Sepertinya baru tahun ini ada Bandung Readers Festival. Ini macam yang di Ubud dan Makassar itu kali, ya, cuma minus Writers. Acara ini diadakan pada 3-8 September 2019 di berbagai tempat; dua hari terakhir di Museum Gedung Sate--sebelah luar--dari pukul 9 pagi sampai sore atau malam.
Dari lima hari itu, saya datang cuma pada hari terakhir, yaitu Minggu, tentu saja karena ada barengannya. Kami duduk di dua talk show.
Talk show pertama diadakan pukul 9 pagi (tapi ngaret). Judulnya "Relasi Penerbit, Pembaca, dan Platform Digital", dengan moderator Rio Tuasikal dan narasumber: Aulia Halimatussadiah, Sari Meutia, dan Abduraafi Andrian.
Talk show kedua diadakan pukul 13 siang (kali ini kami yang telat datang). Judulnya "Kesetaraan dan Keragaman dalam Sastra Indonesia: Pengalaman Pembaca", dengan moderator Rena Asyari dan narasumber: Lily Yulianti Farid, Mona Sylviana, dan Aquarini Priyatna.
Di sela kedua acara itu terdapat "Taaruf Buku: Novel Fantasi dan Sci-Fi" dengan moderator Jisu. (Tapi yang satu ini kami tidak ikut.)
Demikianlah yang tertera di jadwal.
"Relasi Penerbit, Pembaca, dan Platform Digital"
Masing-masing narasumber mewakili penerbit mayor Mizan (Sari Meutia), platform digital Storial (Aulia Halimatussadiah), dan komunitas pembaca cerita fantasi di Wattpad (Abduraafi Andrian). Saya bisa relate dengan beberapa fenomena yang dikemukakan, di antaranya yang menyangkut platform digital serta pembajakan e-book.
Belakangan ini memang saya lagi mencoba-coba platform-platform digital itu, terutama Storial. Saya mengalami beberapa masalah yang adakalanya menghangatkan obrolan dengan beberapa teman curhat. Ketika sesi tanya jawab, sebetulnya saya gatal untuk melontarkan langsung curahan hati ini (eaaa) kepada yang empunya Storial. Tapi, mendengar bahwa mbaknya sesungguhnya punya visi "empowering", dan kenyataan bahwa Storial sendiri baru ada pada 2016 (: usianya masih balita), saya jadi maklum bahwa sepertinya masih terlalu dini untuk mengemukakan persoalan yang menggelisahkan saya ini.
Soal pembajakan e-book, saya skeptis. Sudah rahasia umum bahwa kebanyakan dari kita merupakan penikmat barang bajakan. Adakalanya, kita harus mengeluarkan uang untuk memperoleh barang bajakan. Tapi, sering kali, barang bajakan bisa diperoleh secara cuma-cuma. Nah, kalau untuk mengeluarkan uang, memang sebaiknya kita pikir-pikir dahulu. Tapi, kalau gratisan, kenapa tidak? Pola pikir mumpung gratis ini yang sulit diubah.
"Kesetaraan dan Keragaman dalam Sastra Indonesia: Pengalaman Pembaca"
Ketika kami memasuki acara ini, Bu Lily sudah angkat suara, dilanjutkan oleh Bu Aquarini, lalu sesi tanya jawab. Sayang sekali kami melewatkan Bu Mona. Peserta dalam talk show kali ini tampak lebih padat daripada yang sebelumnya.
Bu Lily membahas tentang karya-karya sastra perempuan yang mengangkat keragaman (: kearifan lokal, sejarah, begitulah). Adapun Bu Aquarini tentang berbicara tentang definisi sastra Indonesia, waktu luang atau privilese membaca, sampai pertentangan-pertentangan dalam kehidupan berliterasi (membaca vs menonton Youtube, membaca untuk menikmati vs membaca untuk mengkritisi, karya serius vs karya populer, dan sebagainya)--isu-isu yang relatable sebab sangat keseharian.
Talk show kali ini ditutup dengan testimoni dari salah seorang peserta, yang rupanya ibu guru dari Kabupaten Bandung Barat. Beliau mengatakan bahwa pemerintah Kabupaten Bandung Barat telah berinisiatif untuk memberikan penghargaan bagi murid yang dapat membaca tiga buku fiksi dalam sebulan selama tujuh bulan.
...
Saya memperoleh informasi tentang acara ini dari kiriman teman di WA, berupa pesan undangan yang diteruskan berikut PDF berisi jadwal. Sayang sekali di PDF tidak disebutkan bahwa untuk mengikuti tiap-tiap acara mesti mendaftar terlebih dahulu karena ada kuota. Memang untuk acara pada hari terakhir itu kami dapat mendaftar di lokasi. Tapi untuk acara yang lain, misalkan acara Jumat dengan pembicara Zen RS, agaknya harus dilakukan di tempat masing-masing jauh-jauh sebelum hari H. Informasi tentang pendaftaran ini ada di Instagram. Agaknya literasi bukan cuma soal baca buku tapi juga melek media sosial paling hype.
Membaca judul-judul acara, saya pikir akan mendapat afirmasi dari isu-isu literasi yang selama ini tebersit di dalam kepala saya. Memang begitu. Hanya saja, acara semacam ini, karena keterbatasan waktu, dan juga faktor kepribadian (: enggak semua peserta bisa spontan mengacungkan tangan dan tanpa segan menyatakan pendapat saat sesi tanya jawab dibuka, biarpun di dalam kepalanya ada banyak tanggapan yang berkeliaran), enggak memungkinkan terjadinya diskusi lepas.
Meskipun festival ini mempertemukan para pelaku membaca dan menulis--yang biasanya merupakan aktivitas soliter--bukan berarti juga mereka seketika menjadi teman dan dapat berbagi--tidak lagi sepi.
Kendati sudah terafirmasi, permasalahan-permasalahan itu tetap bergumul di kepala sendiri. Resolusi tetap harus ditemukan sendiri.
Memang sore itu terlintas beberapa poin di dalam kepala saya:
1) Terus menulis dengan sebaik-baiknya, sebagus-bagusnya, biarpun hanya menurut standar pribadi, itu harus. Kalau tidak begitu, itu berarti melecehkan upaya belajar yang dilakukan selama ini.
2) Kita yang hidup pada masa ini telah begitu dimanjakan dengan tersedianya blog, media sosial, platform digital, dan semacamnya, tempat kita dapat mempublikasikan tulisan kita--bagaimanapun kualitasnya--secara cuma-cuma (: cuma perlu gadget, koneksi internet, waktu luang, dan seterusnya). Bagaimana tulisan kita akan mndapatkan pembacanya, serahkan saja kepada algoritme--atau apa pun itu istilahnya. Tugas kita cukup taruh tulisan itu di tempat yang dapat diakses orang.
3) Terimalah aktivitas literasi sebagai jalan sunyi. Hentikan keluh-kesah kepada orang lain yang padahal juga punya permasalahannya sendiri, dan menjalaninya sendiri (dan itu tidak mesti juga berupa aktivitas literasi, halah, mati pun sendiri, menanggung amal sendiri).
4) Senyampang memiliki privilese itu, saya mesti memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.
...
Usai talk show kedua, selepas salat asar di masjid dalam kompleks Gedung Sate, agak jauh di seberangnya, bersama beberapa teman yang datang belakangan kami duduk-duduk di bawah naungan pohon, mendiskusikan berbagai fenomena kekinian, mulai dari film-film terbaru sampai media zadul vs media kekinian. Suasananya sungguh tenang dan adem.
Seorang teman yang baru datang lalu mengajak kami ke acara di samping Gasibu, semacam festival juga, tapi bertemakan kuliner dari produsen keju. Kami pun menyudahi diskusi dan beranjak, keluar dari kompleks Gedung Sate. Keramaian seketika tampak dari seberang jalan.
Area festival itu dibatasi. Orang yang keluar diberi tanda. Suara dari speaker luar biasa menggetarkan dada, memekakkan telinga. Sembari berjalan menuju pintu satunya, dari sebelah luar, kami mengamati betapa padatnya keramaian di balik pagar itu. Sebagian besar dari kami pun undur diri sebab ternyata bukan penggemar keramaian, malah jadi gelisah.
Kedua acara ini sama-sama menghadirkan deretan-deretan tenda. Deretan tenda di dalam sebelah luar Museum Gedung Sate menyajikan buku, sementara di samping Gasibu menyuguhkan makanan. Maklumilah bahwa makanan merupakan kebutuhan primer, sedangkan buku kebutuhan tersier--really, hal ini diamini di talk show kedua: memiliki waktu luang untuk membaca merupakan privilese. Jadi, enggak usah heran kalau dari membandingkan kedua acara ini terlihat seolah-olah orang lebih suka makan daripada baca--biarpun yang terakhir itu perintah pertama dari Tuhan.
...
Terima kasih kepada pihak penyelenggara Bandung Readers Festival. Tidak hanya menghadirkan acara-acara berfaedah secara gratis, mereka juga menyajikan galon-galon untuk isi ulang air minum secara cuma-cuma.
Tempo Nomor 23/XXXI/5 – 11 Agustus 2002
-
ISSN : 0126-4273 Rp 14.700 Tempo edisi ini mengandung sejarah UUD 45,
persisnya proses amandemen yang pada waktu itu sudah… Read more Tempo Nomor
23/XXXI/5...
2 minggu yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar