Sabtu, 30 Juni 2007

dA zUPPERHERROWw...!!!!!!!!!

Pada awalnya seorang anak bolot berpikiran pendek yang terancam tidak akan naik kelas…

Tu cewek namanya Dalot, dengan damainya merasakan atmosfir kebebasan dari sebuah eskul yang bernama Warbung a.k.a. Wahana Terselubung. Tapi di balik itu dia frustasi karena tak seorang pun cowo ganteng yang ada (namun nyatanya tak pernah ada) di Warbung yang memberitahunya bahwa bentar lagi akan ada Ujian Kenaikan Tingkat. Dalot sakit hati. Tapi salahnya sendiri, kenapa nggak pernah datang ke markas Warbung walaupun hanya sekedar untuk menginjakkan kaki.

Well, lupakan sejenak soal Warbung…

Di suatu Jumat, ketika Dalot dan 4 orang temannya yang sedang asik bermain dengan matematika dan tidak bisa terusik walaupun hanya sedetik… dengan ibu guru yang sedang duduk manis bagaikan soleramanakmanisjanganlahdiciumsayangkalaudiciummerahlahpipinya, di mana pintu kelas 3 IPA yang terpakai terbuka lebar dan suara angin berkoar-koar membisikkan kabar tak tersiar… tiba-tiba datanglah badai dahsyat yang menghantam jendela-jendela… dan membutakan mata orang yang sedang dioperasi katarak… dan menutupkan pintu ampunan bagi manusia-manusia laknat tak terhormat yang tak sudi bertobat kepada Tuhan Yang Maha Hebat...

Termasuk pintu ruangan kelas 3 IPA…

“BRAAAAAAAAAAAAAAAAAAAKKKKKKKKKKK!”

Yang terbanting dengan suara keras bergelombang ultrasonik dengan kecepatan 6,02 x 1023 Mhz.

“AAAAAAAAA!”  seluruh wanita dalam ruangan itu berteriak. Tapi tidak lama.

Selanjutnya, salah satu orang berkata,

“Wah… tadi sangat mengagetkan sekali, ya…”

“Iya, kaget ya…” sambut temannya.

“Heueuh, kaget…” kata temannya yang lain lagi.

“Aku juga kaget loh, beneran…” ujar yang lain lagi lagi.

“Betul, betul, aku juga gak mau ketinggalan! Aku juga kaget tau! Percaya deh…” tambah sisanya.

“HEH, kalian teh gak ada percakapan yang lebih mutu lagi, ya,” kata ibu guru yang beberapa menit yang lalu sudah duduk manis bagaikan soleramanakmanisjanganlahdiciumsayangkalaudiciummerahlahpipinya.

“Baiklah, Bu. Kami akan membicarakan sesuatu yang lebih esensial dan berkualitas seperti bagaimana integral sinus 45,38o sangat mempengaruhi kecepatan maksimal saat lift turun dengan pegas di dalamnya yang berkonstanta 400 N/m, dimana... balabalabalabalabalabalabala...”

Dalot dan temannya yang seorang babi kecil bodoh mengerang bagai berang-berang.

Mereka pun meneruskan mengerjakan soal-soal sampai pergelangan tangan mereka copot dari sendinya, untung bu guru dapat memperbaikinya. Mereka belajar dengan semangat sekeras beton, menggebu-gebu bagai debu di ventilasi dapur, tanpa mempedulikan serangan badai di luar yang menghantam-hantam, menderu-deru sampai menyesakkan paru-paru, membanting jendela demi jendela dan tak membiarkan keheningan menguasai sikon.

168 jam kemudian, mereka selesai. Bu guru sudah kehabisan 5 liter tinta dan merenggut, anak-anak bodoh dan tolol berlumut sementara anak-anak pintar volume otaknya membengkak sebesar pengserut.

Badai yang konon pasti akan berlalu, masih juga menderu-deru tanpa malu. Bu guru berjalan ke pintu hendak meninggalkan anak-anak yang ngantuk.

Tiba-tiba,

Bu guru berkata, “Aduh, pintunya gak bisa dibuka.”

“Ibu, jangan bercanda,” ujar salah seorang anak.

“Ah, ibu bisa aja...” kata anak yang lain.

“Ibu, jangan bikin dia kegeeran,” kata anak yang satunya lagi.

“Kalian kalau ngomong yang nyambung,” kata anak yang satunya lagi lagi.

“Sok aja, kalian mau coba buka pintunya?” kata ibu guru.

Salah seorang anak mecoba. “Aduh, aku tak bisa...”

Anak yang lain. “Aku tak kuasa mencobanya...”

Anak yang satunya lagi. “Begitupun dengan diriku. Menyentuh gagangnya saja jariku melepuh...”

Anak yang satunya lagi lagi. “Kalian teh ngapain sih? Aku mah gak keberatan kalau mesti nginep satu malam lagi.”

Lalu dia pun tersadar. “O-ow, kita dijebak...”

1 detik kemudian, mereka sibuk berteriak-teriak panik minta tolong. Menggedor-gedor pintu dan jendela yang terkunci rapat oleh angin. Tak ada satupun jalan keluar selain menggali terowongan bawah tanah.

Dalot tampak tegang melihat kelakuan teman-temannya. Ia berpikir...

aduh, bagaimana ini... kucing-kucingku udah 3 minggu belum dikasih makan...

aduh, bagaimana ini... jemuran udah 2 tahun 1 bulan masih nyangkut di genteng...

aduh, bagaimana ini... aku belum ngisi kuis di majalah...

aduh, bagaimana ini... klosetku udah 3 hari belum keisi...

Sampai dia mendapat inspirasi, dia pernah baca katanya makan cengek bisa menurunkan ketegangan. Ia pun mencari-cari cengek. Untuk mempersingkat cerita, ia menemukan beberapa butir cengek yang sudah penyek-penyek dan baunya udah kayak kesemek di dasar tasnya.

Dengan penuh pengorbanan luar biasa, ia memakan cengek-cengek itu demi menurunkan ketegangannya yang sudah memasuki stadium 13.

Dan ia...

Langsung merasakan...

            Sensasi RUARRRR BIASSSAAA...!

Pada mulut, mata, hidung, telinga, jsb.

Secara dia bekas didikan Warbung yang berorientasi pada tenaga dalam/ tenaga metafisika dan bela diri, maka ia selalu bisa mengaitkan rasa sakit dengan kejangan yang bisa menghasilkan hawa panas dan menghasilkan pula apa yang dinamakan TENAGA DALAM.

Rumusnya:

RASA SAKIT + KEJANG = HAWA PANAS à TENAGA DALAM

Saat ini ia sedang merasakan hawa panas yang sangat panas [ya iyalah...] dan dahsyat di beberapa organ tubuhnya, mungkin itu bisa disalurkan menjadi tenaga dalam yang bisa digunakan untuk membobol pintu yang tertutup dan tak bisa dibuka itu...

[ini membuktikan otak manusia bisa bekerja 4x lebih cepat di saat terdesak!]

Dengan gagah perwira bagai tentara dan semangat repotnasi yang merajalela, ia melangkah menuju ke pintu...

Jreng jreng jreng

Eng ing eng...

[baksound: Theme Song Of Dufan]

Bu guru dan 4 orang temannya menyingkir dari pintu, melotot memandangi muka Dalot, di mana air mata menetes dan liur meleleh karena tidak cepat-cepat diberi Pertolongan Pertama Pada Korban Keganasan Cengek (P3K2C)

Ia mengepalkan kedua tangannya.

Ditariknya ke pinggang sambil menghirup nafas sekuatnya dengan pernafasan diafragma.

Dan...

“HYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!”

Kedua daun pintu terbuka lebar dan tercerabut dari engsel-engselnya... terbang melayang menancap atap.

Berkat Tenaga Dalam yang dihasilkan oleh nafas cengek dan tendangan maut gaya macan terbang nyungsep di dahan...

Besoknya kedua orangtua Dalot dipanggil ke sekolah untuk membayar ganti rugi dan diberi bimbingan moral untuk tidak memberikan anak-anaknya konsumsi yang membahayakan

[pesan untuk orangtua di rumah: jangan menyuruh anak untuk terus-terusan belajar, tidak baik bagi gizi dan kesehatan gigi]

Tapi akhirnya Dalot jadi amat sangat populer di sekolahnya dan sering diminta untuk memberikan gorengan di koperasi...

 

E N D

 

“...Ceritanya garing yak. Teruslah berkarya...!”

[Galileo Galilei, peneliti asal Jember]

 

“Sumpah, Vita Jelly enak loh... Sumpah, Vita jelly enak loh... Sumpah, Vita jelly enak loh...”

[Cicero, filsuf Korea]

 

“Istri ketiga saya pingsan, istri kedua saya berbusa-busa, istri pertama saya mandi bunga saat membaca masterpiece ini. Good Work!”

[Rhoma Irama, Raja Dangdut Indonesia]

 

“Anak muda ini telah membuat pembaruan yang sangat berharga bagi nusa dan bangsa. Kita harus melihatnya dari kaca mata seorang manusia Indonesia jenius yang rela membayar pajak dan mendukung segala macam program pemerintah. Demokrasi fundamentalisme memang tengah merajalela, namun karya ini tetap patut dibaca!”

[Mr. Agus Sangsoro Duito Sarlito Mangunkarso Ojolaliyo, Msc., BA., MBA., Menteri Perkomikkan Indonesia. Anggota DPR Bidang Peternakan Ikan]

 

“Sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan! Pendukung emansisapi wanita sejati, yeah...”

[Ibu Kita Kartini, seorang putri Indonesia sejati yang bernama asli Harum]

 

“Ceritanya jelek banget. Kegaringan tingkat ekstrim. Pingin mati bacanya. Tapi terusin aja deh mungkin lama-lama bisa rame.”

[D--- S-------- A---------, pelajar SMAN - Bandung]

 

...dan masih 107 halaman lagi komentar-komentar edun lainnya...

Jumat, 02 Maret 2007

Pemuda Baik-Baik di Angkot

Pagi ini seperti biasa saya naik angkot hijau muda menuju ke sekolah.

Benar-benar seperti biasanya.

Dengan otak yang masih kosong, lagipula sebentar lagi akan dijejali macam-macam. Yang berbunyi hanya gramophon yang mendendangkan lagu ceria Sherina: Kembali ke Sekolah!

Hingga angkot yang saya naiki ini berhenti di tepi jalanan sepanjang wilayah Kosambi. Mendatangkan penumpang baru berwajah baik hati. Dia seorang pemuda.

Dan...

Sempat jantung saya ngadegdeg, karena pemuda itu mirip dengan kecengan saya. Ya, senyum yang selalu terulas, tidak hanya di bibirnya tapi juga di seantereo wajahnya. Matanya yang ramah. Yang membedakan adalah, kecengan saya berambut cepak sementara pemuda itu berponi, belah tengah lagi, seperti Mamoru si Tuxedo Bertopeng dalam kartun Sailormoon yang sekarang di Indosiar sudah tidak ada lagi. Di pipi kirinya ada tahi lalat. Bukan, bukan tompel. Terlalu kecil, tidak memenuhi kaidah-kaidah yang berlaku untuk disebut tompel.

Apa itu kecengan saya?

Kalimat itu jadi kalimat pertama yang hadir di kepala saya untuk hari ini.

Tapi... potongan rambut, tahi lalat, dan pakaiannya yang bukan seragam meragukan saya.

Lalu saya teringat kejadian beberapa hari yang lalu. Sudah cukup lama. Waktu itu tinggal sejam menuju bel pulang sekolah. Guru pelajaran terakhir tidak hadir. Saya ingin cepat-cepat pulang untuk mengerjakan PR dan ada janji memancing dengan ayah. Jadi saya berjalan menuju sebuah bidang yang cukup luas yang terletak dekat gerbang keluar. Dari situ saya hendak mengawasi situasi dan kondisi apakah gerbang keluar itu layak dilewati, siapa tahu ada guru piket menanti. Hingga saya lihat kecengan saya itu lari-lari ke arah ruang piket. Terus dia keluar lagi. Tak berapa lama dia muncul lagi sambil bawa tas dan jaket dan dia pergi melewati gerbang sekolah.

Wah, kira-kira ada apa ya?

Waktu itu saya masih dikuasai oleh Imajinasi Nakal dan Imajinasi Nakal itu membuat saya yakin bahwa dia dipanggil bertugas oleh suatu Badan Intelijen. Sebenarnya dia adalah intel yang menyamar jadi siswa SMA. Atau siswa SMA yang kerja part time jadi intel. Edaaaaaann...

Dan mungkin inilah dia di sini. 

Apa itu kecengan saya yang sedang menyamar?

Begitu bunyi kalimat kedua yang muncul di kepala saya.

Sesekali saya mencuri pandang.

Dan dia kayaknya sadar gitu deh.

Dia duduk di sebelah nenek-nenek putih cantik berwajah melankolis yang bawa ransel besar sekali. Ranselnya itu menghalangi siapapun yang hendak keluar atau masuk dan duduk di bangku angkot sebelah dalam. Pemuda itu ternyata memang baik hati. Dia membantu nenek itu memegangi ranselnya. Tiap ada penumpang baru yang datang dia geser ransel itu agar bisa masuk. Sementara angkot melaju dia tetap memegangi ransel itu. Dia dan si nenek duduk bersebelahan tepat di depan pintu angkot. Mungkin dia pegangin ransel itu supaya tidak jatuh menggelinding keluar angkot kali ya. Kalau begitu kan bahaya. Bahaya buat si nenek karena mungkin saja di ransel itu isinya barang penting. Bahaya juga kalau ransel itu jatuh ke jalan dan menghalangi kendaraan. Lha, kalau ranselnya tiba-tiba diterbangkan puting beliung bisa kena muka orang. Bahaya banget, gila. Orang itu baik banget. Sebaik aura yang dipancarkan wajahnya.

Penampilannya begitu sederhana. Dia pasti pemuda biasa-biasa yang berasal dari keluarga biasa-biasa dan sudah punya kekasih yang biasa-biasa aja. Dia sekolah di sekolah menengah terpencil yang tidak begitu dikenal tapi pernah masuk majalah remaja kota. Sekarang dia sudah bekerja di suatu badan usaha alias firma dan dia kerja sebagai... sebagai...

Saya mulai mengarang bebas.  

Tidak juga sih. Soalnya setahu saya kecengan saya juga begitu. Kecengan saya penampilannya begitu sederhana. Dia pemuda biasa-biasa yang berasal dari keluarga biasa-biasa dan kalau dia pacaran dengan saya—dan bukan dengan ceweknya sekarang yang cantik itu—maka dia akan mempunyai kekasih yang biasa-biasa aja. Kalau DANUAN-nya tidak sebagus itu maka dia akan bersekolah di sekolah menengah terpencil yang tidak begitu dikenal dan pada semester dua akan mutasi ke sekolah saya yang suka jadi sorotan publik. Namun saya yakin masa depannya akan cerah dan dia tidak perlu bekerja di suatu badan usaha alias firma dan dia kerja sebagai... sebagai...

Wah, ya ampun. Sudah sampai lagi di depan sekolah!

“Kiri! Kiri!” sahut saya.

Angkot pun berhenti. Saya turun dan membayar. Ternyata si nenek juga ikut turun. Pemuda itu bantu menurunkan ranselnya. Si nenek mengucapkan terima kasih diiringi senyum yang manis sekali. Lalu si nenek membuka relesting ranselnya dan tampak seperti mencari-cari sesuatu. Cari dompet mungkin. Angkot sudah menunggu beberapa menit dan si nenek berkata dengan paniknya, “Dompet saya raib!”

Saya yang masih di situ karena baru menerima uang kembalian terhenyak. Karena kepala saya masih kosong jadi saya masih bisa berpikir cepat. Pikiran saya langsung ke si pemuda. Soalnya dia kan tadi yang megangin ransel nenek itu. Sementara itu orang-orang dalam angkot juga tampak baru menyadari bahwa penumpang angkot berkurang satu. Si pemuda itu tiba-tiba sudah lenyap entah ke mana!

Apakah itu kecengan saya yang punya ilmu menghilangkan diri? Ini sebuah misteri di pagi hari dan saya harap Anda tidak akan pernah mengalami.

 

 

 

02 Maret 07

Rekor tercepat dalam membuat cerpen. Bener juga ya, kalau niat apapun mah jadi. Edddaaaan...

Selasa, 27 Februari 2007

Teman yang Terbang

Saat aku membuka pintu, sosok itu sudah menungguku di sana.

“Udah, ayo, ke sini aja…”

Aku jelas tak kenal dia.

“Ya, tapi kamu siapa?”

“Aku? Panggil aja aku Teman. Yuk, ke sini. Di sini aman. Kamu di sini aja sama aku.”

“Saya nggak kenal kamu…”

“Kamu bakal kenal saya.”

“Nggak ah, makasih. Saya mau di luar aja.” Aku hendak menutup pintu.

“Eh, jangan. Udah, kamu di sini aja. Di sini enak kok, nggak ada yang ganggu.”

“Diganggu siapa? Nggak ada yang mengganggu saya.”

“Ya, tapi di sini aman. Kamu bakal suka di sini. Ayo di sini sama aku. Temenin aku.”

Pada mulanya aku bingung. Ajakannya begitu meyakinkan. Sepertinya akan menyenangkan bersamanya di pojok sana. Entah kenapa begitu menggiurkan. Karena dia sosok yang dicari semua orang.

“Aku nggak akan bikin kamu kesepian.”

“Oh…”

Dengan ragu kaki-kakiku mendekatkan diriku pada dia. Sampailah aku di sebelahnya. Kini kami berhadapan.

“Ya, Raden. Sekarang kita berteman.”

888

Seperti sore yang biasanya kala itu. Raden dan Teman hanya berdua dan berbagi dunia mereka bersama. Pintu kamar terkunci.

“Hai, Teman.

“Ternyata kita memang cocok. Saya senang berteman sama kamu,” Raden berkata.

“Tuh kan, aku bilang juga apa, gak usah ragu temenan sama aku. Aku akan di samping kamu hingga kamu terbang nanti.” Teman merangkul bahu Raden erat.

“Saya nggak akan terbang. Saya senang sama-sama kamu,” kata Raden pelan.

Teman terdiam.

888

“Raden, kenapa kita nongkrongnya di tempat ini terus? Aku bosan selalu liat dinding-dinding putih ini yang menaungi kita. Gimana kalau kita pergi cari tempat yang lebih enak, di luar kotak ini. Aku tau tempat-tempat yang seru,” kata Teman suatu hari.

“Ya, kamu benar. Lagian orangtua saya mulai bertanya-tanya kenapa saya senang sekali mengurung diri di kamar.”

“Tapi kamu nggak bilang apa-apa kan?”

“Nggak. Mereka nggak perlu tahu. Ini kan rahasia kita berdua aja.”

“Ya, Raden. Orangtua selalu aja mau tahu. Besok kita nggak usah main di sini lagi. Aku tau tempat di mana kamu bisa mendapatkan kebebasan kamu. Kamu bakal suka.”

“Ya. Asal sama-sama kamu.”

888

“Teman, tadi menyenangkan sekali. Lain kali kita pergi ke tempat itu lagi, ya.”

“Nggak, Raden. Kita bakal pergi ke tempat lain. Tempat yang lebih menarik dari itu. Lebih jauh. Lebih tinggi.”

888

“Teman, hanya kamu yang bisa mengerti perasaan saya, tanpa saya harus berkata banyak. Cuman kamu yang bisa memahami saya. Cuman kamu tempat saya bisa menumpahkan segalanya. Kamu jangan pernah pergi dari samping saya.”

“Ada apa, Raden? Kenapa kamu tiba-tiba bicara begitu?”

“Entahlah, Teman... Orangtua saya semakin sering membicarakan saya. Mereka sekarang jadi curiga setiap saya akan ke luar rumah dan selalu ingin tahu ke mana saya mau pergi. Kemarin malam saya dengar mereka sedang memperbincangkan saya. Mereka menyebut-nyebut ‘rumah sakit’. Saya nggak mau dengar kelanjutannya. Saya lalu berusaha cepat-cepat tidur.

“Apa saya harus mengatakan yang sebenarnya?”

“Jangan. Mereka nggak akan percaya. Mereka bakal menjauhkan kamu dari aku. Mereka bakal ngelarang kamu main ke tempat itu lagi. Dan juga tempat-tempat lainnya. Tempat-tempat asik yang pernah maupun belum—namun bakal—kita kunjungi.”

“Jadi...”

“Iya, kamu diam aja setiap kamu ketemu sama mereka.”

“ng...” 

888

Berbulan-bulan hingga bertahun-tahun akhirnya Raden berteman dengan Teman. Kedekatan di antara mereka berdua kian erat. Suatu hari Teman mengajaknya pergi ke tempat yang sangat tinggi, ke atap gedung pencakar langit. Teman langsung berdiri di tepi sementara Raden baru melangkah.

“Teman, ngapain kamu di situ? Nanti jatuh!”

“Nggak, aku nggak akan jatuh.” Teman menggeleng-gelengkan kepala. Ia tersenyum. Kedua tangan ia masukkan ke saku celana. Punggungnya membelakangi cakrawala. Begitu santai ia berdiri di situ. Padahal satu langkah lagi ia mundur ke belakang, kepalanya dapat membentur bumi dalam hitungan detik.

“Ayo, ke sini. Ke tempat yang aman.”

“Kamu aja yang ke sini. Di sini enak lo. Nggak apa-apa, nggak akan jatuh.”

“Iya, tapi posisi kamu itu loh, rawan banget. Ayo, mendekat ke sini.”

“Di sini aja, Raden.” Teman mengulurkan tangannya. Meminta Raden menggapainya. Dengan ragu akhirnya tangan Raden menyambutnya. Kaki-kakinya membawanya dekat ke tepi.

Kini mereka berdua tengah menatap kota. Merasakan angin yang dengan semangat hendak menerjang mereka ke belakang. Hawa sore hari mendamaikan pikiran. Mereka berdua hanya menerawang.

“Lihat Raden, seluruh kota. Rasanya seperti ingin memeluknya, ya kan?”

“Hm…”

“Raden, ayo kita terbang.”

“Apa?!” Raden tersentak. “Terbang? Maksud kamu apa?”

“Ya, aku dan kamu, kita berdua terbang. Kita akan memeluk kota. Kita akan mengendalikan segalanya.”

Raden refleks mundur. Ia kaget mendengar perkataan Teman. “Becanda kamu, kita ada di ketinggian berapa. Kalau ke bawah bisa mati kita.”

“Iya, tapi kamu harus terbang!”

“Nggak ah. Saya di sini saja. Kamu juga sebaiknya jangan—apa-apaan sih? Itu sama aja kayak bunuh diri tahu. Kamu ini kenapa?”

Teman hanya tersenyum. “Terbang Raden, ayo terbang. Kamu harus maju duluan.”

“Iya, tapi kamu tahu nggak sih kita ini lagi ada di mana?”

Ekspresi cemas Teman membayangi Raden. “Kenapa sih kamu takut terbang?”

Tanpa banyak kata lagi Teman menarik tangan Raden dengan kuat dan mengirimnya ke udara.

Raden pun terbang melayang.

“Raden, kalau kamu nggak mau terbang kamu cuman jadi penyakit. Parasit.”

“...”

“Selamat tinggal Raden. Sebetulnya aku sedih kamu nggak bisa ikut terbang sama aku.”

Teman pun loncat. Tapi dia sungguh terbang membumbung. Tidak seperti Raden, sebentar lagi dia akan menubruk tanah. 

888

Pasien baru itu setiap saat hanya terpaku. Kepalanya masih dibalut perban akibat percobaan bunuh diri yang dilakukannya beberapa minggu yang lalu. Dahulu ia gemar bicara sendiri. Indikasi adanya schizophrenia, tapi kini tak sepatah kata pun pernah keluar dari mulutnya lagi.

Namun matanya bicara banyak. 

888 

Teman, kenapa kamu biarkan aku sendirian? Kenapa kamu biarkan aku terkurung dalam ruangan dingin ini? Kenapa kamu biarkan mereka memakaikan aku pakaian ini? Kenapa kamu biarkan mereka menjejalkan benda-benda pahit itu ke dalam mulutku? Kenapa kamu berduplikasi, sebab saat mereka mengeluarkan aku dari balik jeruji aku lihat kamu jadi banyak sekali dan berbicara pada tiap-tiap orang itu... Orang-orang yang kini aku serupa dengan mereka. Orang-orang yang berpakaian sama... dan mereka semua sakit jiwa. Memangnya siapa kamu sebenarnya, Teman? Kenapa kamu menjeratku?

 


 

1 hari Pahlawan 2006 cukup 

revisi 270207 2:31 pm

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain