Sudah lebih dari seminggu sejak aku mengundurkan diri dari
pekerjaanku. Pekerjaan pertamaku dan satu-satunya yang datang padaku tanpa aku
mesti repot mengurus lamaran dan tetek-bengek administratif lainnya. Pekerjaan
itu datang padaku lewat kenalanku semasa SMA, bagai suatu jalan terbuka setelah
bertahun-tahun aku hidup dalam status pengangguran.
Kata yang sebenarnya kubenci. Sebab, setelah hampir dua minggu bekerja, aku menyadari bahwa selama ini
aku menyiapkan dirku bukan untuk menjadi pegawai dari sesiapa, melainkan untuk
bertahan dalam kesendirian, kesepian, dan keantimapanan yang merupakan
konsekuensi dari menjadi seorang pengarang.
Begitu yang kukatakan pada atasanku—sekarang sudah mantan. Mereka juga tidak
mau memaksaku. Maka aku kembali pada kehidupan sebelumnya dengan semangat baru,
dan belum menyelesaikan karya apa pun hingga lebih dari seminggu setelahnya.
Awalnya seperti euforia. Rasanya aku ingin membaca dan
menulis sepanjang waktu, lupa akan kejenuhan yang sempat mengganduliku.
Kejenuhan itu seakan sirna disiram masa percobaan bekerja untuk orang lain,
yang walau singkat tapi seakan untuk selamanya. Orang biasanya menunggu sampai
belasan tahun hingga cukup mapan baru meninggalkan pekerjaan kantorannya dan
menekuni minat sejatinya. Aku, bisakah aku menunggu selama itu?
Aku lalu menulis hampir setiap hari. Itu memang sudah menjadi
kebiasaanku sejak lama. Aku menulis catatan harian, terjemahan, surat untuk
Kartini sebagai tanggapan atas surat-suratnya untuk Nyonya Abendanon yang
menggelitik pikiranku dengan berbagai rasa…. Belum ada yang layak untuk
dikirimkan.
Hari demi hari yang kulalui tanpa hasil yang layak
menimbulkan frustrasiku lagi, meski samar, dan aku tahu aku mesti meredamnya
agar tidak membesar. Frustrasi yang disebabkan oleh pikiran-pikiran untuk tidak
melupakan kehidupan, bahwa akan ada
saatnya aku mesti mencari nafkah sendiri, membutuhkan suami dan anak, dst, dsb,
dan bahwa semua itu tidak akan dapat dipenuhi dengan menulis draf tidak layak
dari hari demi hari. Pikiran-pikiran yang terlalu jeri untuk dituliskan.
*
Sejak beberapa hari ini aku kembali ingin bangun pukul tiga
dini hari dan bersepeda setelah subuh. Hari ini akhirnya niat itu terwujud.
Sehabis sahur dan menonton Preman Pensiun
2, menjelang pukul setengah enam, aku mengeluarkan sepeda. Kali terakhir
aku bersepeda pada waktu yang sama, langit sudah mulai terang. Kali ini langit
masih gelap. Satpam yang menjaga kompleks saat malam sudah pergi. Pintu posnya
tertutup. Di jalanan depan rumahku hanya ada aku dan seorang wanita berjilbab
panjang melintas. Kukayuh sepedaku melaluinya sambil menengok ke kanan, ke arah
jalan di samping rumahku.
Semalam sekitar pukul tujuh lebih, setelah orang-orang
berangkat tarawih, terjadi peristiwa pemecahan kaca mobil. Saat itu aku sedang
mengobrol dengan Mama di ruang makan dan mendengar ada benda jatuh. Awalnya
kupikir itu daum palem yang ditanam Papa di sepanjang tepian pagar rumah kami.
Palem mungkin bagus untuk estetika, tapi daunnya yang besar-besar itu kadang
berjatuhan dan menghalangi pengguna jalan. Sesekali aku yang keluar untuk
menepikan daun yang jatuh itu bahkan mencacahnya supaya mudah untuk dibuang.
Nah, saat aku keluar malam itu untuk mengecek, bukan daun yang kutemukan
melainkan pecahan kaca di samping mobil yang diparkir di seberang pagar rumahku
itu. Aku memberi tahu Mama. Mama menjadi panik dan bingung caranya memberi tahu
tetangga—lewat telepon atau mendatangi langsung?—yang mestilah si empunya mobil
itu. Jalanan saat itu memang sepi. Saat aku melihat satpam sudah duduk-duduk di
depan posnya, Mama menyuruhku memanggilnya. Satpam bilang itu mobil milik tamu
di rumah sebelah rumah di seberang rumah kami, yang akhir-akhir ini memang biasa
memarkirnya di situ. Padahal saat itu belum pukul delapan malam—waktunya satpam
mulai bertugas. Setelah ada tetangga lain yang keluar, kami masuk ke dalam
rumah. Mama bilang serahkan saja pada satpam. Aku menurut saja karena tidak
tahu harus berbuat apa, masih tidak tahu juga harus menulis apa.
Sementara itu adikku yang sedang tinggal di Jepang
mengabarkan bahwa ia sedang stres. Ia diberi tugas yang harus selesai dalam
semalam oleh sensei-nya yang perfeksionis,
padahal keahliannya dalam pekerjaan itu tidak memadai. Selain itu, ia belum
mengerjakan PR Bahasa Jepang. Secara tidak langsung aku merasakan tekanannya.
Aku teringat akan situasi di tempat kerja dulu saat atasanku mengejar tenggat
waktu, dan aku gagal membersamai mereka. Atau diam-diam aku menolak kalau harus
begadang bersama mereka, kembali menjadi makhluk nokturnal. Agaknya perjuangan
keras yang kulakukan semasa menganggur
cuma supaya aku bisa punya siklus hidup yang normal—bangun pagi tidur malam—dan
stres kalau itu sampai terganggu. Meski aku tidak rela menemani adikku begadang
dari jauh (ya, aku bisa saja sambil mengerjakan sesuatu, berusaha menulis draf
yang layak, mungkin), tapi aku mencoba menyemangatinya dengan mengatakan bahwa
kerja kerasnya membuatku ingin bekerja keras juga. Tapi nanti, setelah aku
berhasil bangun pukul tiga dini hari. Jadi sebaiknya aku tidur dulu supaya
gampang bangun.
Pecahan kaca itu masih berserakan di jalan, tapi mobilnya
sudah tidak ada. Aku juga tidak tahu benda apa yang diambil si pencoleng dari
mobil itu.
Ketika aku melewati puskesmas, tampak si wanita gila duduk di
teras salah satu rumah di seberangnya. Ia sedang membenahi pakaiannya yang amat
terbuka, memperlihatkan sebagian dada dan pahanya, bukan karena ingin terlihat
seksi mestinya, melainkan karena pakaiannya cuma begitu adanya, seakan tidak
punya yang lainnya. Padahal aku saja yang berbaju dua lapis, bercelana panjang,
dan berkaus kaki merasa dingin.
Warung tempat aku membeli ikan untuk kucing-kucing di rumah
pun sepi, padahal biasanya tampak si pemilik dan asistennya menurunkan
belanjaan dari mobil.
Jalanan terus saja tampak lebih gelap daripada biasanya.
Bukan saja karena langitnya, tapi juga karena ada lampu yang mati. Bukan hanya
lampu di kompleks sekitar rumahku, tapi juga di jalan raya.
Tadi sewaktu masih berada di rumah, hendak mengambil alas
kaki untuk keluar, aku teringat akan seorang anak, yang kedua orang tuanya
dulunya berencana untuk tidak memiliki anak. Tapi saat mereka—berkat kuasa
Tuhan—memilikinya, anak itu sangat diistimewakan. Anak itu tahu dan merasakan,
tapi ia memanfaatkan cerita itu untuk memancing simpati seseorang yang
disukainya. Seseorang yang merindukan kehadiran anak tapi tidak memilikinya….
Cerita itu masih saja membayang dalam kepalaku kadang-kadang, sebetulnya sudah
sedari lama. Kini, kedua orang tua anak itu terbawa olehku sampai ke Jalan
Martanegara. Aku membayangkan saat mereka muda, sebaya denganku, dan kehadiran
janin yang tidak direncanakan itu memperkeruh hubungan mereka, membangkitkan
kesalahpahaman, mengungkit adanya orang ketiga, hingga mereka memutuskan untuk
menerimanya, dan mencintainya. Toh nanti terbukti anak itu sangat mirip dengan
ayahnya.
Dari Jalan Martanegara, aku berbelok ke Jalan Pelajar Pejuang.
Jalan besar yang biasanya ramai, tapi sekarang sangat lengang. Meski begitu,
udaranya tetap tidak enak untuk dihirup akibat asap dari kendaraan-kendaraan
yang melintas cepat sesekali. Aku sempat menengok ke belakang saat menyusuri
jalan itu. Tidak ada kendaraan satu pun. Tapi aku tetap merasa ragu kalau
hendak menyeberang.
Lalu aku berbelok ke Jalan Buah Batu. Biasanya dari situ aku
akan berbelok ke Jalan Solontongan. Sebab, semakin ke timur jalan di sisi kiri
menyempit karena ada tali pembatas. Akibatnya, aku mesti semakin ke tepi karena
kendaraan besar di belakang mendesak untuk mendahului, sementara semakin ke
tepi aspalnya tidak mulus. Tapi karena pagi itu lebih sepi daripada biasanya,
aku terus menyusuri jalan itu hingga berbelok ke Jalan Kliningan.
Saat menyusuri Jalan Kliningan, aku sambil mengamati
kalau-kalau ada jalan lainnya yang menarik untuk ditembus. Maka saat melihat
Jalan Kliningan I terbuka, tidak diportal, aku memasukinya. Ini kali pertama
aku memasuki jalan tersebut. Pemandangan baru menyambutku. Dalam keteduhan pagi
semuanya tampak syahdu. Sebuah rumah berpagar kayu dengan rumput hias yang
tinggi tersimpan dalam ingatanku. Terdapat jalan tembus ke jalan lainnya, tapi
semuanya diportal. Tapi jalan lainnya itu tidak lebih menarik bagiku ketimbang
mengelilingi taman relatif luas dan amat rindang untuk ukuran perumahan yang
ada di tengah kompleks. Pepohonan menaungi rumput hijau yang tampaknya terawat.
Di sampingnya ada area persegi panjang yang dilapisi paving block dan tertutup oleh seresah—mungkin untuk berolah raga.
Aku ingin menjadi salah satu penghuni yang rumahnya mengelilingi taman ini.
Rumah bertingkat dua. Ruang kerjaku di lantai atas, dengan jendela menghadap
taman. Betapa nikmatnya. Kulihat ada satu rumah yang tampak terbengkalai.
Mungkin rumah itu akan dijual. Andai aku bisa membelinya dan merenovasinya.
Tapi aku tahu itu cuma mimpi. Tiap kali bersepeda mengitari perumahan bagus,
aku merasa seperti penjaja keliling. Walau tidak menjajakan apa pun, mataku
melebar dan mulutku menganga menyaksikan keindahan yang entahkah mungkin dapat
kucapai. Aku tidak beruang. Apabila aku tidak bisa menghasilkan uang dari
tulisanku, hidup tanpa uang adalah alternatif yang kuambil dengan segenap
kesadaran. Kutinggalkan kawasan itu dengan perasaan seakan baru mendapati
sebuah oase.
Lepas dari Jalan Kliningan, aku kembali menyusuri Jalan
Martanegara namun kali ini berbelok ke Jalan Maskumambang. Ini putaran
terakhir. Tujuanku sekarang menuju rumah.
Di Jalan Hasan Saputra, timbul lagi bayangan. Aku menontonnya
dalam benakku seperti adegan dalam sebuah sinetron atau telenovela. Sinetron
atau telenovela yang kusuka. Kedua tokohku akan berpisah. Entah apa yang mereka
bicarakan. Pada akhirnya, anak itu mengulurkan tangannya. Mungkin hendak
berjabat tangan untuk berpamitan. Sosok di hadapannya menyambut dengan
mengulurkan tangannya juga. Anak itu menggapai tangan yang besar, lembut, dan
wangi itu dan mencium punggungnya seperti kepada orang tuanya sendiri. Lalu, ia
yang dicium punggung tangannya itu balas mengecup dahi anak itu. Dahi yang
terbentang lapang seakan memang disediakan untuk dikecup, sebab rambut yang
biasa menutupinya dijepit ke atas.
“Uk!” seruku.
Kucing di seberang di ujung Jalan Hasan Saputra itu
mendelikkan matanya yang separuh kuning separuh biru. Ia berlari-lari ke
arahku. “Kucing kok mainnya jauh-jauh,” kataku sambil mengelus kepalanya. Ia
menandak-nandak sambil memejamkan mata. Apa yang kukatakan pada Uk-uk kemudian
terlalu banyak untuk dituliskan, dan ia pun menjawab dengan bebunyian khasnya
yang sulit kuterjemahkan ke dalam huruf. Yang jelas, tidak pernah sebelumnya
aku memelihara kucing yang berbunyi sesering itu. Dengan sebelah tangan aku
menggendongnya, sementara tangan yang satu lagi memegang setang. Tidak sampai
lama ia meronta-ronta. Aku menurunkannya dan membiarkannya berjalan sendiri.
Sesekali aku berseru “Uk!” atau “Sst! Sst!” untuk mengarahkannya ke jalan yang
benar menuju rumah. Ia mudah sekali teralihkan, apalagi saat melihat dua anjing
besar yang tali kekangnya sedang dikaitkan masing-masing pada pagar rumah
seseorang dan tiang portal sementara penjaga mereka memijit-mijit ponsel.
Adakalanya aku yang teralihkan oleh bayangan yang tahu-tahu menyusup lagi ke
dalam kepalaku. Bayanganku akan sesosok laki-laki dewasa yang dapat mewakili
kelembutan seorang ibu sekaligus kejantanan….
Mendadak aku ingat bahwa aku sedang berpuasa.
Bagaimanapun juga, kemunculan bayangan itu dan Uk-uk
meriangkan hatiku sampai-sampai mengalun dalam kepalaku “A Picture of Love”
dari Nico Fidenco. Musiknya yang lucu dan lembut kusenangi sejak pendengaran
pertama. Di latarnya ada suara wanita mendesah lirih yang apabila dituliskan
dengan huruf kira-kira: “Ha, ha ha ha ha, hahahaha, ha ha ha ha ha ha,” walau
tentu saja ia bukannya sedang tertawa. Aku bahkan menikmati pandangan
orang-orang yang melihatku menggiring Uk-uk. Kucing berambut oranye di kepala
dan ekor sedang selebihnya berwarna putih, sehingga ia tampak seperti bule
dengan poni belah pinggir.
Di rumah, setelah mencuci piring, mandi, merapikan tempat
tidur, dan memberi makan kucingku, aku siap untuk menulis dan membaca seharian.
Suasana nyaris hening. Sedikit sekali penjaja keliling yang
lewat, tidak seperti biasanya. Selebihnya hanya cicit burung, deru pesawat, dan
gemericik air. Lalu sebentar cakap tetangga soal peristiwa semalam. Aku sempat
membawa Uk-uk ke beranda supaya ia bermain-main di atap. Tampak langit begitu
bersih. Birunya menimbulkan keinginan untuk mencebur ke dalamnya, kalau bisa,
kalau tidak sedang puasa.
Lalu aku mendapat kabar dari adikku bahwa ia masih belum
dapat menyelesaikan tugasnya. Aku merasa sedih. Apalagi ketika ia menanyakan
apa istilah untuk seseorang yang memiliki ketergantungan pada orang lainnya.
Saat itu aku sudah menulis beberapa halaman, dan lagi-lagi ragu akan
kelayakannya sebab ada terlalu banyak lanturan dan terlalu sedikit fantasi.
Bahkan desahan lirih wanita dalam “A Picture of Love” dari Nico Fidenco tidak
begitu menghiburku lagi, dan aku gagal terus mengubah formatnya dari video
Youtube yang konstan menampilkan gambar wanita telanjang menjadi mp3.
*
Sebut saja namanya Senin Gila, terjemahan harfiah dari
akunnya di Yahoo Messenger. Sekarang kami sudah pindah ke Whatsapp. Selain itu,
sesekali kami menelepon satu sama lain. Kupikir kalau bukan karena menulis,
kami tidak akan terhubung. Di luar menulis, dunia kami tidak bersinggungan.
Awalnya ia mengomentari karanganku di internet. Lalu aku membalas kunjungannya
dan jatuh cinta pada pembacaan pertama… pada gaya menulisnya, pada dunia suram
yang ditampilkannya yang selama ini hanya dapat kuterka-terka dari jauh namun
segan apabila mesti mengalaminya sendiri. Kami belajar pada satu sama lain
sejak itu. Saat temannya mengabarkan bahwa ia koma akibat meningitis, aku
berdoa supaya ia masih diberi kesempatan untuk setidak-tidaknya menyelesaikan
ceritanya.
Tapi bukan cita-citanya menjadi seorang penulis. Ia hanya
membutuhkan sarana untuk melampiaskan kecamuk pikirannya. Supaya ia rajin
menulis, aku pernah mengusulkan padanya untuk saling bertukar cerpen secara
berkala. Itu bentuk dukunganku padanya. Dengan menulis bersama-sama. Tapi saat
itu aku masih dalam kejenuhan dan keputusasaan. Aku tidak tahan meneruskannya.
Barangkali keplinplananku semakin menyurutkan semangatnya. Tapi ia tahu
diam-diam aku selalu menyimpan mimpiku.
Sekarang ia sedang dalam masa pemulihan dari penyakitnya. Ia
berutang tulisan padaku, tapi tidak ingin aku sering menanyakannya atau ia akan
muak. Tapi malam itu bagaimanapun juga aku ingin meneleponnya.
“Hui,” katanya, “kenapa?”
“Di Norwegian Wood
sama Sputnik Sweetheart-nya Haruki
Murakami, adegan penutupnya persis. Si tokoh cewek nelepon si tokoh cowok terus
ngomong apa lah. Pingin ikutan aja,” menutup hari dengan adegan yang persis.
“Hm….”
“Masih muak?”[]
hari pertama shaum Ramadhan 1436 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar