Minggu, 29 September 2019

Matinya Seekor Anak Kucing (3)

Lagi? (Kamu mungkin mau baca cerita sebelumnya di sini dan di sini.)

Tentu saja saya berharap enggak akan ada lagi.

Tapi, begitulah yang terjadi.

Jadi, ada seekor kucing. Warnanya putih dengan corak hitam. Ukurannya agak besar; kalau dalam tahap perkembangan manusia mungkin dia kucing ABG. Tidak ada fitur yang menarik, sehingga kemungkinan dia kucing kampung biasa.

Kucing ini muncul begitu saja. Kalau menurut ibu saya, sempat ada satu kucing lagi yang serupa dia tapi lalu menghilang sehingga tinggal dia saja. Kami mengira mereka (atau dia) milik tetangga, tapi suka menongkrong di halaman kami dan lama-lama jadi hampir menetap bahkan hingga masuk ke rumah.

Dia jinak, seperti berharap dianggap sebagai piaraan. Tapi kami sudah punya 2-3 kucing lain yang "wajib" diberi makan, sehingga kami anggap dia sebagai kucing liar (atau milik tetangga?) lainnya yang menumpang makan di garasi kami.

Hingga suatu hari dia tampak lesu, enggak bernafsu makan. Dia mungkin sakit. Tapi kami biarkan saja. Kami anggap dia akan sembuh sendiri, seperti yang pernah terjadi pada kucing-kucing lain.

Kami biarkan dia hingga berhari-hari. Ibu saya berkali-kali memberi dia makan dengan daging ikan, tapi enggak diambil. Saya juga pernah memberi dia segumpal Whiskas basah, yang didiamkan saja.

Hingga suatu hari dia tampak mengenaskan. Sudah mah semakin kurus, kini kotor pula. Rupanya dia pilek. Badannya bebercak-bercak kuning oleh ingus.

Kalau saya pilek, ingus yang berwarna dan kental menandakan bahwa pilek akan segera berakhir (yah, enggak tahu kalau kata dokter). Tapi, tidak bagi kucing.

Karena badannya sudah ringsek begitu, ibu saya pun berinisiatif membawa dia ke dokter hewan. Mau enggak mau, saya menemani. Ketika kami hendak memasukkannya ke keranjang, dia sempat menghilang. Tapi lalu saya menemukan ekornya menjulur dari mesin di kolong mobil, yang memang sehabis digunakan oleh ibu saya dan baru dimasukkan ke garasi. Agaknya dia mencari kehangatan.

Dia begitu kotor, hingga ibu saya mengambilnya dengan perantaraan kertas. Keranjang berisi dia diletakkan di bagasi, sekadar ruang di balik jok belakang. Baunya di bagasi tercium sampai ke hidung kami yang duduk di jok depan.

Sore itu, klinik hewan yang biasa kami kunjungi lengang. Tidak ada pasien lain. Tukang parkir bilang agar mengetuk pintu dahulu. Setelah mengisi daftar dan mengetuk pintu, oleh yang berada di baliknya kami diminta menunggu sebentar. Sepertinya para dokter sedang mengadakan rapat.

Kami pun dibolehkan masuk, ke ruangan paling ujung.

Kucing dikeluarkan dari keranjang. Dokter takjub dengan keadaannya. Saya pun salut si dokter tidak menggunakan pelindung apa-apa seperti masker dan sarung tangan, sebab si kucing begitu bau dan kotor.

Kami menerangkan bahwa dia hanya kucing yang entah siapa pemiliknya, yang biasa menumpang makan di garasi kami dan belakangan tampak sakit hingga menjadi parah, dan seterusnya, dan sebagainya .... Apologi.

Dokter itu mengambil sisir logam, lalu membersihkan gumpalan-gumpalan ingus yang menempel di tubuh kucing. Saya mengamatinya sambil menjaga jarak dan merasa malu sekaligus kagum akan ketelatenan dan kasih sayang si dokter. Mungkin ini suuzon atau refleksi saya atas diri kami sendiri: saya menduga si dokter diam-diam mencibir betapa tidak welas asihnya kami hingga si kucing dibiarkan dalam keadaan begitu. Selain membersihkan, dia juga memberikan infus dan beberapa suntikan, serta mencekokkan daging ke mulut si kucing sambil bertanya, "Nanti bisa enggak kasih makannya?"

Si kucing lalu dimasukkan ke kontainer untuk diuapi. Dokter itu berlalu, digantikan dokter lain yang memberikan obat dan menerima pembayaran. Total Rp 120.000.

Dokter sempat berpesan agar besok si kucing dibawa lagi untuk diinfus.

Tampaknya ibu saya juga menyadari akan sikap si dokter. Dia bilang, sebenarnya kucing itu bisa kami bersihkan sendiri. Tapi--mungkin juga apologi--saya mengingatkan bahwa kami enggak bermaksud memelihara kucing itu melainkan sekadar memberi dia makan. Ibu saya membenarkan, bahwa kebetulan saja kucing itu sakit di garasi kami sehingga terlihat oleh kami dan daripada mengganggu pemandangan mending coba dibawa ke dokter hewan siapa tahu masih bisa diselamatkan (lalu setelah pulih dibuang).

Tapi, sebenarnya saya juga malu. Tiap kali kami ke klinik itu--yang saya sampai hafal muka dan pembawaan setiap dokternya--sementara orang lain pada membawa hewan ras yang bagus-bagus dan begitu menyayangi piaraan mereka, kami membawa kucing liar yang parah keadaannya sampai-sampai kami sendiri ogah menyentuhnya.

Setibanya di rumah, mau enggak mau saya membersihkan kamar mandi belakang di lantai dua yang biasa menjadi ruang karantina bagi kucing sakit. Kamar mandi ini belum dibersihkan sejak terakhir kali ibu saya memungut dua ekor anak kucing--yang satu lalu mati, dan yang lain akhirnya dibuang. Kertas-kertas koran melekati lantai, sepertinya akibat dulu basah oleh kencing. Butir-butir pasir toilet berserakkan. Belum lagi gumpalan-gumpalan tahi yang sudah mengering. Dengan sarung tangan dan lipatan kain menutupi sebagian muka, saya memasukkan koran-koran najis itu ke dalam plastik, menyapu lantai, lalu mengepelnya dengan Wipol sembari menggosok-gosok untuk menyingkirkan sisa-sisa koran dan kotoran. Setelah lantai agak kering, ibu saya menutupinya lagi dengan lembaran-lembaran koran lalu memasukkan kardus agak besar untuk tempat tidur kucing serta kotak pasir untuk toiletnya--yang akhirnya tidak sempat terisi.

Malam itu kami mencoba memberi makan si kucing dengan alat yang diberikan dokter, berupa suntikan tanpa jarum. Caranya: daging basah (kami biasa membeli Whiskas) dimasukkan ke dalam suntikan lalu ditembakkan ke mulut si kucing. Subuh esoknya, daging diganti dengan telur mentah.

Karena hari itu ibu saya bekerja, saya ditugaskan untuk memberi makan si kucing sendirian tiap beberapa jam sekali. Sampai ibu saya pulang selepas asar, saya memberi makan si kucing dua kali: sekitar pukul setengah sembilan dan sekitar pukul satu. Kali ini saya tidak sok-sokan pakai sarung tangan, tapi tetap menutupi separuh muka dengan kain.

Belajar dari si dokter, saya mencoba untuk menjadi perawat yang welas asih. Sebelum memberi makan, saya bersihkan dulu moncong si kucing dengan tisu yang dibasahi. Saya juga bersabar ketika si kucing melepeh daging yang telah saya tembakkan ke mulutnya, yang saya pungut lagi, masukkan lagi ke dalam suntikan, dan tembakkan lagi. Begitu berkali-kali, sampai kurang lebih satu sendok daging habis. Sesudahnya, saya bersihkan lagi moncong si kucing. Saya juga membuang lembaran koran yang sudah diceceri tahi encer.

Ibu saya pulang. Sore itu, kami hendak memberi makan si kucing lagi bersama-sama, sekalian memberikan obat. Ibu saya memegangi si kucing, sedangkan saya yang menembakkan makanan. Tapi, si kucing sesekali memberontak. Mulutnya sedikit-sedikit terbuka, seperti yang mencari udara atau hendak mengeluarkan suara tapi tak bisa. Ibu saya menginstruksikan agar saya memasukkannya pelan-pelan, ditambah air.

Tapi, berangsur-angsur kami jadi tidak tega. Keadaan dia sudah begitu menyedihkan. Begitu kurus, begitu kotor, begitu lemah, seperti yang sebentar lagi akan mati. Saya yakin ketika sebelumnya saya memberi dia makan, sudah ada daging yang masuk ke perutnya. Tapi, kok sepertinya tidak berpengaruh?

Ibu saya meminta maaf pada si kucing karena telat membawanya ke dokter. Yah, lagi-lagi telat, karena kami selalu berpikir--berharap--si kucing akan sembuh sendiri. Sebagian kucing memang bisa sembuh sendiri, tapi untuk sebagian lagi sudah terlambat.

Kami ingat pesan dokter agar dia dibawa lagi untuk diinfus. Saat itu sudah sekitar pukul setengah enam sore, sementara pendaftaran ditutup pukul enam. Kami pun mengebut berganti pakaian dan menyiapkan si kucing untuk dibawa lagi ke klinik hewan.

Memang klinik tersebut tidak begitu jauh di rumah. Kami tiba sebelum pukul enam. Kali ini, ada dua pasien lain yang telah lebih dahulu menunggu. Dua-duanya kucing. Yang satu belek dan pilek, sedangkan yang satu lagi sepertinya tidak bergairah setelah melahirkan satu anak yang lalu mati. Sembari menunggu, kami bertukar sedikit informasi tentang hewan bawaan masing-masing.

Setelah kami, ada dua pasien lagi yang datang. Keduanya anjing. Anjing yang pertama sangat besar, tidak mau diam, dan menarik perhatian: golden retriever. Saya mencuri dengar obrolan si pemilik dengan beberapa penunggu lain mengenai perawatan si anjing. Anjing juga memikat untuk dipelihara, tapi kami muslim dengan pengetahuan bahwa hewan itu bernajis berat. Seandainya anjing enggak senajis kucing dan ibu saya tergerak untuk memeliharanya juga, enggak terbayang kerepotan yang bakal menyerta. Apalagi kalau anjingnya segede manusia, seperti golden retriever itu. Kalau dia mati, mau dikubur di mana? Mencari tempat mengubur hewan yang relatif kecil seperti kucing saja kami kebingungan.

Lewat azan magrib, tibalah giliran kami. Kali ini kami mendapat meja pemeriksaan di depan dan dokter yang lain lagi. Melihat keadaan si kucing, si dokter terperenyak (oke, lebay). Dia bilang napas kucing ini sudah satu-satu, tapi, "enggak apa-apalah, ikhtiar," sambil memberikan suntikan. Dia juga mengukur suhu tubuh si kucing dan mengatakan bahwa hasilnya sudah di bawah normal.

Napas satu-satu + Suhu tubuh di bawah normal = Sakratulmaut

Sementara si kucing diinfus, kami duduk diam dan saya mencari-cari apa lagi yang bisa dibicarakan selain bahwa kemungkinan besar hewan itu akan mati. Salah satu pembicaraan adalah tentang cara memberi makan si kucing. Benar kata ibu saya, bahwa makanan harus diberikan pelan-pelan. Kalau dipaksakan, kata si dokter, kondisi kucing yang sudah pengap itu malah akan drop. Timbul rasa bersalah saya. Jangan-jangan, ketika memberi makan si kucing itu sendirian, saya terlalu kasar dan malah mengakibatkan turunnya kondisi dia sepanjang hari itu.

Di samping itu, sebelumnya ada sedikit persoalan. Ibu saya akan keluar kota beberapa hari pada akhir pekan, sehingga saya mesti memberi makan dan obat pada kucing itu sendirian. Awalnya saya berkeberatan sehingga ibu saya hendak memanggil pulang adik saya yang kuliah di luar kota untuk membantu saya. Tapi, setelah mencoba memberi makan kucing itu sendirian dan ternyata bisa, saya berpikiran bahwa bantuan adik saya mungkin tidak diperlukan. Meski begitu, jangan-jangan si kucing sempat mendengar persoalan itu, jadi enggak bersemangat untuk bertahan hidup, dan hendak cepat mati saja biar enggak merepotkan saya.

Itu, dan hal-hal lain yang masih menyangkut perkucingan dan sebagainya bikin mood saya jatuh sepulang dari klinik hewan. Setelah mandi dan mengejar kesempatan salat magrib di waktu yang sudah mepet isya, saya tiduran saja di kamar yang remang-remang--seolah-olah tidak mau beraktivitas lagi selain terlelap.

Beberapa kali ibu saya datang, mengabarkan keadaan si kucing. Dia bilang kucing itu sudah dingin, kaku. "Kayaknya udah mati deh. Mau dikubur sekarang atau besok?"

"Ya, besoklah. Masak ngubur malam-malam?" tukas saya sebal. Saya baru mandi, dan malam itu waktunya beristirahat.

Pagi esoknya, saya tidak bersemangat bangun sementara begitu terang ibu saya langsung mencari tempat di halaman. Mau enggak mau, saya turun juga untuk membantu ibu saya menggali tanah yang keras dengan peralatan seadanya. Lubang yang bisa kami buat pun enggak dalam dan lebar, padahal kucing itu mati dalam keadaan memanjang--ukurannya sudah agak besar ketimbang kucing-kucing lain yang pernah kami kubur sebelumnya di halaman. Malah, ujung ekornya sempat enggak tertutup oleh tanah, saking kurang dalam dan lebarnya lubang itu. Saya membolehkan ibu saya menambahkan tanah dari pot-pot bekas hasil percobaan saya berkebun yang lagi-lagi terbengkalai. Saya meratakannya dengan bagian bawah sekop lalu pergi, tidak hendak melihatnya lagi.

Simpulan

Sikap orang terhadap kucing kurang lebih ada tiga:
  • Benar-benar sayang. Tidak sekadar memberi makan, tapi juga merawat dan membersihkannya. Bahkan rela mengeluarkan uang untuk mengebirinya agar tidak ada lagi generasi baru anak-anak kucing yang telantar.
  • Sekadar suka memberi makan, tapi enggan mengurusnya lebih lanjut. Tidak rela mengeluarkan uang untuk mengebiri. Masih punya ketegaan membuang kucing ke tempat jauh, atau, istilah yang lebih "enak": melepasliarkan--seperti yang LSM-LSM lakukan pada hewan-hewan seperti orangutan, macan, dan sebagainya ke hutan, sehingga mereka bisa mencari makan sendiri dan berinteraksi dengan sesamanya secara alamiah.
  • Enggak suka sama sekali. Langsung mengusir begitu didekati. Bahkan ada yang sampai melempari dengan batu atau menyiram dengan air panas.
Sebagai golongan menengah atau nanggung, sikap kami terhadap kucing mungkin antara guilty pleasure dan buah simalakama. Enggak diberi makan, kasihan. Diberi makan, hitung-hitung sedekah tapi malah mengakibatkan kebergantungan.

Jumat, 27 September 2019

Mulai Belajar Menggambar dan Mewarnai dengan Buku untuk Anak TK/PAUD--Berapa Pun Usiamu

Semasa kuliah, saya berpikiran untuk meneruskan berlatih menggambar. Bukan berarti sebelumnya saya pernah rutin berlatih menggambar sih. Cuma sewaktu SMP sepertinya saya cukup sering menggambar, sampai berangan-angan muluk jadi mangka yang bekerja di Jepang.

Tapi rupanya saya enggak punya cukup passion dalam kegiatan ini sehingga bisa konsisten mencoba atau mencari sebanyak-banyaknya referensi. Saya menggambar sesekali atau sesukanya saja.

Ketika kuliah timbul pikiran untuk memulai lagi, saya mencari panduan, mulai dari internet (waktu itu Youtube belum sepopuler sekarang) hingga Buku Besar Menggambar terbitan Erlangga, meniru model di majalah, juga membeli buku gambar A3 beserta berbagai alat mewarnai.

Tapi, panduan yang saya peroleh agaknya kurang menarik atau terlalu kompleks. Saya pikir saya bisa mulai menggambar dan mewarnai asal saja. Saya pun mencoba. Karena hasilnya jelek, saya tidak tertarik untuk meneruskan.

Di samping itu, sepertinya saya enggak memiliki tujuan yang cukup kuat untuk menjaga kegiatan itu agar terus berlangsung. Sepertinya tujuan saya menggambar hanya untuk bersenang-senang. Tapi, kita tahu, betapapun banyaknya kesenangan di dunia ini, sesungguhnya semua itu fana. (#apasih)

Baru-baru ini, lama setelah saya bukan lagi mahasiswi, timbul kembali pikiran untuk kembali menggambar--belajar menggambar. Kali ini, saya punya tujuan--please, jangan ketawa: bikin kover buku sendiri. Memang, enggak semuluk jadi mangaka yang bekerja di Jepang. Soalnya, platform kepenulisan digital sekarang ini menuntut penulis untuk sekaligus menjadi desainer grafis.

Maksudnya, kalau kita mau memajang tulisan di platform semacam itu, sebaiknya kita menampilkan kover yang menarik pengunjung untuk mengeklik. Don't judge book by its cover itu bullshit. Beberapa teman telah mengajukan beberapa masukan soal kover. Tapi saya merasa tidak bisa mengandalkan aplikasi ataupun membayar orang untuk itu. Ekspektasi saya membubung: kalau saya mesti merancang kover sendiri, maka kover itu mestilah meaningful--paling enggak, dapat memberikan gambaran mengenai isi cerita, bukan soal estetika semata. Aplikasi paling-paling memberikan gambar yang begitu-begitu saja, sementara saya segan meminta bantuan orang lain agar dapat memenuhi selera saya (rewel sih).

Resolusi: sebaiknya saya belajar mendesain kover sendiri.

Oke, mungkin itu gagasan yang konyol.

Tapi, di samping tujuan praktis sebagaimana di atas, ada motivasi lain, sehubungan dengan cerita yang lagi berkembang di dalam kepala saya, yang sudah saya utarakan di sini. Saya pikir, untuk mendalami seseorang yang suka menggambar, sebaiknya saya juga menggambar, apalagi dulu memang saya pernah suka menggambar. Jadi, ini sekadar melanjutkan hobi yang tersendat-sendat.

Ditambah lagi, waktu saya leluasa. Karena menggambar merupakan kegiatan hidup yang enggak penting amat (paling enggak, bagi saya yang baru memulai dan sama sekali bukan profesional), maka saya menempatkan waktunya di akhir hari--satu jam sebelum tidur.

Jadi, mulai dari mana?

Di Youtube ada banyak video yang menerangkan tentang dasar-dasar menggambar dan mewarnai. Saya bisa memutar satu video sehari, lalu mempraktikkan yang ditunjukkan. Tapi, rekomendasi video di Youtube cenderung random, iya enggak sih?

Sejak kapan beberapa teman telah merekomendasikan aplikasi Ipusnas kepada saya, namun baru belakangan ada sesuatu dari dalam diri saya sendiri (#apasih) yang mendorong saya untuk memanfaatkannya. Iseng saya masukkan kata kunci 'menggambar' di kolom pencarian dan menemukan daftar buku terkait. Memindai judul-judulnya, saya pun mengeklik buku teratas yang kiranya paling mudah untuk dipraktikkan.

Gambar diambil dari sini.
Buku ini ditulis oleh Inda Nashira, diberi ilustrasi oleh Pandu Dharma, dan diterbitkan Penerbit Zikrul Hakim Lini Gurita cetakan 1, Maret 2014. Karena labelnya "Usia 3+ Tahun", bukan "Usia 3-7 Tahun" atau semacam itu, maka enggak apa-apa dong yang 2*sensor* tahun memanfaatkan buku ini juga?

Saya pun mengunduhnya. Setelah melihat-lihat isinya, perkiraan saya tepat. Buku ini menunjukkan langkah yang sesimpel-simpelnya untuk menggambar aneka hewan, dimulai dari bentuk geometris dasar seperti lingkaran, segitiga, atau persegi panjang, kemudian tambahkan garis-garis lainnya hingga dalam beberapa tahap saja sudah menyerupai wujud yang dimaksudkan.

Karena pada awalnya saya belum siap menggunakan pewarna (tadinya saya ingin belajar menggunakan cat air saja), saya pun mengikuti setiap langkah hanya dengan pensil dan notebook (yang belum saya isi lagi sejak SMA) sebagai berikut.




Tidak disangka, saya merasakan nikmat dalam menarik setiap garis. Kalau tanpa panduan, saya mungkin akan cepat menyerah karena hasilnya akan terlalu abstrak. Dengan panduan, walaupun hasilnya enggak mirip amat dengan yang dicontohkan, sedikit kemiripan rupanya cukup untuk menerbitkan kebanggaan tersendiri.

Saya pun mulai memerhatikan tulisan pada "Kata Pengantar" dan "Petunjuk Orang Tua".

Rupanya kegiatan menggambar ini memiliki beberapa manfaat:
  • melatih kelenturan otot jari tangan dan koordinasi motorik halus, serta
  • membantu mengembangkan imajinasi dan otak.
Hei, tapi kan itu untuk anak-anak TK dan PAUD.

Tapi, tapi, tapi, apakah saya sebagai orang "dewasa" yang berusia sekitar tujuh kali lipat dari anak-anak TK dan PAUD tidak boleh terus melatih kelenturan otot jari tangan dan koordinasi motorik halus serta mengembangkan imajinasi dan otak? Apakah saya tidak berhak terus mengembangkan aspek-aspek kemampuan saya?

Apalagi ini didukung oleh Undang-undang, Pasal 31 (sebelum amandemen) Ayat (1): Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Setelah amandemen, kata "pengajaran" diganti dengan "pendidikan", dengan alasan bahwa pengertian yang pertama lebih sempit daripada yang kedua, tapi toh khusus untuk hal ini saya lebih suka kata yang pertama--"pengajaran" menggambar!

Di "Petunjuk Orang Tua", rupanya alat yang disarankan untuk menggambar adalah krayon.

Sebetulnya saya enggak suka krayon, karena rujit. Selain itu, saya enggak begitu terbiasa menggunakannya sehingga sepertinya hasilnya enggak bakal tampak indah. Tapi apa boleh buat. Lagi pula di rumah tersedia banyak krayon bekas yang campur aduk dari berbagai merek: Crayola, Faber Castell, Pentel .... Ada yang berukuran besar, ada pula yang kecil. Saya memilih krayon yang berukuran kecil saja.

Karena menggambar dengan menggunakan krayon sepertinya memerlukan kertas tebal, maka saya pun menggunakan buku sketsa A5 Kiky isi 50 lembar yang--alhamdulillah--juga sudah tersedia beberapa secara cuma-cuma di rumah. Buku tersebut bekas adik saya sehingga sebagian besar halamannya sudah terisi oleh coretan pensil keababil-ababilan, namun masih terdapat beberapa yang kosong dan layak untuk dimanfaatkan daripada mubazir--iya enggak, iya enggak?

Seperti sebelumnya, saya memulai sesuai dengan urutan halaman, yang dimulai dari ayam jago.

Karena masih enggak yakin dengan krayon, untuk membuat garis luar pada awalnya saya menggunakan spidol hitam untuk papan tulis.

Ternyata kertas buku sketsa enggak cukup tebal karena warna masih bisa tembus ke baliknya.



Ketika menggambar ayam jago ini, saya mendengar penggalan lagu yang berhubungan. Untuk meramaikan pemandangan, saya tuliskan saja liriknya. Walau sedang belajar mengembangkan media yang berbeda (visual), rupanya saya masih belum bisa jauh-jauh dari kata (verbal).


Mendengar penggalan lagu yang berhubungan rupanya terus terjadi sementara saya menggambar binatang yang lain. Terus saya tuliskan liriknya yang saya ingat.



Karena spidol hitam-untuk-papan-tulis yang tersedia di meja saya sudah menipis, maka saya berpikiran untuk menggunakan spidol biasa warna-warni--bekas--yang juga tersedia banyak di rumah.

Maka beginilah pemandangan saya setiap malam belakangan ini. Untuk menghindari kesulitan tidur, sudah lama, setelah magrib, saya hanya menyalakan lampu meja yang remang-remang. Memang akibatnya kadang-kadang tidak begitu mudah membedakan warna--terutama warna-warna gelap atau yang terlalu cerah seperti kuning--juga tidak awas terhadap garis. Tapi keuntungannya: enggak terang amat kalau hasilnya jelek.

Spidol di kanan. Krayon di kiri. Tablet yang memuat buku digital sebagai panduan.
Buku sketsa di tengah-tengah.
Pada awalnya saya sekadar memberikan warna, mau bagaimanapun caranya. Tapi kemudian saya berpikir bahwa jangan-jangan ada petunjuk tentang cara menggunakan krayon yang baik dan benar, alih-alih asal mewarnai. Practice makes perfect, they say. But improper way of practice would lead you nowhere (seperti yang telah terjadi dengan menulis)

Maka saya pun memulai slot yang satu jam dengan menonton satu video Youtube tentang cara menggunakan krayon, atau belakangan sekadar memandangi tangan orang melukis pemandangan dengan oil pastel (yang selama ini saya anggap sama saja dengan krayon). Saya baru mengetahui bahwa ternyata krayon perlu ditekan kuat-kuat, jangan sampai menyisakan yang "putih-putih", dan arah goresan sebaiknya konsisten. Di samping itu, ada trik-trik untuk mencampur warna-warni krayon agar terlihat halus, misalkan dengan menggunakan cotton bud yang telah dibasahi baby oil atau lipatan tisu, juga cara membersihkan hasil dari residu krayon dengan alat tertentu.

Sementara ini, yang saya praktikkan baru menyingkirkan residu dengan tisu dan menekan krayon kuat-kuat ternyata perlu tenaga ekstra!



Soal mewarnai, saya hampir-hampir enggak pernah tertarik untuk membeli buku mewarnai ala-ala mandala yang katanya terapeutik itu. Buat saya, sepertinya buku semacam itu malah bakal berefek sebaliknya: menjengkelkan. Soalnya, saya tahu saya enggak pandai mewarnai. Sebelum ini, bertahun-tahun lalu, ketika orang tua masih berlangganan Pikiran Rakyat yang mengandung Peer Kecil setiap Minggu, saya pernah mencoba mewarnai gambar yang tersedia untuk diwarnai dan dikirimkan ke redaksi (tentu saja saya enggak mengirimkannya, gile lu, Ndro!). Saat itu saya menggunakan pensil warna dan hasilnya sungguh tidak memuaskan, meskipun sampai sekarang masih saya pajang di dinding kamar. Saya enggak suka mewarnai karena bingung memilih/memadumadankan warna. Maka dalam kegiatan ini, saking enggak kreatifnya saya, setiap warna yang saya bubuhkan pada gambar mengikuti saja yang dicontohkan dalam buku.

Di sisi lain, saya suka bahwa saya mesti menggambar dulu untuk bisa mewarnai. Betapapun enggak kreatifnya saya sesudah itu, paling tidak saya masih dapat terlibat dalam suatu "aspek penciptaan". Saya mungkin tidak kreatif dalam memadumadankan warna, tapi sepertinya saya suka dapat menciptakan bentuk--atau malah pada dasarnya adalah konsep, seperti sewaktu saya mengusulkan format buku tahunan untuk kelas saya saat SMA tapi mengenai isinya bagaimana saya serahkan kepada yang lain-lain.

Hence, with this book, drawing and coloring have never been so fun! Namanya pemula yang tidak tahu arah, cara paling aman adalah dengan menirukan saja, tapi buku ini menginstruksikan agar tetap ada kesempatan untuk mencipta sendiri.

Iya, iya, harusnya "cicak".
Omong-omong, saya enggak selalu menemukan lagu pengiring untuk setiap binatang yang saya gambar.



Adakalanya saya berpikir, "Anak TK aja masih bisa lebih bagus daripada ini." Tapi, hei, saya enggak lagi mengikuti lomba menggambar dan mewarnai bareng anak-anak TK. Lagi pula, buku ini menyarankan agar orang tua memberikan pujian pada anak jika dapat menyelesaikan latihannya dengan baik. Dengan baik, kan, bukan dengan bagus. (#ngeles) (Walau entah juga pengertian baik itu yang bagaimana.)

Tapi anak yang satu ini skeptis bila dipuji.


Lagu pengiring yang saya dengar enggak selalu memuat binatang yang bersangkutan dalam lirik. Contohnya untuk beruang. Saya hanya ingat di videoklip The Dears, "22 The Death of All The Romance" sepertinya ada (boneka) beruang. Karena enggak ada lirik yang berhubungan, maka saya cantumkan saja kata atau frasa yang melintas bak meteor.





Lagi-lagi, lagu yang disambung-sambungin aja.


Sampai pada suatu waktu, saya berpikir, daripada mendengarkan musik yang katanya haram (#eh) kenapa enggak mendengarkan kajian saja? Atau apalah, pokoknya yang ada orang bicara memberikan pengetahuan. Sepertinya itu akan menjadikan aktivitas menggambar lebih berfaedah. Maka saya pun menyetel video-video dari channel Kuliah Psikologi. Rupanya ada perbedaan suasana yang signifikan. Terus terang, saya merasa lebih asyik dan imajinasi saya lebih "main" (padahal cuma meniru persis seperti yang ada di buku) saat mendengarkan lagu ketimbang kuliah. Mendengarkan kuliah tidak memunculkan apa-apa di kepala saya yang dapat saya tambahkan di kertas.






Di satu sisi, kegiatan ini mengasyikkan, seperti membiarkan inner child saya keluar dan berekspresi, tanpa khawatir atau takut akan salah atau diejek. Di sisi lain, keasyikan tersebut agaknya ternyata guilty pleasure; di saat orang-orang "dewasa" sebaya saya, pada waktu yang sama, tengah mengganti popok anak bayinya, atau menghitung cash flow usaha daringnya, saya malah melakukan aktivitas yang "tidak produktif" (entahkah secara finansial ataupun seksual, dua hal yang sepertinya, selayaknya, mengisi kehidupan seorang dewasa "normal"). Nah, I am mere a girl inside and girls just wanna have fun!


Tapi, tapi, tapi, seandainya pada usia ini saya sudah punya anak usia TK atau PAUD, tentunya saya tidak akan melakukan aktivitas ini sendirian; tentu mengasyikkan sekaligus edukatif jika kami bisa menggambar sekalian menyanyi bersama-sama (dan kalau ternyata gambar dia lebih bagus saya enggak bakal mengambek sambil menjejak-jejakkan kaki). Maybe I am just nurturing a child that should have been there.






Sayangnya, untuk lagu tentang katak (sebenarnya "kodok) yang muncul di kepala saya, saya tidak bisa menemukannya di Youtube. Kalau enggak salah, lagu itu dinyanyikan seorang penyanyi anak-anak tahun '90-an bernama Sofi (entah benar cara menuliskannya atau enggak).

Katak adalah binatang terakhir dalam buku ini. Di halaman berikutnya ada latihan dengan petunjuk agar memberikan tanda centang pada binatang berkaki dua dan tanda silang pada binatang berkaki empat. 

Jadi, berapa banyakkah binatang yang ada dalam buku ini? Mana yang berkaki dua dan mana yang berkaki empat?

Saya senang bisa mengerjakan semua latihan--kecuali yang terakhir, tentu saja--dalam buku ini. Kalau ada rezeki, sepertinya lebih baik memiliki buku cetaknya daripada meminjam versi digital di aplikasi Ipusnas. Pertimbangan:
  1. Ukuran buku ini sampai 80 MB, jauh lebih besar daripada buku-buku lainnya di Ipusnas. Makan waktu agak lama untuk mengunduh dan membukanya.
  2. Waktu peminjaman terbatas. Setelah tiga hari, buku ini akan menghilang dan perlu diunduh ulang yang butuh kesabaran lagi.
  3. Kalau saya punya anak, sepertinya sebisa mungkin saya ingin menjauhkan dia dari paparan media digital (yang adiktif itu!) pada tahun-tahun awalnya.
Karena untuk kepentingan sendiri, saya cukup puas dengan yang disediakan Ipusnas. Terima kasih Ipusnas. Saya siap memanfaatkanmu untuk seterusnya, hihihi. Untuk sementara, dalam belajar menggambar dan mewarnai dengan memanfaatkan sarana ini, sepertinya saya akan meminjam buku-buku yang simpel semacam ini dulu (: untuk anak TK dan PAUD) baru beranjak ke buku-buku yang mulai kompleks.

Senin, 09 September 2019

Bandung Readers Festival 2019 Hari Terakhir

Sepertinya baru tahun ini ada Bandung Readers Festival. Ini macam yang di Ubud dan Makassar itu kali, ya, cuma minus Writers. Acara ini diadakan pada 3-8 September 2019 di berbagai tempat; dua hari terakhir di Museum Gedung Sate--sebelah luar--dari pukul 9 pagi sampai sore atau malam.

Dari lima hari itu, saya datang cuma pada hari terakhir, yaitu Minggu, tentu saja karena ada barengannya. Kami duduk di dua talk show.

Talk show pertama diadakan pukul 9 pagi (tapi ngaret). Judulnya "Relasi Penerbit, Pembaca, dan Platform Digital", dengan moderator Rio Tuasikal dan narasumber: Aulia Halimatussadiah, Sari Meutia, dan Abduraafi Andrian.

Talk show kedua diadakan pukul 13 siang (kali ini kami yang telat datang). Judulnya "Kesetaraan dan Keragaman dalam Sastra Indonesia: Pengalaman Pembaca", dengan moderator Rena Asyari dan narasumber: Lily Yulianti Farid, Mona Sylviana, dan Aquarini Priyatna.

Di sela kedua acara itu terdapat "Taaruf Buku: Novel Fantasi dan Sci-Fi" dengan moderator Jisu. (Tapi yang satu ini kami tidak ikut.)

Demikianlah yang tertera di jadwal.

"Relasi Penerbit, Pembaca, dan Platform Digital"

Masing-masing narasumber mewakili penerbit mayor Mizan (Sari Meutia), platform digital Storial (Aulia Halimatussadiah), dan komunitas pembaca cerita fantasi di Wattpad (Abduraafi Andrian). Saya bisa relate dengan beberapa fenomena yang dikemukakan, di antaranya yang menyangkut platform digital serta pembajakan e-book.

Belakangan ini memang saya lagi mencoba-coba platform-platform digital itu, terutama Storial. Saya mengalami beberapa masalah yang adakalanya menghangatkan obrolan dengan beberapa teman curhat. Ketika sesi tanya jawab, sebetulnya saya gatal untuk melontarkan langsung curahan hati ini (eaaa) kepada yang empunya Storial. Tapi, mendengar bahwa mbaknya sesungguhnya punya visi "empowering", dan kenyataan bahwa Storial sendiri baru ada pada 2016 (: usianya masih balita), saya jadi maklum bahwa sepertinya masih terlalu dini untuk mengemukakan persoalan yang menggelisahkan saya ini.

Soal pembajakan e-book, saya skeptis. Sudah rahasia umum bahwa kebanyakan dari kita merupakan penikmat barang bajakan. Adakalanya, kita harus mengeluarkan uang untuk memperoleh barang bajakan. Tapi, sering kali, barang bajakan bisa diperoleh secara cuma-cuma. Nah, kalau untuk mengeluarkan uang, memang sebaiknya kita pikir-pikir dahulu. Tapi, kalau gratisan, kenapa tidak? Pola pikir mumpung gratis ini yang sulit diubah.

"Kesetaraan dan Keragaman dalam Sastra Indonesia: Pengalaman Pembaca"

Ketika kami memasuki acara ini, Bu Lily sudah angkat suara, dilanjutkan oleh Bu Aquarini, lalu sesi tanya jawab. Sayang sekali kami melewatkan Bu Mona. Peserta dalam talk show kali ini tampak lebih padat daripada yang sebelumnya.

Bu Lily membahas tentang karya-karya sastra perempuan yang mengangkat keragaman (: kearifan lokal, sejarah, begitulah). Adapun Bu Aquarini tentang berbicara tentang definisi sastra Indonesia, waktu luang atau privilese membaca, sampai pertentangan-pertentangan dalam kehidupan berliterasi (membaca vs menonton Youtube, membaca untuk menikmati vs membaca untuk mengkritisi, karya serius vs karya populer, dan sebagainya)--isu-isu yang relatable sebab sangat keseharian.

Talk show kali ini ditutup dengan testimoni dari salah seorang peserta, yang rupanya ibu guru dari Kabupaten Bandung Barat. Beliau mengatakan bahwa pemerintah Kabupaten Bandung Barat telah berinisiatif untuk memberikan penghargaan bagi murid yang dapat membaca tiga buku fiksi dalam sebulan selama tujuh bulan.

...

Saya memperoleh informasi tentang acara ini dari kiriman teman di WA, berupa pesan undangan yang diteruskan berikut PDF berisi jadwal. Sayang sekali di PDF tidak disebutkan bahwa untuk mengikuti tiap-tiap acara mesti mendaftar terlebih dahulu karena ada kuota. Memang untuk acara pada hari terakhir itu kami dapat mendaftar di lokasi. Tapi untuk acara yang lain, misalkan acara Jumat dengan pembicara Zen RS, agaknya harus dilakukan di tempat masing-masing jauh-jauh sebelum hari H. Informasi tentang pendaftaran ini ada di Instagram. Agaknya literasi bukan cuma soal baca buku tapi juga melek media sosial paling hype.

Membaca judul-judul acara, saya pikir akan mendapat afirmasi dari isu-isu literasi yang selama ini tebersit di dalam kepala saya. Memang begitu. Hanya saja, acara semacam ini, karena keterbatasan waktu, dan juga faktor kepribadian (: enggak semua peserta bisa spontan mengacungkan tangan dan tanpa segan menyatakan pendapat saat sesi tanya jawab dibuka, biarpun di dalam kepalanya ada banyak tanggapan yang berkeliaran), enggak memungkinkan terjadinya diskusi lepas.

Meskipun festival ini mempertemukan para pelaku membaca dan menulis--yang biasanya merupakan aktivitas soliter--bukan berarti juga mereka seketika menjadi teman dan dapat berbagi--tidak lagi sepi.

Kendati sudah terafirmasi, permasalahan-permasalahan itu tetap bergumul di kepala sendiri. Resolusi tetap harus ditemukan sendiri.

Memang sore itu terlintas beberapa poin di dalam kepala saya:

1) Terus menulis dengan sebaik-baiknya, sebagus-bagusnya, biarpun hanya menurut standar pribadi, itu harus. Kalau tidak begitu, itu berarti melecehkan upaya belajar yang dilakukan selama ini.

2) Kita yang hidup pada masa ini telah begitu dimanjakan dengan tersedianya blog, media sosial, platform digital, dan semacamnya, tempat kita dapat mempublikasikan tulisan kita--bagaimanapun kualitasnya--secara cuma-cuma (: cuma perlu gadget, koneksi internet, waktu luang, dan seterusnya). Bagaimana tulisan kita akan mndapatkan pembacanya, serahkan saja kepada algoritme--atau apa pun itu istilahnya. Tugas kita cukup taruh tulisan itu di tempat yang dapat diakses orang.

3) Terimalah aktivitas literasi sebagai jalan sunyi. Hentikan keluh-kesah kepada orang lain yang padahal juga punya permasalahannya sendiri, dan menjalaninya sendiri (dan itu tidak mesti juga berupa aktivitas literasi, halah, mati pun sendiri, menanggung amal sendiri).

4) Senyampang memiliki privilese itu, saya mesti memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.

...

Usai talk show kedua, selepas salat asar di masjid dalam kompleks Gedung Sate, agak jauh di seberangnya, bersama beberapa teman yang datang belakangan kami duduk-duduk di bawah naungan pohon, mendiskusikan berbagai fenomena kekinian, mulai dari film-film terbaru sampai media zadul vs media kekinian. Suasananya sungguh tenang dan adem.

Seorang teman yang baru datang lalu mengajak kami ke acara di samping Gasibu, semacam festival juga, tapi bertemakan kuliner dari produsen keju. Kami pun menyudahi diskusi dan beranjak, keluar dari kompleks Gedung Sate. Keramaian seketika tampak dari seberang jalan.

Area festival itu dibatasi. Orang yang keluar diberi tanda. Suara dari speaker luar biasa menggetarkan dada, memekakkan telinga. Sembari berjalan menuju pintu satunya, dari sebelah luar, kami mengamati betapa padatnya keramaian di balik pagar itu. Sebagian besar dari kami pun undur diri sebab ternyata bukan penggemar keramaian, malah jadi gelisah.

Kedua acara ini sama-sama menghadirkan deretan-deretan tenda. Deretan tenda di dalam sebelah luar Museum Gedung Sate menyajikan buku, sementara di samping Gasibu menyuguhkan makanan. Maklumilah bahwa makanan merupakan kebutuhan primer, sedangkan buku kebutuhan tersier--really, hal ini diamini di talk show kedua: memiliki waktu luang untuk membaca merupakan privilese. Jadi, enggak usah heran kalau dari membandingkan kedua acara ini terlihat seolah-olah orang lebih suka makan daripada baca--biarpun yang terakhir itu perintah pertama dari Tuhan.

...

Terima kasih kepada pihak penyelenggara Bandung Readers Festival. Tidak hanya menghadirkan acara-acara berfaedah secara gratis, mereka juga menyajikan galon-galon untuk isi ulang air minum secara cuma-cuma. 

Rabu, 04 September 2019

Horor Psikologis yang Mudah-mudahan Enggak Bikin Makin Takut Kawin

Setelah berbulan-bulan, teman saya kembali mengajak saya menonton bioskop: Ready or Not. Saya mengiyakan saja, yang penting menyambung silaturahmi yang sudah lama tertunda. Setelah itu, barulah saya googling tentang film tersebut. Ini Youtuber andalan saya dalam mencari bocoran tentang film terkini. (Soalnya dia kadang-kadang memberikan full spoiler sih, yang cukup bikin saya merasa enggak perlu menonton langsung, haha.)


Saya terkejut karena Ready or Not ternyata film "SADIS". Tidak puas, saya mencari informasi tentang film ini di Wikipedia--yang dengan baiknya membeberkan alur cerita secara lengkap tanpa aba-aba spoiler alert. (Saya bukan orang yang peduli spoiler, lagian.)

Berikut paragraf terakhir dari uraian plot di Wikipedia (SPOILER ALERT!!!).
While the house burns down, Grace briefly sees the spirit of Mr. Le Bail sitting in a chair, who appears to approve of her survival. As morning breaks, Grace sits on the estate's steps while it burns behind her and smokes a cigarette as first responders arrive. When one of the responders asks what happened, Grace replies "In-laws."
Belum menonton film ini saja, seketika saya sudah dapat menyimpulkan: "Pernikahan itu berdarah-darah, and that can be literal, enggak mesti kayak di film ini sih, tapi 'berhubungan' untuk pertama kali dan melahirkan anak itu kan sepertinya bakal mengeluarkan darah. Belum lagi darah yang mengucur dari luka batin akibat berkonflik dengan keluarga mertua. Hm, apakah film ini dibuat supaya saya orang pada makin takut kawin?" (Lantas saya teringat pada obrolan dengan teman saya yang lain berbulan-bulan. Dia sudah beberapa tahun menikah dan punya dua anak. Dia bilang, menikah mah siap enggak siap, seolah-olah ready or not, kalau sudah jodohnya, ya, mesti dijalani.)

Yang berdarah-darah sama sekali bukan kesukaan saya yang berjiwa halus ini (eh?).

Tapi ini mungkin bisa jadi suatu pengalaman baru yang seru.

Mendekati hari pertemuan, muncul alternatif: Gundala. Walaupun sebetulnya saya sama-sama tidak begitu berminat, tapi ekspektasi saya film satu ini enggak bakal sesadis yang sebelumnya. 

Tapi, anyway, teman saya lebih condong pada Ready or Not.

Ya sudah.

Ketika Grace bercermin dengan rok pengantin yang sudah dirobek, sepatu kets
bulukan, sambil menyandang peluru dan pistol laras panjang, dia sendiri terkesima
 dan saya pun ikut-ikutan. Gambar dari IMDb.
Maka, Selasa kemarin, dalam perjalanan menuju Trans Studio Mall, saya masih terus menyugesti diri bahwa saya akan siap menghadapi adegan sesadis apa pun.

Tiket seharga Rp 35.000 pun dibeli. Sembari menunggu pemutaran pada pukul 13.00 WIB, kami makan dan salat dulu, lalu menunggu di sofa tepat di seberang pintu Studio 3.

Pintu Studio 3 dibuka. Tiket disobek. Kami duduk di bangku B, saya nomor 8, teman saya nomor 9. Iklan demi iklan ditayangkan, sebagian merupakan trailer film. Saya takjub betapa di bioskop pemandangan yang sangat vulgar boleh dipertontonkan di muka umum--yang enggak bakal terjadi di televisi dengan KPI (padahal saya sendiri sangat jarang menonton televisi, so TH).

Film pun dimulai, dibuka dengan menit-menit menuju acara "ijab kabul" antara si tokoh utama dan kekasihnya. Karena sudah membaca full spoiler di Wikipedia, saya tahu yang bakal terjadi selanjutnya--sepanjang sisa film itu. Belum apa-apa, saya sudah merasa ngilu dan menyesal telah mengiyakan ajakan menonton film ini. Kenapa tadi enggak maksa nonton Gundala ajaaa ....

Mendengar saya mengeluhkan soal hawa bioskop yang dingin, teman saya yang pemotor dengan baiknya meminjamkan jaketnya kepada saya, yang lalu saya sampirkan di bagian depan tubuh. Jaket ini, di samping menahan dingin, rupanya berguna juga sebagai tabir ketika saya mengantisipasi akan terjadinya adegan "seram". Berkali-kali saya mengangkat jaket menutupi wajah. Malah kadang saya menutup kedua telinga juga. Mulut juga mesti dibungkam supaya saya enggak kelepasan teriak di tempat umum begini. Jadi enggak pasti mana yang mesti ditutup, saya berasa three wise monkeys.


Film ini benar-benar memerlukan kebijakan pemirsa!!!

Teman saya, yang otomatis memerhatikan pergerakan saya, mengingatkan bahwa ini bukan film horor. Tapi toh menurut saya horor itu enggak mesti melibatkan manusia. Adakalanya manusia bisa lebih menyeramkan daripada hantu. Paling enggak, manusia kelihatan, hantu enggak. Yang kelihatan dan kerap mengganggu lebih menyeramkan daripada yang enggak kelihatan dan enggak pernah mengganggu. (Ya, iyalah.)

Anyway, mau enggak mau, saya enggak bisa terus-terusan menutup mata, telinga, dan mulut, sebab tangan saya cuma satu pasang alih-alih tiga. Lagian, saya sudah bayar Rp 35.000! Masak sepanjang film cuma meringkuk sambil memejamkan mata, menutup kedua telinga, dan mengatupkan mulut erat-erat?! Ready or not, kalau enggak mau rugi, film ini mesti di"nikmat"i.

Berangsur-angsur, saya pun menegarkan diri dan menghadapi "kenyataan" (WTF!), sebagaimana halnya si tokoh utama.

Beneran. Memang saya bukan pemerhati film, jadi kesan saya ini mungkin bisa diperdebatkan: akting pemainnya keren banget, terutama si tokoh utama.

Ketika mengetahui bahwa dirinya hendak dijadikan tumbal keluarga Le Domas, terlihat jelas ekspresi takut, syok, dan semacam itu pada wajahnya. Maksudnya, itu ekspresi yang sangat-sangat wajar, manusiawi. Dia enggak serta-merta jadi sosok wanita tangguh yang sanggup mengatasi "tantangan" itu dengan muka baja. Kerap kali dia menampakkan frustrasi, memaki dan berteriak sekencang-kencangnya. Adakalanya dia menyugesti diri bahwa dirinya akan baik-baik saja. Seandainya saya ada di posisi dia (AMIT-AMIT NAUDZUBILLAH MIN DZALIK!), agaknya begitu juga ekspresi yang saya keluarkan. Saking "masuk"nya, ketika dia ngos-ngosan, saya ikut-ikutan.

Malah kewajaran ekspresi ini sebetulnya sudah dimunculkan sejak awal sekali, ketika Grace merokok untuk mengatasi kegugupannya sebelum "ijab kabul". Dia tahu keluarga calon suaminya menyebalkan, tapi motivasinya untuk menikah dan punya "keluarga" kuat sekali. (Dia dibesarkan oleh keluarga asuh.) Tanpa harus berada dalam konteks film ini pun, kita pada umumnya mafhum bahwa pernikahan otomatis menyertakan konsekuensi-konsekuensi yang berhubungan dengan keluarga pasangan (: mertua, ipar) sehingga harus siap mental soal itu juga.

Saya juga mencoba memahami kegalauan atau konflik batin yang mestilah dirasakan oleh si suami--Alex. Dia tahu bahwa keluarganya punya tradisi kejam, tapi dia enggak bisa menolak motivasi Grace. Bukan hanya itu, lebih daripada cinta, Alex juga punya motivasi untuk "memiliki" Grace. Dia tahu taruhannya, tapi dia enggak mengatakannya secara terus terang, blak-blakan, terperinci, mendetail, gamblang, dan sebagainya, mengenai tradisi keluarganya, kepada Grace. Dia takut, kalau Grace mengetahui semuanya, wanita itu bakal lari dari dia.

Lain dengan kakak Alex, Daniel, yang agaknya benar-benar sudah muak terhadap keluarganya. Dari dialog tersirat bahwa sebelum menikah dengan istrinya, Daniel telah menceritakan semua-muanya secara menjelimet. Namun, Charity tetap mau masuk ke keluarga Daniel, dan bilang, "Kamu tahu latar belakangku." Dari situ kita bisa menduga bahwa istri Daniel ini punya prinsip: "Daripada enggak kaya, mending mati sekalian."

Ketika memulai paragraf di atas, saya jadi menyadari akan pentingnya "motivasi" dalam menggerakkan cerita. Hal ini sebelumnya saya dapatkan dari buku Richard Krevolin, Rahasia Sukses Skenario Film-film Box Office (Penerbit Kaifa, Bandung, cetakan pertama, Oktober 2003), dan masih berusaha saya geluti (: memahami dan menerapkan) ketika mengarang cerita saya sendiri. 

Motivasi terbungkus dalam karakterisasi. Seyogianya tiap tokoh yang berperan--besar atau kecil--punya karakter tersendiri.

Karakter-karakter lainnya memang menarik untuk diperhatikan. Ada Bibi Helene yang pernah mengalami nasib serupa dengan Alex. Ada ayah Alex yang agaknya menyesali nasib yang diturunkan kakek buyutnya. Ada ibu Alex yang sebenarnya menaruh harapan pada Grace tapi juga sangat mementingkan keutuhan keluarga. Ada Emilie--adik Daniel dan Alex--yang pencandu narkoba dan bersama suaminya, Fitch Bradley, agaknya tipe pasangan yang happy-go-lucky. Ada Stevens, pembantu yang setia dan penggemar musik klasik. Ada Georgie, anak Emilie dan Fitch, yang tampaknya mewarisi "kesadisan" keluarga. Ada para pelayan perempuan yang ketiganya mati sebagai korban "kecelakaan" atau kebodohan majikan, dengan suara sekarat yang mengganggu (dan kita jadi mempertanyakan apa motivasi mereka bekerja untuk keluarga semacam ini?).

Anyway, enggak semua tokoh perlu diberi porsi perkembangan karakter--cukup tokoh-tokoh tertentu yang berperan besar saja.

Perkembangan karakter merupakan daya tarik lainnya dari cerita yang bagus, paling tidak menurut saya. Ini membuat saya sebagai pemirsa merasa dilibatkan, atau diberi kesempatan untuk menggunakan "daya baca" saya--bahkan boleh jadi saya pun turut berkembang bersama karakter. Sebagaimana yang telah saya ungkapkan sebelumnya, Grace yang awalnya ketakutan berangsur-angsur dapat menghadapi situasi dan melawan balik (bisa jadi itu akibat insting survival). Saya pun yang awalnya sedikit-sedikit menutupi muka atau telinga lama-kelamaan dapat duduk tegak dan menghadapi apa pun yang akan disuguhkan layar (bisa jadi itu akibat insting "enggak mau rugi sudah telanjur bayar"). Sedikit demi sedikit sifat tokoh-tokoh lainnya pun terbuka. Daniel, sebagai kakak ipar yang awalnya tidak simpatik, kemudian malah menjadi penyelamat. Adapun, Alex, yang awalnya hendak menyelamatkan Grace, kemudian malah mau membunuhnya.

Bagaimanapun juga, pada akhirnya, mempertahankan keluarga adalah yang terpenting. Keluarga Le Domas seperti Keluarga Cemara versi gelap. Harta yang paling berharga adalah keluarga, indeed, apalagi kalau keluarganya bergelimang harta.

Meet The Le Domases. Gambar dari Variety.
Selain unsur-unsur instrinsik, dari film ini juga kita dapat mengambil pesan moral yang jelas: kekayaan memakan tumbal. Perwujudannya enggak mesti frontal dan bercipratan darah sebagaimana dalam film ini, dan contohnya mungkin bisa kita temukan dari daerah yang dekat-dekat. Kalau suka yang animistik, sebut saja tradisi pesugihan. (Seandainya film ini dibuat versi lokalnya, mungkin akan berjudul Pengantin Tumbal.) Kalau suka yang rasional, yah, sebut saja film Sexy Killers: pengusaha tambang batu bara dan konsumennya memperkaya diri dengan membuat kolam-kolam bekas tambang yang kemudian memakan banyak korban anak-anak.

Film ini juga menguatkan pesan bahwa sebelum menikah kita memang harus meninjau calon pasangan hidup dari bebet, bibit, dan bobot. Kalau dia kaya, mesti kita telisik sumber kekayaannya sampai ke sejarah keluarganya: jangan-jangan ada bantuan setan. Hiii!

Pada akhirnya, saya enggak jadi menyesal karena telah mengurung diri dalam ruangan gelap besar bersama sekian orang asing (--enggak banyak, tapi enggak begitu sedikit juga--) menonton film mengerikan ini. Ternyata ada banyak hal yang bisa saya dapatkan.

Memang ada beberapa adegan dan dialog saya lewatkan ketika saya sibuk menutup muka atau telinga, tapi saya merasa tetap mendapatkan kepuasan, keseruan, dan sensasi maksimal dari suatu pengalaman bioskop, yang agaknya baru saya peroleh lagi sejak Mad Max: Fury Road (2015) dan Jelangkung (2001). (Maklum, jarang ke bioskop.) Kedua lengan saya sampai pegal dan sesekali saya perlu mengembuskan napas keras-keras. Beberapa comic relief yang diselipkan rupanya enggak cukup mengena bagi saya, mungkin karena saya telanjur didominasi oleh pikiran bahwa film ini full "horor". Anyway, berkeliling-keliling Transmart di lantai bawah dan meludeskan sebagian besar jatah bulanan dalam sekejap efektif menepis suasana itu. (Hm, jadi itu sebabnya lokasi bioskop biasanya menyatu dengan pusat perbelanjaan ...???)

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain