Minggu, 31 Maret 2013

Buku-buku yang Kupinjam dari Perpustakaan Saat Hiatus dan Kutuliskan Pembacaannya (Bagian 2)


Norwegian Wood – Haruki Murakami, terj. Jonjon Johana (KPG, Jakarta, 2009)

Sejak Kafka on the Shore, aku jadi berhati-hati dengan yang namanya Haruki Murakami. Kalau boleh dramatis kubilang novel itu telah mengubah hidupku, eh, sebenarnya lebih tepat dikatakan sebagai pelatuk yang membuatku memahami satu aspek pada diriku yang pada waktu itu belum tereksplorasi. Sudahlah, kalian enggak perlu tahu :P Tapi seseorang mengajakku menonton film Norwegian Wood. Apa boleh buat. Sejenak trauma kusingkirkan. Lagu Norwegian Wood ternyata enak, tapi filmnya enggak. Ada adegan begituan pula, walau enggak eksplisit banget. Tokohnya (Toru dan Naoko) kalau mengobrol suka sambil mondar-mandir enggak jelas. Ending­-nya enggak jelas. Begitulah.

Tapi memang begitulah novelnya.

Walau menurutku novelnya lebih baik dari filmnya. Aku maklum bahasa film enggak bisa mengekspresikan apa yang secara panjang lebar diungkapkan dalam novel.

Agaknya enggak salah kalau aku menganggap Norwegian Wood sebagai novel yang mengangkat kegalauan dewasa muda semacam Drop Out atau Welcome to the NHK, dengan enggak lebih ringan. Tokoh utama dalam Norwegian Wood adalah Toru Watanabe, mahasiswa drama yang biasa saja, suka membaca buku dan mendengarkan musik, hanya punya sedikit teman… introver. Tokoh lainnya adalah Naoko yang jiwanya terganggu, Midori yang menyegarkan, Reiko yang dewasa (memang sudah ibu-ibu), Nagasawa yang sempurna, serta Hatsumi dan Kizuki.

Aku membaca novel ini dengan lama-lama melodi dari lagu bertajuk sama mengalun dalam kepalaku.

Aku penasaran bagaimana komentar pembaca penyenang aksi (katakanlah novel thriller) apabila membaca novel semacam ini, karena apa yang dilakukan tokohnya hanya bertemu dengan si ini atau si itu, jalan-jalan, lalu mengobrol sampai puluhan halaman… Tapi pembaca sepertiku senang-senang saja. Kadang aku mesem karena apa yang diobrolkan sama dengan apa yang pernah kupikirkan. Misal: tentang kelakuan mahasiswa idealis sok revolusioner, yang ujung-ujungnya menuruti kebijakan kampus kemudian bekerja untuk kapitalis juga; atau tentang blue film yang adegannya begitu-begitu saja, membosankan sebetulnya, tapi memang itulah hal yang akan kita lakukan berulang kali X{ Mengingatkanku sama film Before Sunset, di mana apa yang diobrolkan oleh para tokoh malah lebih menarik ketimbang apa yang mereka lakukan.

Aku suka novel ini karena aku bisa mengidentikkan diri dengan beberapa hal di dalamnya, ada bagian-bagian yang bisa kukutip, dan kadang Toru yang penutur ini lucu juga sehingga aku terhibur, serta memiliki beberapa sikap terpuji yang bisa mendorongku untuk melakukan hal serupa. Tapi ada juga beberapa hal yang aku enggak cocok walaupun aku bisa memahami konteksnya, sehingga aku enggak bisa bilang “really like it”, dan kurang menggugah bagiku, jadi enggak “amazing”.

Sepiring Nasi Garam – Humam S. Chudori (Insan Madani, Yogyakarta, 2009)

Novel ini semula merupakan cerita bersambung di Republika, yang aku kira itu penyebab kenapa dalam novel ini informasi selalu diulang dari bab satu ke bab berikut—bahkan dalam bab yang sama! Penceritaan jadi terasa melingkar-lingkar seperti per, dan tahu-tahu beralih ke flashback yang ternyata cuman lamunan lantas terbuyar. Gayanya sendiri mudah dipahami, begitupun ceritanya. Aku membayangkannya seperti sinetron atau FTV religi hihihi.

Hamdan ingin menikahi Surti, dengan jaminan kalau calon istrinya itu dapat makan tiga kali sehari walau hanya dengan sepiring nasi garam. Berbagai tanggapan datang dari keluarga sampai tetangga. Pada akhirnya apa yang dikatakan Hamdan itu terwujud deh.

Aku suka dengan kesederhanaan Hamdan. Ia sengaja berhenti dari pekerjaan yang dapat memberikannya penghasilan lumayan, dan malah mencari nafkah secukupnya kebutuhan saja. Ia takut kelebihan penghasilan malah memberinya kesempatan untuk membeli kemaksiatan: pengendalian diri. Karakterisasi para tokohnya juga terasa riil.

Hubbu – Mashuri (PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007)

Novel ini mengisahkan tentang Abdullah Sattar alias Jarot. Mbahnya pemimpin pesantren ternama di Desa Alas Abang, sedang ia sendiri dipercaya sebagai orang yang tepat untuk meneruskan lembaga tersebut. Sejak kecil Jarot dididik keras dengan ajaran Islam, tapi juga mengikuti sekolah umum negeri. Pengalaman dengan Jabir dan Wak Tomo membuatnya memiliki ketertarikan dengan mistisisme Jawa. Selepas SMA ia merantau ke Surabaya untuk meneruskan pendidikan di Sastra Indonesia UNAIR, di mana ia mencapai puncak kegalauan akan dua dunia yang saling tarik-menarik dalam dirinya yaitu Islam dan Jawa. Ia ingin memberontak dengan nilai-nilai yang ditanamkan pada dirinya sejak ia kecil. Titik kulminasinya adalah ketika ia meniduri tetangga kontrakannya, Agnes. Ia seolah mendapat kesempatan atau alasan yang sangat kuat untuk benar-benar lepas dari ikatan keluarganya.

Walau tokoh utamanya sama-sama pemuda berumur sekitar dua puluhan tahun, namun Hubbu terasa lebih serius ketimbang Norwegian Wood. Novel ini menimbulkan wacana yang mengingatkanku pada alasan kenapa aku suka AA Navis dan Jeffrey Lang.

Kun… Fayakun – Andi Bombang (Diva Press, Yogyakarta, 2008)

Aku enggak menduga novel ini akan cocok untukku. Niat semula adalah membaca novel religi apa saja, demi menambal keagamaanku. Tapi begitu dihadapkan pada sederet kemasan kok tanganku kaku ya? Hehehe. Sebetulnya dari segi kemasan (desain sampul) novel inipun seperti yang enggak meyakinkan. Label “spiritual thriller rasa lokal” terasa bombastis. Ditambah embel-embel “nasional best seller”, serius, “nasional”, kok enggak “national” sekalian? Tapi siapa sangka enam ratusan halaman dapat kuhabiskan dalam waktu relatif singkat, yang merupakan indikator bagiku bahwa suatu novel rame apa enggak. Gaya berceritanya sebetulnya biasa saja, dalam artian menimbulkan bayangan seperti sinetron atau FTV begitu. Tapi kok asyik dan, subhanallah, mengena.

Sebagian dari novel ini menceritakan aksi Hardi Kobra sebagai preman papan atas di Jakarta beserta kawanannya, lawan kelompok preman lain, membunuh orang Jepang, bertemu bos yakuza, sampai menjadi buronan polisi. Plotnya umum sih, ia yang tercelup dalam dunia hitam kemudian mendapatkan hidayah. Bisa karena deus ex machina atau apalah. Novel pun berubah menjadi buku pelajaran, yang dalam kasus ini sukses membuatku termenung.

Akupun mengenal ilmu hakikat. Hal yang paling mengena buatku adalah bahwa apa yang kita tahu bukanlah ilmu kalau kita belum me”rasa”kannya, melainkan sebatas pengertian saja. Demikian pun dalam mengenal Allah, tidak diperlukan alasan melainkan “rasa”.

Sebetulnya novel ini enggak memuaskanku secara keseluruhan. Unsur seperti latar dan karakter menuai protesku. Tapi walau berlubang-lubang, aku suka karena kesan realistisnya yang kuat, gayanya yang cair dan santai, berbau-bau metafisika, dan tentu saja asupan rohaninya. Aku enggak merasakan kesan “menghakimi” atau “menggurui” dalam novel ini, bahkan dari tokoh mursyidnya sekalipun. Beriman itu sebaiknya atas kesadaran sendiri, enggak diburu-buru. Akupun mengerti kenapa aku malas dengan novel religi, atau menyerempet religi, apalagi jika aku menemukan nada yang terkesan “menilai” bahkan  “menjelekkan” pihak tertentu secara gamblang.

Sebetulnya ada beberapa hal yang aku enggak jelas terkait esensi yang disampaikan dalam novel ini—mengusik untuk ditanyakan. Entah kenapa aku merasa kehilangan ketika mengetahui bahwa pengarang novel ini telah tiada…


Demikianlah. Ternyata aku enggak bisa hiatus, pikiranku lari ke buku terus. Membacanya, atau (berupaya) menghasilkannya.

Sabtu, 30 Maret 2013

Buku-buku yang Kupinjam dari Perpustakaan Saat Hiatus dan Kutuliskan Pembacaannya (Bagian 1)


Suatu situasi bersama seseorang membuatku melarikan diri ke perpustakaan kampus, dan, tahulah, kalau sudah menemukan buku-buku yang kuanggap “bagus”, “penting”, “menarik”, aku enggak bisa menahan diri untuk enggak pinjam. Itulah awal aku melanggar salah satu poin dalam hiatus. Perpustakaan kota pun menjadi persinggahanku berikutnya. Dan membaca rasanya enggak berarti tanpa mencatat hal-hal berkesan yang aku dapatkan, sehingga aku biasanya berusaha untuk menuliskan pembacaanku terhadap suatu buku walau hanya satu kata. Berikut aku sarikan dari corat-coretanku.


Telaah Sastra – Zainuddin Fananie (Muhammadiyah University Press, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2002)

Sejak Kritik Sastra Indonesia Modern oleh Rahmat Joko Pradopo, aku gandrung akan buku menyangkut kritik. Hanya untuk mencari tahu: bagaimana sih kriteria karya yang dianggap bagus itu? Aku juga ingin bisa menilai dan memaknai karyaku sendiri, dan tentu saja bagaimana mengatasi kekurangannya. Dan sampai di buku ini aku merasa sudah cukup melahap buku semacam, karena apa yang kucuil dari mereka belum juga aku amalkan… =_=

Novel Voices: 17 Award-winning Novelists on How to Write, Edit, and Get Published  - ed. Jennider Levasseur & Kevin Rabalais (Writer’s Digest Books, United States of America, 2003)

Buku ini merupakan kumpulan wawancara dengan para pengarang, semacam Writers at Work atau dalam versi Indonesianya adalah Taruhan Mewujudkan Tulisan (diterbitkan oleh Jalasutra). Tidak satupun pengarang dalam buku ini yang kukenal, apalagi pernah baca karyanya. Akan tetapi di Amerika Serikat mereka adalah para peraih penghargaan semacam National Book Award, PEN/Faulkner Award, dan lain-lain.

Sebelum wawancara, ditampilkan pengantar yang secara singkat menceritakan latar belakang si pengarang beserta karya yang telah dihasilkan. Yang menarik, kebanyakan dari mereka adalah pengajar, berpendidikan tinggi di bidang bahasa atau seni, menulis fiksi realis, dan baru menerbitkan karya pada usia tiga puluhan tahun.

Walaupun demikian setiap pengarang memiliki cara yang berbeda-beda dalam menghasilkan karyanya, sebagaimana yang ditulis dalam kata pengantar buku ini, “…there are no tricks—no easy formulas that will work for each person, no simple right or wrong answer—…the creative process must be individually mapped.” Maka dari buku ini aku mengutip banyak kalimat dari para pengarang tersebut yang kiranya cocok untukku.

Walaupun demikian, lagi, para pengarang agaknya sepakat bahwa menulis merupakan the art of crafting alias seni menyusun kata. Komposisi itu penting. Penulis itu seperti pelukis maupun musisi. Pelukis bermain dengan warna, musisi bergelut dengan nada, sedang penulis berkutat dengan kata.

Menarik pula mengetahui, beberapa pengarang menyadari bahwa apa yang mereka kerjakan tidak memberi manfaat langsung. Bahkan seorang William H. Gass mengatakan, “Literature and the humanities in general don’t save people.” Tidak mudah untuk mengukur seberapa besar efek dari sebuah cerita, bisa saja malah mengarahkan ke jalan yang salah. Namun tentunya kita sebagai pengarang boleh berharap, sebagaimana yang dikatakan oleh seorang Andre Dubus, “When the day comes that a politician picks up a novel and sees the light, I’m just going to walk straight to heaven.”

Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis – Eka Kurniawan (PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006)

Buku ini membahas tentang sastra realisme sosialis, genre yang dianggap mewadahi karya-karya Pramoedya Ananta Toer, dari sudut pandang filsafat, atau apapun itu yang aku enggak akrab. Aku lebih mudah mencerna tulisan Eka Kurniawan yang ada di blog­-nya, ketimbang di buku ini… (-_-)V Betapa sederhana pikiranku.

Bagaimanapun semangat Eyam Pram dalam mengangkat kaum the-have-not dalam karya-karyanya—produktivitasnya, dan tentu saja ketekunannya dalam meriset patut diteladani. Membaca buku ini, walaupun enggak mengerti amat isinya, bikin aku ingin membaca karya-karyanya Pramoedya Ananta Toer lagi. Biar terpengaruh…

Metode Karakterisasi Telaah Fiksi – Albertine Minderop (Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005)

Aku enggak membaca buku ini dengan benar. Banyak kutipan dari novel Barat, dalam bahasa aslinya pula yakni bahasa Inggris, yang enggak kupahami. Yeah. TOEFL-ku serendah itu! Ah ini bukan pembacaan, melainkan sekadar peninjauan.

Gadis Tangsi – Suparto Brata (KOMPAS, 2004)

Tangsi ialah semacam barak yang menjadi tempat tinggal prajurit KNIL, alias pribumi yang bekerja untuk militer Belanda. Novel ini berlatar di sebuah tangsi di Sumatera Utara pada tahun 1940-an, tentang seorang anak prajurit tangsi bernama Teyi. Ia tumbuh menjadi gadis yang liar, walau dididik untuk bekerja keras oleh ibunya. Suatu hari Teyi bertemu dengan seorang bangsawan dari Solo yang bernama Putri Parasi. Putri Parasi mengajari Teyi adat keraton, bahkan menjanjikannya untuk tinggal di Keraton Solo. Namun Putri Parasi yang sakit-sakitan keburu meninggal. Teyi bimbang ketika suami mendiang putri tersebut kemudian menaruh perhatian padanya, akhirnya sang kapten malah menghamili orang lain. Teyi pun menikah dengan seorang prajurit tangsi bernama Sapardal, namun hanya dua hari. Karena Teyi segera bertemu dengan kemenakan mendiang Putri Parasi, dan mereka langsung jatuh cinta, dan bercinta.

Novel ini semacam Tetralogi Pulau Buru dari Pramoedya Ananta Toer (tapi aku baru baca Bumi Manusia… he…), dengan petuah-petuah untuk memajukan peradaban, menjadi wanita mandiri yang bercita-cita tinggi, dan seterusnya, dengan gaya bercerita yang memikat pula. Tapi novel ini menjunjung tinggi kebudayaan Jawa, yang dalam novel Eyang Pram justru diledek habis-habisan. Feodal. Snob. Sayangnya aku membaca Bumi Manusia duluan. Selain itu seksualitas seakan menjadi suguhan utama dalam novel ini, “sebegitu”kah hidup dalam tangsi?

Melihatku membaca novel ini, Bude mengungkapkan kepadaku bahwa ayahnya mbah-kakungku adalah seorang prajurit KNIL. Ternyata aku adalah cucu seorang bocah tangsi.

Digitarium – Baron Leonard (Akoer)

Sebenarnya aku enggak menuliskan pembacaanku atas novel yang diklaim sebagai novel aksi pertama di Indonesia ini, hanya pasang rating di Goodreads. Rame sih. Wow. Aku jarang baca novel begini. Tapi bikin capek juga, mengingat ukuran font-nya yang kekecilan bagi mataku yang bolor ini.


...bersambung

Jumat, 29 Maret 2013

Robot Anjing dan Putri Peri

http://www.searchamateur.com/pictures/robot-dog-2.jpg


He's a suicidal dishevelled househusband with a robot buddy named Sparkey. She's a transdimensional foul-mouthed fairy princess descended from a line of powerful witches. They fight crime! Apa yang mungkin terjadi? Ya cerita ngaco ini... :P


Om Dede kira dirinya mulai gila.

Dimulai ketika ia melihat Aar membuat semacam robot, atau anjing, dari lempengan besi, kabel, dan pernak-pernik lain, untuk tugas prakarya, tapi tidak jadi. Akhirnya anak ketiga Om Dede tersebut membuat miniatur lapangan sepak bola. Si robot anjing terakit dengan sendirinya, dan menggentayangi si ayah. Om Dede menamakan hewan jadi-jadian itu Sparkey.

Sparkey menjadi kawan mengobrol Om Dede ketika para penghuni yang lain (istri dan empat anak) di rumah itu berada di kantor, kampus, maupun sekolah, sembari lelaki paruh baya itu menyeret vacuum cleaner ke setiap ruangan, memasukkan berpotong-potong pakaian ke mesin cuci, membilas tumpukan perabot di bak. 

Juga. Saat memotong wortel untuk sup, Om Dede bayangkan menusuk dirinya. Saat menjemur di loteng, Om Dede bayangkan menjatuhkan dirinya. Saat mengikat tumpukan koran, Om Dede bayangkan menggantung dirinya.

“Aku tidak tahan menyembunyikan ini,” keluh Om Dede.

Bohlam-bohlam kerdil di sekujur tubuh Sparkey berkedip-kedip bak lampu disko. “Istrimu yang selingkuh, kau yang repot?”

“Aku tidak tahan menyembunyikan darinya kalau aku tahu,” pungkas Om Dede.

“Kalau kau bunuh diri, siapa yang jemput Mamin nanti,besok, lusa, minggu depan…” Dengan bola matanya yang dari kaca, Sparkey menerawang benak Om Dede.

Sembari mengganti celana yang pendek dengan yang panjang, Om Dede mengamati sosoknya di cermin. Kusut ikal rambutnya, lecek sorot matanya, kumal kaos gombrohnya, dibandingkan dengan potretnya dua puluhan tahun silam, gemilang ikal rambutnya, bersinar sorot matanya, menawan setelan flamboyannya, yang diproyeksikan dari mata Sparkey ke dinding.

Siang itu Om Dede menjemput bungsunya yang duduk di kelas satu SD. Ia tersentak begitu mendapati Mamin masuk ke mobil tidak sendiri, melainkan beserta se… ia ragu apakah perempuan itu adalah… orang. Rambutnya keriting panjang, wajahnya sangat rupawan, tubuhnya tinggi semampai, dan kulitnya bening menerawang! Om Dede mengalihkan pandangan dari spion, demi konsentrasi mengendara. Di lampu merah diintipnya lagi spion. Tidak ada. Memang aku mulai gila, pikir Om Dede, terlintas pikiran untuk menemui psikolog, mungkin nanti, besok, lusa, minggu depan… Lampu merah lagi, intip spion lagi, tertegun lagi. Perempuan di jok tengah itu tersenyum ke arah Mamin, Om Dede menengok Mamin, Mamin menoleh ke belakang. Desir baling-baling di punggung Sparkey. “Perempuan itu teman khayalan Mamin. Tanyakan saja.”

“Mamin, di belakang itu teman Mamin?”

Cengiran Mamin memudar.

“Enggak apa-apa. Ayah tahu,” nada yang tenang dari mulut Om Dede. “…Ayah juga ada.” Tatapannya beralih lagi ke depan, heran dengan yang dikatakan. Ia lirik Mamin, yang tengah mengamati Sparkey yang mengambang di samping kepala si ayah, si ayah yang merasa situasi ini mulai mengerikan.

Sampai di garasi. Mamin turun duluan. Perempuan itu mengekor, dengan kaki, jadi memang ia bukan kunti. Sepasang sayap bening terkulai di punggungnya.

Om Dede dan Mamin makan siang bersama. Baru mereka berdua saja yang di rumah, yang lain biasa pulang sore hingga malam sekalian.

“Teman Mamin enggak diajak makan?”

Mamin menggeleng, lalu melirik Sparkey yang sedang bermalasan-malasan di dekat lengan ayahnya.

“Noorie bisa sihir, Ayah,” yang disambut Om Dede seakan kagum, “dia mau sihir aku jadi cantik.” Gestur yang centil.

Om Dede tidak mau mengusik sisi kewanitaan Mamin yang semakin hari semakin nyata, bagus apabila gadis itu telah menyadari keistimewaan dirinya sejak kecil. Maka seperti biasa Om Dede membiarkan Mamin di kamar dengan kosmetik-kosmetikannya, para bonekanya, juga… Noorie?, sedang ia menonton pertandingan tenis di TV ditemani Sparkey.

“Mamin tergila-gila dengan peri, Sparkey,” ucap Om Dede setelah hening lama, “dulu dia selalu minta diceritakan tentang peri sebelum tidur… gara-gara majalah itu…” Om Dede teringat majalah anak-anak yang pernah ia belikan untuk Mamin, edisi Peri. Ia mendengus sedikit. “ Dulu aku pikir teman khayalan itu cuman untuk anak-anak yang kesepian…” Tepukan tangannya di kepala Sparkey melambat.

Malam itu Om Dede menyusup di balik selimut Mamin.

“Ayah mau bobo sama Mamin,” Om Dede menjawab keheranan bungsunya.

“Ayah udah jarang bobo sama Mamin,” tanggap Mamin.

Ayah juga sudah jarang bobo sama mama Mamin, batin Om Dede. Lagipula beberapa hari ini istrinya sedang dinas di luar kota, dan ia tidak mau tahu agenda wanita itu malam ini.

“Ceritain dong tentang Noorie,” kata Om Dede.

“Ayah yang cerita,” rajuk Mamin.

“Loh, kan Noorie teman Mamin?”

Putrinya tampak malu-malu.

“Nanti Ayah cerita tentang Sparkey, anjing Ayah.”

“Bener ya?”

“Bener…”

Berceritalah Mamin mengenai Noorie yang bisa mengadakan perjalanan lintas dimensi, dan keturunan penyihir sakti.

Mamin terlelap. Om Dede belum mengantuk. Ia ke dapur yang gelap untuk mengasap, yang mana tidak bisa ia lakukan apabila istrinya di rumah, sembari merenungkan episode demi episode dalam hidupnya. Para kakak Mamin yang mulai dewasa, semakin jarang di rumah. Mempertanyakan ini-itu dalam benaknya, sampai terdengar bunyi krak-kruk dari pojok dapur. Setelah memadamkan ujung puntung, Om Dede mendekat ke sumber suara yang berupa sosok putih di bawah juntai-juntai hitam. Sayap perempuan yang tengah jongkok membelakangi Om Dede itu bergerak-gerak.

“Noorie?” panggil Om Dede.

Perempuan itu menoleh, sekrup menancap di ujung bibirnya yang lebar. Om Dede tersengat. Kepala Sparkey teronggok, jauh dari badannya, kabel-kabel terurai.

”Kamu makan robot?” Perasaan Om Dede tak keruan, yang dijawab Noorie dengan tatapan dingin. “Apa kamu bisa memakanku juga?” …masih saja bayangan untuk bunuh diri mendatanginya.

“Tentu tidak. Kita berbeda.”

Lalu tidak ada lagi sosok yang rela mendengarkan ocehan Om Dede. Om Dede menyusuri ruangan demi ruangan dengan sapu dalam diam, membubuhkan detergen ke pakaian kotor dalam sunyi, menyabuni piring dalam bisu. Berhari-hati Om Dede berkabung, hingga memutuskan untuk mengkhayalkan teman baru. Tapi sepayah apapun Om Dede berimajinasi, tidak kunjung muncul sosok yang senyata Sparkey. Barangkali Om Dede harus menunggu sampai Aar mendapat tugas prakarya lagi, lalu minta dibikinkan robot anjing yang baru.

Tidak ada lagi yang menemani Om Dede menonton pertandingan tenis di TV, sementara Mamin mungkin tengah asyik didandani Noorie di kamar. Om Dede membayangkan dirinya menemukan sebuah video, yang begitu diputar menampilkan gambar sumur. Sesosok perempuan yang wajahnya ditutupi rambutnya merangkak keluar dari sumur, dari TV, lalu mencekik Om Dede sampai mati.

Sebuah tangan menyentuh pundak.

Om Dede teriak.

“Ayah! Kaget tau!” malah Mamin yang bersungut-sungut, terus cemberut, sampai meluncur cerita dari bibirnya yang mengerucut. Ia habis bertengkar dengan Noorie. Perempuan itu tidak kunjung menunjukkan kesaktiannya, sebagaimana yang pernah dijanjikan dulu. “Jangan-jangan dia peri bohongan. Terus dia ngata-ngatain Mamin, Ayah… Dia kalo ngomong suka kasar… Masak katanya bilang goblok itu baik, biar lega, itu kan jelek, Yah.”

Om Dede merengkuh kepala putrinya.

“Ya udah, main sama Ayah aja…”

“Emang Ayah mau main apa sama Mamin?”

“…mmm… apa ya…”

Di balik jendela Noorie dan Sparkey mengintip.

“Sebetulnya aku tidak yakin Dede bisa mendandani putrinya,” cetus Noorie.

“Biarkan mereka mencoba apa saja. Mari kita pulang, Tuan Putri.” Sparkey menggoyang-goyangkan ekornya yang berupa per.

Noorie memeluk robot anjing itu, lalu sayapnya mengepak-ngepak. Mereka membumbung ke angkasa. 


1K ++ coba ngerjain latihan dari sini

Kamis, 28 Maret 2013

Terowongan


I'm seeing a tunnel at the end of this light... (Travis - Why Does It Always Rain on Me)

Aku dalam terowongan. Tanpa pelita. Meraba-raba. Kukira hanya ada satu jalan yang lurus. Kadang ku disilaukan semburat, kembali padam. Kadang ku bersinggungan, maka ku tahu ku tak sendiri tapi ku dikatakan, "Cari jalanmu sendiri," entah olehnya entah olehku. Saat dian bungkam maka kutabrak tepian hingga terhuyung, terhempas, terkulai. Kelembapan memuakkan. Kalong-kalong menciprati mukaku dengan guano. Terpeleset, terjerembap. Terjengkang. Aku dalam terowongan. Kuyakin ini jalan yang lurus, walau hembusan di kanan atau di kiri saat ku melaju. Desisan, suitan. Ku berpaling. Kenapa kau terus berjalan. Memang ada apa di ujung selain buram. Akupun sudah tidak melihat apa di pangkal. Ke mana ku melangkah, ke kanan ku terpental, ke kiri ku terjungkal. Kadang aku terlentang, enggan lanjutkan. Menerawang gelap. Dingin. Aku tidak di mana-mana. Pengap. Guano mendarat di dahiku. 



sepuluh menit tepat. coba ngerjain latihan dari sini.

Rabu, 27 Maret 2013

Isi

Kadang aku teringat teman-teman sebaya yang sudah memiliki bayi, lalu aku letakkan tangan di perut. Kapan ya punyaku isi? Isi makanan, isi angin, isi air sih sudah. Yang belum isi nyawa--koloni cacing hingga jutaan mikrobakteri tak termasuk. 
Isi kepalaku kayaknya yang perlu dibenahi dulu, juga isi hati. 
3.56 AM - 160313


Cie. Isi hati. Ehm. Aku enggak tahu kenapa aku ingin banget membagi ini, bahwa sepuluh hari sejak aku menulis yang di atas aku bertemu seseorang yang setiap pertanyaan dan perhatiannya terasa sangat berarti bagiku. Allah tahu alasan kenapa aku pingin dia, dan (hanya) Allah juga yang tahu apa dia orang yang bakal membimbing aku mendekat kepada-Nya. Masih ada beberapa hal darinya yang aku enggak pasti. Kadang aku juga merasa enggak pantas buat lelaki sesoleh dia, dan apakah aku bakal "cocok dengan kesolehannya".

Tapi bagaimanapun (lagi-lagi) aku ingin seperti Basia di videoklipnya bersama Taro Hakase, membawakan lagu So Nice. Yeah. Joget dan nyanyi.




Someone to hold me tight, that would be very nice
Someone to love me right, that would be very nice
Someone to understand, each little dream in me
Someone to take my hand, and be a team with me


So nice, life would be so nice... 

If one day I'd find...

Someone who would take my hand and samba through life with me


Someone to cling to me, stay with me right or wrong 
Someone to sing to me, some little samba song 
Someone to take my heart, and give his heart to me 
Someone who's ready to give love a start with me

Oh yeah, that would be so nice...
I could see you and me, that would be nice!


Enggak kreatif banget yak, majang lirik :P Enggak apa-apalah, biar Anda tahu bahwa ada lagu dengan lirik yang dapat mengekspresikan... ehm. XD

Selasa, 26 Maret 2013

(iseng)


Pagi, Om. Pagi, Bibe. Tidur enak? Mm… Lebih enak ketika bangun, Om. Tanggal merah. Papa sama Mama belum pulang. Aku bisa putar kaset lagu-lagu tahun 80-an milik Mama, dan beraerobik sambil mendengarkannya, yeah, sedikit, sebelum aku lihat Om online. Enak, Om. Om gimana? Banget, Bibe. Tanggal merah. Ia bisa bermalam denganku. Anak-anaknya tidak rewel. Heboh sekali semalam, Bibe, dia mau diapakan saja olehku, tapi sayang aku tidak mungkin menceritakannya padamu hahaha…. Lagi ngapain, Bibe? Ah, Om, aku habis menonton videoklip Heart to Heart, lagu yang Om bawakan di konser Om di IFI kapan itu, di Youtube. Kenny Loggins ganteng sekali!, seperti Om, hehehe…  Bagaimana aku bisa mengatakannya padamu? Aduh… Masih malas-malasan, Om, hehehe… Om lagi ngapain? Ia baru saja bangun, Sayang, membelai lembut wajahku, meletakkan dagunya di pundakku dan bertanya aku sedang apa. Aku jawab saja sedang mengobrol denganmu, Bibe, anak kakak kelas kami saat SMA, kalau kau sudah kuanggap sebagai anakku sendiri, dan, aku sudah malas mengatakan ini padanya jadi kusimpan sendiri saja, aku juga mengharapkan anak dengannya. Dia tubektomi, Bibe, kau tahu?, mungkin kau sudah mempelajarinya di Biologi. Eit… dia mulai menciumi leherku, dia menginginkannya lagi. Sudah dulu, Bibe. Jadi entar sore? Selepas mengantarnya pulang, aku akan menjemputmu, Sayang, kita cicipi kopi di kafe yang kemarin kita bicarakan itu, yang katanya enak itu. Buzz!!! Cant wait that long! Yah. Dia keburu offline. Kupangku pipi dengan tangan. Kembang-kembang di hatiku pagi ini segar merona setelah kusiram.


jelang 8 pagi. 15 – 3 – 13.

Minggu, 24 Maret 2013

Kompilasi Lagu Pagi


Saya suka mengumpulkan lagu-lagu bertema sama dalam kompilasi tersendiri. Lagu Malam. Lagu Hujan. Lagu yang mendukung suasana dalam cerita yang lagi saya garap. Lagu Ulang Tahun. Lagu Semangat. Lagu Pagi.

Pagi adalah momen yang penting, bisa jadi menentukan mood sepanjang hari. Pagi adalah ke­da­mai­an, setelah semalaman terjaga. Pagi juga kecanggungan, apabila setelah menunaikan rutin tidak tahu lagi apa yang bisa diker­jakan. Salat subuh, sarapan, dan me­la­ku­kan pekerjaan ru­mah seperti menyapu atau mencuci ada­lah unsur yang se­yogianya mengisi pagi saya. 

Berikut adalah daftar lagu yang masuk ke dalam Kom­pi­lasi Lagu Pagi versi saya.

1.     Rumah Sakit – Hilang

Matahari pagi, bersinar, tererami di hati, indah… Kusadar hari-hari berakhir, ku tak bisa hindari lagi… Jangan biarkan aku, jangan, hilang…

Saya suka lagu ini. Seolah berisi harapan, tapi juga realistis, dan mengungkapkan kesadaran akan eksistensi diri *tsaah…

2.    Singiku – Cerita Pagi

Dilatari gemericik air, serbuk kopi di dasar gelas, lantas diseduh, dihirup, sembari berjalan ke kosen, membuka jendela, membiarkan sejuk merasuk, memandangi anak-anak berseragam SD berlarian di luar, di bawah, sembari merenung. Pagi-pagi sudah merenung, mungkin habis begadang. Begitulah yang terbayang kala mendengarkan lagu ini.

3.    Powerslaves – Sisa

Secangkir kopi di pagi ini… sambut hari yang indah. Kuingat kala teriknya mentari, saat kita bicara… di tengah sibuknya hari-hari, akankah kau hadir di sini?

Pada suatu masa lagu ini diputar hampir tiap pagi di radio Ardia (104,1 FM Jogja), hingga saya menyukainya. Lagu ini menimbulkan segumpal emosi, lantas terbayanglah suatu situasi, yang menjadi bagian dari sebuah cerita, tentang kehidupan sepasang suami-istri yang kurang intim.

4.    Positive – Pagi

Pagi, ini, tak ada lagi, resah, tak ada lagi, gundah, seperti pagi, dulu…

Lagu ini pernah menjadi soundtrack untuk sinetron Percikan, versi hidup dari rubrik cerpen pendek bertajuk sama di majalah GADIS, di mana salah seorang aktris yang berperan di dalamnya adalah Revalina S. Temat, sebelum ia jadi Bawang Putih di sinetron Bawang Merah Bawang Putih, sinetron favorit saya kala SMP, yang ada mas ganteng Dimaz Andrean itu loh… kyaa…

Saya tidak pernah begitu menyukai lagu ini, sampai saya mencarinya untuk keperluan kompilasi. Setelah mencermati liriknya, ternyata saya bisa mengaitkan diri.

5.    Cat Stevens – Morning Has Broken

Sebetulnya saya juga tidak begitu menyukai lagu ini, dan belum tertarik untuk mengetahui makna liriknya. Saya memasukkan lagu legendaris ini ke dalam kompilasi hanya karena judulnya.

6.    Ravi Shankar – Morning Love

Ini sebuah lagu instrumental dengan sitar dan semacamnya, yang saya tidak kenal, sampai saya mengetik kata “morning” sebagai kunci pencarian di 4shared, untuk keperluan kompilasi.

7.    Mbah Surip – Bangun Tidur, Tidur Lagi

Lagu yang kocak. Segera teringat begitu hendak bikin kompilasi. Saya setuju dengan apa yang dikatakan Mbah Surip dalam lagu ini, untuk mengurangi tidur, walau menurut saya sih tidak mesti dengan minum banyak kopi, tapi kalau lupa, tidur lagi tidak apa-apa, kekekeke… Dalam situasi tertentu tidur dapat memenuhi kebutuhan yang tidak tersalurkan, melalui mimpi.

8.    Harapan Jaya – Kuliah Pagi

Ini juga lagu yang kocak. Mahasiswa banget!

9.    Grass Rock – Selamat Pagi Tragedi

Saya kenal lagu ini juga dari Ardia, terutama karena kalimat… “…selamat pagi, tragedi… bilakah akan berlalu…?” Setelah mencermati liriknya, ternyata lagu ini bercerita tentang alam.

10.  Sugar Ray – Every Morning

Saya kenal lagu ini sejak saya kecil, SD mungkin, dan langsung senang sama musiknya, tanpa memerhatikan liriknya, sampai sekarang.

11.   Big Star – Watch the Sunrise

Lagu ini ada dalam album Late Night Tales (2006), yang saya dapatkan ketika berburu Belle and Sebastian di 4shared. Saya masukkan ke dalam kompilasi hanya karena judulnya, sedang liriknya saya belum berminat untuk menelusuri. Lagu ini rada sendu, mungkin mengungkapkan perasaan habis mengalami sesuatu saat begadang.

12.  Belle and Sebastian – Act of the Apostle

Morning prayers took the girl unawares, she was late for class and she knew it…

Saya masukkan lagu ini ke dalam kompilasi baru-baru ini, hanya karena kata pertama dalam liriknya, plus lagu ini mengungkit lagu Cat Stevens, Morning Has Broken, wahaha… Saya kira lagu ini malahan menceritakan tentang skeptisisme pada agama. Bagaimanapun musiknya sangat nikmat bagi pendengaran saya, hingga saya berharap sayalah yang menciptakannya, dengan lirik yang berbeda.

***

Demikianlah. Sebetulnya ada satu lagu lagi terkait pagi yang saya kenal, yaitu Every Morning dari The Cranberries, bernada riang sekaligus menyadari ketuaan, namun saya belum memasukkannya ke dalam (folder) kompilasi. 

Oh iya. Juga Pagi yang Menakjubkan dari Sheila on 7... :P

Saya tidak mesti mendengarkan kompilasi ini tiap pagi sih, juga tidak mesti menyetel Kompilasi Lagu Malam saat malam, Kompilasi Lagu Hujan saat hujan, dan seterusnya. Saat pagi, agaknya cicitan beburungan yang bersarang di balik tepian genteng lebih menyegarkan. 

Saya terpikir juga untuk bikin Kompilasi Lagu Bis, di ma­na bakal ada Koes Plus, Godbless, The Kooks… Iwan Fals?, nah, karena belum banyak itulah maka belum saya lakukan.

Sabtu, 23 Maret 2013

Wunderkammer


Luas kamar ini sekitar dua kali tiga meter. Kami semua jongkok di lantai. Aku bersandar di salah satu sisi dinding. Jendela bersanding dengan pintu, dilapisi sehelai kain perca, kuamat-amati sembari menggigiti ujung jari, “Lu jait sendiri, Sep?” iseng kusela obrolan Asep dan Awan. Mataku menuding gorden-gordenan itu. “Iya, jait sendiri, di tukang jait.” Suatu kali ia mampir ke tukang jahit. Mengamati kain sisa yang berserakan di lantai, timbul inisiatifnya untuk mengumpulkan. Lalu ia minta pada tukang jahitnya untuk menyatukan potongan-potongan tersebut jadi selembar kain. Dari kaos sampai batik, jeans sampai seragam PNS, gorden Asep yang mozaik itu serupa museum kain. “Kau tahu, bukan cuman gorden Asep itu yang punya cerita,” celetuk Awan, sebelum menyeruput kopi dari sudut rantang. Di tengah ruangan ini terhampar selembar koran. Di atasnya tadi Awan menyalakan kompor, memanaskan air keran dalam rantang, lalu membubuhkan serbuk hitam, yang kemudian kusadari ia lakukan di mana-mana, termasuk ketika mampir ke kosanku kapan itu, padahal aku punya heater. Deras hujan begini minum kopi memang nikmat sih, kalau di kafe. “Sofa itu,” Awan menuding benda merah hati yang kulitnya sudah terkelupas di sana-sini, panjangnya kira-kira dua meter, hampir pas dengan lebar sisi dinding di seberang jendela, “aku bantu menggotongnya ke mari.” Aku tertawa pelan sebagai tanggapan. “Dapet dari mana lu?” “Dari rumah saudaranya dia. Aku lihat sepertinya terlantar,” jawab Awan. “Kataku, daripada kau beli kasur baru, mending kau minta itu saja.” “Terus kasur lu yang lama?” tanyaku. “Dipake sama dia, kalo tidur di mari,” kepala Asep menuding pada Awan. Aku tidak heran. “Gua kira lu tajir, man, sampe ada kulkas segala,” kali ini aku merujuk pada benda hijau pupus yang berdiri tidak jauh dari sofa, “tapi kabelnya enggak nyolok, enggak jadi ngarep Coca Cola gua.” Keduanya menoleh pada kotak yang aku maksud. Awan tersenyum-senyum. “Kusuruh minta juga sama uwaknya itu. Anehlah orang itu. Barang bagus dianggur-anggurin aja, enggak dipakai.” “Itu pasti lemari lu, Sep,” cetusku lagi. Soalnya aku tidak lihat lemari betulan di kamar ini. Isinya pasti tumpukan baju dan buku. “Kalau mau cek, buka aja,” Asep memberi isyarat lagi dengan kepala. “Haduh haduh…” aku mengusap-usap rambut, apalagi setelah aku memerhatikan kalender yang tergantung di atas kulkas dengan saksama. Kalender tulis tangan di balik kertas kalender tahun lawas. “Lu suka ngumpulin kertas bekas dari fotokopian juga kan, dijilid, jadiin catatan kuliah.” Dalam bayanganku Awan merangkul Asep sembari menepuk-nepuk punggung, “Soulmate-ku ini.” Aku juga tidak menemukan cermin di kamar ini. Dengan nada berseloroh yang kukira sebenarnya serius, Awan bilang, Asep tinggal mencari kubangan air keruh kalau ingin mengaca. Asep juga tidak keluar duit untuk beli sisir, ia punya beberapa ruas tulang ikan yang diawetkan. Sekarang Awan menuangkan beras ke rantangnya yang lain, lalu keluar sebentar untuk membasahi butiran putih itu. Aku menunjuk akuarium yang berisi beberapa lele di sudut kamar. “Lu beolnya di situ ya, sekalian ngasih makan ikan lu…” Asep terbahak-bahak, apalagi aku. “…terus kalau darurat, ikannya lu makan…” Awan yang baru masuk kamar lagi tak mengerti. Kami terus mengobrol sampai nasinya matang. “Aduh, enggak ada piring euy,” kata Asep. “Langsung makan di sini aja (di rantang tempat ia memasak nasi, maksud Awan), rame-rame,” Awan cuek. “Terus lu makannya gimana,” tanyaku, “biasanya?” “Kemarin teh ada piring, cuman pecah, keinjek.” “Emang enggak ada yang lain?” aku heran. Asep tidak menjawab, malah Awan memandangiku lama sampai aku ngeh. “Kau pasti enggak mau makan di rantang.” Aku menggeleng, “Kalian aja yang makan.” “Enggak bisalah. Semua harus makan,” tegas Awan. “Masih kenyang,” alasanku. “Kalo pake gelas enggak apa-apa, Yat? Gelas mah ada,” imbuh Asep. Aku terperangah. Beberapa  menit kemudian kedua belah tanganku memeluk gelas berisi nasi yang mengepulkan asap. Kukira cuman mi yang gelas. “Makan, Yat,” Awan memerintah. Sehabis makan dengan lauk asin bumbu hijau, aku ditawari minuman dalam tutup botol sirup, sedang botolnya sendiri berdiri di kosen jendela, berisi air dan setangkai mawar. Airnya berasal dari termos, yang lubang di atasnya disumbat bohlam yang sudah putus. Tutup termos itu entah di mana, yang aku curiga pernah dijadikan piring juga oleh Asep. Hujan tinggal rintik-rintik. Sementara perhatianku teralih pada mawar, dengan tembang Novia Kolopaking mengalun dalam kepala, Awan mengeluarkan apel yang tadi diberikan Tiara Citra kepadaku namun kuberikan pada Awan. Mereka memotongnya dengan, “itu pisau?” tegurku. Benda itu bening seperti kaca, segitiga memanjang, meruncing. “Bukan…” tanggap Asep, “Itu pecahan piring yang kemarin.” *707* 


coba ngerjain latihan dari sini

Jumat, 22 Maret 2013

Aliens Ate My Homework



http://janefriedman.com/wp-content/uploads/2013/01/books.jpeg

Hari ini, ketika aku pulang dari sekolah, sebuah pesawat luar angkasa mendarat di depanku! Se… seekor atau seorang atau sebuah… alien dengan mata seperti kucing dan kaki panjang bak kaki laba-laba keluar. 

“Aku lapar,” dia berkata. “Aku ke planetmu mencari buku untuk dimakan.”

“Buku bukan makanan,” aku berkata.

“Hal tergila yang pernah aku dengar!” kata si alien. “Aku senang sekali dengan buku yang bagus. Sekarang aku lagi mengidam buku matematika yang besar dan gendut.”

Ia berjalan ke arahku dan melepaskan ranselku dan melahap satu per satu buku di dalamnya.

“PR-ku…” hanya itu yang bisa kuucapkan.

“Kenapa PR-mu?” Ia menjilati ujung ranting-ranting di tangannya. “…lezat sekali buku-buku milikmu, eh?”

Aku bayangkan besok berkata pada guruku kalau PR-ku dimakan alien.

“Kamu masih lapar?”

“Masih.”

Aku berpikir untuk membawanya ke rumah teman-teman sekelasku, agar ia memakan PR mereka juga. Jadi besok bukan aku sendirian yang bilang sama guru: PR-ku dimakan alien!

Ketika melewati rumah tetanggaku yang pengarang aku berubah pikiran. Seorang pengarang pasti memiliki banyak buku. Maka aku mengajak si alien bertamu.

Tetanggaku yang pengarang memiliki rambut yang acak-acakan. Ia jarang makan, jarang mandi, jarang bersosialisasi. Tumpukan buku bisa kita temui mulai dari ruang tamu hingga kamar mandi. Mata si alien bersinar-sinar. “Oh ini surga!” pekiknya.

Aku ceritakan ihwal si alien pada si pengarang.

“Oh di sini banyak buku yang bergizi. Ambillah! Ambillah!”

Ia melempar buku ke alien bagai tulang ke anjing. Mataku menangkap judul demi judul. Ulyssess. 1984. Mrs. Dalloway.

“Kau sungguh murah hati!” Saking bahagia si alien sampai menangis. Serpihan kertas terhembus dari mulutnya.

“Bukankah buku penting buatmu?” tanyaku heran pada si pengarang.

“Sudah memuakkan bagiku.”

Aku takjub.

“Mungkin suatu saat kamu ingin membacanya lagi.”

Si alien mengunyah To Kill a Mockingbird.

“Kuharap tidak. Semua yang penting bagiku dari buku-buku itu telah kusimpan dalam karya-karyaku.”

Si alien menelepon teman-temannya agar datang. 


dipasin 300 kata. sekadar ngerjain latihan dari Funny & Fabulous Story Prompts - 50 Reproducible Story Starters To Get Them Writing and Loving It! (Richie Chevat, 1998, Scholastic Teaching Resources), bisa diunduh di sini.

Kamis, 21 Maret 2013

A Crazy Class


Hari ini semua gambar yang kami buat di kelas seni menjadi hidup. Aku menggambar pesawat, yang kemudian terbang melintasi ruangan. Lalu aku menggambar seekor kucing, yang lantas mengeong di hadapanku. Teman-temanku menggambar iPad, Samsung Galaxy, Xbox, dan berbagai benda lain yang mereka idamkan.

Aku tidak punya banyak keinginan. Kucing yang kugambar telah meninggalkanku. Pesawat yang kugambar telah menabrak tebing hingga menewaskan ratusan jiwa. Sebuah helikopter berusaha keluar dari jendela. Leher teman di sebelahku dililit ular berbisa. Aku ingin menggambar matahari supaya semua kekacauan ini habis dilalapnya.

Ada satu yang sebetulnya sangat kuinginkan. Tapi aku tidak tahu bagaimana menggambarkanya. Kenapa aku tidak bisa membayangkan hal yang konkrit macam setumpuk uang, DSLR, voucher perjalanan ke Wakatobi, dan semacamnya, sebagaimana yang teman-temanku dapatkan dengan keajaiban ini?

Guruku mendekat. Ada sarang burung di atas kepalanya. Sepertinya seseorang menginginkan ia menjadi Pangeran Palasara, atau ialah orang tersebut tapi hanya dapat sarang burungnya.

“Kenapa enggak gambar?” tanyanya.

“Aku ingin ngegambar sesuatu untuk ibuku,” kataku.

“Oh ibumu pasti senang sekali.”

Aku tidak yakin ia bakal senang. Tapi aku tahu ia harus memilikinya.

Aku tidak menjawab.

“Apapun yang kamu gambar, mereka tampak nyata ketika sudah terwujud,” nadanya seperti memotivasi.

Memang sih. Alien yang digambar teman di sebelahku tampak begitu nyata, dengan lendir yang menetes-netes dari sekujur tubuhnya, dengan dengus yang terhembus dari lubang hidung di dengkulnya.

Baiklah. Ketimbang ibuku semakin lama mendekam di rumah sakit jiwa.

“Gimana caranya ngegambar kewarasan, pak guru?”

Guruku tertegun. “Oh. Itu memang sulit dibayangkan.”

Dan tampaknya tak ada seorang pun yang menginginkannya di kelas ini.

Aku menulis “KEWARASAN” besar-besar di kertas. Seketika huruf-huruf itu berjatuhan dari langit-langit, menimpa kami semua. 


15 menit lebih. sekadar ngerjain latihan dari Funny & Fabulous Story Prompts - 50 Reproducible Story Starters To Get Them Writing and Loving It! (Richie Chevat, 1998, Scholastic Teaching Resources), bisa diunduh di sini.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...