Rabu, 04 September 2019

Horor Psikologis yang Mudah-mudahan Enggak Bikin Makin Takut Kawin

Setelah berbulan-bulan, teman saya kembali mengajak saya menonton bioskop: Ready or Not. Saya mengiyakan saja, yang penting menyambung silaturahmi yang sudah lama tertunda. Setelah itu, barulah saya googling tentang film tersebut. Ini Youtuber andalan saya dalam mencari bocoran tentang film terkini. (Soalnya dia kadang-kadang memberikan full spoiler sih, yang cukup bikin saya merasa enggak perlu menonton langsung, haha.)


Saya terkejut karena Ready or Not ternyata film "SADIS". Tidak puas, saya mencari informasi tentang film ini di Wikipedia--yang dengan baiknya membeberkan alur cerita secara lengkap tanpa aba-aba spoiler alert. (Saya bukan orang yang peduli spoiler, lagian.)

Berikut paragraf terakhir dari uraian plot di Wikipedia (SPOILER ALERT!!!).
While the house burns down, Grace briefly sees the spirit of Mr. Le Bail sitting in a chair, who appears to approve of her survival. As morning breaks, Grace sits on the estate's steps while it burns behind her and smokes a cigarette as first responders arrive. When one of the responders asks what happened, Grace replies "In-laws."
Belum menonton film ini saja, seketika saya sudah dapat menyimpulkan: "Pernikahan itu berdarah-darah, and that can be literal, enggak mesti kayak di film ini sih, tapi 'berhubungan' untuk pertama kali dan melahirkan anak itu kan sepertinya bakal mengeluarkan darah. Belum lagi darah yang mengucur dari luka batin akibat berkonflik dengan keluarga mertua. Hm, apakah film ini dibuat supaya saya orang pada makin takut kawin?" (Lantas saya teringat pada obrolan dengan teman saya yang lain berbulan-bulan. Dia sudah beberapa tahun menikah dan punya dua anak. Dia bilang, menikah mah siap enggak siap, seolah-olah ready or not, kalau sudah jodohnya, ya, mesti dijalani.)

Yang berdarah-darah sama sekali bukan kesukaan saya yang berjiwa halus ini (eh?).

Tapi ini mungkin bisa jadi suatu pengalaman baru yang seru.

Mendekati hari pertemuan, muncul alternatif: Gundala. Walaupun sebetulnya saya sama-sama tidak begitu berminat, tapi ekspektasi saya film satu ini enggak bakal sesadis yang sebelumnya. 

Tapi, anyway, teman saya lebih condong pada Ready or Not.

Ya sudah.

Ketika Grace bercermin dengan rok pengantin yang sudah dirobek, sepatu kets
bulukan, sambil menyandang peluru dan pistol laras panjang, dia sendiri terkesima
 dan saya pun ikut-ikutan. Gambar dari IMDb.
Maka, Selasa kemarin, dalam perjalanan menuju Trans Studio Mall, saya masih terus menyugesti diri bahwa saya akan siap menghadapi adegan sesadis apa pun.

Tiket seharga Rp 35.000 pun dibeli. Sembari menunggu pemutaran pada pukul 13.00 WIB, kami makan dan salat dulu, lalu menunggu di sofa tepat di seberang pintu Studio 3.

Pintu Studio 3 dibuka. Tiket disobek. Kami duduk di bangku B, saya nomor 8, teman saya nomor 9. Iklan demi iklan ditayangkan, sebagian merupakan trailer film. Saya takjub betapa di bioskop pemandangan yang sangat vulgar boleh dipertontonkan di muka umum--yang enggak bakal terjadi di televisi dengan KPI (padahal saya sendiri sangat jarang menonton televisi, so TH).

Film pun dimulai, dibuka dengan menit-menit menuju acara "ijab kabul" antara si tokoh utama dan kekasihnya. Karena sudah membaca full spoiler di Wikipedia, saya tahu yang bakal terjadi selanjutnya--sepanjang sisa film itu. Belum apa-apa, saya sudah merasa ngilu dan menyesal telah mengiyakan ajakan menonton film ini. Kenapa tadi enggak maksa nonton Gundala ajaaa ....

Mendengar saya mengeluhkan soal hawa bioskop yang dingin, teman saya yang pemotor dengan baiknya meminjamkan jaketnya kepada saya, yang lalu saya sampirkan di bagian depan tubuh. Jaket ini, di samping menahan dingin, rupanya berguna juga sebagai tabir ketika saya mengantisipasi akan terjadinya adegan "seram". Berkali-kali saya mengangkat jaket menutupi wajah. Malah kadang saya menutup kedua telinga juga. Mulut juga mesti dibungkam supaya saya enggak kelepasan teriak di tempat umum begini. Jadi enggak pasti mana yang mesti ditutup, saya berasa three wise monkeys.


Film ini benar-benar memerlukan kebijakan pemirsa!!!

Teman saya, yang otomatis memerhatikan pergerakan saya, mengingatkan bahwa ini bukan film horor. Tapi toh menurut saya horor itu enggak mesti melibatkan manusia. Adakalanya manusia bisa lebih menyeramkan daripada hantu. Paling enggak, manusia kelihatan, hantu enggak. Yang kelihatan dan kerap mengganggu lebih menyeramkan daripada yang enggak kelihatan dan enggak pernah mengganggu. (Ya, iyalah.)

Anyway, mau enggak mau, saya enggak bisa terus-terusan menutup mata, telinga, dan mulut, sebab tangan saya cuma satu pasang alih-alih tiga. Lagian, saya sudah bayar Rp 35.000! Masak sepanjang film cuma meringkuk sambil memejamkan mata, menutup kedua telinga, dan mengatupkan mulut erat-erat?! Ready or not, kalau enggak mau rugi, film ini mesti di"nikmat"i.

Berangsur-angsur, saya pun menegarkan diri dan menghadapi "kenyataan" (WTF!), sebagaimana halnya si tokoh utama.

Beneran. Memang saya bukan pemerhati film, jadi kesan saya ini mungkin bisa diperdebatkan: akting pemainnya keren banget, terutama si tokoh utama.

Ketika mengetahui bahwa dirinya hendak dijadikan tumbal keluarga Le Domas, terlihat jelas ekspresi takut, syok, dan semacam itu pada wajahnya. Maksudnya, itu ekspresi yang sangat-sangat wajar, manusiawi. Dia enggak serta-merta jadi sosok wanita tangguh yang sanggup mengatasi "tantangan" itu dengan muka baja. Kerap kali dia menampakkan frustrasi, memaki dan berteriak sekencang-kencangnya. Adakalanya dia menyugesti diri bahwa dirinya akan baik-baik saja. Seandainya saya ada di posisi dia (AMIT-AMIT NAUDZUBILLAH MIN DZALIK!), agaknya begitu juga ekspresi yang saya keluarkan. Saking "masuk"nya, ketika dia ngos-ngosan, saya ikut-ikutan.

Malah kewajaran ekspresi ini sebetulnya sudah dimunculkan sejak awal sekali, ketika Grace merokok untuk mengatasi kegugupannya sebelum "ijab kabul". Dia tahu keluarga calon suaminya menyebalkan, tapi motivasinya untuk menikah dan punya "keluarga" kuat sekali. (Dia dibesarkan oleh keluarga asuh.) Tanpa harus berada dalam konteks film ini pun, kita pada umumnya mafhum bahwa pernikahan otomatis menyertakan konsekuensi-konsekuensi yang berhubungan dengan keluarga pasangan (: mertua, ipar) sehingga harus siap mental soal itu juga.

Saya juga mencoba memahami kegalauan atau konflik batin yang mestilah dirasakan oleh si suami--Alex. Dia tahu bahwa keluarganya punya tradisi kejam, tapi dia enggak bisa menolak motivasi Grace. Bukan hanya itu, lebih daripada cinta, Alex juga punya motivasi untuk "memiliki" Grace. Dia tahu taruhannya, tapi dia enggak mengatakannya secara terus terang, blak-blakan, terperinci, mendetail, gamblang, dan sebagainya, mengenai tradisi keluarganya, kepada Grace. Dia takut, kalau Grace mengetahui semuanya, wanita itu bakal lari dari dia.

Lain dengan kakak Alex, Daniel, yang agaknya benar-benar sudah muak terhadap keluarganya. Dari dialog tersirat bahwa sebelum menikah dengan istrinya, Daniel telah menceritakan semua-muanya secara menjelimet. Namun, Charity tetap mau masuk ke keluarga Daniel, dan bilang, "Kamu tahu latar belakangku." Dari situ kita bisa menduga bahwa istri Daniel ini punya prinsip: "Daripada enggak kaya, mending mati sekalian."

Ketika memulai paragraf di atas, saya jadi menyadari akan pentingnya "motivasi" dalam menggerakkan cerita. Hal ini sebelumnya saya dapatkan dari buku Richard Krevolin, Rahasia Sukses Skenario Film-film Box Office (Penerbit Kaifa, Bandung, cetakan pertama, Oktober 2003), dan masih berusaha saya geluti (: memahami dan menerapkan) ketika mengarang cerita saya sendiri. 

Motivasi terbungkus dalam karakterisasi. Seyogianya tiap tokoh yang berperan--besar atau kecil--punya karakter tersendiri.

Karakter-karakter lainnya memang menarik untuk diperhatikan. Ada Bibi Helene yang pernah mengalami nasib serupa dengan Alex. Ada ayah Alex yang agaknya menyesali nasib yang diturunkan kakek buyutnya. Ada ibu Alex yang sebenarnya menaruh harapan pada Grace tapi juga sangat mementingkan keutuhan keluarga. Ada Emilie--adik Daniel dan Alex--yang pencandu narkoba dan bersama suaminya, Fitch Bradley, agaknya tipe pasangan yang happy-go-lucky. Ada Stevens, pembantu yang setia dan penggemar musik klasik. Ada Georgie, anak Emilie dan Fitch, yang tampaknya mewarisi "kesadisan" keluarga. Ada para pelayan perempuan yang ketiganya mati sebagai korban "kecelakaan" atau kebodohan majikan, dengan suara sekarat yang mengganggu (dan kita jadi mempertanyakan apa motivasi mereka bekerja untuk keluarga semacam ini?).

Anyway, enggak semua tokoh perlu diberi porsi perkembangan karakter--cukup tokoh-tokoh tertentu yang berperan besar saja.

Perkembangan karakter merupakan daya tarik lainnya dari cerita yang bagus, paling tidak menurut saya. Ini membuat saya sebagai pemirsa merasa dilibatkan, atau diberi kesempatan untuk menggunakan "daya baca" saya--bahkan boleh jadi saya pun turut berkembang bersama karakter. Sebagaimana yang telah saya ungkapkan sebelumnya, Grace yang awalnya ketakutan berangsur-angsur dapat menghadapi situasi dan melawan balik (bisa jadi itu akibat insting survival). Saya pun yang awalnya sedikit-sedikit menutupi muka atau telinga lama-kelamaan dapat duduk tegak dan menghadapi apa pun yang akan disuguhkan layar (bisa jadi itu akibat insting "enggak mau rugi sudah telanjur bayar"). Sedikit demi sedikit sifat tokoh-tokoh lainnya pun terbuka. Daniel, sebagai kakak ipar yang awalnya tidak simpatik, kemudian malah menjadi penyelamat. Adapun, Alex, yang awalnya hendak menyelamatkan Grace, kemudian malah mau membunuhnya.

Bagaimanapun juga, pada akhirnya, mempertahankan keluarga adalah yang terpenting. Keluarga Le Domas seperti Keluarga Cemara versi gelap. Harta yang paling berharga adalah keluarga, indeed, apalagi kalau keluarganya bergelimang harta.

Meet The Le Domases. Gambar dari Variety.
Selain unsur-unsur instrinsik, dari film ini juga kita dapat mengambil pesan moral yang jelas: kekayaan memakan tumbal. Perwujudannya enggak mesti frontal dan bercipratan darah sebagaimana dalam film ini, dan contohnya mungkin bisa kita temukan dari daerah yang dekat-dekat. Kalau suka yang animistik, sebut saja tradisi pesugihan. (Seandainya film ini dibuat versi lokalnya, mungkin akan berjudul Pengantin Tumbal.) Kalau suka yang rasional, yah, sebut saja film Sexy Killers: pengusaha tambang batu bara dan konsumennya memperkaya diri dengan membuat kolam-kolam bekas tambang yang kemudian memakan banyak korban anak-anak.

Film ini juga menguatkan pesan bahwa sebelum menikah kita memang harus meninjau calon pasangan hidup dari bebet, bibit, dan bobot. Kalau dia kaya, mesti kita telisik sumber kekayaannya sampai ke sejarah keluarganya: jangan-jangan ada bantuan setan. Hiii!

Pada akhirnya, saya enggak jadi menyesal karena telah mengurung diri dalam ruangan gelap besar bersama sekian orang asing (--enggak banyak, tapi enggak begitu sedikit juga--) menonton film mengerikan ini. Ternyata ada banyak hal yang bisa saya dapatkan.

Memang ada beberapa adegan dan dialog saya lewatkan ketika saya sibuk menutup muka atau telinga, tapi saya merasa tetap mendapatkan kepuasan, keseruan, dan sensasi maksimal dari suatu pengalaman bioskop, yang agaknya baru saya peroleh lagi sejak Mad Max: Fury Road (2015) dan Jelangkung (2001). (Maklum, jarang ke bioskop.) Kedua lengan saya sampai pegal dan sesekali saya perlu mengembuskan napas keras-keras. Beberapa comic relief yang diselipkan rupanya enggak cukup mengena bagi saya, mungkin karena saya telanjur didominasi oleh pikiran bahwa film ini full "horor". Anyway, berkeliling-keliling Transmart di lantai bawah dan meludeskan sebagian besar jatah bulanan dalam sekejap efektif menepis suasana itu. (Hm, jadi itu sebabnya lokasi bioskop biasanya menyatu dengan pusat perbelanjaan ...???)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain