 s/d 3". Tapi jika Tono dapat menyebut 1 s/d 6, Tono akan diberi hadiah".

3. Usia 3 tahun

Anak sudah banyak mengenal anggota tubuhnya. Saat itu dapat ditanyakan jumlahnya masing-masing di mana dia akan menjawab setelah anggota tubuhnya yang bersangkutan dirabanya sambil dihitungnya. Misalkan Ny. Ida bertanya, "Ada berapa jari tanganmu?", kemudian dijawab oleh Eddy, "Sepuluh, Bu."

Tentu saja diawali dengan menanyakan anggota tubuh yang diperkirakan telah diketahuinya secara jelas. Menanyakan jumlah bahu kepadanya biasanya lebih sulit dijawab daripada menanyakan jumlah kaki, karena popularitas kaki di kalangan balita lebih tinggi daripada popularitas bahu.

4. Usia 4 tahun

Menyuruh anak menghitung benda yang ada di sekitar rumah. Misalkan, "Coba hitung, ada berapa pintu di rumah ini?" Nanti akan berkeliling rumah sambil menghitung pintu.

Tentu saja ini diawali dengan benda yang jumlahnya sedikit. Kemudian berlanjut dengan jumlah yang lebih banyak.

Ini akan lebih berhasil jika ditunggangi oleh kebutuhan ibu. Artinya, menyuruh anak menghitung bantal, misalnya, juga ditunggangi oleh keingintahuannya akan jumlah bantal yang ada.

5. Usia 5 tahun

Anak umumnya sudah dapat berbelanja. Secara psikologis, anak cenderung melakukan pengawasan, dalam arti, menghindari sedapat mungkin dari keadaan yang merugikannya, seperti kesalahan pengembalian uang belanja. Karena itu, mengapa anak setelah menerima pengembalian uang dari pedagang selalu ingin menghitung kembali.

Ini dapat dijadikan kesempatan untuk mengajarkan matematika dengan cara menanyakan sisa uang belanja. Misalkan, "Dody, ini, ibu memberi uang sebanyak 150 rupiah. Tapi hanya boleh dijajankan sebanyak 100 rupiah saja. Sisanya ditabungkan, ya?"

Dody akan menghitung, "Oh, berarti uang yang harus ditabung sebanyak 50 rupiah."

Para ibu tidak terlalu terikat dengan urutan contoh di atas jika anak memang mempunyai kecerdasan yang melampaui rekan-rekannya sebaya. Untuk mengajarkan matematika kepadanya dapat menggunakan bahan yang lebih rumit. Misalkan, meloncat dari point 1) ke point 3), meskipun usianya masih 2 tahun. (Nasrullah)



Sumber: Suara Karya, 10 Oktober 1991
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...