Jumat, 10 Desember 2010

Laporan Kunjungan ke Bentang, 6 April 2009

Pengantar: 
Karena di forum fiksi FLP Jogja kemarin saya bilang kalau saya menaruh liputan kunjungan forum fiksi ke penerbit, padahal baru yang ke Pro U doang, maka ini saya susul yang satunya lagi--kunjungan ke Bentang.

Senin, 6 April 2009, pada pukul 15.00 WIB adalah waktu yang ditentukan bagi para peminat kunjungan FLP Yogyakarta (selanjutnya disebut FLP YK) ke Penerbit Bentang Pustaka (selanjutnya disebut Bentang) untuk berkumpul di Masjid Kampus UGM. Bertolak dari masjid nan megah tersebut pada sekitar pukul 16.00 WIB, bersama-sama kami menuju ke Bentang yang terletak di sisi kanan Jalan Pandega Padma dari arah Ring Road Utara. Nomornya? Terpahat logo Bentang di dinding pagar rumah yang dijadikan markas penerbit novel ‘Laskar Pelangi’ tersebut. Jadi, asal tahu jalan saja, insya Allah kita tidak akan nyasar tanpa tahu nomornya pun. He..

Kami berangkat dengan komposisi sebagai berikut,

Akhwat: Mbak Ayu, Mbak Iwul, Bunda Ratu, Mbak Lilo (di tengah acara tiba-tiba datang padahal tak dijemput, pulangnya pun tak diantar... hooo..), Floweria, Isti, Dwi, dan saya (siapa memangnya saya?)

Ikhwan: Mas Hariz, Mas Ashif, Mas Anang, Helmi, Whisnu, Eko, Furqon, Asep, Lido, dan mungkin ada lagi beberapa yang tidak saya sebut namanya pun ingat wajahnya. Maaf... :p

Kami diterima oleh salah seorang editor tetap Bentang, yaitu Mbak Dewi. Setelah basa-basi pengantar dari Mas Hariz, Mbak Dewi pun memulai penjelasan singkatnya...

“Bentang itu dulunya majalah budaya yang didirikan pada tahun 1992. Kemudian pada tahun 2004, Bentang menjadi sebuah penerbit.”

Singkat, kan? Tentu saja tidak hanya ini rekaman dialog kami dengan Mbak Dewi.

Bentang kini telah menjadi salah satu lini di bawah penerbit Mizan. Lini-lini lainnya yaitu sebut saja c! Publishing, de el el [cuman ingat itu -.-;], dengan masing-masing lini itu punya ranahnya masing-masing. Bentang, misalnya, di ranah sastra. Namun demikian, Bentang tidak menutup diri hanya pada satu atau beberapa genra sastra.

Bentang memiliki tiga editor tetap dan lain-lainnya adalah editor freelance. Juga ada beberapa karyawan freelance yang mengurusi desain, bahasa, de el el. Tugas editor itu ngapain aja tho, Mbak? Setiap penerbit tidak selalu sama dalam hal memfungsikan editornya. Ada editor yang khusus mengurusi EYD, tata bahasa, dan semacamnya, yang disebut editior bahasa. Ada editor yang merangkap juga dalam hal pengemasan dan desain. Ada editor yang... macam-macam deh.

Hubungannya editor dengan naskah? Biasanya editor membutuhkan waktu dua sampai tiga bulan untuk mengedit. Naskah yang diterima biasanya membutuhkan waktu satu sampai dua bulan sampai dihasilkan keputusan untuk diterima. Jika sudah begitu, maka editor akan memanggil penulis dan mendiskusikan bagaimana naskah tersebut baiknya dikemas. Ada yang temanya bagus tapi tidak dikemas dengan baik. Ada yang sudah temanya tidak bagus pun cara mengemasnya juga. Kalau sudah begitu, naskahnya ya ditolaklah... Bagaimanapun, editorlah yang memahami bagaimana kemauan pasar. Tentu saja dalam menentukan bagaimana naskah tersebut akan dirilis, editor harus mendiskusikannya terlebih dulu pada penulis. Tabiat penulis itu macam-macam, ada yang ngeyel, ada juga yang penurut. Paling enak itu menghadapi penulis yang penurut (:P). Meski demikian, tidak menutup kemungkinan untuk tetap dilakukan diskusi.

Waktu yang diperlukan editor untuk mengurusi satu naskah itu relatif karena ada banyak faktor yang mempengaruhinya. Misalnya, dalam urusan novel terjemahan, jika penerjemahannya sudah baik, maka itu akan mempermudah proses pengeditan. Tapi kalau sudah terjemahannya buruk, tata bahasanya kacau pula, tu akan menambah beban editor. Editor juga perlu mempertimbangkan makna yang terkandung dalam naskah; apakah bisa menimbulkan salah tafsir atau tidak. Naskah yang menyinggung SARA sampai saru tentu saja tidak akan dipilih.

Dalam menentukan naskah mana yang hendak digarap, ternyata editor itu tidak asal pilih loh. Selain pertimbangan selera pasar, ada form yang harus diisi sebagai bahan pertimbangan suatu naskah itu layak maju atau tidak. Form tersebut memuat poin-poin yang berhubungan dengan isi dan potensi naskah, di antaranya apa keistimewaan naskah tersebut. Meski demikian, tidak memungkiri tetap ada unsur subjektivitas editor dalam menentukan mana tema yang bagus dan mana yang tidak.

Penulis yang sudah punya nama tidak dijamin akan selalu lancar meloloskan naskahnya ke penerbit. Selain nama, penerbit tetap harus mempertimbangkan apakah naskah tersebut akan disambut baik oleh pasar atau tidak. Tema merupakan hal yang penting yang akan selalu diperhatikan dunia kepenerbitan.

Sebagai penerbit yang telah melejit, Bentang tidak hanya diam dan menunggu kiriman naskah melainkan juga aktif mencari naskah berkualitas yang layak untuk diterbitkan. Markas Bentang, selain di Yogyakarta, juga ada di Bandung dan Jakarta.

Sekarang ini, Bentang sedang mencari naskah dengan tema-tema sebagai berikut ini
Ø  cerita perjalanan/travelling
Ø  teenlit/cerita lucu
Ø  buku yang mengulas tentang hobi (bagusnya dibuat berseri)
Ø  cerita yang menginspirasi/memoir (masuk ke lini ‘laskar pelangi’)
Ø  huhu... apalagi yah?? [^-^;]

Ada yang berminat? Ah, pasti banyak deh... Bentang menunggu hasil torehan tinta kalian semua loh! Bentang mensyaratkan naskah yang hendak dikirimkan sebanyak minimal 200 halaman dengan spasi ganda.

Ayo teman-teman, kita banjiri Bentang dengan naskah-naskah karya kita! (X9)

Kunjungan ke Bentang diakhiri pada sekitar pukul 17.15 WIB. Koordinator Forum Fiksi (X9) menyerahkan suvenir berupa jam keramik dengan logo FLP YK namun mereka belum mengetahui kalau isinya demikian. Semoga saja isinya belum pecah ketika dibuka, amin!

Jadi, dengan demikian pada Kamis besok (9 April 2009) Forum Fiksi tidak ada karena sudah diganti dengan kunjungan ini.
Sekian, terima kasih.

NB:
Penulis menerima saran, kritik, konfirmasi, maupun tambahan informasi kalau-kalau apa yang telah dituliskan ternyata belum maupun tidak sesuai dengan seluruh kenyataan. Bagaimanapun tulisan ini dibuat hanya berdasarkan penggalian ingatan—kurang lebih lima jam setelah kunjungan... (X9)

Adapun dokumentasi gambar belum bisa di-upload karena... masih mencari-cari yang layak di-publish (gatau ada pa gak, he...Xp)

Maaf yah, tulisannya memang sudah kadaluarsa, tapi moga-moga saja masih bisa berguna... Hehehe...

Kamis, 09 Desember 2010

Yang Menyambung Hidup secara Tak Terduga


Para pakar The Secret akan menyebutnya sebagai kekuatan keinginan. Dengan keyakinan saya sebagai muslim, ini adalah bagian dari sunatullah yang mengharukan.

Teringat awal tahun ini, di mana saya coba hidup dengan seratus ribu seminggu. Beginilah penggalan catatan yang saya juduli “minggu pertama menjalani kehidupan melas”:

pada tanggal 1 saya ambil duit lalu belanja keperluan, tapi tidak sampai 50.000. 2000 rupiah saya belikan untuk setandan pisang rebus. sisanya saya hamburkan di warnet karena saya mau buat blog, selain itu juga karna sambil menemani teman. hari itu saya masih merasa kaya raya.

sabtu. saya tidak sarapan tapi saya makan siang. saya makan di warung yang tidak biasanya kemudian saya bayar kalau tidak salah 6000 rupiah. malamnya, kalau tidak salah lagi, saya mengganjal perut dengan biskuit oreo coklat stroberi yang saya beli kemarinnya.

saya membagi uang yang tersisa sebagai jatah pengeluaran per hari. hasilnya adalah 5 tumpukan uang receh. masing-masing tumpukan nominalnya tidak sampai 3000 rupiah. dan inilah jatah makan saya per hari. masya Allah. saya masih punya jatah 30.000 untuk minggu itu yang belum saya ambil dari atm. kalau anggaran untuk tabungan 28.000, berarti saya masih punya 2000 lagi untuk dibagi-bagi menambahi kelima tumpukan ini. kalau saya hitung-hitung, dalam sehari saya bisa makan burjo satu mangkuk dan 1 buah potong. waw. selamat datang kehidupan melas.

minggu. saya mengganjal perut di pagi hari dengan menghabiskan sisa biskuit oreo coklat stroberi kemarin malam. keberuntungan datang. siangnya saya ke undangan pernikahan mantan mbak kos dan di sana saya makan hampir semua menu yang ada. saya berharap saya bisa tahan tidak makan sampai besok pagi. jatah hidup hari itu pun bisa saya alokasikan untuk menambah jatah hidup hari esok.

senin. saya tahan tidak sarapan hingga waktu makan siang tiba. siang itu sepulang ujian, saya masak mi goreng jumbo (persediaan) kemudian saya memakannya dengan belut kering dan kerupuk (persediaan juga, dibelikan bude sudah dari tahun kemarin). cukup kenyang. tapi sorenya saya merasa lemas dan butuh makan. saya takutnya jika saya bertahan untuk tidak makan, saya malah jadi malas makan beneran untuk seterusnya dan itu akan berbahaya bagi kelangsungan hidup saya. akhirnya saya beli nasi meong dua bungkus di angkringan, masing-masing seharga 900 rupiah. malamnya saya nyicip sedikit-sedikit mi rebus teman saya yang datang menginap.

selasa. pagi hari saya makan di warung yang tidak biasanya lagi dengan nasi + sarden + tumis kacang panjang + pisang goreng. padahal sebetulnya saya ingin makan di warung langganan dengan makanan ini dan itu yang sudah saya rencanakan sebelumnya sehingga harganya nanti sesuai dengan anggaran. ternyata saya datang kepagian. warungnya sudah buka tapi makanannya yang belum ada. akhirnya saya pergi ke warung lain di mana jenis-jenis makanan yang tersaji saya tidak bisa perkirakan harganya. untung saja saya bersama teman saat itu. dia akhirnya nombokin 2000, setelah sebelumnya membayar semua yang saya makan. habis itu dia membagi cemilannya dengan saya pula. teman yang baik. malamnya, saya kelaparan sementara saya terjaga sampai tengah malam karena tidak ingin melewatkan menit-menit pergantian umur, selain bahwa saya harus ngelarin tugas yang harus dikumpul esoknya. saya mengompensasi kelaparan itu dengan mengemut ber-sachet-sachet persediaan susu kental manis coklat. lumayan berkalori meski lapar tetap terasa dan saya berharap esok pagi cepat datang sehingga saya bisa beli makan.

rabu. hari ini adalah hari ulang tahun saya. saya sarapan dengan nasi kuning + bala-bala dengan harga 2000 rupiah. siangnya saya sudah lapar lagi. mengingat sisa uang receh yang ada di dompet, saya hanya bisa beli burjo. saya menahan lapar sesiangan itu sambil ngenet. nantilah beli burjonya agak sorean supaya malamnya tidak lapar-lapar amat. di facebook saya tak kuasa tidak mencantumkan di status saya suatu ironi. hari ini adalah hari ulang tahun saya. banyak teman yang minta traktir dan saya cuma bisa senyum-senyum salah tingkah. hari ini saya merasa bersinar. istimewa. tapi kenapa saya justru kelaparan? begitulah kira-kira isi status terbaru saya saat itu. maka sore pun datang. dengan penuh pengharapan saya menyambangi warung burjo langganan. ibu-ibu pemilik warung bilang kalau kacang ijonya belum jadi, cuma ada ketan hitam doang. ah, saya jadi tidak berhasrat. maka mundurlah saya dan malah beli gado-gado di warung tenda pinggir jalan. 4500. tak apalah. ada duit jatah minggu depan. ya, seharusnya saya baru narik duit atm lagi kalau tidak kamis ya jumat. namun karena saya harus nge-print dan ngejilid tugas (total 14.000) sementara uang yang tersisa hanya 'cukup' untuk makan, mau tak mau saya narik deh. 100.000. maka sore itu sesampainya di kos langsung saya habiskan si gado-gado. alhamdulillah, cukup kenyang. subhanallah. sekitar jam 5-an, datang sms dari mbak desi, teman saya yang novelis. isi smsnya menyatakan bahwa dia tahu saya kelaparan (pasti karena baca status facebook saya) dan dia hendak mengajak saya nanti malam makan mi ayam barwo. dia yang bayar. saya langsung shock. ya ampun. apa ini? betapa pedulinya dia sama saya... yang jelas saya langsung tidak enak hati. saya butuh waktu beberapa lama untuk mengsmskan jawaban yang baik, yaitu saya mengiyakan ajakannya tapi saya akan bayar sendiri. dengan cepat mbak desi membalas kalau saya tidak boleh begitu. dia tetap akan membayari. walah. padahal perut sudah cukup kenyang, tapi tak enak juga menolak rezeki kan? maka ya apa boleh buat. malam itu saya kenyang untuk yang kedua kalinya. sungguh ironi lagi. tradisinya yang ulang tahun membayari, ini malah dibayari. sesampainya di kamar kos kembali, belum berapa lama saya duduk, mbak acid, salah seorang tetangga kos saya, membuka pintu kamar saya dan bertanya apakah saya sudah makan apa belum. dia bilang dia tadi baca status saya di facebook kalau saya kelaparan. oh, tidak! saya langsung bilang saya sudah makan tadi dibayari teman. setelahnya saya merasa terenyuh akan kepedulian mbak-mbak ini terhadap saya. ah, rasanya tidak cukup rasa terima kasih, biar pun saya tidak mengumbarnya. malam itu saya menyadari, betapa facebook dapat menyambung hidup seseorang. terima kasih juga, facebook! :') mungkin suatu saat kalau benar-benar kepepet saya akan pasang status 'kelaparan' lagi.

Sehari setelah sebulan-menuju-ulang-tahun-saya-lagi, saya tidak sedang menerapkan kehidupan melas. Saya sarapan dengan enam potong roti bakar isi coklat dan keju dan segelas bandrek. Siang hari ditemani teman kos saya, Rista, saya perdana beli makan di warung makan Padang berskala internasional dekat kosan dengan komposisi nasi + telor dadar + tempe + sayur + sambal seharga 5500 rupiah. Menjelang sore saya minum segelas jahe merah instan. Menjelang malam saya tadinya mau beli nasi goreng. Atau apapun. Perut sudah terasa perih. Namun mengingat seharian ini tak banyak yang saya lakukan selain mendekam di kamar dan menuliskan banyak hal, saya rasa dua sachet susu kental manis coklat untuk dijadikan segelas susu cukup sebagai pengganjal perut. Lagipula saya akan menghabiskan malam hanya dengan bercengkerama dengan teman imajiner saya. Maka saya putuskan untuk lekas sikat gigi, solat Isya, membersihkan wajah, bertemu si dia, lantas tidur.

Selepas solat Isya, rasanya saya sudah melayang-layang. Saya kira ini akibat meriang dan kurang makan. Sejak kemarin memang saya merasa kurang enak dengan tenggorokan saya. Hari ini tampaknya saya mulai pilek. Di kosan, saya kedinginan dan pakai jaket sementara yang lainnya tidak dan heran sama saya.  Maka penggalan lirik “Unwell” dari Matchbox Twenty, “I’m not crazy, I’m just a little unwell,” kiranya bisa jadi alasan yang cukup masuk akal mengapa “bercengkerama dengan teman imajiner” mengisi agenda saya malam itu.

Ketika membersihkan wajah, suara Rista di balik pintu. Ia mesti baru pulang. Siang tadi katanya ia ditawari temannya jadi relawan—menjaga pos obat—di Youth Center. Saya buka pintu. Rista bilang bahwa ia sudah makan di sana, tapi ia diberi lagi, sembari mengeluarkan sekotak… makanan… Ini sungguh suatu berkah tak terduga. Hal yang telah digariskan Yang Maha Ada-ada aja. Seakan Ia tahu bahwa saya butuh makan dan Ia ingin agar saya makan.

Seperti ada paduan suara mengiang-ngiang. Sekujur tubuh Rista berpendar-pendar layaknya ia malaikat. Seandainya saya bisa lebih sensitif, saya ingin menangis hingga membuatnya risih. Di saat saya pikir saya akan tidur kelaparan (biar lebih dramatis lagi: sendirian, di kamar kosan—jauh dari keluarga…), ia datang untuk menyambung hidup saya…

Terima kasih berkali-kali dan selamat beristirahat untuknya. Selepas kepergiannya, adalah saya di tepi tempat tidur memakan masakan Padang tersebut dengan lahap. Masakah Padang lagi seperti tadi siang—hanya telor dadar dan tempenya diganti rendang, ada semangkanya pula!—tiada mengapa. Setelahnya saya merasa berenergi! Panggilan dari teman imajiner serasa terlupa. Saya kembali menginjak dunia nyata. And I want to say to her, like she ever said to me, “that’s a very kind of you…” I’ll miss you when you’re out of this dirty place, Rista…

Rista, Mbak Desi, mungkin juga Mbak Acid, I’m proud of having them in my life. Kalau kata Mas Sobat, nikmat Allah itu begitu dekat.

Rabu, 08 Desember 2010

Sensasi Mangrove Comal


Sabtu, 4 Desember 2010, menjadi suatu hari pengguyur rutinitas. Terlupa bahwa biasanya saya begitu lemas tiada gairah. Acara praktikum Ekologi Perairan kali ini luar biasa. Terima kasih kepada penyelenggara praktikum yang menginginkan agar para mahasiswa dibawa ke lapangan untuk melihat keadaan mangrove sesungguhnya. Namun rupanya tak hanya indra penglihatan yang dituntut bekerja, melainkan keseluruhan indra.

Selamat datang di kawasan mangrove!
Sekitar enam jam yang kami habiskan untuk duduk dalam bis Karya Jasa. Panorama di balik kaca jendela silih berganti. Mulai dari kawasan gerbang utara kampus menuju pukul setengah tujuh pagi, Muntilan berabu yang perlahan bangkit, hingga hijaunya Temanggung. Saya tertidur hingga memasuki Batang. Cowok-cowok angkatan 2008 gaduh ketika melewati deretan warung yang jadi remang-remang kala hari gelap. Saya penasaran akan kekayaan pengalaman hidup mereka. Zuhur tiba. Bis memasuki jalan kecil dengan kali di tepinya—mengingatkan pada Selokan Mataram—di suatu desa di daerah Comal, Pemalang.

Untuk sampai ke kawasan rehabilitasi mangrove yang dituju, rombongan kami menaiki tiga perahu. Masing-masing perahu dapat memuat 15 – 20 orang. Saya tak menghitung berapa lama perjalanan menyusuri muara kecoklatan. Dalam benak saya mereka-reka apakah begini rasanya menembus belantara sungai di pedalaman Kalimantan. Terbayang karir sebagai jurnalis yang memfasilitasi saya mendapat pengalaman serupa—namun lebih mantap—di belahan bumi lain suatu kelak.

Bersama Cah, gadis muara
Saya sempat duduk di tepi namun kecipratan air. Akhirnya saya pindah lagi ke tengah. Sempat ada sesaat di mana bosan melanda. Cah saja tiduran di pangkuan Sahir dengan handuk merahnya menutupi muka. Saya penasaran apa nama macam-macam vegetasi yang tumbuh di tepian namun tak ada yang memberi jawaban.

Penantian ada ujungnya. Laju perahu memelan. Di kejauhan terlihat bangau-bangau putih engklek mencari makan. Halim menjadi oknum pencipta pengumuman fiktif dengan redaksi kira-kira begini, “Maaf, perahu kami tidak mengantar sampai ke tepi. Silahkan melanjutkan perjalanan dengan berenang sendiri-sendiri.” Saya melanjutkan, “Silahkan turun dengan kaki di atas.” Namun kekhawatiran itu tak terbukti. Perahu dibawa menepi dan selanjutnya kami seperti tak percaya bahwa kami benar-benar harus melakukan hal ini. Bahkan Lido sampai minta tabir surya saya padahal kulitnya sudah gelap.

Kaki menancap. Awas, susah lagi diangkat!
Sepasang tungkai kaki kami menghunjam lembutnya lumpur. Tak terhindarkan tentu saja, pakaian yang lantas jadi basah kecokelatan. Menyusul kemudian: ransel, tangan, muka… Energi lebih harus dikerahkan agar bisa melangkah maju. Oh, begini rasanya mencelup dalam solokan, pikir saya saat membaui aroma lumpur yang menelan tubuh. Tak hanya saya yang berharap lumpur tersebut rasanya semanis coklat kalau dijilat.

Satu per satu kami menyeruak ke dalam rimbun Avicennia alba atau Rhizophora mucronata—saya belum bisa membedakan, he. Sesekali tangan mencengkeram dahan atau lengan orang di depan atau di belakang—apa saja asal bisa jadi tumpuan bagi tubuh untuk maju! Terdengar sahutan-sahutan agar memilih medan yang ditumbuhi akar-akar yang mencuat ke udara. Benar saja, mereka bisa jadi pijakan sehingga lumpur yang menghunjam kaki berkurang ketebalannya. Tapi tak selalu enak menginjak mereka. Beberapa kali kami kelepasan berteriak karena menginjak permukaan yang tajam. Mata di kaki seolah tak ada fungsinya. Terlalu pekat lumpur untuk dapat diketahui bagaimana rupa dahan atau apapun itu yang membuat kaki tersangkut maupun tertusuk. Tidak hanya lulur rupanya, di sini juga kami mendapat fasilitas pijat refleksi!

Bahu membahu sampai tujuan
Alangkah lihainya co ass saya. Harusnya kelompok saya membuat petak ukur di zona depan—yang sebetulnya masih amat jauh lokasinya entah di mana. Tapi belum lama berjalan, saya sudah bertemu para praktikan se-co ass. Dilarang sungkan dalam bertugas. Ada yang telah membentangkan tali kur. Ada yang sudah menyiapkan peralatan pengukuran kualitas fisik-kimia perairan. Para gadis biasanya kebagian mencatat, termasuk saya. Saya kebagian mencatat hasil pengukuran semai, sapihan, kualitas fisik-kimia perairan, dan sebagian tiang/pohon.

Di tengah pengukuran, mereka yang berada di area kami masuk tadi memberitahu dengan ributnya bahwa ada ular. Saya lihat Ratih dan Mas Agus bergelayutan di dahan pohon. Anak-anak lain menghindar—termasuk Mbak Diana, dosen kami. Mas Momo, co ass saya, mendekat ke titik TKP untuk memastikan apa yang terjadi. Kontan ia menjauh lagi karena disaksikannya sungguh-sungguh ada ular. Ia rupanya takut ular. Saya tepat di sebelah Mas Momo, padahal, namun saya tak menemukan ular dalam ranah pandang saya. Katanya ular tersebut berwarna coklat. Mana bisa jelas saya melihat jika pemandangan di depan saya didominasi warna hijau dan coklat?

Mas Momo menyuruh Dika 08 dan Yanu—yang berada di garis terluar—untuk mengawasi ular. Kami melanjutkan pengukuran. Mungkin karena tak menyaksikan ular dengan mata kepala sendiri, saya dan tim pengukur kualitas fisik-kimia perairan serta beberapa anak lain enak saja bernarsis ria dengan kamera Dika 08 dan Megah seusai mengukur. Lagipula, saya lupa siapa itu yang bilang, sang ular telah pergi ke arah laut.

Mas Momo menginstruksikan agar kami kembali ke perahu melewati jalan yang tak sama dengan jalan yang kami lalui sebelumnya—karena ular tadi muncul dari situ. Tangannya menunjuk ke arah laut. Koloni gadis pengukur tiang/pohon beserta mbak dosen sudah ke sana duluan. “Mas, bukannya tadi ularnya perginya ke arah situ ya?” kata saya. “Oh iya ya,” jawab Mas Momo. Tapi kami tetap berjalan ke sana jua dengan sesekali berhenti untuk potret diri. Sempat juga kami dibersamai anak-anak perahu yang membuat kami serasa sedang tayang live program Si Bolang.

Medan yang kami tempuh kemudian ternyata jauh lebih berat. Hanya ada sedikit vegetasi di sini. Lumpurnya lebih dalam. Nasi telah jadi bubur, apa daya sudah terlanjur. Sebagian berhasil melalui jebakan ini. Beberapa cewek tidak. Mereka tidak kuat mengangkat kaki. Tubuh terbenam hingga pinggang. Berkat tuntunan Mbak Lalik dan saya lupa siapa lagi, Hening berhasil mengarungi keadaan yang memayahkan ini dengan butiran keringat memenuhi wajah. Bala bantuan dari anak-anak perahu berupa sebidang benda yang bisa diseret-seret datang. Ratih diselamatkan. Tapi masih ada Azizah.

Satu per satu telah berlalu dengan susah payah. Halim masih di samping Azizah untuk mengajarinya kiat menembus lautan lumpur. Mereka tertawa-tawa dalam nada tragis. Mereka menyangkal tuduhan saya bahwa mereka tampak begitu asik. Saya tahu mereka benar. Kata Halim, jangan gunakan kaki, tapi lutut. Saya heran karena saya bisa saja berjalan dengan kaki saya. Rasanya bagai mengayuh sepeda di tanjakan. Atlet balap sepeda pasti dapat berjalan kaki dengan cepat di kawasan ini. Saya bingung bagaimana hendak jalan jika pakai lutut. Tapi mau pakai kaki atau lutut, Azizah sama sekali tak bisa bergerak. Dalam keadaan seperti ini, saya mengutip satu kalimatnya yang akan saya kenang selalu, “Lim, tolong cariin kakiku dong…”

Saya coba menarik kedua lengan Azizah meski cara ini amat lambat jadinya. Saya harus memutar tubuh saya menghadapnya. Beberapa kali saya jatuh terduduk. Rasanya seperti terhempas di sofa empuk. Saya menyeret tubuh saya mundur ke belakang sekitar satu meter, baru saya bisa menarik lengan Azizah. Setelah Azizah maju, saya menyeret tubuh saya lagi ke belakang. Baru saya bisa menarik lengan Azizah lagi. Saya tak bisa menyeret tubuh saya sembari menarik lengan Azizah sekaligus. Membawa tubuh sendiri saja sudah berat.

Di ujung rimbun vegetasi di kejauhan terlihat rombongan yang isinya antara lain Cah dan Ucok. Kami berteriak sembari melambaikan tangan pada mereka, “HELP! S-O-S!”, tanpa sadar bahwa mereka adalah para korban Mas Momo. Mereka seharusnya di zona belakang—tempat kami melakukan pengukuran tadi—sedang kami yang seharusnya di posisi mereka saat itu alias zona depan. Saya baru tahu kemudian bahwa mereka jadinya harus menempuh jarak yang jauh lebih jauh dari kami untuk kembali ke perahu.

Sempat terpikir untuk melalui jalan lain saja—jalan yang bervegetasi—meski itu artinya harus memutar. Tidak seperti saya, dengan caranya Halim cepat saja melaju di dalam lumpur. Ia tampaknya sudah menyerah dengan Azizah. Untung tak lama sepeninggalan Halim, datang beberapa orang cowok memberi bantuan. Mulai dari mencarikan pijakan bervegetasi terdekat (tapi gagal) hingga mengambilkan benda yang dipakai untuk membawa Ratih tadi (yang tidak lantas berhasil juga). Beberapa kali kami coba menaikkan Azizah ke sana. Begitu tali ditarik, merosotlah lagi ia ke lumpur. Kalau kami mungkin belepotan lumpur hanya sampai sekitar pinggang, ia sudah hampir sampai kepala. Setelah mencoba beberapa trik, akhirnya berhasil juga kami menyeret Azizah dengan benda itu. Lebih banyak air menyambut kami. Sebagian teman—baik sekelompok maupun tidak—sudah pada naik perahu. Mereka bersorak-sorai atas kedatangan kami. Rasa bangga menyelimuti.

Lebih mudah membersihkan pakaian dari lumpur di air yang lebih dalam. Saya menuju sisi perahu yang lain. Nah, ini baru mandi! Seusai merasa pakaian cukup bersih, barulah saya naik perahu meski kaki masih dilumuri lumpur di beberapa bagian. Setelah duduk di atas dek, barulah terlihat baretan panjang di sisi kaki.

Bagian bawah perahu ternyata berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang!
Rupanya kami masih harus menunggu rombongan lain. Rombongan berisi Ucok dan Cah yang saya lihat tadilah yang dimaksud. Di dalamnya juga ada Frita, Lido, Dian… Ekspresi Dian lucu sekali saat ke luar dari rimbun vegetasi. Ia jadi punya tompel di dekat hidung dan entah mengapa lidahnya ke luar terus. Jalannya tertatih-tatih. Setiap langkahnya diiringi sorakan teman-temannya dari atas perahu. Dea—satu-satunya praktikan cewek selain saya di perahu yang kami tumpangi dalam perjalanan pulang-pergi—bilang bahwa Cah terlihat seperti korban perkosaan. Sementara saya malah jadi ingat masa di mana saya baru usai diklatsar PA pas SMA.

Perjalanan yang bikin hati tentram
Dalam perjalanan pulang, saya duduk di ujung perahu. Bersender pada pucuk. Pucuknya sendiri diduduki anak muara. Oleh bu dosen kami diinstruksikan agar mencari tempat duduk yang menyeimbangkan perahu. Saya pas di ujung tengah jadinya. Lido pindah duduk dekat saya. Ikut-ikutan Lido, saya mencicipi kecipak air di bawah kaki kami. Benar, Lido, rasanya tidak asin ternyata. Padahal air yang saya pakai wudhu sebelum kami ke muara seperti ada rasanya.

Kami sama menyaksikan vegetasi serupa rumput di tepian. Bergantian mereka bergoyang-goyang dilanda gelombang yang dihasilkan laju perahu. Kelabu bergumul di cakrawala. Kontras dengan titik-titik putih menjelma koloni burung kuntul. Pesona alam muara ini mengilhamkan saya dan Lido untuk mencipta puisi berantai. Sebait demi sebait kami lantunkan. Sayang tak dicatat, jadi kira-kira beginilah potongan dialog puitis kami,

Saya : Gemericik ombak menerpa rerumputan
Lido : Bergoyang-goyang bak suporter sepak bola
Saya : Gubuk hitam di tepian
Lido : Betul-betul-betul!

Kembali ke daratan keras. Saya termasuk yang beruntung bisa mandi tanpa harus antri. Ini berkat sebelum ke perairan saya titip ransel isi baju ganti ke rumah penduduk. Sekembalinya dari perairan, saya lupa lokasi rumahnya di mana. Karena Nurdin pertama kali bersih dan tahu di mana letak rumah yang saya tuju, saya minta diantar olehnya. Plus ditunggui mandi, hehe. Baru kali ini saya mandi di dapur. Saya dengar di luar Nurdin bercakap dengan bapak pemilik rumah. Kelar mandi, berdatangan Mbak Diana, Mbak Lalik, Ica dan Mas Momo, dan kloter demi kloter teman-teman yang ditampung mobil bak terbuka—tapi yang ramai-ramai ini hanya lewat. Nurdin ingin beli ikan tapi tak bawa uang. Dompet saya di ransel Lido. Lido di rumah yang satu lagi, jauh, hujan. Mas Momo tidak bawa celana ganti. Ular yang ia lihat katanya warna hitam.

Juga saat saya jalan sama Dian di bawah serangan deras hujan menuju rumah dekat tempat bis kami berhenti. Dian, yang belum sempat membersihkan diri dengan air muara, membuka bungkus sabun yang baru ia beli. Lalu ia gosok-gosok kulitnya yang tak tertutupi pakaian. Mandilah ia. Komentar Dika 07, “Ndagel ki bocah. Ra beres.” Sungguh pengalaman yang tak ingin saya lupakan.

Kalau bukan kita, siapa lagi?
Kami baru naik bis lagi pas maghrib. Sebagian sudah mandi sebagian lagi ternyata belum namun tak kentara. Beberapa lama dalam minimnya penerangan lampu bis, saya tak bisa berhenti tersenyum. Letih tak ada membayangi. Kembali ke alam, saya merasa mendapatkan kekuatan saya lagi.

fakta tambahan
- Seorang praktikan di zona tengah, Mbak Devi, sempat pingsan. Kata Mamal, kawan sebangku di bis, ada daratan pasir di zona tengah! Agak susah membayangkannya. Namun tanpa kehadiran daratan tersebut, akan semakin susah mengurus Mbak Devi. Saya membayangkan kesulitan para cowok yang menggotong Mbak Devi karena untuk melangkah di sela-sela akar vegetasi mangrove saja sudah jadi persoalan tersendiri!
- Berkali-kali saya bilas pakaian yang saya kenakan saat terbenam di mangrove, air bekas bilasannya selalu saja berwarna coklat.

Kamis, 02 Desember 2010

Frontal dalam Marjinal

Judul: Kali Mati
Pengarang: Joni Ariadinata
Penerbit: Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1999

Saya pernah bertemu Pak Joni beberapa kali dengan saya sebagai peserta dan beliau sebagai pemateri. Waktu itu saya belum tahu seperti apa karyanya. Pertama kali bertemu malah belum tahu juga kalau beliau memang sastrawan. Saya baru tahu ketika membaca-baca Antologi Sastrawan Angkatan 2000. Ada tentang beliau dan karyanya. Saya lupa apa judul karyanya yang termuat di situ. Saya baca dan tak mengerti. Biasanya orang mengatakan sesuatu yang tak ia mengerti itu sebagai tingkat tinggi.

Kini saya mendapat kesempatan lagi untuk membaca karya(-karyanya malah). Kali Mati adalah judul antologi cerpennya, yang juga merupakan judul salah satu cerpen yang ada di dalam. Tanpa sinopsis belakang sampul. Tanpa kata-kata yang mengantarkan lima belas cerpen di dalamnya.

Menilik pengetahuan saya tentang penulis dari hasil membaca, mendengar, dan bertemu, Pak Joni adalah spesialis tema kaum marjinal dengan bahasa frontal. Banyak membaca dan memikirkan apa yang dibaca adalah rahasia tulisan yang kaya. Hindari keraguan dalam mencurahkan—biarkan saja pembaca sampai berkerut keningnya. Itulah yang namanya totalitas dalam berekspresi.

Sembari membaca cerpen demi cerpennya, terimaji dalam kepala saya ilustrasi-ilustrasi dengan tarikan garis yang gahar. Seperti dalam video klip Breaking The Habit-nya Linkin Park barangkali. Mencari yang indah? Banyak fiksi lain yang menawarkan. Karena yang tersaji di sini adalah kisah mereka yang hidup dalam pemukiman kumuh. Mereka yang disebut sebagai orang-orang kecil. Mereka yang mungkin sampai kapan pun kita tak ingin mengharap jadi mereka. Karena akan ada lebih pedih derita yang bakal kita rasa. Rangkaian plot, yang kadang bisa ditangkap dan kadang tidak, meluap dalam ledakan-ledakan yang kurang bisa dinikmati.

sumber gambar

Rabu, 01 Desember 2010

Ajakan tanpa Daya untuk Terus Hidup


Judul : Aki
Pengarang : Idrus
Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta, 2003

Bertemu lagi dengan pengarang Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Kali ini prosanya adalah sebuah buku kecil setebal enam puluh dua halaman. Kalau dalam ukuran kuarto, prosa ini mungkin berupa cerpen panjang.

Terkisahkan seorang Aki, yang saya kira adalah seorang aki-aki (sunda: kakek), namun ternyata memang begitulah namanya. Tidak disebut apakah ia orang Jepang atau orang mana sehingga namanya unik begitu.

Pada mulanya Aki adalah seorang berumur 29 tahun yang terlihat sudah berumur 42 tahun. Ia sakit-sakitan dan kondisi fisiknya menyedihkan—punggungnya bungkuk 165o dan sepasang tungkai kakinya membentuk nol besar, namun itu bukan karena ia kena kutuk. Entah mengapa, yang jelas diceritakan betapa baik budi Aki hingga ia kerap disanjung orang-orang di sekitarnya.

Suatu hari Aki berkata bahwa ia akan mati setahun lagi, tanggal 16 Agustus pukul 3. Orang-orang di tempat kerja Aki susah menerima kenyataan bahwa Aki akan mati. Bahkan sepnya pun tak mau dengar—entah apa sep itu artinya. Hanya istrinya yang tawakal. Bersama istrinya itu, ia persiapkan kematiannya.

Semakin mendekati hari kematian, kondisi Aki bukannya semakin buruk, malah sebaliknya. Lama-lama ia tidak bungkuk lagi. Tungkai kakinya pun dapat terlihat normal. Hari yang dinanti pun tiba. Orang-orang sudah pada sibuk mempersiapkan perkabungan untuk Aki. Lewat jam 3, betapa terkejutnya mereka karena Aki ternyata masih hidup! Aki bilang bahwa ia akan mati tiga puluh tahun lagi. Sejak itu, semakin bertambah daya hidup Aki. Pada umurnya yang ke-42 tahun, ia terlihat masih berumur 29 tahun. Ia sekolah lagi. Dan bilang, ia akan hidup sampai umur keseratus.

Kondisi fisik Aki baru membaik setelah ia merasa dekat dengan kematian. Ia berjuang mati-matian dulu itu dalam batinnya untuk mempertahankan diri terhadap maut. Ia berjuang supaya sehat, supaya sakit paru-parunya hilang sama sekali (hal. 60-61). Sayang, konflik batin Aki tak dieksplorasi sehingga sebagai pembaca saya hanya sekedar tahu namun tak meresapi semangat mempertahankan hidup yang Aki juangkan. Toh sebelum dan sesudah didatangi ancaman maut pun sepertinya tak ada perbedaan berarti dalam diri Aki, selain perbaikan kondisi fisiknya saja. Kiranya akan lebih baik jika jalan cerita dibuat lebih dramatis sehingga maksud yang hendak disampaikan dari cerita ini bisa lebih mengena ke sanubari pembaca.

Lewat tokoh Aki, pengarang seakan ingin menyindir mereka yang berlaku “agamis” tapi tak kontributif pada sesama.

Tidak ada orang yang tahu, apakah Aki pernah ingat kepada Tuhan. Sembahyang ia tidak pernah, puasa pun tidak. Tapi ia dari dulu baik hati kepada siapa pun dan banyak orang sangsi, mana yang lebih disukai Tuhan: sembahyang tunggang-balik lima kali sehari dan puasa setiap bulan Ramadhan, tapi berbuat banyak kejahatan atau tidak sembahyang dan puasa, tapi berbaik hati yang tiada tandingan seperti Aki itu. (hal. 2)

Entah bagaimana pandangan pengarang dan apakah ia termasuk yang terus mencari kebenaran Islam—dalam Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma pun ia terasa agak sinis pada agama, kalau menurut saya sih Tuhan lebih menyukai mereka yang sembahyang dan puasa, tapi juga baik hati pada siapa pun.

Dan lagi-lagi seniman kata kena sindir pula. Ada seorang pemuda yang membuat syair ketika datang berita bahwa Aki hendak mati. Setelah ternyata Aki tak jadi mati, pemuda ini jadi malas bekerja serta suka mengobrol dan memuji diri sendiri—padahal dulunya pendiam. Ia kerap membual tentang kepenyairannya. Saya jadi miris. Ini adalah peringatan yang ke sekian bagi para seniman kata wanna be dari yang sudah mapan jadi seniman kata itu sendiri.

Cerita absurd ini juga dibubuhi ilustrasi pada hampir setiap bab. Bukan sembarang ilustrasi karena yang dijumpai ialah sebuah kerangka tubuh manusia. Ia duduk di atas tubuh Aki. Ia bermain biola.  Ia menggenjreng gitar di bawah rembulan. Ia (mungkin) menyanyikan lagu Aki. Seakan mengingatkan bahwa kematian selalu membayang-bayangi.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...