Sabtu, 15 Juni 2019

Matinya Seekor Anak Kucing (2)

Sebenarnya bukan hanya seekor, tetapi sekian.

Sejak "Matinya Seekor Anak Kucing" yang saya publikasikan di blog ini pada 2014, selama beberapa tahun ini, telah ada sekian ekor anak kucing yang mati di sekitar rumah kami.

Salah satu anak kucing yang akhirnya mati
secara menyedihkan akibat sakit.
Ada anak-anak kucing yang enggak sengaja kami pelihara, karena induknya yang entah datang dari mana kami beri makan, kemudian ikut tinggal, dikawini entah kucing mana saja, hamil, melahirkan, dan seterusnya, sampai ketika mereka sudah agak besar kami pindahkan ke garasi karena kalau di dalam bikin rujit, lalu pada sakit, dan mati satu per satu.

Ada anak-anak kucing yang sepertinya sengaja dibuang di depan rumah kami, seolah-olah yang membuang tahu bahwa kami suka memberi makan kucing. Ibu saya pernah sampai pasang karton di pos satpam samping rumah. Isinya mengimbau siapa pun itu supaya enggak buang kucing di sekitar situ.

(Sebenarnya, banyak juga anak kucing yang setelah agak besar kami buang karena keterbatasan kami dalam mengurus banyak kucing. Tetapi, biasanya kami menunggu sampai kucing-kucing itu agak besar dan sudah disapih oleh induknya, bukannya yang masih menetek.)

Kucing pungut yang berhasil bertahan
sampai besar dan relatif tidak menyusahkan.
Kecuali sekarang ia jadi berisik
karena mulai pengin kawin.
Ada anak-anak kucing yang sengaja kami pelihara, atau lebih tepatnya, dipungut ibu saya dari jalan karena kasihan, sampai mereka besar. Salah satunya mati pada Ramadan yang baru lalu, katanya karena ditabrak, yang kemudian dikuburkan oleh satpam komplek di tanah kosong dekat rumah. Sayang, padahal kucingnya cantik dengan bulu hitam-cokelat halus dan megar.

Baru-baru ini ibu saya memungut seekor anak kucing lagi, namun sudah terlambat.

Berulang-ulang ibu saya bercerita, bahwa dua hari lalu anak kucing itu masih baik-baik saja. Malah sebenarnya anak kucing itu terlihat seperti ingin dibawa.

Tetapi, biasanya saya menjadi pemeran pendukung antagonis dalam drama ini. Tiap kali ibu saya membawa seekor anak kucing ke rumah, saya bertanya-tanya: "Jangan-jangan masih ada ibunya? Jangan-jangan ibunya cuma lagi cari makan? Jangan-jangan ada yang punya? Jangan-jangan ..." dan seterusnya. Kalaupun ibu saya keukeuh ingin mengurusnya, sebetulnya saya enggak ada masalah. Tugas saya paling-paling cuma kasih makan ketika ibu saya pergi.

Tetapi, anak kucing yang kali ini, ketika dibiarkan saja di jalan, tetap saja sendirian di jalan.

Ibu saya bilang, dua hari lalu anak kucing itu masih baik-baik saja. Tetapi, kemarin, anak kucing itu sudah lemas. Pantatnya basah, rusak karena diare. Diberi makan, enggak mau. Maunya berlemas-lemas saja di luar pagar, sembari berjemur. Tiap kali dibawa ke bagian dalam garasi, dia pasti ke luar lagi.

Kami memutuskan untuk membawanya ke dokter hewan sore itu.

Sementara pengunjung lain membawa anjing atau kucing yang bagus-bagus, dengan keranjang piknik atau kandang betulan, kami membawa anak kucing yang kelihatannya sudah mau mati tetapi masih bisa mencret dalam kardus Ades kecil. Perutnya toh masih kembang kempis. Sepertinya dia terus-terusan mengeluarkan tahi, sebab ibu saya terus-terusan menjejalkan tisu ke dasar kardus. Semestinya kami mengalasi kardus dengan berlapis-lapis kertas koran alih-alih selembar kaus bekas.

Giliran kami tiba. Nomor 68. Kami dibawa ke ruangan paling ujung oleh dokter cantik dan ramah, dengan bulu mata lentik dan wajah mulus, yang meragukan kami punya kulkas di rumah (serius, se-humble itu penampilan kami).

Anak kucing yang kami bawa masih hidup. Ia diberi infus, disuntik vitamin. Ia masih bisa berdiri, mau mencicip secuil kornet. Ia ditimbang dan beratnya 0,4 kg. Dokter memberi sebotol kecil air hangat supaya dia enggak kedinginan. Selain itu, ada obat cair yang mesti ditembakkan ke mulutnya sebanyak 0,5 ml dua kali sehari. Total biaya enam puluh ribu rupiah.

Begitu tiba di rumah, saya membersihkan lantai kamar mandi belakang di lantai dua. Kamar mandi itu bisa dibilang enggak pernah digunakan, sehingga sesekali kami fungsikan sebagai tempat karantina kucing sakit atau telantar. Setelah agak bersih, saya mengalasi lantai dengan lembaran-lembaran kertas koran. Kemudian ibu saya memasukkan anak kucing itu beserta segala perlengkapannya: tempat tidur, makanan, toilet ....

Kira-kira setelah isya, ketika saya ke lantai bawah untuk gosok gigi, saya mendengar ada suara aneh seperti menggeram. Saya mengira ada kucing bertengkar di luar. Saya tengok ke garasi. Enggak ada apa-apa. Suara itu terdengar berkali-kali lagi. Ibu saya muncul dan bilang bahwa itu suara si anak kucing. Anak kucing itu tidur tetapi sambil mengeluarkan suara. Ibu saya bilang sepertinya anak kucing itu mau mati.

Saya menyetujui dalam hati. Diam-diam saya merasa ngeri. Saya membayangkan ada Malaikat Izrail di atas sana, sedang menarik nyawa anak kucing itu perlahan-lahan. Anak kucing itu sebegitu kecilnya, dan dia bukan manusia. Usianya mungkin baru 1-2 bulan? Dosa apa yang mungkin diperbuatnya? Tetapi, kenapa suara sekaratnya sangat menyeramkan? Itu baru anak kucing kecil yang kita ragukan apakah memiliki dosa. Bagaimana dengan suara sekarat manusia dewasa yang jelas-jelas pasti telah berbuat banyak dosa sepanjang hidupnya, dengan akal dan hatinya?

Malam itu saya agak sulit tidur padahal sejak magrib merasa capek. Antara riweuh dengan persoalan-persoalan pribadi yang enggak penting, dan penderitaan si anak kucing. Saya tidur di spring bed dengan selimut tebal yang nyaman dan kegelapan nyaris total, sementara si anak kucing tidur cuma beralaskan kardus, koran, dan plastik, tanpa selimut, di kamar mandi pengap berpenerangan lampu oranye. Saya menyetel musik sampai kajian untuk meredam suara yang kemungkinan berasal dari si anak kucing. Akhirnya saya tertidur juga.

Subuh ini saya dan Mama sama-sama sudah bangun. Bukannya salat subuh dulu, ibu saya malah mengecek anak kucing itu. Lalu ibu saya turun lagi dan bilang anak kucing itu sudah kaku.

Sekarang, persoalannya, di mana hendak menguburkan anak kucing itu. Sebelum-sebelumnya kami menguburkan kucing mati di halaman rumah sendiri. Karena spot-spot strategis sudah terisi, belakangan kami merambah ke tanah kosong di dekat rumah. Tetapi, suatu kejadian bikin saya semakin malas membuang bangkai kucing ke sana. Saat itu, tetangga yang tinggal tepat di seberang tanah kosong itu memprotes kami. Dia enggak mau sampai tercium bau bangkai ke rumahnya. Setelah cekcok sebentar, kami berhasil meyakinkan dia bahwa kami bakal menggali tanah yang dalam untuk mengubur bangkai itu. Tetap saja, ada perasaan enggak enak karena sudah bertikai dengan salah satu pihak yang tampaknya enggak rela.

Saya berharap nanti bukan saya yang mesti membawa bangkai itu ke sana lagi. Kalaupun terpaksa, untuk menemani, saya berharap ibu-ibu itu enggak memergoki kami.

Ada yang mau mengobati kucing ini?
"Matinya Seekor Anak Kucing" merupakan tulisan ketiga paling populer di blog ini yang memancing cukup banyak komentar. (Yah, cukup banyak dibandingkan dengan ratusan tulisan lain di beberapa blog saya yang sama sekali enggak menimbulkan komentar, waha. Bukannya saya tanggap dalam membalas komentar juga sih.) Saya menduga kepopuleran tulisan itu menunjukkan banyaknya orang yang sesungguhnya peduli pada isu perkucingan.

Kuping kanannya sudah mau habis.
Memang manusia saja masih banyak yang telantar di jalan. Bagi sebagian orang yang segan-segan dalam hubungan antarmanusia, kucing bisa menjadi alternatif dalam belajar menjadi pengasih dan penyayang. Saya sendiri masih jauh dari tahapan menjadi seperti ibu saya, apalagi untuk menjadi seperti mereka yang sampai menampung ratusan kucing dan peduli untuk mengebirinya.

Seandainya kita ogah menyentuh kucing tetapi dikaruniai rezeki yang lumayan, minimal kita bisa mulai dengan membeli makanan kucing kiloan (yang kering itu lo supaya praktis) dan menyedekahkannya pada kucing liar yang kita temui di jalan. Seandainya kita miliarder, di samping menyumbang ke Daarut Tauhid atau lembaga kemanusiaan lainnya, mungkin kita bisa mendonasikan sebagian kelebihan itu pada lembaga penyelamat kucing, salah satunya adalah The Whiskers' Syndicate di Bandung.

Jangan ada anak kucing mati lagi di antara kita. Kematian, pada makhluk hidup sekecil apa pun termasuk tumbuhan, tetap saja bikin sedih. Kecuali pada kutu rambut, tentunya.

Pembaruan:

Anak kucing itu jadinya dikubur di tanah kosong dekat rumah. Saya enggak ikut menguburkannya. Beberapa jam kemudian, ibu saya menemukan dua anak kucing yang masih sangat kecil--belum dua bulan--di dasar got depan rumah. Curiga ada yang sengaja membuangnya di situ, lagi. Kami membawa mereka ke dokter hewan juga. Salah satu anak kucing belekan parah, yang kata dokter bisa-bisa sampai buta. Mereka juga kena flu.

Selain itu, kami baru ingat bahwa dokter juga menyuruh untuk memberikan kuning telur mentah pada si anak kucing yang sekarat. Seandainya malam itu, sebelum meninggalkannya sendirian, kami mencekokkan kuning telur mentah dulu ke mulutnya, apakah dia bakal masih bertahan?

Yah, takdir.

Literally hilang satu, dua terbilang dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain