Selasa, 25 Juni 2019

Mengenang Kelas Bahasa Inggris Gratis di TBI Dago 25 Juni - 20 Juli 2018

Tepat setahun yang lalu, TBI Dago menyelenggarakan kelas Bahasa Inggris gratis yang dimulai pada 25 Juni sampai 20 Juli 2018. Selama empat minggu itu, kelas diadakan setiap hari Senin sampai Jumat pukul sembilan sampai sebelas pagi WIB.

Untuk mengikuti kelas tersebut, saya mengikuti tes penempatan yang diadakan sekitar sebulan sebelumnya (saat itu Ramadan). Tesnya berupa mengerjakan soal Bahasa Inggris pilihan ganda sebanyak beberapa puluh soal. Jawaban langsung diperiksa saat itu juga dan saya dinyatakan lolos kelas Intermediate. Jadi rupanya akan ada dua kelas yaitu Beginner dan Intermediate. Ada kuota untuk tiap-tiap tingkatan dan ketika saya mengerjakan tes tinggal kelas Intermediate yang masih lowong.

Setelah dinyatakan lolos, saya harus menyerahkan semacam uang jaminan sebesar Rp 100.000. Uang ini akan dikembalikan utuh apabila saya dapat memenuhi 75% kehadiran. Kalau enggak salah. Ingat-ingat lupa, jadi enggak yakin, hihihi. Yang jelas, nantinya saya dapat memenuhi 100% kehadiran sehingga uang itu kembali utuh pada saya. Hore!

Maka, tidak lama seusai Ramadan, pada Syawal tahun itu pun saya memulai kelas tersebut. Murid dalam tiap kelas berjumlah sekitar belasan, maksimal dua puluhan. Khusus di kelas saya, Intermediate, jarang-jarang murid hadir semua. Malah pernah sekali waktu yang hadir cuma empat orang sehingga rasanya seperti kursus privat. Lebih-lebih lagi, yang mengajar ada lima orang bergantian!

Jadi, baru setelah menjalani kelas tersebut--dengar dari kanan-kiri--saya baru mengetahui bahwa program ini gratis karena sesungguhnya kami sedang, istilahnya, membantu peserta pelatihan guru Bahasa Inggris dalam program CELTA atau Certificate in Teaching English to Speakers of Other Languages. Jumlah mereka--guru-guru kami--sepuluh orang. Mereka dibagi menjadi dua tim yang masing-masing terdiri dari lima orang. Kedua tim ini digilir di kedua kelas sehingga masing-masing mendapat jatah dua minggu di kelas Beginner dan dua minggu di kelas Intermediate. Dalam satu pertemuan (dua jam/hari) setidaknya tiga dari kelima guru itu mengajar secara bergantian. Adakalanya mereka juga bekerja bersama-sama, terutama ketika mengadakan permainan.

Cara mengajarnya cenderung menuntut partisipasi aktif murid daripada sekadar membeberkan grammar di papan tulis. Tiap hari ada tema tertentu dan biasanya ada lembar kerja fotokopian yang menyertai. Sering kali kami disuruh berdiskusi per dua atau tiga orang, yang tentu saja harus menggunakan bahasa Inggris. Selagi kami berdiskusi, guru yang sedang bertugas mendengarkan percakapan kami selintas-selintas. Setelah diskusi usai, biasanya ada pembahasan mengenai kalimat-kalimat yang barusan kami gunakan dalam percakapan dan di situlah pengetahuan tentang grammar masuk.

Ya, penggunaan bahasa Inggris secara aktif merupakan salah satu hal paling menantang dari kelas ini. Khususnya bagi saya yang sangat jarang bercakap-cakap dalam bahasa Inggris. Grogi, itu sudah pasti. Tetapi, ternyata saya enggak sendirian.

Malah, yang grogi sebenarnya bukan hanya murid, tetapi juga sebagian guru! Ada sesi-sesi ketika mereka meminta masukan dari kami agar bisa memperbaiki cara mengajar. Sebagian dari rekan saya sesama murid gadungan ternyata pengajar profesional sehingga mereka bisa memberikan masukan yang berarti. Sebenarnya para guru itu juga pengajar profesional, tetapi sertifikat CELTA ini sepertinya diperlukan agar mereka bisa meningkatkan level.

Foto bersama guru-guru sif dua minggu pertama.

Manfaat bagi saya pribadi

Saya bisa masuk ke kelas ini awalnya sekadar untuk mengikuti ajakan teman. Ketika saya lolos tes, niat saya sekadar supaya saya ada kegiatan dan bersosialisasi lagi. Pada waktu itu, saya baru pulih dari mengonsumsi antidepresan dan selama berbulan-bulan bisa dibilang saya enggak berbuat apa-apa karena motivasi hidup saya lagi ambruk.

Setelah menjalani kelas itu, bertemu dengan orang-orang baru, terpaksa berbicara dalam bahasa yang biasanya cuma saya gunakan untuk membaca, dan mau enggak mau mengakui status saya yang bukan apa-apa (: problem yang pasti dijalani saat berkenalan dengan orang-orang baru), malah timbul motivasi saya untuk belajar bahasa Inggris lagi. Saat itu saya sadar, kalau ingin meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris, saya harus mulai menggunakannya secara aktif yaitu lewat berbicara dan menulis.

Ketika itulah, saya mengunduh aplikasi Bottled. Dengan aplikasi tersebut, saya bisa mengobrol via teks dengan banyak orang dari banyak negara yang tentunya menggunakan bahasa Inggris. Enggak lama kemudian, saya bisa bertelepon dengan Ziad dari Mesir serta menulis karangan bersama Sam dari Amerika Serikat.

Bentuk latihan lain yang terpikirkan oleh saya adalah kembali menulis di blog, tetapi kali ini dalam bahasa Inggris.

Tetapi, gagasan-gagasan lain kemudian bermunculan sehingga bukannya berfokus pada membuat post demi post berbahasa Inggris di satu blog, saya malah mengaktifkan blog-blog saya yang lain dan kembali menulis dalam bahasa Indonesia bahkan pada NaNoWriMo 2018 saya berhasil menyelesaikan proyek novel yang mandek sejak 2013 sampai sebanyak 80.000-an kata!!! Pada saat itu, rasanya seolah-olah, setelah vakum menulis selama bertahun-tahun, tiba-tiba terjadi ledakan kata-kata. Enggak usah tanya kualitasnya, ya ... 

Setahun telah berlalu. Dari kursus itu, bertambah teman untuk jalan bareng dan saya kembali membaca, menulis, menerjemahkan, mengkliping, mengulas, dan berkomentar secara relatif rutin di beberapa media tulis-menulis.

Tetapi, gagasan untuk berlatih berbicara dan menulis dalam bahasa Inggris secara rutin justru belum berhasil terlaksana, huhuhu. Bersama kenangan-kenangan ini saya mengingatkan diri saya akan tujuan itu.

Terima kasih sebesar-besarnya untuk NMS yang telah menggiring saya pada kesempatan berarti ini. Salam rindu teruntuk kawan-kawan sekelasku dulu. Mudah-mudahan grup chat kita bisa ramai lagi dan kapan nih kita temu kangen? Eaaak. (Bahasanya berasa angkatan '70-an.)

Untuk TBI Bandung, kapan lagi nih ada program ini? Saya mau ikut lagi! 

Foto bersama setelah game, makan-makan,
dan menulis kesan-pesan di punggung para guru pada hari terakhir.

Jumat, 21 Juni 2019

Kita Butuh Angkot ... demi Menyelamatkan Beruang Kutub

Beberapa hari yang lalu, saya keluar rumah untuk menghadiri suatu acara. Saya naik angkot 01 dari dekat rumah lalu berhenti di depan Universitas Langlangbuana. Di situ saya menunggu angkot jurusan Kalapa-Dago. Sekitar sepuluh menit, angkot tersebut tidak juga muncul. Saya mulai gelisah. Saya takut terlambat ke acara yang dituju.

Saya pun mulai berjalan memasuki Jalan Karapitan, sembari sesekali menengok ke belakang. Sesekali muncul beberapa angkot, tetapi enggak satu pun yang jurusan Kalapa-Dago.

Saya memutuskan untuk naik angkot jurusan lain saja sampai perempatan menuju Jalan Ir. H. Juanda (Dago). Lalu dari perempatan itu mungkin akan ada angkot yang dapat membawa saya ke tempat acara.

Saya pun naik angkot Kalapa-Ledeng. Di Jalan Sunda yang sangat padat oleh kendaraan--dibandingkan sewaktu di sekitar Jalan Buah Batu tadi--saya melihat penampakan angkot Kalapa-Dago agak jauh di belakang. Sempat saya berpikir untuk turun dan pindah ke angkot itu. Tetapi angkot tersebut malah berbelok ke jalan di sebelah kirinya.

Saya pun tetap di angkot Kalapa-Ledeng. Di perempatan sekitar Jalan Riau-Jalan Merdeka-Jalan Ir. H. Juanda, saya melihat ada satu angkot Kalapa-Dago yang tertahan oleh lampu merah. Begitu angkot Kalapa-Ledeng yang saya naiki belok ke Jalan Merdeka, saya minta turun. Lalu saya cepat-cepat pindah ke angkot Kalapa-Dago tersebut sebelum jalan karena lampu sudah menjadi hijau.

Jalan Ir. H. Juanda pada siang akhir pekan itu penuh oleh kendaraan, khususnya setelah melewati Jembatan Pasopati. Untunglah saya enggak terlambat sampai ke acara.

Acara yang bertempat di Jalan Ir. H. Juanda itu selesai sekitar magrib. Saya dan teman menumpang salat magrib lebih dulu di tempat lain yang tidak jauh dari situ, dan tertahan di sana sampai isya karena tahu-tahu turun hujan deras. Begitu isya, hujan sudah selesai, kami pun melanjutkan obrolan di pinggir jalan.

Saat itu saya sudah khawatir jangan-jangan enggak bakal ada angkot Kalapa-Dago lagi yang lewat. Dari Jalan Ir. H. Juanda, untuk pulang saya cuma bisa naik angkot Kalapa-Dago. Bisa saja sih saya naik angkot St. Hall-Dago, tetapi itu artinya perjalanan pulang saya bakal semakin panjang dan lama begitu pula ongkosnya jadi berlipat-lipat. Tetapi, bahkan angkot St. Hall-Dago saja enggak kelihatan. Sekalinya ada angkot Kalapa-Dago yang lewat, mereka menolak tumpangan karena sedang membawa barang.

Ini bukan sekalinya saya menunggu di tepi Jalan Ir. H. Juanda dan lama mendapatkan angkot Kalapa-Dago. Saya pernah mengalaminya bahkan ketika hari belum gelap--saat itu masih sore dan langit cukup cerah.

Rencana cadangan saya: Kalau angkot Kalapa-Dago enggak kunjung lewat, saya mau menumpang aplikasi ojek daring milik teman. Ponsel saya sendiri enggak compatible untuk aplikasi yang baru in beberapa tahun belakangan ini.

Teman saya optimistis bahwa angkot Kalapa-Dago akan lewat, dan dia benar.

Saya pun naik ke angkot yang cuma diisi pak sopir itu. Baru ada beberapa penumpang lagi setelah angkot melewati Bandung Indah Plaza.

Saya berhenti di perempatan Jalan Pungkur. Di situ saya menunggu angkot 01.

Jalan Pungkur relatif sepi baik siang maupun malam. Di belakang tempat saya berdiri menunggu ada Alfamart yang terang-benderang, serta seorang tukang parkir. Saat itu sekitar jam setengah delapan malam. Saya pikir: Kalau sampai jam delapan angkot 01 enggak lewat, saya bakal masuk ke Alfamart, beli pulsa, dan menghubungi teman yang bermukim di sekitar situ untuk menginap barang semalam.

Tetapi, beberapa menit kemudian angkot 01 tiba. Yang mengisi cuma sopir dan di sampingnya perempuan yang sepertinya istrinya. Mereka cukup muda, paling enggak si sopir mengemudi sambil menyetel dan menyanyikan lagu Sheila on 7 keras-keras. Sopir sempat menanyakan kepada saya soal lampu di bagian dalam angkot yang sengaja enggak dinyalakan. Saya fine-fine saja soal itu. Yang penting saya sudah dapat tumpangan untuk pulang.

Di Jalan Buah-Batu, angkot disetop oleh seorang bapak-bapak berkumis, berjaket, yang agak kurus. Bapak itu dengan ramah menanyakan, "Supratman?" Sopir angkot menolaknya karena sudah mau pulang. Bapak itu terlihat legawa-legawa saja dengan keputusan si sopir, entah apakah sebenarnya hatinya ketar-ketir juga seperti saya sebelumnya. Sementara angkot berbelok, saya melihat pada si bapak yang ditinggalkan itu melalui kaca belakang. Saya merasa kasihan: Pada malam gelap di jalan yang sepi begini, entah berapa lama lagi ia mesti menunggu angkot yang akan membawanya ke Supratman ....

Tetapi, memasuki Jalan Martanegara, angkot berhenti untuk seorang mbak-mbak muda berjilbab syar'i dan si sopir menanyakan tujuannya. "Binong," kata si mbak muda. Lalu si sopir membiarkan ia masuk.

Apa mungkin karena dia mbak-mbak berpenampilan lumayan yang tujuannya cuma Binong sementara yang sebelumnya bapak-bapak yang tujuannya sampai Supratman? Supratman lebih jauh daripada Binong, memang.

Sementara meresapi itu, saya mengenang masa ketika masih bisa mendapatkan angkot St. Hall-Gedebage malam-malam--bahkan jam setengah sepuluh malam. Saat itu saya masih murid SMA. Tahun-tahun belakangan, menjelang magrib saja angkot St. Hall-Gedebage bisa dibilang sudah enggak ada yang lewat. (Atau saya enggak mau mengambil risiko menunggu sampai lama untuk memastikan bahwa sesungguhnya angkot tersebut masih lewat pada waktu begitu.)

Dalam hati, sejak menunggu angkot Kalapa-Dago di depan UNLA siang sebelumnya, saya ingin berteriak: "KAMI MASIH BUTUH ANGKOT!" atau lebih tepatnya, "KITA BUTUH ANGKOT!" Bukan hanya untuk orang-orang tua yang gaptek, atau anak-anak muda yang enggak mampu/berminat membeli gawai yang compatible buat install aplikasi ojol, tetapi juga untuk mengurangi macet, panas, serta zat-zat polutan berbahaya yang katanya bisa menumpulkan otak.

Tetapi, kebanyakan orang hanya memikirkan dirinya sendiri (kayak diri sendiri enggak aja). Mereka ingin cepat, ingin gaya. Mereka ingin lebih banyak waktu buat dirinya sendiri (saya juga sih), atau buat siapalah yang lagi ingin mereka temui. Mereka enggak bisa menikmati berdempetan dengan orang lain sembari melamun--melayangkan pikiran ke sana kemari (nah, kalau yang ini sih saya lain dari mereka).

Lah, kok jadi menyalahkan orang lain, ya? Katanya yang bijak itu bercermin dulu. Baiklah, mungkin ini salah saya:

1. Yang lagi malas bersepeda, apalagi kalau berangkatnya mesti siang bolong ketika cuaca panas terik matahari.

2. Yang enggak mau meneruskan belajar dan membiasakan naik motor dan atau mobil. But, but, but I don't see any point of being able to drive while living in a big, crowded highly polluted city. I deeply enjoy walking, riding bike (kalau cuaca lagi enggak panas atau hujan dan jalannya menurun) and taking public transportation!

3. Yang belum dapat lungsuran gawai yang compatible buat install aplikasi ojol.

4. Yang keluar rumah sampai malam untuk bertemu teman dan mengikuti pelatihan, padahal mah diam bae di rumah jadi manusia gua untuk selama-lamanya.

5. Yang gagal paham kenapa sih mesti mengikuti arus zaman supaya semakin bergantung kepada teknologi yang untuk menjalankannya membutuhkan banyak listrik dan bahan bakar fosil yang mengakibatkan perubahan iklim yang dampaknya membikin seekor beruang kutub luntang-lantung di jalan raya seperti dalam potongan koran berikut ini.

Sumber: Kompas, 20 Juni 2019
6. Yang setelah melihat berita di atas lantas googling 'how to save polar bear' dan menemukan justifikasi:
We can all contribute to reducing climate change, and therefore help polar bears and other endangered species. A significant cause of climate change is the emission of polluting gases from burning fossil fuels, such as coal and oil. Fossil fuels are burned when we use electricity or drive our cars, among other things. (Baca selengkapnya di artikel ini.)
7. Yang sebetulnya enggak serius-serius amat dalam menanggapi isu perubahan iklim, cuma sebal aja enggak ada angkot pas lagi butuh. Huh! Saya kan cuma manusia biasa yang bisanya cuma memikirkan kepentingan diri sendiri, dan kepentingan saya adalah: Saya butuh angkot ketika lagi enggak bersepeda! Kebetulan saja beruang kutub juga butuh sebanyak-banyaknya orang beralih ke angkot ... secara enggak langsung.

Kayaknya Bandung juga.
(Sumber: Kompas, 20 Juni 2019
"Angkutan Umum Perlu Diperluas")

Selasa, 18 Juni 2019

Perkenalan dengan Aneka Produk Google yang Berguna untuk Bisnis

Gapura Digital Google sedang menyelenggarakan kelas gratis di Bandung, tepatnya di Lo.Ka.Si Coffee & Space seberang SMAN 1. Saya berkesempatan untuk mengikuti kelas tersebut pada 15-16 Juni 2019 lalu dari pukul 13.30 sampai 17.30 WIB.

Dalam satu hari ada dua materi yang dijeda oleh istirahat yang sangat singkat untuk mengudap gorengan, donat, dan kopi atau teh; serta musala yang jika kapasitasnya hanya tujuh orang sementara yang hendak salat asar kira-kira ada 30-40 orang maka berapa waktu yang dibutuhkan supaya semuanya dapat giliran?

Rupanya saya mengikuti kelas ini dari level menengah, bukannya dasar. Modul yang pertama kali saya dapatkan pun diembeli "Modul 5" alih-alih "Modul 1". Meski begitu, saya (dan juga kamu-kamu sekalian) bisa mengejar ketinggalan dengan mengakses modul tersebut secara cuma-cuma di luar kelas melalui tautan berikut ini. Tinggal klik teksnya, ya. Mudah-mudahan bisa diakses untuk selamanya.

MODUL 1 Panduan Dunia Digital
MODUL 2 Google Bisnisku
MODUL 3 Membuat Situs Bisnis yang Efektif
MODUL 4 Cara Mudah Membuat Website untuk Bisnis Anda

MODUL 5 Konten Marketing dan Copywriting untuk Bisnis Anda
MODUL 6 Membangun Merek dengan Video
MODUL 7 Cara Mengelola Keberadaan Anda Secara Online
MODUL 8 Dasar-dasar Google Ads

Sebenarnya, pola url-nya cuma:

bit.ly/moduleGD(isi dengan nomor modul)

Misalkan, untuk mengakses Modul 9:

bit.ly/moduleGD9

Salah seorang pemateri bilang: Dengan berbagai fasilitas yang tersedia secara cuma-cuma, keterlaluan kalau kita sampai enggak berhasil dalam berbisnis.

Kedengarannya menohok, ya.

Lalu saya ingat pernah membaca pernyataan serupa dari seorang sastrawan di artikel koran--yang mohon maaf waktu itu saya merasa tidak terlalu penting untuk menggunting dan menglipingnya--bahwa dengan berbagai kemudahan akibat teknologi sekarang, keterlaluan kalau para penulis muda enggak bisa menghasilkan karya sastra bermutu. Maksudnya, kalau mau riset latar waktu dan tempat hingga mempelajari novel-novel klasik, tinggal googling. Bayangkan penulis zaman baheula, yang kalau mau riset untuk ceritanya mesti mendatangi langsung tempat kejadian, membaca bertumpuk-tumpuk buku di perpustakaan berdebu, dst dsb, untuk menghasilkan narasi yang kuat meyakinkan.

Meski begitu, kalau kita coba wara-wiri di platform-platform kepenulisan jaman now, tempat calon-calon penulis pada unjuk rasa, bisa dilihat mutu literasi mereka yang .... baca sendirilah.

Iya ... kali, Pak?

Semacam:

Semua orang pengin dibaca, tetapi pada malas baca, atau sudah memiliki terlalu banyak hal di otak sehingga enggak menyisakan ruang untuk gagasan-gagasan baru berikut ego penulis lain.

Semua orang pengin produknya dibeli, tetapi duit mereka sendiri pas-pasan atau perlu berpikir panjang dulu untuk membeli produk orang lain ....

Lah, kok jadi nyinyir? Mari kita kembali kepada hawa positif.

Peserta yang hadir di kelas waktu itu sekitar lima puluhan orang. Saya takjub sebab mereka tidak hanya terdiri dari anak-anak muda sepantar saya atau kurang. Banyak juga di antara mereka yang bapak-bapak dan ibu-ibu paruh baya. Malah ada ibu-ibu dengan tata rambut yang sepertinya memerlukan banyak hairspray, seakan-akan pada tahun '80-an beliau adalah mahmud-mahmud paling trendi. Ada juga kakek-kakek yang jalannya sudah timpang, tetapi lalu dapat hadiah karena jadi juara main Kahoot sementara HP saya sendiri kurang compatible untuk install aplikasi tersebut (jadi, siapa yang salah zaman?).

Mengutip teman saya: Acara ini lebih cocok bagi pelaku usaha yang telah memiliki produk dan ingin berekspansi.

Bagi saya sendiri, wawasan yang saya peroleh dari acara ini mungkin dapat bermanfaat nanti, kelak, suatu saat, ketika mindset saya telah bergeser dari labour of love unicorn rainbow la la la land ke it's all about the money it's all about the dum dum dururumdum I don't think it's funny.


Serius. Pemateri yang sama bilang: "Terus terang aja, ya, Ujung-ujungnya Duit! Bisnis itu bukan sekadar untuk 'usaha' atau 'ibadah'. Harus mata duitan!" ... atau kurang lebih seperti itu intinya sebab saya enggak merekam ataupun mencatat pernyataannya itu secara verbatim.

Poin lain yang saya catat--yang saya dapatkan juga di acara lain yang serupa sebelumnya tetapi waktu itu sponsornya Grab--adalah: Kita harus memiliki passion terhadap produk yang kita buat, lalu beristikamah--fokus!

Tentu saja acara ini lebih daripada sekadar masukan-masukan moral seperti itu. Acara ini utamanya merupakan panduan yang adakalanya bersifat teknis untuk menggunakan produk-produk Google seperti:

Google Form
Google My Business
Google Trends
Youtube
Google Alerts
Google Calendar
Google Ads
Google Primer
Bahkan Blogger, seperti yang sedang saya manfaatkan untuk membuat tulisan ini.
Dan masih banyak lagi.

Which is interesting, sebab belum lama ini juga seorang teman mengangkat isu tentang berhenti menggunakan produk-produk Google yang artikel berikut ini mungkin bisa mewakili untuk menjelaskan alasannya: Why You Should Stop Using Google Chrome.

Lah, kok jadi melenceng lagi?

Ini gambar yang saya ambil dari Lo.Ka.Si. kejadian supaya tulisan ini enggak cuma tulisan. Cheers.

Sabtu, 15 Juni 2019

Matinya Seekor Anak Kucing (2)

Sebenarnya bukan hanya seekor, tetapi sekian.

Sejak "Matinya Seekor Anak Kucing" yang saya publikasikan di blog ini pada 2014, selama beberapa tahun ini, telah ada sekian ekor anak kucing yang mati di sekitar rumah kami.

Salah satu anak kucing yang akhirnya mati
secara menyedihkan akibat sakit.
Ada anak-anak kucing yang enggak sengaja kami pelihara, karena induknya yang entah datang dari mana kami beri makan, kemudian ikut tinggal, dikawini entah kucing mana saja, hamil, melahirkan, dan seterusnya, sampai ketika mereka sudah agak besar kami pindahkan ke garasi karena kalau di dalam bikin rujit, lalu pada sakit, dan mati satu per satu.

Ada anak-anak kucing yang sepertinya sengaja dibuang di depan rumah kami, seolah-olah yang membuang tahu bahwa kami suka memberi makan kucing. Ibu saya pernah sampai pasang karton di pos satpam samping rumah. Isinya mengimbau siapa pun itu supaya enggak buang kucing di sekitar situ.

(Sebenarnya, banyak juga anak kucing yang setelah agak besar kami buang karena keterbatasan kami dalam mengurus banyak kucing. Tetapi, biasanya kami menunggu sampai kucing-kucing itu agak besar dan sudah disapih oleh induknya, bukannya yang masih menetek.)

Kucing pungut yang berhasil bertahan
sampai besar dan relatif tidak menyusahkan.
Kecuali sekarang ia jadi berisik
karena mulai pengin kawin.
Ada anak-anak kucing yang sengaja kami pelihara, atau lebih tepatnya, dipungut ibu saya dari jalan karena kasihan, sampai mereka besar. Salah satunya mati pada Ramadan yang baru lalu, katanya karena ditabrak, yang kemudian dikuburkan oleh satpam komplek di tanah kosong dekat rumah. Sayang, padahal kucingnya cantik dengan bulu hitam-cokelat halus dan megar.

Baru-baru ini ibu saya memungut seekor anak kucing lagi, namun sudah terlambat.

Berulang-ulang ibu saya bercerita, bahwa dua hari lalu anak kucing itu masih baik-baik saja. Malah sebenarnya anak kucing itu terlihat seperti ingin dibawa.

Tetapi, biasanya saya menjadi pemeran pendukung antagonis dalam drama ini. Tiap kali ibu saya membawa seekor anak kucing ke rumah, saya bertanya-tanya: "Jangan-jangan masih ada ibunya? Jangan-jangan ibunya cuma lagi cari makan? Jangan-jangan ada yang punya? Jangan-jangan ..." dan seterusnya. Kalaupun ibu saya keukeuh ingin mengurusnya, sebetulnya saya enggak ada masalah. Tugas saya paling-paling cuma kasih makan ketika ibu saya pergi.

Tetapi, anak kucing yang kali ini, ketika dibiarkan saja di jalan, tetap saja sendirian di jalan.

Ibu saya bilang, dua hari lalu anak kucing itu masih baik-baik saja. Tetapi, kemarin, anak kucing itu sudah lemas. Pantatnya basah, rusak karena diare. Diberi makan, enggak mau. Maunya berlemas-lemas saja di luar pagar, sembari berjemur. Tiap kali dibawa ke bagian dalam garasi, dia pasti ke luar lagi.

Kami memutuskan untuk membawanya ke dokter hewan sore itu.

Sementara pengunjung lain membawa anjing atau kucing yang bagus-bagus, dengan keranjang piknik atau kandang betulan, kami membawa anak kucing yang kelihatannya sudah mau mati tetapi masih bisa mencret dalam kardus Ades kecil. Perutnya toh masih kembang kempis. Sepertinya dia terus-terusan mengeluarkan tahi, sebab ibu saya terus-terusan menjejalkan tisu ke dasar kardus. Semestinya kami mengalasi kardus dengan berlapis-lapis kertas koran alih-alih selembar kaus bekas.

Giliran kami tiba. Nomor 68. Kami dibawa ke ruangan paling ujung oleh dokter cantik dan ramah, dengan bulu mata lentik dan wajah mulus, yang meragukan kami punya kulkas di rumah (serius, se-humble itu penampilan kami).

Anak kucing yang kami bawa masih hidup. Ia diberi infus, disuntik vitamin. Ia masih bisa berdiri, mau mencicip secuil kornet. Ia ditimbang dan beratnya 0,4 kg. Dokter memberi sebotol kecil air hangat supaya dia enggak kedinginan. Selain itu, ada obat cair yang mesti ditembakkan ke mulutnya sebanyak 0,5 ml dua kali sehari. Total biaya enam puluh ribu rupiah.

Begitu tiba di rumah, saya membersihkan lantai kamar mandi belakang di lantai dua. Kamar mandi itu bisa dibilang enggak pernah digunakan, sehingga sesekali kami fungsikan sebagai tempat karantina kucing sakit atau telantar. Setelah agak bersih, saya mengalasi lantai dengan lembaran-lembaran kertas koran. Kemudian ibu saya memasukkan anak kucing itu beserta segala perlengkapannya: tempat tidur, makanan, toilet ....

Kira-kira setelah isya, ketika saya ke lantai bawah untuk gosok gigi, saya mendengar ada suara aneh seperti menggeram. Saya mengira ada kucing bertengkar di luar. Saya tengok ke garasi. Enggak ada apa-apa. Suara itu terdengar berkali-kali lagi. Ibu saya muncul dan bilang bahwa itu suara si anak kucing. Anak kucing itu tidur tetapi sambil mengeluarkan suara. Ibu saya bilang sepertinya anak kucing itu mau mati.

Saya menyetujui dalam hati. Diam-diam saya merasa ngeri. Saya membayangkan ada Malaikat Izrail di atas sana, sedang menarik nyawa anak kucing itu perlahan-lahan. Anak kucing itu sebegitu kecilnya, dan dia bukan manusia. Usianya mungkin baru 1-2 bulan? Dosa apa yang mungkin diperbuatnya? Tetapi, kenapa suara sekaratnya sangat menyeramkan? Itu baru anak kucing kecil yang kita ragukan apakah memiliki dosa. Bagaimana dengan suara sekarat manusia dewasa yang jelas-jelas pasti telah berbuat banyak dosa sepanjang hidupnya, dengan akal dan hatinya?

Malam itu saya agak sulit tidur padahal sejak magrib merasa capek. Antara riweuh dengan persoalan-persoalan pribadi yang enggak penting, dan penderitaan si anak kucing. Saya tidur di spring bed dengan selimut tebal yang nyaman dan kegelapan nyaris total, sementara si anak kucing tidur cuma beralaskan kardus, koran, dan plastik, tanpa selimut, di kamar mandi pengap berpenerangan lampu oranye. Saya menyetel musik sampai kajian untuk meredam suara yang kemungkinan berasal dari si anak kucing. Akhirnya saya tertidur juga.

Subuh ini saya dan Mama sama-sama sudah bangun. Bukannya salat subuh dulu, ibu saya malah mengecek anak kucing itu. Lalu ibu saya turun lagi dan bilang anak kucing itu sudah kaku.

Sekarang, persoalannya, di mana hendak menguburkan anak kucing itu. Sebelum-sebelumnya kami menguburkan kucing mati di halaman rumah sendiri. Karena spot-spot strategis sudah terisi, belakangan kami merambah ke tanah kosong di dekat rumah. Tetapi, suatu kejadian bikin saya semakin malas membuang bangkai kucing ke sana. Saat itu, tetangga yang tinggal tepat di seberang tanah kosong itu memprotes kami. Dia enggak mau sampai tercium bau bangkai ke rumahnya. Setelah cekcok sebentar, kami berhasil meyakinkan dia bahwa kami bakal menggali tanah yang dalam untuk mengubur bangkai itu. Tetap saja, ada perasaan enggak enak karena sudah bertikai dengan salah satu pihak yang tampaknya enggak rela.

Saya berharap nanti bukan saya yang mesti membawa bangkai itu ke sana lagi. Kalaupun terpaksa, untuk menemani, saya berharap ibu-ibu itu enggak memergoki kami.

Ada yang mau mengobati kucing ini?
"Matinya Seekor Anak Kucing" merupakan tulisan ketiga paling populer di blog ini yang memancing cukup banyak komentar. (Yah, cukup banyak dibandingkan dengan ratusan tulisan lain di beberapa blog saya yang sama sekali enggak menimbulkan komentar, waha. Bukannya saya tanggap dalam membalas komentar juga sih.) Saya menduga kepopuleran tulisan itu menunjukkan banyaknya orang yang sesungguhnya peduli pada isu perkucingan.

Kuping kanannya sudah mau habis.
Memang manusia saja masih banyak yang telantar di jalan. Bagi sebagian orang yang segan-segan dalam hubungan antarmanusia, kucing bisa menjadi alternatif dalam belajar menjadi pengasih dan penyayang. Saya sendiri masih jauh dari tahapan menjadi seperti ibu saya, apalagi untuk menjadi seperti mereka yang sampai menampung ratusan kucing dan peduli untuk mengebirinya.

Seandainya kita ogah menyentuh kucing tetapi dikaruniai rezeki yang lumayan, minimal kita bisa mulai dengan membeli makanan kucing kiloan (yang kering itu lo supaya praktis) dan menyedekahkannya pada kucing liar yang kita temui di jalan. Seandainya kita miliarder, di samping menyumbang ke Daarut Tauhid atau lembaga kemanusiaan lainnya, mungkin kita bisa mendonasikan sebagian kelebihan itu pada lembaga penyelamat kucing, salah satunya adalah The Whiskers' Syndicate di Bandung.

Jangan ada anak kucing mati lagi di antara kita. Kematian, pada makhluk hidup sekecil apa pun termasuk tumbuhan, tetap saja bikin sedih. Kecuali pada kutu rambut, tentunya.

Pembaruan:

Anak kucing itu jadinya dikubur di tanah kosong dekat rumah. Saya enggak ikut menguburkannya. Beberapa jam kemudian, ibu saya menemukan dua anak kucing yang masih sangat kecil--belum dua bulan--di dasar got depan rumah. Curiga ada yang sengaja membuangnya di situ, lagi. Kami membawa mereka ke dokter hewan juga. Salah satu anak kucing belekan parah, yang kata dokter bisa-bisa sampai buta. Mereka juga kena flu.

Selain itu, kami baru ingat bahwa dokter juga menyuruh untuk memberikan kuning telur mentah pada si anak kucing yang sekarat. Seandainya malam itu, sebelum meninggalkannya sendirian, kami mencekokkan kuning telur mentah dulu ke mulutnya, apakah dia bakal masih bertahan?

Yah, takdir.

Literally hilang satu, dua terbilang dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...